Sunday, December 14, 2008

Feedback MK Desain Berkelanjutan (2)

(sambungan dari bagian satu)
Tanggapan dari saya berwarna biru.



Bagian kuliah yang paling menyenangkan?

Seluruh peserta menjawab
nonton, dengan tambahan: tepat waktu dan berhadiah.


Bagian kuliah yang paling menyebalkan?

Tersebut hal-hal seperti jam kuliah yang terlalu pagi (sekitar 20% peserta menganggap pk. 09.30 terlalu pagi) dan ketidak-pastian ruang kuliah.
Waktu dan tempat perkuliahan ditentukan oleh program studi, dosen menyanggupi bila tidak bentrok dengan jadual lain. Pengaturan jadual yang tidak mulus biasanya disebabkan perubahan signifikan pada jumlah peserta kuliah (setelah PRS), yang berimbas pada fleksibilitas waktu para pengajar dan koordinasi dalam pengaturan pemakaian ruang.        

Hal-hal lain yang juga dianggap menyebalkan, antara lain:
- Pendaftaran kehadiran yang terlalu ketat
, diberlakukannya status T pada yang terlambat hadir di ruang kuliah, pengurangan nilai (20 point) untuk pengumpulan tugas yang terlambat, adanya tugas kelompok, tugas presentasi, UTS dan UAS.
Saya memberlakukan semua ini agar memiliki catatan dan penilaian obyektif terhadap performance masing-masing peserta, untuk dipertimbangkan dalam penilaian akhir.

- Penggunaan Bahasa Inggris pada materi kuliah (presentasi dan video) dan materi yang terlalu tekstual.
Materi kuliah disampaikan sedekat mungkin dengan sumber aslinya, yang sebagian besar berbahasa Inggris. Makin kita menguasai bahasa aslinya, makin cepat aliran informasi yang dapat kita serap. Pembahasan lebih lanjut selalu diperkenankan, bila penyampaian materi kurang jelas.           


Pendapat dan komentar mengenai materi kuliah, pelaksanaan/penyampaian kuliah, performance dosen, dan saran keseluruhan untuk MK Desain Berkelanjutan

- Dosen disarankan agar tidak bicara terlalu cepat, oleh hampir seluruh peserta kuliah (sekitar 80%).
Ini memang 'penyakit' lama; saya akan berusaha untuk tidak berbicara terlalu cepat. Tolong ingatkan saja di kelas bila hal itu terjadi.

- Agar lebih banyak interaksi dan keterlibatan mahasiswa dalam perkuliahan
Sudah diusahakan dalam bentuk presentasi dan diskusi. Berhasil/tidaknya tergantung pada berbagai hal, antara lain ketertarikan peserta pada materi, keaktifan peserta diskusi dan peran pemimpin diskusi. Mudah-mudahan dapat terlaksana dengan lebih baik di perkuliahan berikutnya.

- Kuliah disarankan tidak untuk Desain Produk saja, tapi juga untuk desain2 lain.
Mata Kuliah ini sebenarnya sifatnya terbuka dan dapat diambil oleh mahasiswa apa pun di ITB, bukan hanya sesama program studi desain saja, atau yang ada di FSRD.

- Melibatkan praktik langsung, memasukkan aktivitas perancangan (design project), dan perkuliahan di 'lapangan' untuk melihat kondisi/kasus secara langsung.
Saran-saran yang baik, akan dipertimbangkan dengan faktor-faktor biaya dan (terutama) waktu, dan beban kuliah bila dilakukan juga perancangan. Yang paling mungkin dilakukan adalah mengintegrasikan MK ini dengan MK perancangan yang sedang dilaksanakan oleh para peserta MK ini.

- Menampilkan contoh2 nyata desain/material berkelanjutan (obyek peraga selain slide atau film), mengundang dosen tamu, perbanyak contoh kasus lokal/di Indonesia
Saran-saran yang baik, mudah-mudahan dapat dilaksanakan dalam paket perkuliahan yang akan datang.

- Workshop terlalu singkat dan tidak ada penjelasan
Ya, itu saya salah strategi, seharusnya dibagi menjadi dua sesi. Seharusnya memperhitungkan juga waktu, mengingat peserta baru lengkap (setidaknya) setengah jam setelah kelas dimulai.


Ada masukan-masukan lain seperti:
- Kecewa kalau jam kuliah molor, karena berarti kendaraan tidak bisa keluar dari parkiran (portal ditutup karena para penjaganya pergi Jumatan) --> Kalau mulai tepat waktu, pasti akan selesai tepat waktu (pk.09.30 - pk. 11.00)
- Hadiahnya supaya lain kali lebih seru atau berupa buku impor (bekas) --> Kalau ada dan dirasa pantas untuk diberikan, pasti bisa diusahakan
- Materi perkuliahan disampaikan berupa komik --> Doakan saja agar suatu hari nanti saya akan sempat membuat buku tentang Desain Berkelanjutan berupa komik, yang bisa jadi bahan ajar


Terima kasih sekali lagi pada semua peserta kelas ini; setiap sesi pertemuan merupakan pembelajaran juga bagi saya.

Feedback MK Desain Berkelanjutan (1)

Terutama untuk para peserta MK Desain Berkelanjutan semester I/2008-2009: terima kasih atas partisipasinya mengisi kuesioner umpan-balik ini, yang sangat saya perlukan, mengingat MK yang baru kalian ikuti ini adalah untuk pertama kalinya dilaksanakan di program studi kita. Mudah-mudahan, berdasarkan masukan-masukan ini, saya dapat menyajikan perkuliahan dengan lebih baik lagi di masa yang akan datang.


Peserta kuliah: 21 mahasiswi + 19 mahasiswa, TOTAL 40 peserta (yang rata-rata telah melewatkan lebih dari dua tahun masa studi di Desain Produk)

100% peserta berpendapat bahwa tugas-tugas selama kuliah ini jumlahnya cukup dan bobotnya wajar.

90% peserta berpendapat bahwa kuliah ini sangat bermanfaat, 10% menganggap biasa saja (yang belakangan ini seluruhnya mahasiswa)

82.5% peserta beranggapan bahwa materi kuliah ini sangat up-to-date, sementara menurut 17.5% sisanya, materi kuliah ini lumayan masih berlaku.

75% peserta berpendapat bahwa materi perkuliahan disampaikan secara menarik, 25% menganggap penyampaiannya biasa saja.

42.5% peserta berpendapat bahwa kuliah ini mudah dipahami
52.5% peserta berpendapat bahwa kuliah ini cukup bisa dipahami
5% peserta berpendapat bahwa kuliah ini sulit dipahami

57.5% peserta beranggapan bahwa dosen dapat menerangkan dengan jelas, sementara 42.5% menganggap penjelasan dosen cukup dapat dimengerti


Demikian hasil bagian pertama, yang kuesionernya bersifat pilihan berganda. Hasil bagian kedua nanti akan memuat hasil kuesioner yang bersifat pernyataan pendapat dan usulan-usulan.

Wednesday, December 10, 2008

Ngobrol2 Curhat di Aksara Kemang

Start:     Dec 19, '08 7:00p
End:     Dec 19, '08 9:00p
Location:     ak.'sa.ra - Jl. Kemang Raya No. 8B, Jakarta
Ketemuan yuukkk... ngobrol-ngobrolin Curhat di Toko Buku ak.'sa.ra Kemang! Detail pengisi acara yang komplit akan menyusul, tapi isi acara direncanakan seperti berikut ini:

- Pembukaan oleh host, Surjorimba Suroto
- Cerita tentang Curhat, Tita
- Ngobrol-ngobrol
- Preview buku dan artist CAB terbitan 2009 (ini seru!)
- Tanya jawab, kalau waktu masih mengijinkan
- Book signing
- Penutupan

Watch this space for updates!

Saturday, December 6, 2008

MacBook Battery

About a couple of months ago...
I thought there was something wrong with my MacBook: it couldn't stand still on a flat top, as if laid on an uneven surface. But I didn't put further thoughts into it, partly because - at most times - the MacBook sits on top of a snug layer of its case, Moshi, also when being used. The case apparently provides a 'pillow' that stabilize the MacBook's position on any surface. 

Last week...
I had a check and was alarmed by the actual condition of the MacBook: the rechargable battery is swollen! No wonder it couldn't sit still!
I've experienced a never-before incident, too. In the middle of one of my classes, when I was screening a video from my MacBook to my students, the computer suddenly shut off without warning. That was on Friday 28th. It happened again that day, I don't remember exactly when. Oh, and its cooling fan had been making a scary loud noise. I was worried since I would have to bring this MacBook to Bali for a presentation.

Wednesday Dec 3rd...

The MacBook survived Bali, thank goodness. Sybrand had been doing some research on the Internet about the symptoms and found out that my MacBook is among the batch that was installed with malfunctioning rechargeable battery, and is entitled to have a battery exchange for free (see here: MacBook battery update). The Mac site pointed to an authorized Mac retailer in Bandung: ZOOM at Paris van Java, Sukajadi. So there we went that day...

Inside the service room, I showed the swollen battery.
They said it should be replaced.
We said we could have a new battery for free, because this MacBook is included in the bad batch.
They said the battery is not in a bad enough condition to get a free replacement. It should be undetected by the computer and stuff. They said they have just the battery and that there's only one left. They said we should purchase the battery, paid for it first before they could install it.
We brought no written statement from the Apple site about the Battery Exchange Program, and therefore had no argument. (They are the authorized retailer, they should know, we thought)
We purchased a new battery *ka-tching!* and had them install the new one.
We left the swollen battery at the shop and went out doubtfully.

Thursday Dec 4th...
I had a full teaching day. At home, Sybrand called the Apple Support Contact Center for Indonesia. He spent 30 full minutes on the phone, mostly being directed to relevant people and finally got the right person to talk to (with a thick Indian accent, he said).
So, yes, we are elligible for a free battery replacement.

Friday Dec 5th...
Back to ZOOM. We were told to wait because the technician just went out for his lunch break (it was about 15.00). They still kept the swollen battery, though. The waiting lasted about 20 minutes, then we talked.
We brought a print of this page, which states clearly that a visibly deformed battery is among the symptoms that qualifies for a free replacement.
They said it wasn't clear that we wanted the Battery Exchange Program.
They said they will look further into it, checking and calling headquarters and so on. We are to wait for about two weeks from that day.
We left with the impression that they would actually do something. Apple has to keep up its reputation, doesn't it. See if we'll really get a refund for our purchase the other day.

Saturday Dec 6th...
A personnel from ZOOM called to check my MacBook's Serial Number. So something is being done after all.

In the meantime, I have this new battery running and all, and the fan doesn't make loud noises anymore. Yaay!

Wednesday, December 3, 2008

awas jijay :D

Sebenernya udah kepikiran sejak pergi ke luar kota sendiri (tanpa bawa Syb dan anak-anak), "Kalo sisir ini aku bawa, keluargaku gimana mau nyisir rambut ya?". Serius, ini sisir utama dan (nyaris) satu-satunya di rumah! Sisir ini udah tua banget, sudah jadi hak milik sejak SMA, berarti sejak sekitar tahun 1988(!). Dan sampe sekarang nggak tau juga kenapa nggak pernah beli sisir baru lagi sejak itu. (Siap-siap denger Chica teriak "Titaaa beli sisir sanaaa!" dan TeNiek komentar, "Njelehi!")

Sisir itu bukan barang sehari-hari yang paling tua. Ini ada pensil mekanik yang umurnya juga mendekati si sisir, didapat sekitar tahun 1990. Waktu itu udah kelas 3 SMA, pensil mekanikku dipinjem temen, terus ilang. Rada sebel juga, sebab pensil mekanik yang ilang itu oleh-oleh dari temennya ibu, dari luar negri. Temenku itu ngegantiin sih, tapi pake pensil keren ini. Nggak jadi marah deh, hehe (makasih ya Don! :D). Sampe sekarang pensil ini masih sering dipakai, meskipun sudah agak rusak (nggak bisa di-shake lagi, harus diceklik-ceklik biasa).

Ada lagi nih: aslinya sih penghapus karet biasa, merk BOXY. Bungkus kertasnya tentu saja sudah rompal robek nggak karuan, jadi tinggal isinya. Karena dulu rasanya keren banget, sampe rasanya sayang mau dipakai, jadinya awet banget. Jarang ngapus. Usianya, kalo nggak salah sejak SMP deh (sekitar 1985an.. jaman Duran Duran masih berjaya! *penting*)

Ayooo keluarin barang-barang wasiatnyaaa...


+ Katanya banyak deadline, kok malah posting ginian sih?
- Kayak nggatau aja...

Thursday, November 27, 2008

[klipping] "Curhat" dan Sketsa Kehidupan Tita Larasati

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/28/01203044/curhat.dan.sketsa.kehidupan.tita.larasati
KOMPAS, Jumat 28 November 2008

FRANS SARTONO

”Curhat /choor-hat/ singkatan dari curahan hati.” Begitu Tita Larasati memberi catatan pada kata pengantar karyanya, Curhat Tita. Ini adalah catatan harian grafis yang berbentuk serupa komik . Curhat, dan catatan kehidupan dalam bentuk sketsa itu menjadi komik alternatif yang mengajak pembaca untuk melihat dunia nyata secara lebih dekat.

Tita Larasati (36) adalah ibu dengan dua anak bernama Dhanu (7) dan Lindri (5). Setiap pagi, doktor lulusan Universitas Teknologi Delft, Belanda, 2007, itu mengantar anak-anaknya ke sekolah menggunakan angkot, alias angkutan kota. Setelah itu, ia mengayuh sepeda ke tempatnya mengajar di Jurusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung (ITB).

Dari rumahnya di kawasan Kanayakan, Dago, Bandung, Jawa Barat, Tita mula-mula harus menuntun sepeda karena jalan di kampung menanjak tajam. Selepas itu, ia tak perlu mengayuh karena jalan menurun terus menuju Kampus ITB di Taman Sari. Tita akan melesat di tengah jalanan Bandung yang penuh mobil angkot atau angkutan kota serta sepeda motor. Ia akan melewati penjaja serabi, nasi kuning, hingga bubur ayam di sekitar Simpang Dago.

Setelah dari kampus, ia harus bekerja keras mengayuh sepeda pulang ke rumah yang menanjak terus. Ketika ia sedang terengah- tengah mengayuh itu, sering terdengar sapaan ramah dari orang di sepanjang jalan. Enggak capek neng!” Atau juga godaan yang agak iseng, seperti ”Eeeh… awas itu rodanya muter!”

”Dari hari ke hari segala teriakan seperti itu terdengar,” begitu bernama lengkap Dwinita Larasati itu mencatat ”ritual” paginya dalam Curhat Tita, sebuah buku harian grafis atau graphic diary terbitan CV Curhat Anak Bangsa, Bandung, Maret 2008.

Bentuk catatan ini bisa disebut sebagai komik, tanpa alur cerita. Buku itu berisi catatan kehidupan sehari-hari Tita dalam sketsa. Ia menggambarnya dengan pena Pilot Gel –I warna hitam. Cetakan pertama sebanyak 3.000 eksemplar kini tinggal tersisa ratusan buku. Pekan ini di Bandung, Tita akan meluncurkan lanjutan diary grafisnya berjudul Curhat Tita Back in Bandung.

Judul itu merujuk pada keberadaan kembali Tita di Kota Bandung setelah sepuluh tahun lebih tinggal di Belanda. Tita kembali ke ITB, almamaternya, untuk mengajar di jurusan Desain Produksi. Perempuan kelahiran Jakarta tahun 1972 itu kuliah di jurusan Desain Produksi, 1991. Tahun 1998 ia ke Belanda untuk melanjutkan studi program S-2 dan S-3 hingga mendapat gelar doktor di Universitas Teknologi Delft tahun 2007. Di Amsterdam, dia menikah dengan Sybrand Zijlstra yang berdarah Belanda. Tahun 2007 itu juga keluarga Tita boyongan ke Bandung berikut dua anak mereka.

Keseharian keluarga itu menjadi catatan menarik dalam Curhat Tita Back in Bandung. Tercatat dalam buku itu antara lain tentang anak-anaknya yang beradaptasi di negeri tropis. Misalnya tentang keheranan Dhanu tentang kulitnya yang tak juga berubah sawo matang setelah sebulan tinggal di Indonesia. Atau juga pengalaman naik angkot yang bagi anak-anak itu merupakan petualangan mengasyikkan. Sebab untuk pertama kali dalam hidup, mereka naik mobil dengan pintu terbuka.

Kartunis Dwi Koendoro mencatat garis skets dan teks Tita sebagai ceria, nakal, dan menggelikan. ”Kita diajak naik angkot, berlomba naik sepeda bersama keluarganya…,” kata Dwi Koen di sampul belakang Curhat Tita Back in Bandung.

Tidak untuk Pasar

Catatan harian dalam bentuk sketsa itu dibuat Tita layaknya orang mengisi buku harian. Hanya saja, Tita membuatnya tidak dalam tulisan, tetapi sketsa. Catatan bergambar itu dibuat Tita secara spontan, langsung, tanpa rancangan dengan pensil terlebih dulu. Di dalamnya tercatat proses persalinan dari menit ke menit, termasuk detik-detik kontraksi. Atau juga ketika Tita jijik saat kejatuhan cicak. Catatan harian itulah yang menjadi materi Curhat Tita dan buku lanjutannya.

”Isinya asli, plek (sama persis), dengan diary yang saya buat. Kalau ada tulisan salah, ya dibiarkan salah, tidak dihapus,” kata Tita sambil menunjukkan sembilan buku harian berisi ratusan halaman dengan ribuan coretan. Ia juga menunjukkan ratusan kertas ukuran A 4 yang berisi penuh sketsa.

”Jadi, saya membuat ini tidak untuk menyenangkan pasar. Ketika saya menggambarkan semua itu, saya hanya mencatatkan apa yang saya alami setiap hari. Ini seperti ketika orang lain membuat puisi atau lagu,” kata Tita di rumahnya yang teduh yang dirancang oleh arsitek yang adalah ayahnya sendiri.

Ayah dan ibu Tita adalah arsitek sehingga sejak kecil ia dekat dengan dunia corat-coret. Dia juga tumbuh dengan komik seperti Asterix, Tintin, Trigan, plus komik dari Eppo, majalah komik dari Belanda. Ia juga mengenal komik wayang jenis Mahabarata dari RA Kosasih yang merupakan bacaan eyang atau kakeknya.

Tahun 1995, ketika mendapat kesempatan magang selama sepuluh bulan di sebuah biro desain di Jerman, Tita suka berkirim catatan harian dalam bentuk sketsa ke orangtuanya di Jakarta. Sketsa itu ia kirim lewat faksimile. Oleh ibunya, lembar faks itu difotokopi, diperbanyak, dan disebar ke saudara-saudara Tita. Itulah cikal bakal dari catatan harian grafis yang kini menjadi buku itu. Ratusan halaman sketsa itu telah terkumpul dalam delapan buku. Sebagian diseleksi dan terkumpul dalam Curhat Tita dan buku lanjutannya.

Tahun 2007, sekembali dari Belanda, Tita menggelar pameran tunggal ”Curhat Tita” di Spaces59, Bandung. Dari pameran itulah kemudian tergagas untuk mewujudkan buku Curhat Tita. Kebetulan ada penerbit yang kreatif, jeli, dan percaya diri untuk menerbitkan curhat-nya Tita. Mereka ingin memberi pilihan lain kepada masyarakat, selain komik semacam manga, komik Jepang yang banyak beredar di toko buku itu. Atau juga komik ala Amerika.

”Kalau ada komik Indonesia di toko buku, itu justru komik lama yang tokohnya jagoan,” kata Tita menyebut komik era Ganes Th dengan tokoh para jagoan dari dunia persilatan.

Dari cetakan pertama yang 3.000 eksemplar itu, Tita dan penerbit bisa membaca bahwa catatan harian grafis Tita mendapat respons pasar. ”Dalam Curhat Tita Back in Bandung, pasarnya sudah mulai jelas dan kebaca siapa pembacanya. Mereka yang tak suka atau tak bisa baca komik sudah mulai nyambung,” kata Tita yang juga membaca respons pasar itu lewat situs Internet Tita di www.esduren.multiply.com. ”Teman-teman ingin ada nuansa baru di komik Indonesia,” kata Tita.

Suasana baru itu datang dari catatan harian tentang kehidupan sehari-hari seorang ibu dengan dua anak kecil yang setiap hari mengantar anak-anaknya ke sekolah naik angkot di Bandung.

Pengamat komik, Yasraf Amir Piliang, mencatat Curhat Tita sebagai karya yang mengajak pembaca untuk ”...merebut kembali dunia harian yang nyata, yang nyaris tergilas oleh hiruk pikuk dunia urban, nyinyir media massa, dan banalitas dunia hiburan…”.

Saturday, November 22, 2008

[klipping] Belajar dari Dora

Kompas 22 Nov 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/22/13095931/potret

Potret
Sabtu, 22 November 2008 | 13:09 WIB

 Tita Larasati
BELAJAR DARI DORA

Tita Larasati, seniman komik, membebaskan Lindri, anaknya yang berumur 5 tahun, menonton acara edutainment, Dora The Explorer, di televisi. Pasalnya, dari percakapan Dora, Lindri bisa belajar bahasa Inggris sambil berhibur diri. "Dia bisa menirukan kata-kata Dora dengan intonasi yang persis," kata Tita yang tengah menyiapkan peluncuran komiknya pekan depan.

"Jadi, saya setuju Lindri nonton Dora karena selain belajar bahasa Inggris, Dora juga mengajak anak kreatif belajar, menghitung, menggambar, atau lainnya," kata Tita, Jumat (21/11).

Kebetulan anak Tita juga mendapat pelajaran bahasa Inggris di Taman Kanak-kanak Cendekia, Cigadung. Maka, Lindri bisa belajar dari berbagai sumber. "Kalau lagi main rumah-rumahan di rumah, bahasanya suka campur-campur, bahasa Indonesia dan Inggris. Tapi, dia tidak bisa bahasa Sunda karena tidak diajarkan di sekolah, he-he-he..." (XAR)


Friday, November 21, 2008

[launching] Curhat Tita: Back in Bandung

Start:     Nov 28, '08 7:00p
End:     Nov 28, '08 9:00p
Location:     Bandung
Curhat Tita: Back in Bandung akan diluncurkan pada:
Hari Jumat, 28 November 2008
Pk. 19.00-21.00
Di Warung Pasta, Jl. Ganesha 3, Bandung
Bersama Andi Yudha, Hikmat Darmawan, dan PidiBaiq!

Pengunjung akan mendapatkan kenang-kenangan kartupos eksklusif dan bisa memilih-milih merchandise unik yang dibuat khusus hanya untuk acara peluncuran ini. Sampai ketemu di sana yaa!


p.s. Please pay for your own food & drink

Curhat Tita: Back in Bandung
Graphic Diary
112 pages, paperback
Contents: Flashback, Indonesia, Adopted Hometown (24HCD'07), Bike ITB, Bird ITB, Internet: a luxury, Roadkill, Sickweek, Jalansutra Hunt, etc.
Introduction text by Rieza Fitramuliawan, visualized by Sheila Rooswitha


Imagine having lived in a particular city for years, and then going away for a long time to live in a faraway place. One day, you come back and start living in that same city again, this time for good. How would you feel, and what would you expect? Changes. Reflections. New adventures. That is at least what I experienced upon returning to my adopted hometown Bandung, after having lived in Europe for more than ten years.
- Tita, September 2008

"Menyimak curhat orang kadang terasa membosankan. Tapi kalau yang curhat Tita Larasati rasanya selalu menyenangkan"
- Benny & Mice, kartunis

"Tita makes you feel as if you are sitting next to her on the couch, while she tells you the latest news about the family. Her drawings are warm, natural and unpretentious. You'll catch yourself smiling with recognition now and then. May this book be an inspiration of many!"
- Kees Kousemaker, founder Lambiek comics shop in Amsterdam (1968) and comics historian

Saturday, November 15, 2008

Little Mouse's Big Book of Fears

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Childrens Books
Author:Emily Gravett
Ini keren banget! Ceritanya sangat sederhana, tentang hal-hal yang ditakuti seekor tikus. Yang luar biasa adalah penampilan hal-hal yang menakutkan itu di tiap halamannya! Ada yang bolong, ada yang seperti terbakar, atau tepiannya tergunting-gunting. Ada yang ditempeli kartupos, atau peta yang bisa dibuka, atau guntingan koran yang terlipat! Buku ini benar-benar bisa dinikmati siapa pun, terutama yang suka berkhayal seperti saya ("Coba saya yang membuat buku ini..")

p.s. Beli semalem di Aksara Citos, semua buku anak-anak lagi dikorting 20% sampai besok (16 Nov)!

Wednesday, November 12, 2008

The Graveyard Book

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Childrens Books
Author:Neil Gaiman
**spoiler alert**

I wouldn't have thought that I could find this book much sooner than I expected! It was that one day return trip to East Java that did it: a glance at a shelf of Periplus at Surabaya airport, before boarding, made me squeal inwardly. That cover! With McKean illustrations! Paperback, too! *Snatch!* and the book was within my hold and got devoured (but not before I bragged to my sister, who was an earlier Gaiman fan). Having seen videos of Neil read the chapters himself brought a different sensation in my reading experience: I kept hearing Neil's voice and intonation when my eyes swept the words. Not that I mind. I enjoyed it, rather, having almost all characters animated by the author himself. ("Almost", because not all chapters are successfully loaded)

Now, about the book. The story is very captivating, turning upside-down our ideas about graveyard and its dwellers. Mind, this graveyard is physically unlike the ones we have in our common villages in Indonesia, although the composition of its inhabitants might be similar: spirits of the deceased, and creatures heard only in stories told from one generation to another. There is even a sacred ground, as well. This old graveyard makes you want to explore its contents and get to know its inhabitants, as long as Bod is with you and keeping you safe. (That's why, in a way, I'm a bit jealous of Scarlett!)

But really, imagine how intriguing it is to have your family story concealed by those unearthly creatures, who have adopted you as one of them. How cool it is to be able to do things that only their kinds can. How you can control Fear and even Terror. I like it that the story flows easily although old English phrases are thrown here and there, as the consequence of conversing with the graveyard's inhabitants (whose living periods are from centuries ago). I like the humor about how Bod's family is suspected of being "religious" by a teacher.

What I find a bit tedious is the part about how Bod handled the school's bullies, because he seems to be much wiser than his age. Almost unreal. But again, it could be how you end up, being raised with centuries-old manners and ethics. Bod is nice, never naughty, and very polite. Perhaps, indeed, it takes a (graveyard) village to raise a (perfect) child.

All in all, I've enjoyed the whole story. It is typically Gaiman, in a way that makes us see otherworldly existence as fellow 'humans' and see human beings as.. well, 'the others'.

The Graveyard Book
Neil Gaiman, 2008
Paperback, 320 pages
ISBN 0061712825 (isbn13: 9780061712821)

Saturday, November 8, 2008

My first education in "making comics"

"Why don't you join the workshop?", a colleague asked while bringing the news about the exhibition of Gerald Gorridge's work and his two-days workshop at CCF Bandung, a couple of weeks ago.
"I'd like to, but I won't be available in the second day", I answered regretfully.

I trusted another colleague to deliver names of two participants on behalf of our institution, then set my mind to other work. I no longer thought about this matter, until the day came. Attending the opening of the exhibition on Nov 6th, I asked that first colleague who helped organizing the event, "Has he come up with participants' names?". "Nope", was the answer. Then, again, "Just join the workshop, will you". I didn't reply, but was seriously thinking about it.

I lingered around the exhibition space, watching the artist being interviewed by journalists, meeting colleagues and friends, and people I've known only via Internet before. That was exciting - but I was excited for another thing, too: my publisher came and handed me my new, freshly-printed book!

I gathered around a display table, where Gerald's book, Les Fantomes de Hanoi (2006), was being displayed and explained by Gerald himself to a group of audience that surrounded the table. I've never seen this book before, and was fascinated by its water-color technique and free lines, cityscape and people's figures, despite my disability to understand what the story is all about (it's in French). I was moreover intrigued by his sketches and artworks that were displayed on the wall, which really makes me want to practice on my aquarell once again!
At one point, I pulled my books out of my bag and gave it to him as presents. He looked into them, flipped the pages and asked if I would join his workshop the next day. "But I won't be able to make it on the second day", I answered. "No matter", he replied, "Just come". Right, now my mind is made. How could I resist?!

Friday, Nov 7th, 2008. The workshop started at 14.30; I came on time only to see that I was the only person in the venue. It so happened that a heavy rain fell abruptly just before I reached CCF, which held back - even 'trapped' - some participants who were on their way. When they finally arrived, chairs had to be removed and tables were to be brought in and arranged in a line, where Gerald, an interpreter and workshop participants could be seated. "Here we go", I thought, "My first real training in making comics".

The session begun with a task for us to make a story in three short, precise sentences, based on our real life experiences. The first sentence should introduce ourselves, the main characters in our own stories. It should also provide information about the location, time settings and all necessary details about the atmosphere that would build the story. The second sentence is where a 'problem' occurs, while the third sentence should contain the solution that ends the story. "It should make five to seven pages of comics", he said, "But no more". We were given 15 minutes to write it down, then read it loud to him, then he would respond with remarks and criticism about how the story could be more interesting - especially when it is transformed into comics form. I like it how clear he could explain about possibilities and development of each of our stories, and how he could point out the weakness of the plot as well as its strength.

After we all had our turns (there were about 12 of us), we were asked to draw the main characters of our stories, in various expressions. Now I started, of course, with the "Tita" you've seen in my recent drawings. I was asked to include more facial expressions, more realistic (meaning, with nose and all :D), so I tried. I remember the first pages of my graphic diary, made during my apprenticeship in Germany, when I still had spotty cheeks, short hair, and a nose. I remember also my earliest drawings from my teenage years, of journeys to other islands, back when "Tita" looked more cartoony. Then, further back, when we had to draw our own faces for an art lesson in junior high school, when I had to look at my face in the mirror, while filling my paper (already pencil-lined thinly for proportions) with drawings of my eyes, nose and mouth. Right, let's blend them all this time! I could manage, surprisingly, considering how long ago it was that I allowed myself to try other drawing styles!

Saturday, Nov 8th, 2008. I made a return trip to Jakarta for a nephew's birthday, bringing Dhanu and Lindri. There's a change of plan due to Syb's condition (he had to cancel going to Jakarta with us): I had to cut our visit short. On one hand, it was a pity to rush our family gathering; on the other hand, I might have the chance to continue the workshop at CCF.
We departed from Jakarta at 14.30, reaching Bandung at about 17.00. I dropped off the kids at home and left again for CCF, arriving shortly before 18.00. I think I missed the first half of the session.

Everybody was seated around the table, the participants working on their storyboards and taking turns in showing their pages to Gerald to receive remarks and input. Based on my story from the day before, I quickly composed my storyboard - consisting five pages in total. This was also a rather new thing for me, for I am not used to drawing in boxes. But it was not impossible. My turn was among the last ones, for it was getting late.
His input to my storyboard was about building up the condition of the main character, gestures, and clearness of the story. I realized my story is a bit vague at the end and around the key element that makes the story important. A lot of improvement could be made, and I might - one day - complete those pages! (I'm telling you: it would involve lots of water-painting, photo references, and my sentiments and memories about Albert Cuyp marketplace in Amsterdam :D)

At the end of the session, Gerald gave an overview about producing the finished pages (transferring images from A4 to A3 sized paper, deciding tones, inking, etc.) and incorporating texts into drawings (mind the gap!). Then, since a question was raised towards the subject: about the procedure of comics publication in France. All in all, his explanation was very comprehensive, and it is evident that he has lots of experience in this, especially considering him being a lecturer specialized in comics art at the European School of Visual Arts in Angouleme, France (they offer a Master's Degree in comics!). I'm glad I got the chance to absorb a bit of his knowledge. Lots of thanks to CCF Bandung and the interpreters (Mb'Windie & Mb'Dina), to Manyala and Gerald for this experience!


Photo of Gerald, taken from detik.com:
Melihat Hantu dari Vietnam
More photos from detik.com: Pameran Komik di CCF
And a video, also from detik.com: Melihat Hantu dari Vietnam

Gerald's other activity during his visit in Indonesia: Workshop HAPPENING KOTA KOMIK in Yogyakarta
Gerald was also mentioned as one of the mentors in LINGUA COMICA program (London, 2007) - see also Paul Gravett's site about Lingua Comica -  so he must have met Aziza Noor, our colleague who was selected to represent Indonesia in that program.

Thursday, November 6, 2008

Curhat Tita: Back in Bandung

Curhat Tita: Back in Bandung
112 pages, paperback
Contents: Flashback, Indonesia, Adopted Hometown (24HCD'07), Bike ITB, Bird ITB, Internet: a luxury, Roadkill, Sickweek, Jalansutra Hunt, etc.

Imagine having lived in
a particular city for years, and then going away for a long time to live in a faraway place. One day, you come back and start living in that same city again, this time for good. How would you feel, and what would you expect? Changes. Reflections. New adventures. That is at least what I experienced upon returning to my adopted hometown Bandung, after having lived in Europe for more than ten years.
- Tita, September 2008

"Menyimak curhat orang kadang terasa membosankan. Tapi kalau yang curhat Tita Larasati rasanya selalu menyenangkan"
-
Benny & Mice, kartunis

"Tita makes you feel as if you are sitting next to her on the couch, while she tells you the latest news about the family. Her drawings are warm, natural and unpretentious. You'll catch yourself smiling with recognition now and then. May this book be an inspiration of many!"
-
Kees Kousemaker, founder Lambiek comics shop in Amsterdam (1968) and comics historian


Introduction text by Rieza Fitramuliawan, visualized by Sheila Rooswitha









Purchasing online:

1. Please send a private message to esduren at Multiply, containing your name and postal address. There is a bonus of one 'pin' magnet for each book (see below), as long as supply lasts.
2. Book: IDR 30,000,-
Postal fee IDR 5,000,- (to all over Java, except to Surabaya: IDR 6,000,-)
3. Transfer the total amount to one of these accounts:
 
130-00-0526220-2
Bank Mandiri
cab. Asia Afrika Utara, Bandung
a.n. Rony amdani
Jl. Eceng 2, Bandung

4381370997 BCA
KCP Burangrang, Bandung
a.n Roni Amdani
0028649704
BNI 
cab. ITB Bandung
SWIFT code: BNINI DJAITB
a.n. Dwinita Larasati
Jl. Cihaur 24, Bandung 40135

4. Send the proof of payment
by fax to (022) 7319981 attn. Rony Amdani OR by email to titalarasati@gmail.com 


Saturday, October 18, 2008

Vote for Magno!

Magno radio is nominated for People's Design Award by Cooper-Hewitt [National Design Awards]. I'd encourage anyone to vote for it not simply because it is the only product from Indonesia that manages to enter this nomination, ever. And not merely due to my familiarity to the product and the designer. But beyond all these, like I said in my comment at the voting site, it is (design) sustainability at the term's most noble meanings!

How come?

It is made of waste woods (that were sold as firewood) and local woods, therefore reducing transportation energy and pollution significantly. For each radio sold, some profit percentages are spent to buy seeds and to maintain tree nurseries.    

It provides income for local communities, especially jobless young people of productive age. The workshop guarantee a person to become skillful within one week, eventhough he or she has no prior traning in wood-working.

It gives pride to local communities, who are aware that their work has become globally known and has gained positive responses and world recognition.

The radio proofs that 'green' design can appeal for high-end market without selling the term 'green' cheaply. It is a product that makes people buy not because they can feel good about themselves for purchasing for a 'good cause', but because they really would want such product to represent themselves and their lifestyles.

It is a winner itself in its simplicity and elegance.

Comparison of values between firewood and a Magno wooden product
(source: Singgih's presentation material, 2008)


Are you with me?

Just click Vote Now here http://peoplesdesignaward.cooperhewitt.org/2008/nominee/1734 (you have to register first, but it doesn't take long). Voting ends soon: October 21st, 2008.
You can also view other nominated products here: http://peoplesdesignaward.cooperhewitt.org/2008/browse/all/0
Here is the new Magno website: http://www.magno-design.com/ (it is developed by a local web-designer - as Mas Singgih is committed to local resources as much as possible - so feel free to send in your input for improvement)

Congratulations to Mas Singgih and Magno team! Their work has proved to be a substantial answer to our current problems: unemployment, forest depletion, urbanization, and many more. Let's hope that many more people share their visions!

Friday, October 17, 2008

[24HCD 2008] See Tita's and Motulz' stories here!




This year, I'm participating from home. This year, I've succeeded to drag Motulz into this fun mess. This year, you can view our drawings here. Pidi and Thoriq, are you joining us? ;)

Motulz' drawings are up first, because he starts way earlier than me. Enjoy.

Again: 24 Hour Comics Day



The International 24 Hour Comics Day 2008 falls on October 18th, which is tomorrow. Bandung has two venues hosting this event, but I'm going to do mine at home. Scanning and uploading every time I produce a new page.

Why? Because:
I will start early in the morning (06:00) so I can finish also at 06:00 the next day. That 'next day' (Oct 19th) is Lindri's 5th birthday so I'd rather have my morning spent on our birthday ritual: blowing candles on a cake for breakfast, then unwrapping presents!

I planned to go visit those venues during the day. But I abort the plan. Simply because it is a waste of time, waiting for and sitting in angkots to go to those places. I would go out, though, to buy Lindri's birthday cake and that's it. I'll most probably also post entries (aside from pages) during the day.

What else shall I say. Please forgive if I don't quickly respond to your SMS or GTalk or YM etc. tomorrow. And for participants all over the world: wish you a fun comics marathon! :)

24 Hour Comics site: http://www.24hourcomicsday.com/
My journal entry from 2007: Another 24 Pages within 24 Hours and the result: My Adopted Hometown
My journal entry from 2006: Reminiscing the 24 Hour Marathon and the result: Transition

**edit to add**
Watch this space because I will upload updates not only from my drawings but also the ones from Motulz! He'll start at midnight tonight, six hours earlier than my starting hour.

Tuesday, October 14, 2008

[Update] Sedang Diproses

Dear teman-teman, terima kasih banyak atas perhatiannya atas kasus plagiasi gambar saya. Hari ini sudah terjadi pertemuan dengan pihak RadNet, dan kasus ini sedang ditindak-lanjuti sesuai rencana. Untuk sementara, sejauh ini yang dapat saya beritahukan kepada teman-teman semua, karena proses sedang berlangsung. Kolom komentar di entry terdahulu untuk sementara ini juga saya set ke disabled, sampai kasus terselesaikan dengan tuntas. Mohon dimaklumi :)
 
Sekali lagi terima kasih atas dukungannya, yang benar-benar sangat membesarkan hati. Mohon doanya agar semuanya berlangsung lancar dan hasilnya berakhir baik bagi semua pihak.

- Tita

Saturday, October 11, 2008

[klipping] Generasi Komik Semau Gue

Kompas 11 Oktober 2008

Generasi Komik Semau Gue
Sabtu, 11 Oktober 2008 | 11:15 WIB

Oleh Herlambang Jaluardi

"Komik saya, ya terserah saya." Kira-kira begitulah ujaran yang pantas disematkan kepada komunitas pembuat komik di Bandung saat ini. Pakem baku komik dibenturkan dengan semangat "semau gue" itu.

Garis kaku panel untuk membatasi suatu adegan tidak lagi menjadi suatu keharusan. Susunan adegan dibiarkan berserak di setiap lembar. Gaya ini tampak di dua komik karya Tita Larasati: Curhat Tita dan Transition. Komiknya tidak tebal sampai ratusan halaman. Gambarnya pun masih menyisakan arsiran-arsiran bolpoin dan tidak diwarnai, seperti sketsa yang belum selesai. Hanya sampulnya yang penuh warna.

Cerita kedua komik ini sederhana dan tidak bermaksud melucu ataupun menggurui. Benar-benar hanya menceritakan kehidupan sehari-hari Tita dan keluarga serta lingkungan tempat mereka tinggal.

Kalaupun ternyata ada kegetiran dan kelucuan, memang kedua unsur itu lazim ada di setiap fragmen hidup, termasuk Tita. Karena itu, ada tulisan "graphic diary" di setiap sampul komik yang diterbitkan CV Curhat Anak Bangsa tahun 2008 ini.

Dalam kata pengantar komik Curhat Tita, Tita menuliskan, pada mulanya ia menjadikan gambar sebagai "bentuk laporan" kegiatan sehari-hari di sebuah keluarga saat magang di Jerman tahun 1995. Ia mengirim gambar itu kepada orangtua di Jakarta melalui faksimile. Lembaran faksimile ini kemudian difotokopi untuk dibagikan kepada sanak saudara.

Kebiasaan berkirim gambar ini terus berlangsung hingga ia beralih menggunakan buku sketsa. Hal ini membuat pengarsipan gambarnya lebih terjamin. Gambar-gambar itulah yang terangkum di Curhat Tita.

Ayam goreng kampung

Kejadian yang ditemui sehari-hari juga menjadi sumber ide bagi Erick Sulaiman. Sebagian kecil karyanya terangkum dalam Perpustakaan Sketsa: Kumpulan Komik Strip Gila terbitan PT Kumata Indonesia (Desember, 2007).

Pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Nasional ini menjadikan hal biasa menjadi lebih komikal. Di jalan-jalan Kota Bandung, Erick kerap melihat menu makanan ayam goreng kampung. Frasa itu memberi rangsangan untuk membayangkan seekor ayam yang sedang menggoreng sebuah perkampungan. Itulah yang ia gambar menjadi komik strip.

Naif dan bermuatan lokal seakan menjadi ciri karyanya. Salah satu komik stripnya menceritakan keluarga Bodo (keluarga kelinci) sedang berwisata di Lembang. Dalam perjalanan mereka berhenti mengisi perut. Setelah menemukan warung, mereka makan dengan lahap, dan bahkan akan menambah. Niat dibatalkan setelah mereka tahu bahwa yang mereka makan adalah daging kelinci. Era internet

Komikus bernama pena Ivy Black mengambil tema keseharian yang lebih ekstrem daripada dua komikus tadi. Ia menerbitkan komik tentang hubungan cinta sesama laki-laki dengan judul Sunset Glow.

"Seru aja melihat hubungan sesama laki-laki itu," kata perempuan kelahiran Bandung ini. Ivy melabeli komiknya dengan batasan umur 18 tahun ke atas. Ia mengaku terinspirasi dari film kartun tentang homoseksual yang banyak beredar di internet. Internet pula yang dipilih Ivy sebagai salah satu media berpromosi.

"Aku enggak mungkin menjual komik terang-terangan. Lewat internet dan jaringannya, orang bisa menghubungi kalau ingin mendapatkan komik aku," kata Ivy yang punya beberapa alamat situs web ini.

Dunia maya

Dunia maya juga menjadi ruang bagi Tita dan Erick memublikasikan karya mereka dengan segera. Halaman web Tita menampilkan beberapa karyanya yang belum dipublikasikan dan mempromosikan dua komik yang sudah terbit. Begitu juga dengan web milik Erick.

Bahkan, komik strip yang sudah dicetak awalnya sudah ia pajang di web-nya. Setelah versi cetaknya terbit, ia menghapus komik itu. Kini, beberapa komik baru pun sudah ia unggah dan bisa dibaca pengunjung web. "Nantinya, komik baru itu juga akan dihapus kalau sudah dicetak," kata Erick.

Memajang karya di internet bagi Erick adalah upaya "memasarkan" namanya sebagai komikus. Pembajakan karya yang rawan terjadi di jagat maya pun tidak ia hiraukan. "Semakin banyak orang men-download komik saya dari internet, semakin banyak orang yang mengakui karya saya," katanya.

Begitulah, jagat per-komik-an di Bandung terus bergulir dengan menerbitkan "komik-komik" baru di setiap generasi.


 

Friday, October 10, 2008

Ketika Tita = "Joe" dan Motulz = "Bro"

Tadi siang, di sebuah kantor dinas di Bandung:

H: Saya lihat gambar kamu di Pikiran Rakyat kemaren. Bagus, saya klipping.
T: Hehe.. Terima kasih, Bu
H: Terus, dapet proyek juga ya dari RadNet?
T (bingung): Heu? Enggak kok..
H: Ada gambarnya, kamu banget, pake baju kotak2 gitu, di kalender mereka. Ada di kamar anak2, sebentar saya ambilkan...
(kembali dari ruang staff, membawa kalender meja)
H: Ini kan gambar kamu. Bukan?
T (kaget): Eh iyaa! Tapi saya nggak pernah nggambar ini untuk mereka! Ini saya buat waktu saya iseng2 bikin komik Memaki Motul Karena!

Terus kalendernya saya bawa pulang, buat bukti. Enaknya diapain ya? Kirim tagihan aja gitu ke RadNet? :P
Buat yang ngambil gambar saya, mewarnai dan mengganti2nya lalu menggunakannya sebagai bahan visual tercetak, tanpa ijin: coba belajar etika lagi deh. 

p.s. Kalau mau zoom gambar, ada di sini











































Ini email saya ke RadNet:

Pemakaian gambar pribadi tanpa ijin, untuk materi promosi RadNet

Kepada Yth. Pimpinan RadNet,

Saya adalah seorang dosen di Bandung yang memiliki situs pribadi (menggunakan Multiply dengan identitas esduren) yang saya gunakan untuk mengunggah catatan-catatan pribadi, dalam bentuk teks maupun gambar, untuk berbagi cerita atau pemikiran dengan teman-teman dan keluarga. Sebagaimana umumnya catatan-catatan pribadi, tiap dokumen yang saya unggah tersebut bersifat personal dan memiliki makna tersendiri bagi pembuatnya. Sehingga saya terkejut ketika pada hari ini menemukan beberapa catatan-gambar saya pada sebuah kalender meja tahun 2008 yang dibuat oleh RadNet (beberapa gambar dari kalender tersebut telah saya pindai dan unggah di http://esduren.multiply.com/photos/album/122/Ketika_Tita_Joe_dan_Motulz_Bro).

Gambar-gambar tersebut telah diberi warna dan diganti beberapa detailnya, namun siapa pun yang mengenal saya akan segera dapat mengidentifikasikannya sebagai gambar-gambar saya - meskipun diberi teks sehingga seolah-olah bercerita mengenai pengalaman pelanggan RadNet.

Saya yakin, gambar-gambar tersebut pasti telah diambil dari Multiply saya (alamat: http://esduren.multiply.com/photos/album/73/memaki_motul_karena), karena hanya di situs itulah gambar-gambar tersebut saya unggah. Saya sangat menyesalkan hal diubahnya gambar-gambar tersebut dan dicetak di sebuah produk yang mengatas-namakan sebuah perusahaan yang telah cukup ternama, tanpa sepengetahuan dan tanpa seijin saya, pembuat dan pemilik hak cipta gambar-gambar tersebut.

Sebagai sebuah perusahaan penyedia layanan Internet, tentunya RadNet mengetahui dasar etika menggunakan sumber informasi dan gambar dari Internet. RadNet seharusnya dapat menghargai hasil karya seseorang dan tidak memandang remeh hak pribadi seseorang berkenaan dengan karyanya yang diunggah di situs pribadinya.

Saya tunggu tanggapan dari RadNet.


Hormat saya,



Dr. Dwinita Larasati, MA
KK Manusia & Produk Industri
Program Studi Desain Produk
Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10
Bandung 40135

T 022 2514832
F 022 2534162
E titalarasati@gmail.com

Wednesday, October 8, 2008

24 Hour Comis Day 2008

Start:     Oct 18, '08 10:00a
End:     Oct 19, '08 10:00a
Location:     bandung, jakarta, surabaya, semarang, medan


Acara 24 Hour Comics Day tahun ini jatuh pada tgl 18 Oktober. Di Indonesia sudah terdaftar beberapa venue penyelenggara, detailnya bisa dilihat di sini: http://www.24hourcomicsday.com/sites3.html. Saya rencana ikutan lagi tahun ini, meskipun mungkin nggak ngetem di salah satu venue di Bandung. Mampir2 aja. Abis besoknya (19 Okt) ultah Lindri sih, jadi update, scan dan upload dari rumah aja deh sptnya :D

Tuesday, October 7, 2008

Pameran Komik "Hantu-hantu dari Hanoi"

Start:     Nov 7, '08 10:00a
End:     Nov 8, '08 5:00p
Location:     Auditorium CCF Bandung
Pameran Komik « Hantu-hantu dari Hanoi »
Jumat, 7 dan Sabtu, 8 November 10.00 – 17.00
Pembukaan : Kamis, 6 November – 19.00

Workshop : Jumat, 7 dan Sabtu, 8 November, Pkl.: 14.30 – 19.30
Auditorium CCF Bandung

Gérald Gorridge mengawali karirnya dengan membuat komik yang dimuat dalam majalah Métal Hurlant. Kemudian ia menjadi guru di École Européenne Supérieure de l’image, Sekolah Tinggi Gambar Eropa, di Kota Angoulême. Ia juga bekerja untuk penerbit Jerman Alfa Comic Verlag. Perjalanan-perjalanan tersebut menempati sebagian besar dari kehidupannya.

Karena sangat menyukai dunia Timur Jauh, ia mengelola penerbitan karya He Youzhi, ahli gambar terkenal dari Shanghai dalam versi Prancis. Untuk festival gambar ilustrasi pertama di Beijing tahun 2005, ia mengadakan pameran keliling « Pelajaran tentang gambar-gambar yang berhubungan dan asap-asap yang berbicara ».

Sejak 1999, ia memberikan master classe komik di Hanoi, Vietnam, dengan bermacam-macam rekanan. Ini berbuahkan penerbitan karya kolektif Ké Moï, komik baru Vietnam, album komik pertama dalam bahasa Viêt. Beberapa kali kedatangannya ke ibu kota Vietnam ini telah memberinya materi untuk albumnya yang berjudul « Les Fantômes de Hanoï , Hantu-hantu Hanoi, yang diterbitkan tahun 2006.



Acara ini terselengara atas kerjasama publikasi dengan Komunitas Cergam Bandung Manyala.



www.lire-en-fete.culturel.fr


Centre Culturel Français / Pusat Kebudayaan Prancis / CCF Bandung
Jl. Purnawarman No: 32
Bandung 40117
INDONESIA

T : 00 62 22 421 24 17
F : 00 62 22 420 78 77
www.ccfbandung.org

Pameran Komik "Seabad komik berbahasa Prancis"

Start:     Oct 14, '08 10:00a
End:     Oct 31, '08 5:00p
Location:     Galerie Esp’Art – CCF Bandung, Jl. Purnawarman 32
Pameran terdiri dari 35 plat asli yang diambil dari koleksi asli « Cité internationale de la bande dessinée et de l’image », dengan menelusuri tahap-tahap sejarah suatu seni yang tersohor keunikannya di Prancis, di Eropa dan mungkin di seluruh dunia. Dari Caran d’Ache, pakar yang begitu modern dalam bidang cerita bisu hingga Nicolas de Crécy, pakar teknik ilustrasi yang memukau. lebih dari seabad kreasi Prancis – dan Belgia – yang dipamerkan di sini.

Monday, October 6, 2008

Cendekia Leadership School

http://cendekialeadershipschool.blogspot.com/
Link to Dhanu and Lindri's school blog. It has been around for awhile and is becoming more active and updated since a new headmaster is appointed to his post (it was vacant for some time). There are links to parents' and teachers' blogs, as well.

Sunday, October 5, 2008

[review] Pasta de Waraku, Jakarta

Kumpul-kumpul keluarga dari pagi hingga sore di hari pertama Lebaran rupanya tidak menyurutkan semangat saya dan beberapa saudara untuk bertemu lagi pada malam harinya. Kali ini tujuannya adalah untuk mencoba makanan di Pasta de Waraku, Grand Indonesia. Para sepupu yang beberapa kali melewati tempat makan ini sudah lama tertarik mencoba, karena melihat display model hidangannya pada dinding, yang memang sangat membangkitkan selera. Kami (total sebelas orang, termasuk anak-anak) harus menunggu selama satu jam untuk mendapatkan tempat duduk. Tapi satu jam ini sepertinya tidak menjadi soal untuk anak-anak, yang melewatkannya dengan bermain di berbagai fasilitas pada playground di lantai yang sama.

Apa yang istimewa dari Pasta de Waraku ini? Membaca dari lembaran menunya, langsung terdapat kesan fusion antara Italia dan Jepang. Saus pastanya (“Wafu”?) dinyatakan terbuat dari bahan dasar ikan bonito, pada foto (dan model makanan) terlihat bahwa tiap porsi pasta dan pizza-nya ditaburi irisan nori, dan makanan penutupnya pun menyajikan pilihan es krim dengan rasa green tea.

Akhirnya kami mendapatkan giliran masuk pada sekitar pk. 20.00. Sayangnya saat itu pizza sudah habis, jadi tidak bisa dipesan. Saya memesan seporsi Wafu Bacon and Eggplant (48K) dengan pilihan pasta jenis fettuccine (default-nya adalah spaghetti), adik saya memesan Wafu Plum and Basil (58K). Pesanan2 lain adalah Corn Soup (23K), Waraku Salad (28K), dan porsi-porsi pasta dalam berbagai jenis: Wafu Eel and Egg (58K), Wafu Ika Tako Mentai (68K), Carbonara Waraku (58K), Cream Salmon Spinach (58K), Carbonara Oyster Bacon (68K), dan Tomato Seafood (68K).

Ketika pesanan mulai berdatangan, meja langsung terlihat sibuk. Pertama, tentu saja ada kegiatan memotret tiap piring dan isinya. Kedua, sebelum tiba ke pemesan, pasti piring itu keliling dulu untuk diicipi oleh semuanya. Ketiga, condiments ikut berseliweran ketika si pemilik piring ingin menambahkan lada hitam (gerus sendiri), bubuk cabai atau bubuk parmesan.
Wafu dengan saus plum dan basil pesanan adik saya sama sekali tidak mengecewakan.

Sekilas, saus plum itu mirip segumpal selai kental, yang kalau diratakan ke sekujur spaghetti meninggalkan semburat merah di tengah-tengah hijaunya saus basil yang lebih dominan. Taburan nori yang ikut teraduk dan parmesan memeriahkan warna hidangan ini. Ketika mengicipi, rasa curiga saya bahwa bakal ada kesan anyir ikan tidak terbukti. Pastanya rasanya bahkan lebih ‘ringan’ dari pasta Italia, apalagi dengan adanya senggolan saus plum yang asam-manis dan saus basil yang tidak seberat pesto, meskipun rasanya mirip.
Wafu Bacon and Eggplant pesanan saya tidak kalah memuaskan dalam hal rasa. Tekstur dan rasa pastanya mirip, hanya berbeda bentuk saja. Kadar crunchiness pada beef bacon pas rasanya, porsinya pun cukup untuk mengimbangi rasa lembut dan manisnya irisan grilled eggplant yang timbul-tenggelam di tumpukan pasta. Taburan nori yang royal sekali lagi membedakan sensasi pasta yang ini dengan versi ‘asli’nya.
Pesanan-pesanan lain pun berhasil mencetak kesan positif dari para penikmatnya. Poached egg sebagai topping Carbonara Oyster Bacon yang runny, irisan salmon yang segar pada Cream Salmon Spinach, belut bakar yang gurih pada Wafu Eel and Egg, dan seterusnya. Hanya saja, sepertinya porsinya termasuk ‘sopan’ untuk ukuran kami, sehingga kami pun bertekad untuk melanjutkan ke tingkat dessert.

Saya dan adik berbagi Maccha Parfait (33K), sementara yang lain memesan Fruit Parfait (28K), Oreo Banana Parfait (28K), Petit Ice Cream (35K), Maccha Monaka (20K) dan Vanilla Monaka (20K). Petit Ice Cream adalah lima macam es krim berukuran mochi bite-size, Maccha dan Vanilla Monaka masing-masing adalah satu scoop es krim rasa green tea dan vanilla yang ditangkup wafer bundar, membentuk ‘ice cream burger’. Oreo Banana Parfait adalah es krim vanilla yang tercampur hancuran Oreo dan selingan irisan pisang. Mirip dengan Fruit Parfait, yang tentunya didominasi oleh irisan buah segar. Maccha Parfait tersusun dari cereal pada dasar gelas, es krim vanilla dan green tea, dengan topping wafer, irisan strawberry, red bean paste dan rice dumpling. Pas banget, semua rasa dari hidangan utama hingga dessert menyatu dengan akur, diselingi dengan ocha dingin yang bisa terus di-refill.

Secara keseluruhan, rasanya memuaskan, cocok dengan selera kami. Kualitas makanan dan pelayanannya sangat baik. Namun soal harga, memang a bit on the expensive side. Kami bersebelas, kenyang dengan pasta, dessert dan minuman, total menghabiskan Rp 1.115.730,- (termasuk 5% service dan 10% PPN), jadi tiap kepala menghabiskan sekitar seratus ribu rupiah. Kesimpulannya: recommended, dan kalau suatu hari kembali lagi, saya berniat menjajal pizza-nya.
Sebagai informasi, Waraku di Grand Indonesia ini ternyata cabang dari Singapura, yang juga membuka restoran di Hong Kong dan Malaysia. Hasil pencarian di Google membawa saya ke situs Waraku http://www.waraku.com.sg/ Sayang belum ada link ke bagian Indonesia, tapi silakan klik bagian Singapura untuk informasi lebih lanjut mengenai Pasta de Waraku.

Pasta de Waraku
Grand Indonesia Mall
Garden District Level 3A Unit 05 & 06
Jl. MH Thamrin No. 1
Jakarta 10310, Indonesia
Tel: (6221) 2358-0916
Fax: (6221) 2358-0917
Opening hours: 10am - 10pm (Last order 09:30pm)
Number of seats: 70

Foto-foto: hasil jepretan Chica.

Saturday, September 27, 2008

Dengan atau Tanpa: PRT

Obrolan saya dan rekan2 dosen di sebuah Jumat pagi di kantor S2 FSRD ITB mengarah ke dilema PRT, yang memang sedang rame2nya jadi kenyataan di musim mudik Lebaran begini. Mulai dari PRT yang nggak akan balik lagi tapi nggak pamitan, PRT yang tau2 ngeboyong kerabatnya utk ikutan kerja di kota (atau ingin ikutan icip2 tinggal di kota meskipun cuma sebentar), sampe PRT yang malah jadi dapet kesempatan untuk memeras employer-nya ("Saya mau balik lagi, asal dibeliin henpon model terbaru"). Tapi intinya adalah, orang kota sangat tergantung sama jasa PRT (termasuk babysitter, supir, tukang kebon, dan perangkat asisten RT lain), sehingga bisa 'dimanfaatkan' (in a negative term) oleh PRT yang 'niat' (juga dalam arti negatifnya :P).

Sehubungan dengan ketergantungan itu, timbul pertanyaan utama: Sebenernya bisa nggak sih orang2 kota di Indonesia hidup tanpa PRT? Jawaban singkatnya: bisa. Tapi prerequisite dan konsekuensi untuk "bisa" itu juga nggak sedikit!

Antara lain:
  • Tempat2 belanja kebutuhan sehari2 harus mudah diakses, kalau bisa within walking distance. Bisa berupa pasar tradisional, kios/warung, mini market atau supermarket.
  • Fasilitas RT yg mendasar, seperti kompor dan kulkas harus ada, dan operasional & perawatannya harus mudah. Fasilitas lain seperti mesin cuci baju, microwave, apalagi mesin cuci piring, adalah optional.
  • Rumah yang ditinggal kosong melompong harus terjamin keamanannya. Keki kan kalo cuma ke warung beli gula bentar, ehh balik2 TV udah digondol maling...     
  • Sumber energi dan air harus tersuplai dengan baik. Listrik nggak boleh byar-pet, sediaan gas untuk masak harus lancar, air bersih harus ngalir terus. Idealnya sih air ledengnya bisa langsung diminum, jadi kita nggak usah buang2 energi lagi utk masak2 air. Dan semua kelancaran ini harus bisa dihentikan temporer oleh masing2 RT, misalkan kalau rumahnya mau ditinggal lama, jadi tetap ada kontrol.
  • Mekanisme pembuangan sampah harus jelas: begitu ditaruh di luar rumah, pengambilan sampah (oleh dinas kebersihan) harus rutin dan dilakukan dengan baik.
  • Pembayaran berbagai hal (listrik, air, dll) bisa pakai internet banking, jadi kita nggak perlu buang2 waktu utk ngantri dan ngisi formulir ini itu di berbagai loket.
  • Harus ada tempat yg pantes utk menjemur cucian di rumah. Atau, kalau nggak ada tempat dan nggak punya mesin cuci, harus ada tempat laundry komunal yang mudah terjangkau dari rumah.
  • Jam-jam kerja harus fleksibel. Malah mungkin sebisa mungkin kerja di rumah, sambil mengontrol aktivitas domestik, termasuk mengurus anak2.
  • Setiap anggota keluarga harus kebagian tugas domestik.
Daftar ini masih bisa diperpanjang lagi (yang mau nambahin, silakaan :D). Sekarang tinggal berandai-andai, Indonesia bisa nggak ya diurus sedemikian rupa sehingga daftar itu bisa jadi kenyataan?


Gambar: Rosie, robot asisten rumah tangga keluarga Jetson (Hanna-Barbera Productions, 1962-1963)

Wednesday, September 24, 2008

"Anak Sekarang"

Iya, iya saya tahu, generasi mana pun pasti menganggap generasi yang lebih muda itu lebih lembek dan lebih manja ketimbang mereka. Hal ini terlihat sekali di lingkungan kerja saya yang adalah sebuah perguruan tinggi, yang setiap tahunnya dimasuki seangkatan generasi termuda di lingkungan tersebut. Ada beberapa kejadian yang membuat saya merasa kepingin nulis soal ini.

SPP
Semester baru baru dimulai. Pagi itu saya sudah ada di kantor bersama beberapa rekan dosen, para pegawai administrasi belom dateng. Ada telpon, saya angkat. Ternyata orang tua salah seorang mahasiswa.
Ortu: Bu, maaf mau tanya, SPP semester ini berapa ya?
Saya: Putra Ibu angkatan berapa?
Ortu: (menyebut angkatan)
Saya (sambil cari2 info di dinding): Sebentar, semestinya ada informasinya di sini.
Waktu saya sedang cari2 itu, datanglah seorang pegawai admin. Dia ngasih tau bahwa infonya ditempel di sisi luar kantor, nggak terlihat dari tempat saya nelpon.
Saya: Ada detailnya, Bu, ditempel di sini. Putra ibu bisa langsung datang dan melihat sendiri, sekaligus melakukan prosedur pembayaran.
Ortu: Oh, saya yang akan melakukan itu
Saya: Putra ibu memang sedang di mana?
Ortu: Dia di Bandung sih, tapi sedang main dengan teman2nya
Saya (mulai heran): Ya, dia kan bisa mampir kampus untuk mengurus SPPnya?
Ortu: Tapi dia nitip saya. Ya sudah Bu, terima kasih. 
Saya (udah narok telpon, ngomong ke temen2 seruangan): Anaknya di Bandung tapi lagi main sama temen-temennya??!

Material
Ortu: Bu, lain kali kalo mau menugaskan anak2 bawa material, jangan mendadak dong!
Saya: Gimana mendadaknya, Bu? Kalau ada tugas studio, biasanya kami sediakan bahannya. Kalau kurang, siswa biasanya bisa mencari sendiri ke toko material.
Ortu: Enggak, soalnya anak saya pernah nih, suatu malem ribut. Katanya, mah, tolong cariin material ini dong, besok saya harus bawa nih! Wah saya sampe repot muter2 nyari2 di toko2, udah malem, pula!
Saya (mikir, ni anak tega bener ama ibunya): Biasanya nggak semendadak itu kok Bu. Kalaupun harus cari sendiri, pasti ada jeda beberapa hari.
Masuk kuliah itu umur berapa sih, 18an kan ya. Apa nyari material aja masih harus minta ke orang tuanya, seperti kalo bikin prakarya waktu SD dulu?!

Dijawab nggak ya...
Nanya itu boleh. Nanya kritis itu bagus. Nanya asal bunyi itu yang nggak nahanin. Apalagi nanya yg sifatnya cuma 'minta disuapin', nggak ada usaha nyari jawaban sendiri. Kali ini kasusnya bukan cuma ke saya, tapi juga ke rekan2 dosen lain. Dosen senior, angkatan 70an awal, pernah ditelpon hanya untuk ditanya, "Pak, beli acrylic di mana ya?"
Dosen yang mengajar mata kuliah A, pernah ditelpon sama mahasiswa yang udah lamaaa banget gak masuk, "Pak, kuliah A itu kapan sih?" 
Dosen lain dapet pertanyaan ini, "Pak, ada kuliah nggak besok?" (padahal di jadual dia jelas2 ada - dia cuma pengen tau, si dosen ini akan masuk ngajar atau enggak)
Duh euy.

Kasus2 begini ini yang mau nggak mau bikin saya berandai2 bareng temen2 lain, memulai kalimat dengan "Jaman kita dulu...". Nggak salah kan ya?


Sunday, September 21, 2008

Sketsa Curhat ttg Bandung di PR

Ultah Kota Bandung jatuh tgl 25 Sept nanti, tapi berhubung halaman ekstra (Selisik) biasanya terbit tiap Senin, maka hari ini Pikiran Rakyat sudah membahas ttg Bandung dalam rangka hari jadinya ini di bagian Selisik itu. Di halaman tengah Selisik itu ada sketsa2 'curhat' yang saya buat khusus untuk edisi ini. Rencananya, masing2 sketsa itu dibuat untuk direspon oleh Pidi dengan sketsa2nya sendiri, tapi sayangnya nggak jadi. (Deadline nggak kekejar ya Pid?) Di situ juga ada foto saya yang diambil waktu wawancara beberapa bulan lalu dengan PR, di-crop, posenya jadi agak2 gak jelas.. :P

Print gambar yang di halaman tengah ini hitamnya nggak tajam. Dan, gambar2 yang tadinya rencananya berupa fragmen2 terpisah yang didampingi sketsa2 Pidi, jadinya disatukan di bentangan halaman tengah. Agak aneh aja ngeliatnya ter-magnify sekian besar (apa ini sebabnya jadi blawur?). Lalu, saya disebut mengambil MA dan PhD di "The Design Academy Delft University of Technology".. kesannya itu satu sekolah :D Tepatnya: MA dari Design Academy Eindhoven (di Eindhoven) dan PhD dari Delft University of Technology (di Delft).

Anyway, semoga pesen sketsa2 itu nyampe', bisa dinikmati pembaca dan nyambung dengan artikel2 Selisik hari ini: Dari Kota Kembang ke Kota Kreatif, Sulitnya Mengembalikan "City of Excellence", dan Mendorong Perubahan Melalui Kreatifitas. Worth reading. Selamat ulang tahun, Bandung, semoga dirimu nggak makin salah diurus!    

Gambar2 lain ada di sini: http://esduren.multiply.com/photos/album/121

Thursday, September 4, 2008

Monsieur Leotard

It finally arrived! (thanks to saturdaypeople)
I've browsed a bit and stopped after ten seconds for I didn't want to spoil my surprises before really reading it thoroughly. I hope I could spend this weekend enjoying this book. All pages are fully painted and (seems like) no page is identical in forms and contents.
Happy happy joy joy!

Now please excuse me while I'm zooming out to take kids (and myself) to school...

Monday, August 25, 2008

Treehouses of Dream




These sketches were made during Artepolis at ITB, while listening to speakers and panelists.

Tuesday, August 19, 2008

dalam rangka ultah jalansutra




ada tiga gambar bertema kelakuan anak2 jalansutra (permintaan harnaz). yang pertama soal motret makanan sebelum disantap (apa pun makanannya), yang kedua perkara pindah2 tempat makan (minimal 3-4 tempat makan sekali jalan), yang ketiga tentang betapa jagonya anak js nemu tempat2 paling terpencil pun demi makanan.

gambar2 ini di-print perbesar dan disertakan dalam acara "mudik nasional" jalansutra tgl 18 agustus lalu di pondok indah, jakarta.

Friday, August 15, 2008

Sunday, August 10, 2008

[klipping] Menolak Krisis Energi Kreatif

Artikel selengkapnya ada di Kompas Minggu 10 Agustus 2008: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/10/0142403/menolak.krisis.energi.kreatif

...

Orisinalitas ini pula yang ditawarkan Dwinita Larasati, komikus yang doktor dari Delft Technical University, Belanda. Selain mengajar di Jurusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung, ibu dua anak yang biasa dipanggil Tita ini menyisihkan waktu untuk menggambar.

Jenis komiknya graphic diary, semacam komik grafis yang bercerita mengenai perjalanan seseorang. Di situ, tokoh utama adalah Tita sendiri.

”Sejauh ini belum ada yang membuat komik graphic diary dengan karakter tokoh yang dikreasi sendiri dari banyak pengaruh, tidak berkiblat ke Jepang atau Amerika,” kata Tita.

Komik Tita, 40075 km Comics, diterbitkan di Belgia, berisi perjalanan hidup Tita. Angka 40075 adalah diameter bumi.

Ketika ada acara 24 Hour Comics Day di AS, dari 1.000-an peserta berbagai negara, Tita dengan komiknya Transition masuk sepuluh besar yang kesemuanya lalu diterbitkan dalam Highlight 2006.

Komik Tita yang lain, Curhat Tita, dijual dalam bentuk buku dan karakter serta adegan di dalamnya dijadikan pin, kantong telepon seluler, dan tas.

...

Artikel2 terkait:
- "Urang" Bandung "Keur" di Jakarta
- Biarpun Kere, tetapi Kreatif

Friday, August 8, 2008

Bandung Public Furniture at Pecha-Kucha




These slides were presented on Pecha-Kucha Night, on 08/08/08, at LABO (Jl. Bukit Dago Selatan II/22). The basic rule of Pecha-Kucha is: each presenter shows 20 slides, each slides for 20 seconds, so in total each presenter is up for 6 minutes and 40 seconds.
There were 16 presenters that night, all with remarkable materials! See updates here: http://pechakuchabdg.blogspot.com/. The next Pecha-Kucha in Bandung will be on October 10th, 2008. Anyone interested to have their 6 minutes fame can apply by sending them an email.