Tuesday, June 30, 2009

[klipping] Bambu... Baja Pun Kalah

KEKAYAAN ALAM

Rabu, 1 Juli 2009 | 03:44 WIB

Cornelius Helmy

Kubah berdiameter 4 meter tampak mendominasi ruang pameran Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung beberapa waktu lalu. Kubah ini cikal bakal bangunan tahan tsunami.

Bangunan tersebut terbuat dari rangkaian bambu tipis didominasi bentuk segi lima dan segitiga banyak sudut (polyhedric). Rencananya kubah ini akan dikembangkan menjadi konstruksi utama bangunan tahan tsunami.

Warna dan serat material bambu yang tidak seragam justru menjadikannya tampak unik dan tidak kalah menarik.

Biasanya bambu yang digunakan adalah jenis Madake. Jenis ini batangnya bisa digunakan sebagai tiang, serutannya dianyam, dan seratnya menjadi tali. Konsep yang menonjolkan ciri khas bambu ini dinamakan wabi sabi. Artinya memanfaatkan ketidaksempurnaan alam menjadi estetika seni.

Material bambu dan bentuk kubah juga sangat lentur tetapi kuat. Buktinya, tidak ada retak pada lapisan tipis bambu yang memiliki ketebalan 2 milimeter ketika dibor dengan diameter lubang 3 milimeter.

Kubah ini hasil karya Takaaki Bando dari Musashino Art University (MAU). Pembuatannya terinspirasi kubah batang aluminium dengan teori synergetic karya Buckminster Fuller (1895-1983), arsitek dari Amerika Serikat.

Karya lain yang dipamerkan adalah desain kursi karya Ito Shinichi. Alas, tiang, hingga sandaran kursi semuanya memakai bahan baku bambu. Ini merupakan ciri khas desain karya bambu dari Jepang yang meninggikan kemurnian bambu.

Menurut Ito yang juga Asisten Profesor Departemen Industri, Interior, dan Desain Kerajinan MAU, pembuatan desain kursinya menggunakan teknik laminating. Lapisan bambu tipis ukuran 2 milimeter dipres sehingga menjadi satu bagian tebal sekitar 40 milimeter. Hasil pres bambu lantas dibentuk sesuai selera desainer.

”Hasil yang kami buat di Jepang kurang lebih sama dengan yang ada di Indonesia. Namun, dari sisi perawatan bahan bambu di Indonesia masih harus diperbaiki,” kata Ito.

Menurut Ito, hal itu berakibat pada usia karya yang dibuat. Tanpa perawatan yang baik, karya akan mudah rusak. Seperti menjadi lapuk atau mudah patah. Ito mengatakan, harus ada perlakuan khusus agar material bambu lentur, kuat, dan sesuai standar keamanan.

Di Jepang, konsep perawatan bambu dinamakan Ecology Diversity Energy (EDE). Konsep ini mirip dengan pemanfaatan kearifan lokal di Indonesia yang menggabungkan pengetahuan tradisi dan modern. Beberapa teknik yang digunakan antara lain pengasapan, pencelupan ke air panas, atau pemanasan menggunakan oven.

”Usia bambu bisa tidak terhingga. Kualitas bambu tidak kalah dengan kayu,” katanya.

Kondisi di Indonesia

Potensi pengembangan bambu yang ada di Jepang sebenarnya ada di Indonesia. Pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Dwinita Larasati, mengatakan, Indonesia diperkirakan memiliki 11 persen dari 1.250 spesies bambu dunia. Namun, dari 19 spesies bambu yang digunakan di dunia baru lima spesies yang ditemukan di Indonesia, di antaranya bambu tali dan betung.

Hal yang sama dikatakan pakar bambu dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia, Elizabeth Widjaja.

Saat ini di Indonesia terdapat 88 jenis bambu endemik yang belum seluruhnya dikembangkan, di antaranya bambu eul-eul dari Bandung, Jawa Barat; Fimbribambusa di Meru Betiri, Jawa Timur; dan Schizotachyum di Kalimantan Barat. Bambu itu berguna sebagai pengobatan, konstruksi bahan bangunan, hingga bahan kerajinan.

”Sebagian besar spesies bambu endemik di Indonesia justru terancam punah. Penyebabnya adalah alih tata guna lahan, pengambilan berlebihan, dan penyelundupan ke luar negeri,” katanya.

Teknik pengawetan sebenarnya juga sudah diketahui peneliti Indonesia, di antaranya teknik pengawetan yang diterapkan peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Departemen Pekerjaan Umum, Purwito.

Menurut dia, bambu juga bisa diawetkan menggunakan bahan kimia yang tidak merusak lingkungan. Pengawetan bisa dilakukan dengan menggunakan cairan borak dan asam borik dengan perbandingan 4:1. Campuran itu digunakan sebagai media utama untuk merendam bambu sebanyak 5-7 persen dari volume bambu.

Cara lain dilakukan Morisco, Kepala Laboratorium Teknik Struktur Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Dia melakukan pengawetan bambu menggunakan tabung yang dapat dioperasikan tanpa tenaga listrik sehingga cocok untuk daerah pedesaan. Bahan pengawet berupa larutan kimia yang dimasukkan dengan tekanan udara. Proses pemasukan larutan pada bambu diameter 8 sentimeter dan panjang 6 meter memakan waktu sekitar 20 menit.

Lebih kuat dari baja

Dengan semua potensi ini, menurut Morisco, banyak hal bisa diraih, di antaranya pengembangan arsitektur bernuansa bambu. Salah satu senjatanya adalah kekuatan tarik bambu lebih tinggi ketimbang baja.

Sebatang bambu dewasa berumur 3-5 tahun memiliki kekuatan tarik hingga 480 MPa (Mega Pascal—satuan tegangan tarik). Hasil itu lebih tinggi ketimbang baja yang hanya memiliki kekuatan tarik 370 MPa.

”Beberapa bangunan sudah menggunakan bambu sebagai komponen utama, seperti Green School di Bali dan rumah korban gempa di Yogyakarta,” katanya.

Potensi bambu juga harus diperkenalkan lebih mendalam kepada industri kreatif.

Menurut Kepala Divisi Desain Industri Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Dudy Wiyancoko, ketahanan dan kualitas material bambu olahan dari Jepang harus diakui lebih unggul. Bambu olahan dari Jepang lebih tahan lama dan tidak mudah lapuk. Berbeda dengan kebanyakan material bambu Indonesia yang selama ini sudah cukup puas dilapisi pelitur.

Hal ini harus ditularkan ke masyarakat, khususnya kepada perajin bambu. Kemungkinan besar, perajin tradisional masih buta tentang konsep perawatan material atau karya yang baik.

Dudy mengatakan, perajin tradisional masih terpaku membuat produk konvensional sesuai kebiasaan. Hal baru biasanya keluar lewat proses meniru dari produk lain yang terbukti laku di pasar. Dari sisi ekonomi, perajin biasanya takut merugi bila hendak berinovasi. Mereka khawatir produk baru tidak akan laku di masyarakat.

”Di Jepang, saat ini konsep mono zukuni alias genius bekerja sendiri sudah tidak populer lagi. Yang banyak diterapkan masyarakatnya adalah konsep hito zukuni. Konsep ini meluhurkan kebiasaan bekerja sama dalam menjalankan semua pekerjaan,” ujar Dudy. Ini termasuk dalam pengolahan bambu tentunya.

Saturday, June 27, 2009

[klipping] Yuk, Curhat Lewat Gambar!

Tabloid Nova, Juni 2009

Yuk, Curhat Lewat Gambar!

Saat mengajar, Tita juga sering mengenakan kaos oblong, kemeja flannel, dan jins belel (Foto : Ester Sondang)

Diary Graphic atau komik curhat memang sudah biasa di luar negeri. Kendati di sini masih tergolong baru, toh, hasil karya dua ibu ini langsung diminati.

Curhat Tita karya Tita Larasati (37), ternyata memberi banyak inspirasi pada pembacanya. Bisa dibilang, Tita adalah salah satu pelopor penulis diary graphic di Indonesia saat ini.

Jika orang lain menuliskan kejadian sehari-hari yang dialaminya, Tita memilih media gambar. Ia melukiskan suasana hati, pikiran, bahkan potret dirinya secara apa adanya. Di bukunya, perempuan yang sejak kecil suka menggambar ini melukiskan dirinya sebagai sosok bertubuh tinggi gempal, rambut pendek yang jarang tersisir, kacamata, kemeja flanel kotak-kotak yang tidak terkancing lengkap dengan kaos oblong di dalamnya, plus jins belel.

Laiknya sebuah buku harian, Ibu dari Prasidya Dhanurendra Zijlstra (8) dan Syastira Lindri Dwimaharsayani Zijlstra (5) ini menggambar ceritanya dengan alur jelas, seperti komik. “Saya lebih suka menyebutnya diary graphic,” katanya sambil menjelaskan, Asterix, Tintin, dan lainnya, “Jelas disebut komik karena si pembuatnya sadar akan cerita yang dia buat. Si pembuat membuat jalan cerita semenarik mungkin dengan tokoh, lokasi, dan naskah yang sangat terencana. Benar-benar keep the reader on the story.”

Sedangkan, kata Tita lagi, “Yang saya buat, benar-benar apa adanya. Apa yang saya lihat dan amati, itu yang saya gambar. Beda lagi dengan graphic novel yang sekarang juga lagi happening. Itu merupakan novel dalam gambar, sehingga ceritanya lebih padat.”

Tak Yakin Laku

Yang jelas, sejak kecil, Tita sudah menyintai dunia gambar. Ayahnya yang arsitek, selalu membawa buku sketsa dan cat air ke mana-mana. Kebiasaan itulah yang menular ke wanita bernama asli Dwinita Larasati ini.

Begitulah. Lulus dari jurusan Desain Produk ITB, ia memilih melanjutkan kuliah S2 di Design Academy Eindhoven, Belanda, tahun 1998. Di sana pun, ia terus menggambar. Banyak teman kuliahnya yang senang membaca dan selalu menunggu gambar-gambar Tita. “Biasanya, kalau ada teman yang ingin memiliki gambar saya, akan saya kopikan. Jadi, aslinya tetap untuk saya. Sekarang sudah masuk buku sketsa ke-11.”

Dari Eindhoven, Tita lompat ke Amsterdam, mengambil S3 di Delft University of Technology. Nah, tidak jauh dari rumahnya di sana, ada sebuah toko komik terkemuka, Lambiek. Saat Lambiek mengadakan acara Amsterdam 24 hour Comic Day, Tita ikut serta. Tak lama berselang, karyanya terpilih di 24 Hour Comic Highligths di Amerika Serikat.

Ketika kembali ke Tanah Air tahun 2007, istri Sybrand Zijlstra ini dilirik penerbit Cinta Anak Bangsa. “Mereka mau membukukan diary graphic saya. Sempat tak percaya diri mulanya. Apa, ya, ada yang suka dan laku?” kisah dosen ITB ini. Ternyata bukunya, Curhat Tita, laris-manis. “Sekarang sedang menyiapkan terbitan kedua,” ujarnya senang.
Ester Sondang




Monday, June 22, 2009

An entry after a long, long absence

Where to begin.. Hm. The church I go to, GKI (Gereja Kristen Indonesia) at Jl. Maulana Yusuf, Bandung (yes, across that yummy saté place), conducts lots of events on weekday evenings, that are not necessarily related to religious services or activities. Tonight was an event with the theme "Inexpensive and qualified education, is it possible?", with a guest Pak Bahruddin from Alternative Junior High School Qaryah Thayyibah (QT) in Salatiga, Central Java. Prior to this meeting, I have read about QT from books given by a nice acquaintance (that I've never met, actually - thank you, P! :D) and got deeply interested in the subject. Afterward, I found articles about QT in newspapers and such, but gave it no further thoughts until tonight.


Rubber Clock, filled appropriately
The event supposed to start at 6pm, but the guest got caught in a traffic jam or so, so we were to wait. It wasn't an emtpy waiting time, though, since the host decided to screen a movie. It was a documentary called "Suster Apung" (Floating Nurse). No, it's not a horror movie, but it's scary nonetheless in a way, knowing that reality can be that harsh. This documentary is focused on a nurse whose duty is to look after people in the islands region in the Middle- and Eastern part of Indonesia. Cases she found are often different from what she learned at the academy, so she has to improvise lots of things anyway. She said she could be sentenced for malpractice, but she has no choice: she has to be a nurse, a midwife, and even a doctor at many times. She had to cross the ocean with a shabby little boat from one island to another, often spending 24-26 hours in it, to reach her patients. And she has been doing this for about 29 years!
A visiting official: Don't you have a handy-talky?
The Floating Nurse: We were given a handy-talky indeed, but only one, with a broken antenna, too.
The visiting official: What good is one handy-talky?! How could you talk to your colleagues in another place?!
The Floating Nurse: ... (staring agreeably)


Another Distraction
Before the real event started, another movie was screened. This one titled, "My Headmaster, The Scavenger", telling about - well, a school headmaster who is also a scavenger. Why would he want to be a scavenger, too, selecting garbage from a dump after school, when he already has a job as a headmaster? In order to provide for his family, of course.
But why scavening? Why not by giving course to students, like other teachers do? He would, if he could accommodate his pupils in his house - but the condition of his house doesn't allow that.
Why not take that 2nd job offer to teach at another school? He said, "I'm done teaching at my current school at about 1pm. As a headmaster, I should be the one who arrives the earliest at school and leaves the latest. Could you imagine if I had to go and teach again in the afternoon? What kind of performance would I give to my students, if I don't have enough energy? Neglecting your students is a sin, you know". "Besides", he continued, "Gathering such things (showing plastic cups and bottles) could give me more salary, compared to being a teacher".
       

The Actual Event
The guest from QT, Pak Bahruddin, has arrived so the actual event could start. It was about 7pm. He first showed some video clips of songs, created by QT team. These songs and videos have been produced, distributed and sold, for the profit of QT itself. Then another video was screened: a documentary made by MetroTV about QT, including interviews with QT students and their parents. Quite remarkable.
I won't elaborate the details here, since there are already lots of resources that expose QT backgrounds, history, achievements and all. What I want to stress is, I agree with what Pak Bahruddin said about education. In the end, it's the result, the quality, personality and independency of the pupils that matters. Not the grading from National Exam, nor a piece of certificate.
The discussion went through the night, up to nearing 10pm. But even after that, the conversation continued informally. Seems like you could have a nice long chat with Pak Bahruddin without a moment of bore. I had to catch an angkot home (it *was* fairly late), but have made a soft promise to visit QT during our holiday in West Java, soon. Hope we can make it.

E.T.A. (my bad habit, forgetting to close a writing)
Responding to the question if it is possible to provide an affordable and qualified education in Indonesia: it is. All we need is people with the same vision to start and to commit to an independent education plan, which really touches the heart and the art of learning itself, rather than compiling ranks and aiming for status.
Another point that should be stressed is: local values should be introduced naturally, not merely adopted from other people's 'localities' (then it won't be 'local' anymore!). Recognize and make use of local resources, learn skills that would help you through life.