Thursday, September 17, 2009

[klipping] Getting graphic with Indonesian comic books

Time Out Jakarta, September 2009

Curhat Tita
More like a graphic diary than a graphic novel, 'Curhat Tita' (Tita's Story') tells the story of Tita's daily life and all the bizarre things she comes across. Her light and simple sketches, which she draws using a black gel pen, started off as her way of sending news back home to Indonesia while studying abroad. By eschewing the panels found in more traditional comics, her drawings feel more intimate and personal when relating minor details from her everyday life, such as her disagreement with her Caucasian husband on how to wash the dishes. Written in English, Tita transferred exactly what she saw and observed in real life into her drawings, producing a funny, honest and sincere work of art.

Sunday, September 13, 2009

Decipher This

Coming home from work last Friday, I found Lindri's drawings all over our dining table, of which this is one. Guess what she means to say here.



No, it's
not Lindri LOVES Dhanu.
(which was my first guess)










The first line means, "Lindri LOVES, Dhanu DESTROYS"
(The second line means, "Ibu works, Bapak works")

Wednesday, September 2, 2009

[klipping] Komik Keroyokan dan Korupsi

Koran Tempo, Ruang Baca edisi 31 Agustus 2009

Cerita Sampul
Komik Keroyokan dan Korupsi


Belakangan ini komik-komik Indonesia yang terbit mengangkat tema yang beragam dan bentuk yang macam-macam, tak lagi terikat pada model manga dan genre silat dan superhero yang dulu sempat merajai dunia perkomikan. Tema itu bisa soal pemberantasan korupsi hingga kisah keseharian sang komikus. Bentuknya bisa gado-gado karena digarap keroyokan oleh beberapa komikus berbeda gaya atau garis-garis yang bersih. Berikut ini beberapa komik yang muncul tersebut.
Judul: Antologi 7

Pengarang: Alfie Zachkyelle, Tita Larasati, Caravan Studio, Sheila Rooswitha, Motulz, Rhoald Marcellius, Beng Rahadian, Aziza Noor, Adiputra

Penerbit: Curhat Anak Bangsa, Juli 2009

Scott McCloud, tokoh teori komik dan pengarang Understanding Comics, menciptakan tantangan komik 24 jam pada 1990. Dia menantang komikus untuk membuat komik utuh sepanjang 24 halaman selama 24 jam. Gagasan ini diadopsi oleh penerbit Curhat Anak Bangsa (CAB) dengan sebuah proyek yang lebih sederhana: membuat satu halaman cerita bergambar dalam satu hari selama tujuh hari berturut-turut. CAB lantas melempar tantangan itu kepada enam komikus dan satu studio komik dan hasilnya adalah Antologi 7.

Sebagai karya keroyokan, pembaca akan menemukan berbagai tema, cara berutur dan gambar pada buku ini. Alfie Zachkyelle, misalnya, sibuk mengisahkan perjuangan mencari cinta sejati setelah menjadi duda dari seorang cewek Jerman sambil menuturkan soal penyelamatan nasib anjing-anjing peliharaannya yang ditolak di sana-sini. Tita Larasati, yang goresan penanya sudah dikenal lewat komik Curhat Tita yang terbit tahun lalu, kini kembali menncoret-coret panel gambarnya tentang kisah perjalannya yang tersandung-sandung ke Bangkok. Adapun Sheila Rooswitha menurutkan kesialan-kesialan yang menimpanya gara-gara datang terlambat ke kantor.

Meski beragam tema dan gaya, satu hal yang menyatukan ketujuh cerita di buku ini adalah sama-sama mengangkat kisah nyata sang komikus, bukan fiksi. Dalam bahasa Tita, salah satu pendiri CAB, komik begini adalah "graphic diary", catatan harian grafis.

[klipping] Tak Lagi Merantau di Alam Mati Suri

Koran Tempo, Ruang Baca edisi 31 Agustus 2009

Cerita Sampul


Tak Lagi Merantau di Alam Mati Suri

Komik lokal kembali bergairah setelah Benny & Mice meledak. Kini bentuk dan temanya lebih beragam, meninggalkan tren superhero dan silat.

Mata para pengunjung Cengkeh Restoran dan Galeri di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tertuju pada delapan perempuan yang mengenakan kebaya warna-warni. Mereka masing-masing memegang poster dengan gambar kartun yang tak kalah ramai nuansa warnanya dengan busana mereka.

Mereka memang sengaja memakai kebaya karena hari itu penerbit M&C, lewat lini penerbitan Koloni, tengah mengenalkan manga-manga (komik khas Jepang) terbaru hasil goresan komikus Indonesia. Tak tanggung-tangung, pada acara di awal Agustus lalu itu Koloni meluncurkan delapan judul sekaligus.

Tempo menelusuri beberapa toko buku dan menemukan manga Indonesia itu kini berdampingan dengan manga Jepang. Di antara nama komikus asal Negeri Matahari Terbit itu terdapat Ida Ariyanti dengan My Ghost Sister dan Is Yuniarto dengan Garudayana.

Delapan manga itu menjadi gelombang terkini dari komik lokal yang jumlahnya perlahan tapi pasti terus bertambah banyak. Memang, peningkatan itu tak kentara, lantaran komik lokal ini tak berformat mirip manga atau terserak tanpa pengelompokan yang jelas di toko buku. Berbeda sekali dengan manga, yang biasanya diberikan satu tempat khusus di rak toko.

Gelombang kegairahan itu tampak ketika hampir 30 judul komik lokal telah terbit sejak awal tahun ini. Sebagian besar komik-komik itu karya baru dan sebagian lagi karya lawas yang diterbitkan ulang, seperti Mahabharata dan Bharatayudha karya Teguh Santosa.

Salah satu dari komik yang baru muncul adalah Pamali, karya komikus dengan nama pena Norvan Pecandupagi. Komik yang sempat dibedah di panggung utama Pesta Buku Jakarta 2009 ini mengisahkan berbagai pamali atau larangan dan pantangan berdasarkan adat Sunda.

Setiap pamali itu ia kupas dengan jenaka dalam dua sampai tiga halaman. Norvan juga melengkapinya dengan catatan kecil berisi kalimat asli pamali itu dalam bahasa Sunda, terjemahan dalam bahasa Indonesia, serta komentar pribadinya.

Catatan itulah yang menjadi keunikan karya Norvan yang menunjukkan bahwa komikus ini tak sekadar mengandalkan kemampuan menggambar dan dialog dalam balon percakapan. Lewat komentar-komentar yang tak kalah kocak dengan goresan gambarnya, Norvan menunjukkan dirinya bukan sekadar piawai menggambar tapi juga mampu mengolah kata-kata menjadi jenaka tanpa bantuan visual.

Misalnya, saat membahas soal pamali "Tong ngagegelan kuku, bisi cilaka!" ("Jangan mengigiti kuku, nanti bisa celaka!"). Di panel gambar ia membuat pengendara motor yang karena tak percaya pamali lantas mengigiti kukunya dan motor yang tak terkendali itu pun jatuh ke jurang. Nah, pada sudut halaman terdapat komentarnya: "Sebetulnya akan lebih celaka lagi kalau kuku yang kita gigitin itu kuku macan atau kuku ABRI yang lagi melamun. Gak percaya? Tes Gih!"

Selama ini komikus lokal mengandalkan ajang seperti Pekan Komik Nasional demi unjuk diri. Belakangan ini muncul media yang lebih efektif bagi mereka untuk memamerkan karyanya, yakni di dunia maya lewat blog dan situs jejaring sosial.

Norvan adalah salah satu yang memperoleh berkah dari situs jejaring sosial Facebook, tempat salah seorang editor penerbit Gramedia Pustaka Utama menemukan draf komik Pamali tersebut. Editor Gramedia, Hetih Rusli, mengatakan, mereka langsung kepincut begitu melihat karya Norvan itu.

Menurut Hetih, Gramedia memang mengamati adanya gairah di ranah komik lokal dan tertarik menjajal genre ini lewat Pamali. "Kami berkaca dari komik Benny & Mice yang laris dan itu berarti pasarnya memang menjanjikan," katanya.

Komik Benny & Mice memang mencuat di tengah kelesuan komik lokal. Dalam catatan penerbit Nalar, komik karya duo kartunis Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad ini terjual rata-rata 40 ribu eksemplar untuk setiap judulnya.

Redaktur Penerbit Nalar, J.B. Kristanto, menuturkan, saat menerbitkan kumpulan komik strip Benny & Mice yang pernah dimuat di harian Kompas itu, mereka awalnya hanya berani mencetak tiga ribu kopi saja. Kala itu Kristanto pun harus siap rugi, karena sejarah mencatat komik lokal terbilang sepi peminat.

Tak disangka, belum mencapai dua bulan komik ini harus cetak ulang sebanyak dua kali akibat tingginya permintaan. "Ternyata komik itu meledak, kami benar-benar kaget," ujar Kristanto.

Nalar sendiri meminang dua komikus itu lantaran ingin mencoba menggarap pasar komik di pembaca dewasa yang selama ini tak tersentuh. Kristanto waktu itu memilih Benny & Mice karena sebelumnya komik Indonesia sudah terlalu identik dengan tema silat dan superhero yang peminatnya tak banyak, yang menurutnya akibat gayanya yang tak cocok dengan pembaca sekarang ini.

Sukses Benny & Mice dinilai Kristanto tak lepas dari efek pemuatan versi komik strip di surat kabar. Nalar lalu mendekati Radhar Panca Dahana, Widyartha Hastjarya, dan Diyan Bijac dan menerbitkan komik Mat Jagung karya ketiganya, yang sebelumnya dimuat seminggu sekali di Koran Tempo. "Ke depan kami akan terus menambah jumlah penerbitan komik," kata Kristanto.

Penerbit Cendana Art Media juga meneruskan tren pembukuan komik strip dari surat kabar tersebut dengan meluncurkan Lotif Versi Pasbook, yang juga pernah dimuat di Koran Tempo edisi Minggu. Berbeda dengan kumpulan komik strip lainnya, Lotif versi buku ini dipermak tampilannya oleh Beng Rahadian, sehingga berbeda dari versi di koran. Ia membuat perwajahan yang mirip halaman situs jejaring sosial Facebook, sehingga di bawah satu panel cerita terdapat komentar mengikuti bentuk komentar terhadap catatan atau status yang di situs Facebook.

Ragam komik lokal pun semakin bervariasi ketika penerbit yang dipayungi Grup Agromedia mengadaptasi buku laris mereka menjadi komik. GagasMedia membuat versi komik dari buku cerita-cerita jenaka Raditya Dika, Kambing Jantan, dan Gradien Mediatama menyulap buku Anak Kos Dodol menjadi Anak Kos Dodol Dikomikin.

Bagi Direktur Gradien, Ang Tek Khun, sebuah buku punya potensi divisualkan dalam bentuk film dan komik. Khun berpendapat, Anak Kos Dodol, yang berisi kumpulan kisah pengocok perut, bisa dibuat komik.

Menurut penerbit yang bermarkas di Yogyakarta ini, membuat versi komik itu menjadi lebih realistis ketika melihat produktifnya komunitas komik di Kota Gudeg tersebut. "Semua kembali ke komikusnya, karena ada yang bagus, ya jadi dibuat. Kalau tak ada yang bagus, ya batal," ujar Khun.

Komik berisi kisah keseharian anak-anak kos di Yogyakarta yang digambar oleh K. Jati itu kini sudah naik cetak tiga kali atau setara 15 ribu eksemplar. Tak dipungkiri oleh Khun bahwa popularitas komik tersebut sangat dipengaruhi oleh versi aslinya, yang punya angka penjualan jauh lebih tinggi. Melihat respons pasar tersebut, Khun berencana menerbitkan sekuel komik itu. Bahkan, ke depan Gradien memiliki beberapa naskah yang rencananya akan langsung diterbikan dalam bentuk komik.

Sementara itu, dari kota industri kreatif Bandung, penerbit CV Curhat Anak Bangsa meluncurkan komik-komik yang mereka namai graphic diary. Komik yang satu ini pada dasarnya berupa catatan harian yang dibuat dalam bentuk gambar. Salah satu buku pertamanya adalah Curhat Tita karya Tita Larasati. Dalam komik tersebut, dosen Institut Teknologi Bandung itu mengisahkan pengalamannya semasa studi di Eropa.

Tahun ini Curhat Anak Bangsa menelurkan Antologi 7, yang dikerjakan secara keroyokan oleh tujuh komikus, dan Cerita Si Lala karya Sheila Rooswitha Putri. Manajer Pemasaran Penyalur Buku Nalar, Leo Tigor Sidabutar, mengatakan, komik Sheila itulah yang penjualannya lumayan baik.

Penyalur Buku Nalar, yang menjadi distributor komik Curhat Anak Bangsa, mencatat bahwa komik Cerita Si Lala sudah laku 700 eksemplar sejak diterbitkan April lalu. "Kelihatannya memang sedikit, tapi sebenarnya angka itu terhitung lumayan bagus untuk komik yang tidak main stream," ujar Tigor.

Komik Sheila alias Lala ini memang berbeda karena atmosfer ceritanya adem dan tenang tanpa gambar hiperbolis atau pun canda dan aksi yang meledak-ledak. Lala secara wajar menuangkan pengalamannya saat mati-matian menurunkan berat badan yang melonjak setelah menikah atau masa-masanya menjadi pengantin baru, saat mengandung, dan tentang kedua ekor anjing kesayangannya.

Tigor menjelaskan bahwa cerita yang dimuat oleh ibu muda itu ternyata punya daya tarik sendiri bagi pembaca perempuan dan ibu muda yang selama ini tak menjadi pembaca komik. "Jadi, pembacanya memang segmen baru yang bukan pembaca komik yang fanatik," kata dia.

Tigor menyarankan kepada penerbit komik agar terus memperluas genre agar tak bertarung langsung dengan komik Jepang dan Amerika Serikat yang sudah lebih dulu populer. Yang jelas, Tigor meminta agar tak terus-terusan membuat komik silat, yang meski gambarnya sangat matang dan mendetil, tapi pasarnya sudah jenuh dan tak menarik bagi pembaca muda. Sementara itu, genre komik superhero yang mungkin lebih akrab dengan remaja ternyata harganya sering tak terjangkau oleh target pembacanya.

Tigor mengakui bahwa mengangkat tema dan gaya yang tak mengikuti arus memang bisa membuat kantong penerbit bobol. "Mau tak mau dua tahun pertama harus merugi, tapi harus terus terbit demi menciptakan segmen pembaca yang setia," kata dia.

Menurut Tigor, setelah Lebaran nanti paling tidak akan ada sepuluh judul komik baru, termasuk dari tiga penerbit komik yang menjadi rekanan Nalar. "Kalau komik Indonesia mau maju dan dikenal pembaca, ya mesti terus perbanyak judul dan genre juga harus makin variatif," katanya. OKTAMANDJAYA WIGUNA

[klipping] Angin Kedua Komik Lokal

Koran Tempo, Ruang Baca edisi 31 Agustus 2009

Cerita Sampul


Angin Kedua Komik Lokal

Seakan-akan tiba-tiba, sejumlah komik lokal dirilis pada waktu yang kalaupun tak bersamaan ya berdekatan. Ada Antologi Tujuh, The Trails of the Midnight Bunny, Brastaseta: Sang Penyembur Api, Mat Jagung: Kabut Manusia, Warok Surobongsang, 15 Kesalahan dalam Branding, lalu delapan judul sekaligus persembahan Penerbit M&C!.

Isi komik-komik itu bukan saja beraneka macam, melainkan juga terasa segar, kalaupun tak menarik. Contohnya Antologi Tujuh. Buku ini lahir dari prakarsa Tita Larasati, komikus yang populer dengan "genre" graphic diary. Terilhami 24 Hour Comic Day (aksi membuat komik spontan dan rampung dalam 24 jam yang diprakarsai Scott McCloud, penulis buku Understanding Comics), Tita mengumpulkan rekan-rekannya sesama komikus untuk ikut membuat tujuh halaman komik sepanjang tujuh hari kehidupan masing-masing. Hasilnya adalah kumpulan karya yang beraneka rupa dan tak sedikit yang menggelitik.

Yang lebih unik adalah 15 Kesalahan dalam Branding. Karya Herman Kwok, praktisi pencitraan perusahaan, bersama teman-temannya ini boleh dibilang merupakan komik pertama di Indonesia yang berisi pengalaman praktek di suatu bidang tertentu. Katakanlah ini sebuah komik rujukan.

Pada periode yang sama pula, awal bulan ini tepatnya, telah diumumkan pemenang Lomba Komik Jelajah Kota Tua, yang diselenggarakan oleh Departemen Budaya dan Pariwisata.

Begitu banyak komik, produksi lokal pula. Komik lokal bergairah kembali? Tampaknya.

Bagi penggemar komik yang memang merindukan hadirnya karya-karya lokal, dan sangat boleh jadi kreator komik, hal itu tentu merupakan perkembangan yang menggembirakan. Dari segi jumlah, semua judul baru yang disebut itu memang belum menyamai judul-judul hasil terjemahan --masih sangat, sangat jauh. Tapi paling tidak pembaca jadi punya pilihan yang lebih luas; kreator pun jadi punya kesempatan untuk berkarya dan menyajikan alternatif.

Tetapi, sebentar. Bergairah? Bukankah sebelum ini hal yang sama pernah terjadi pula? Dulu, pada pertengahan 1990-an, pernah muncul, misalnya, Kapten Bandung. Atau Caroq. Tapi para superhero sentuhan lokal itu lalu seperti kehabisan napas. Dan begitu pula komik-komik lain yang diterbitkan lewat gerakan indie....

Memang tidak sampai mati, sebab diam-diam satu-dua komik lokal masih dibuat; juga karakter-karakter lain dicoba dihidupkan. Dan barangkali karena tak pernah benar-benar mati itulah selalu tiba masanya ketika, ibarat permukaan air laut, pasang naik kembali tiba.

Pasang naik itu kali ini terjadi pada dua-tiga bulan belakangan. Apa sebab?

Pasti ada lebih dari satu jawaban. Sementara jawaban-jawaban atas pertanyaan itu akan dielaborasi di bagian pertama Cerita Sampul edisi ini, yang sangat boleh jadi akan segera terbit adalah kekhawatiran. Dari pengalaman yang lalu, wajar bila ada pertanyaan akankah gairah itu kembali mengempis seperti yang sudah-sudah.

Tetapi, dengan pengalaman yang sudah-sudah pula, mestinya siapa pun yang terlibat dalam penerbitan komik lokal telah belajar mengenai apa saja kekurangan yang perlu diperbaiki sehingga kali ini hasilnya bisa jauh lebih baik. Melihat berbagai komik yang telah dihasilkan, juga ide-ide kreatifnya, tak berlebihan sebenarnya bila ada optimisme.

[klipping] Komik Lokal: Semangat yang Harus Jadi Bisnis

Koran Tempo, Ruang Baca Edisi 31 Agustus 2009

Cerita Sampul


Komik Lokal: Semangat yang Harus Jadi Bisnis

  • Oleh Hikmat Darmawan

  • Sekilas lihat, tahun 2009 ini seperti ada “second wind” bagi penerbitan komik Indonesia. Banyak penerbit baru. Tapi, “tanda-tanda kebangkitan” macam begini sudah beberapa kali tiba.

    Ibarat ledakan bisnis dotcom di Amerika pada akhir 1990-an, sebermula banyak janji dan harapan di udara. Banyak dari janji itu terpenuhi, tapi lebih banyak yang kandas. Sejak bangkitnya Web 2.0 beberapa tahun belakangan, janji bisnis Internet mencuat lagi, tapi para pelakunya lebih dewasa, lebih mawas, lebih hati-hati. Begitulah juga, mestinya, para pelaku bisnis komik lokal saat ini. Lebih dewasa, lebih mawas, lebih hati-hati.

    Janji-janji

    Saya termasuk yang percaya pada janji-janji kebangkitan komik Indonesia sejak 1998 (dengan membaca gerakan komik indie pada pertengahan 1990-an), dan kemudian pada pertengahan 2000-an. Pada pertengahan 2000-an itu, saya meramalkan bahwa tanda-tanda kebangkitan komik Indonesia sudah tiba.

    Tanda-tanda itu, kurang lebih, adalah: (1) maraknya gairah menerbitkan komik-komik lokal; (2) tumbuhnya kesadaran potensi industrial dan estetis ”novel grafis”. (Ramalan saya itu tercatat, antara lain, dalam buku saya, Dari Gatotkaca Hingga Batman, Orakel, 2005). Tapi, sejak semula, saya menekankan bahwa itu baru “tanda-tanda”. Kebangkitan komik lokal itu sendiri baru mewujud ketika memenuhi syarat-syarat lain.

    Saya segarkan sedikit kenapa dua hal di atas menjadi tanda-tanda kebangkitan komik lokal. Tentu saja, gairah yang marak untuk menerbitkan komik lokal memberi harapan karena begitulah semua industri komik yang besar bermula di Jepang, Amerika, atau Eropa. Gairah penerbitan komik lokal pada waktu itu seperti kelanjutan logis dari gairah membuat komik lokal secara gerilya, indie, pada pertengahan hingga akhir 1990-an.

    Pada pertengahan 2000-an itu muncul penerbitan bermodal kecil yang berani mencetak komik lokal --beberapa adalah yang tadinya beredar secara fotokopian pada 1990-an, seperti Selamat Pagi Urbaz (Beng Rahardian). Media massa pun seperti menyambut, baik dengan berita yang cukup intens tentang komik lokal, atau (seperti Koran Tempo) membuka pintu bagi komik lokal dengan bermitra dengan komunitas komik yang ada.

    Di sisi lain, mulai muncul minat baru terhadap ”novel grafis”. Walau secara akademis istilah ini bermasalah, secara umum para pegiat komik dan sebagian pasar konsumen komik di Indonesia mulai banyak membicarakan novel grafis. Istilah ini menjadi ”seksi” karena, pertama, di Amerika pada 2000, ia telah tumbuh jadi industri baru yang bagai palu godam di industri buku, tampak terus merangsek maju, membuka jalan ke arusutama (mainstream) industri perbukuan di sana.

    Kedua, novel grafis menjadi ranah persemaian banyak inovasi estetik komik, yang membuat komik muncul menjadi sebuah seni mandiri yang mengejutkan. Kapasitas sastrawi dan seni rupa komik mencuat kebanyakan melalui jalur ”novel grafis” itu. Dari gengsi, balik lagi ke industri: Hollywood pun lantas banyak tertarik mengadaptasi novel-novel grafis laris ke dalam film seperti From Hell, V For Vendetta, Road To Perdition, History of Violence, dan American Splendor.

    Optimisme industri dan estetika novel grafis itu pun mampir ke Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Apalagi, seperti saya catat dulu, format novel grafis sesungguhnya sangat karib bagi kita: komik-komik wayang, silat, dongeng, hingga superhero ndagelan yang jaya pada 1960-an hingga 1980-an, hakikatnya berformat fisik novel grafis dengan tebal hingga ribuan halaman. Persis manga, sebetulnya.

    Kebangkitan estetis dan industri

    Maka, jika kita hendak beranjak lebih jauh dalam membicarakan ”kebangkitan komik Indonesia”, kita perlu bertanya lebih dulu: kebangkitan apanya? Hemat saya, kebangkitan komik lokal bermakna dua: kebangkitan estetis dan kebangkitan industrial.

    Kebangkitan estetis memiliki syarat-syarat yang terkait dengan lembaga-lembaga seni rupa yang ada di Indonesia. Di dalam jenis kebangkitan ini, komik harus menjadi cukup berharga untuk bisa dibicarakan secara diskursif di arena lembaga-lembaga seni seperti kritik seni/sastra, ruang-ruang pameran, hingga jurnal-jurnal seni atau medan penerbitan serupa.

    Komik-komik lokal pernah mencicipi kesempatan itu. Masuk pameran CP Bienalle, Jakarta. Menjadi salah satu agenda pameran DKJ di TIM. Diulas oleh beberapa majalah seni terhormat di Indonesia. Diapropriasi oleh para perupa angkatan baru dari Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta. Pameran-pameran yang saya maksud bukan sekadar pameran komik yang bersifat festival, yang meniru ajang Comic Con di Amerika, yang lebih bersifat bursa produk dan sekadar ingin berjualan. Pameran-pameran yang saya maksud adalah seperti pameran komik di MoMA, New York.

    Jika ”dimainkan” dengan benar, kebangkitan estetis komik lokal bisa merentang terus ke lembaga-lembaga seni internasional, dan pada akhirnya bisa juga menarik perhatian penerbitan-penerbitan seni komik yang khusus dan bersifat alternatif, di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, dan Jepang.

    Dari segi industri, saya melihat ada kenaifan yang belum juga usai dari kebanyakan pegiat komik lokal. Kenaifan yang berhubungan dengan kekurangpahaman akan sifat-sifat industri perbukuan di Indonesia. Tentu, banyak yang sangat paham soal harga kertas, biaya percetakan, sampai kepada harga pasar untuk penulis, pembuat sketsa pensil, peninta, penata huruf, dan pewarna.

    Tapi, jarang yang paham bahwa pekerjaan utama industri penerbitan bukanlah sekadar menerbitkan. Berpikir industrial berarti memikirkan infrastruktur penerbitan buku/komik serta masalah-masalahnya. Sementara, banyak pegiat dan produsen komik kita pada pertengahan 2000-an itu masih dengan lugunya berfokus pada produk. Fokus sempit pada produk saja adalah bermasalah, apalagi dengan lugu.

    Contoh keluguan itu adalah ungkapan seperti: ”pokoknya, menerbitkan komik standar Marvel” --yang berarti: kisah superhero, diterbitkan berwarna, modus kerja ”ban berjalan” (ada penulis, pemensil, peninta, pewarna, penataletak), kalau perlu dengan kertas glossy. Pendekatan ini sama sekali belum bervisi industrial, karena kemudian mengabaikan daya beli masyarakat, minat masyarakat, masalah distribusi, juga kapasitas mencetak (yang berkaitan dengan strategi pengelolaan modal).

    Memilih fokus

    Jika kita ingin mendorong terciptanya kebangkitan (kembali) industri komik lokal, fokus terhadap produk yang agak bersifat ”asyik sendiri” itu mesti digeser pada fokus terhadap aspek-aspek bisnis dan industri penerbitan buku. Kesadaran pertama dan utama yang harus dimunculkan adalah kesadaran bahwa industri komik lokal bagaimanapun terkait sepenuhnya dengan keadaan industri perbukuan lokal pada umumnya. Jika industri buku kita busuk, busuklah pula industri komik kita.

    Maka, para pegiat dan produsen komik lokal mesti mempelajari sungguh-sungguh berbagai masalah dunia penerbitan kita, khususnya soal pasar dan infrastrukturnya. Mengapa, misalnya, industri perbukuan kita masih gagal mengatasi ”kutukan 3000” (yakni standar umum penerbitan 3.000 eksemplar, padahal penduduk kita 200 juta orang lebih)? Tahukah para produsen komik lokal itu bahwa sekarang standar 3.000 itu malah makin turun jadi 2.000, 1.500, bahkan 1.000? Kenapa? Apa logikanya? Apa strategi mengatasinya?

    Apakah arti ”pemasaran buku” sesungguhnya? Apakah hanya berarti promosi, ataukah mencakup definisi pasar, strategi produk dan strategi distribusi yang konprehensif dan jitu? Kalaupun sudah punya pengetahuan teoritis tentang itu, sudah benarkah penerapannya? Sudah akuratkah pemahaman lapangan para produsen komik itu tentang ”pasar”?

    Saya memandang penuh harap pada para penerbit komik lokal yang baru-baru ini marak: Cendana Art Media (Understanding Love, Brastaseta, dan Lotif Versi Pasbook), Rumah Penerbit Cleo (Sawung Kampret dan Warok Surobongsang karya Dwi Koen), Orange Publishing Merdeka (Di Bukit Selarong oleh Kostkomik), Penerbit Nalar (Mat Jagung: Kabut Manusia dan Benny & Mice: Hape), Banana Publishing (Ekspedisi Kapal Borobudur Jalur Kayu Manis dan Eendaagsche Exprestreinen), Sleepless Selene Studio (Setengah Dua), Cergam Centre (Sibuk Fesbuk), de Britz (15 Kesalahan Dalam Branding), Curhat Anak Bangsa (Seri Curhat Tita, Cerita Si Lala, Antologi 7). Juga penerbit komunitas Komik Indonesia (Andi Wijaya, dkk.) yang menerbitkan ulang komik-komik lawas. Dan penerbit besar M & C! (grup Gramedia) yang menerbitkan lini komik lokal Koloni.

    Saya tak punya cukup ruang untuk membahas mereka satu per satu di sini. Saya dengar sebagian dari mereka mulai berpikir untuk patungan membuat rak khusus komik/novel grafis lokal di toko-toko buku. Baguslah. Berarti, mereka ada perhatian pada aspek nonproduk.

    Semoga semangat menerbitkan lokal tak berhenti jadi semangat saja, tapi bertransformasi jadi bisnis penerbitan yang dapat diandalkan. Menyenangkan konsumen, menguntungkan penerbit, membahagiakan para komikus.