Thursday, May 31, 2007

GOKIL!

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Entertainment
Author:Miund
Jadi tadi akhirnya saya ke TGA BIP lagi, maksud hati mau ngecek apakah masih ada Kapten Bandung tersisa. Eh ternyata satu2nya komputer pencari di customer service sedang jebol, jadi saya bilang aja ke mas2nya, “Ya udah nyari sendiri aja deh”, sambil terus masuk ke bagian komik. Nggak nemu, berarti mungkin Kapten Bandung udah abis.
Di sebelah rak komik ada rak romance, sambil lewat keliatan baris teratas itu novel2 mistis, baris kedua novel2 film, baris ketiga chicklit.. dan di pojokan ada Gokil! Langsung ambil, bayar, trus nangkring di pujasera sambil baca buku baru ini, sambil nunggu waktunya njemput anak2 pulang sekolah..

Berhubung saya kenal Miund in person, mungkin sulit utk jadi sepenuhnya obyektif dalam menilai buku ini. Tapi saya setuju dengan Ayu (yg sudah nge-review terlebih dulu) utk menempatkannya di bawah kategori “entertainment”, sebab most likely inilah tujuan utama diterbitkannya buku ini: untuk menghibur!
Pertama, ada kejutan cukup lucu ketika plastik segel buku ini sudah lepas dan halaman pertama saya buka: ada bonus pembatas buku mungil di halaman terdepan! Kedua, kertasnya standar lah, nggak bagus2 amat (tipikal penerbit ngirit), tapi lay out-nya membuat tulisan2nya lumayan enak dibaca (← berusaha obyektif juga, secara desainernya adalah adikku). Euh.. kalo mau kritik.. cover-nya aja yg agak2 nggak kompak sama selera (I know I know, I’ll mention no more about it :D). Ketiga, dan seterusnya, adalah tentang isinya.

Tentu sensasinya beda, antara membaca blog dengan buku, meskipun isinya sama. Tentu seru baca blog-nya, karena kejadiannya aktual. Dan tentu juga versi blog-nya lebih komplit, karena tidak ada sensor utk keperluan cetak.. hehe..

Tapi tulisan2 Miund tetep enak dibaca. Meskipun campur2 antara bahasa Indonesia baku, bahasa Inggris, ekspresi2 gaul, hingga ekspresi2 ‘anak Bandung’ yang nyaris2 jadi internal jokes. Because, let’s face it, it turns out that not only she’s a fellow SR-ITB alumni; she’s also a fellow SMA 6 alumni, as well! Jadi dengan mudah terbayanglah tempat2 yg dia sebut, dan tokoh2 yg tampil di tulisan2nya (termasuk Pak Item!). Yang agak nggak terjangkau oleh saya hanyalah bila subyeknya seputar orang2 beken, sebab terus terang saya gasel (gagap seleb) and wouldn’t recognize any (current) superstar if she’s dancing in front of my face waving a neon sign saying “teenage idol here”!

Di pujasera tadi juga saya terpaksa cengengesan sendiri membaca beberapa bagian. Mungkin lagi2 karena terbayang jelas ekspresi wajah dan intonasi bicara para tokohnya yg saya kenal.
Selayaknya blog, isinya merupakan campuran curhat, pemikiran2 (agak) serius, dan cerita2 ringan kejadian saat itu. Meskipun tulisan2 ini dari seorang Miund, tapi sedikit banyak ternyata dapat mewakili seorang saya juga. Contohnya di tulisannya tentang lethal questions. You’ve nailed them, girl, right on the spots! Selebihnya, mungkin Miund memang gambaran seorang wanita muda masa kini, dengan kehidupan karir, pertemanan dan percintaannya (deuuuhh), yg kebetulan berada di tengah2 ‘generasi CiTos’ dan.. apa ya istilahnya utk angkatan sekitar saya? ‘Generasi Aldiron’ kali ya? Hahaha!

All in all, memang saya jadi terhibur baca buku ini. Meskipun saya kategorikan ke dalam kelas snack, bukan main meal, tapi Gokil! tetap saya rekomendasikan ke teman2 utk ikutan icip-icip. Keywords untuk merayu temen2 supaya ngicipin buku ini? Witty, smart, fresh and – dare I say – fashionable. Three and a half stars for Gokil!

To Miund: keep on writing, I’m dropping by your new blog as often as our $&!##y Internet connection permits – and have been enjoying it a lot!


Image source: Miund's Blog

Wednesday, May 30, 2007

memaki motul karena




Ini proyek nggak jadi, karena pemrakarsanya tumbeng di saat2 genting (kuwalat mereun nya'). Tapi isi ceritanya tetep merupakan kenyataan. Selamat mengenal Motul :)

Yaay! Persepolis Movie!


A regular visit to the FirstSecond Book blog brought me the news that 
Persepolis the animated movie is completed, and received a 15 minute standing ovation at Cannes! The International Herald Tribune mentioned it in an article dated May 22nd, Marjane Satrapi at Cannes: An Iranian graphic novelist's coming of age.
There's an earlier post on the same subject here, dated Sept 21st, 2006 - I was so excited then, and am still, now! I hope the movie is allowed to play in Indonesian cinemas (considering it takes a lot of guts to publish the book here), but either way I know I'll collect the DVD :)

Image source: Sony Pictures Classic

Sunday, May 27, 2007

Kapten Bandung 2: Komplotan Abeng

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Comics & Graphic Novels
Author:Motulz
As posted by Tita at http://esduren.multiply.com/reviews/item/45

Adanya isu bahwa album ini sudah ada di pasaran membuat saya mencari2 setiap kali mampir ke toko buku. Setiap kali cek ke customer service, selalu terlihat bahwa stok sedang kosong. Tapi hari ini, di Toko Gunung Agung BIP (Bandung), tertera angka 10 pada layar komputer! Akhirnya berhasil juga album ini terpegang (ada teaser-nya di http://komik.multiply.com/photos/album/18)

Kali ini Kapten Bandung muncul berukuran A5 dan hanya setebal 32 halaman. Kertas dan cetakannya berkualitas standar, namun terlihat bahwa outline gambar tidak tercetak tegas. Melihat ukurannya, album komik ini cukup praktis bila dibaca sambil makan di gerai cepat-saji (= yang saya lakukan segera setelah membelinya).

Ceritanya cukup sederhana, tentang komplotan pencuri sepeda motor, dengan sasaran utama motor2 di kampus, yang aksinya dihentikan oleh Kapten Bandung. Terlepas dari kurangnya greget cerita dan latar belakang (setting) yg kadang2 terlalu 'sepi', album ini tetap memiliki daya tarik. Yap, apa lagi kalau bukan Kapten Bandung itu sendiri yg banyak ditunggu-tunggu oleh para kolektor yang telah mengenalnya sejak terbitan perdananya dulu. Hal lainnya, tentu saja sudut2 kota Bandung yang direkam dan digambarkan dengan baik oleh Motulz. Hanya saja sayang pembuatannya tidak konsisten: beberapa panel, bahkan halaman, diselesaikan tanpa detail (contoh, baliho di jalan berupa bidang kosong, dan tembok di jalanan terlihat bersih). Satu lagi daya tariknya, album ini mungkin bisa sedikit mengobati kerinduan akan komik bermuatan lokal.

Overall, saya beri tiga bintang utk point2 di atas, dengan harapan terbitan berikutnya bisa jauh lebih baik lagi. Ayo semangat, Tul! Ayo Pid, bikin cerita yg lebih seru lagi!


Kapten Bandung: Komplotan Abeng
Ide tokoh & cerita: Motulz
Penerbit: PT. Pendulum Multimedia Kreasi, 2007
ISBN: 978-979-1343-00-8
Harga: Rp. 17.500,-

[klipping] Sang Buddha Nyentrik

Kompas Minggu, 27 Mei 2007

http://kompas.com/kompas-cetak/0705/27/Buku/3556454.htm


Sang Buddha Nyentrik

HIKMAT DARMAWAN

Manga di Jepang telah menyejarah selama kurang lebih 1.000 tahun. Buddha (jilid 1-8) yang merupakan karya maha dari Sang Godfather of Manga, Osamu Tezuka, ini bagaikan menggenapkan lingkaran sejarah itu.

Selama abad ke-6 dan ke-7 Masehi, ada kegandrungan besar di istana kekaisaran Jepang terhadap segala yang berbau Tiongkok. Buddhisme diadopsi sebagai agama baru oleh para penguasa, sekaligus marak pula pembangunan candi agama baru itu. Pada saat yang sama, di dua kuil tersuci Buddha saat itu—kuil Tôshôdaiji dan Hôryûji—tampak berbagai karikatur binatang, manusia, dan sejumlah lingga yang besar dan kasar. Diduga, coret-moret humoristik itu dibuat oleh sekelompok buruh yang bosan.

Pada abad ke-12, seorang pendeta Buddha legendaris, Toba, mencipta serangkaian gambar-humor yang sekarang bisa kita sebut sebagai "kartun". Gambar-gambar itu dalam bentuk gulungan (picture scroll), diberi tajuk Chôjûgiga, atau "Gulungan Satwa" adalah contoh tertua narasi seni komik di Jepang. Bentuknya seperti Wayang Beber di Jawa, di mana narasi visual terangkai secara kontinuum, memanjang ke samping bisa sampai 80 kaki. Sifat kartun narasi ini bak komik-komik Disney saja: monyet yang berperan jadi pendeta, dan Sang Buddha dalam sosok kodok.

Memang ada semangat urakan dalam berbagai "manga" pramodern itu. Buddhisme sendiri, khususnya dalam bentuknya yang hidup di Jepang, seakan mendorong keurakan itu. Seperti kata F Schodt dalam Manga! Manga! The World of Japanese Comics (1983), tradisi Buddhisme di Jepang mengandung sekulerisme yang justru mendorong gurau dan seni yang nyeleneh. Bahkan, pada pertengahan abad ke-17, berkembang bentuk kartun religius yang berhumor dengan tujuan serius (menyampaikan poin spiritual). Namanya, Zenga (gambar Zen).

Seperti kata RH Blyth, dalam Oriental Humor yang dikutip Schodt, "Setiap agama ortodoks selalu menentang, dan ditentang oleh, humor. Hanya (agama) Zen, karena sifatnya yang ...tidak ortodoks, atau lebih tepat nonortodoks, yang justru bersifat humoris, dan harus humoris."

Bacaan dewasa

Latar seribu tahun manga (komik Jepang) itu penting, untuk memaknai Buddha karya Osamu Tezuka yang kini diterbitkan oleh Penerbit KPG. Karya ini adalah karya novel grafis atau cerita kompleks kedua dari Tezuka yang terpajan ke Barat (Amerika Serikat, Eropa Barat). Sebelumnya, sebuah cerita kompleks yang unik dari Tezuka sempat bikin heboh: Adolf.

Memang, Barat pertama kali mengenal Tezuka lewat karyanya semasa pasca-Perang Dunia Ke-2, Astro Boy (Tetsuwan Atomu). Akan tetapi, walau menyimpan ironi Perang Dunia yang cukup tajam, sasaran utama karya ini adalah anak-anak. Ada lagi karyanya yang lain, Black Jack, yang juga diterjemah ke Amerika. Black Jack, seperti Astro Boy, lebih merupakan kumpulan cerita pendek dan bukan sebuah cerita panjang yang bulat-utuh.

Sedangkan Adolf dan Buddha, ditulis sang maestro di senja usianya, dimaksudkan sebagai bacaan dewasa. Adolf bertutur tentang, antara lain, permainan nasib. Dan Buddha adalah curahan pikiran dan perasaan Tezuka tentang hakikat hidup, kehidupan sosial, alam, radikalisme, dan spiritualisme.

Tezuka memilih menutur kisah Buddha versi yang kontroversial. Dalam tradisi Kristiani belakangan muncul sebuah upaya menutur "Yesus historis", untuk memisah dengan versi biblikal yang bersifat mistis. Tezuka bukan hendak menghidupkan versi mitis Buddha, walau unsur mitis itu dipertahankan dalam komik ini. Tezuka juga tak hendak menampilkan versi historis Buddha, walau konteks sosial-budaya-politik-ekonomi (khususnya gugatan keras atas sistem sosial kasta dalam Hindu) ditampilkan juga. Tezuka, rupanya, lebih tertarik versi fantastis, bahkan fabulis, dari Buddha.

Soal konteks, sang tokoh utama, Siddharta yang nantinya akan jadi Buddha, baru tampil pertama kali dalam jilid pertama setebal 400 halaman itu pada halaman 267, bab ke-7, itu pun sebagai bayi yang baru lahir.

Lebih dari separuh awal jilid pertama Buddha dihabiskan untuk kisah dua kutub tertinggi dan terendah dalam sistem kasta Hindu, Brahmana, diwakili Naradatta; dan Sudra-Paria, diwakili Chapra, bunda Chapra, dan Tatta. Naradatta diutus sang Guru mencari dan melayani seorang "besar", dan pencariannya membawa hasil tak masuk akal: orang besar itu, dengan kemampuan cenayangnya yang tinggi, ternyata seorang bocah Paria—golongan yang lebih rendah dari kasta terendah Sudra.

Kisah mereka sungguh elok: rangkaian kejadian ekstrem, pilihan-pilihan moral yang sulit, sebuah pikiran revolusioner (bagaimana melawan sistem Kasta yang bukan hanya mengakar, tetapi juga religius), dan sebuah gagasan tentang hidup dan pengorbanan yang tajam. Halaman 206-207 menggambarkan pengorbanan Tatta untuk dimakan ular demi hidup Naradatta dan ibu Chapra. Pada halaman 210, nilai pengorbanan itu seperti sia-sia, sebuah olok-olok atas "kebodohan" Tatta.

Banyak kematian terjadi di jilid pertama. Naradatta pun mengalami kejatuhan, ia hidup bagai hewan. Semua terjalin menjadi jaring plot yang memengaruhi langkah-langkah Siddharta remaja di jilid 2. Pada jilid 2, Tezuka menampilkan bahwa titik balik Siddharta menjadi Buddha tidaklah terjadi begitu saja. Prosesnya panjang dan berliku, bahkan sudah terjadi sejak Siddharta muda, ketika ia bertemu dengan Tatta (yang sudah dewasa). Versi yang terkenal, tentu, adalah Siddharta mendapat pencerahan saat ia telah menikah dan "tiba-tiba" berjumpa segala penderitaan di luar istana. Versi Tezuka, Siddharta adalah pemuda berbakat gelisah, yang tak bisa terima begitu saja segala kenyamanan hidupnya sebagai seorang pangeran.

Karakterisasi dan plot dari epik fantastis ini begitu kuat sehingga berbagai ke-nyentrik-an komik ini (misalnya, cameo Prof Ochanomizu dari Astro Boy pada Buddha jilid 1, hal 307) tak jadi mengganggu, malah menambah daya tarik.

Juru cerita ulung

Sekilas lihat, teknik dan gaya gambar para karakter rekaan Tezuka dalam Buddha agak ketinggalan zaman. Tetapi, sekilas lihat juga, biasanya, terasa ada sesuatu yang "aneh" dalam halaman-halaman komik karya Tezuka ini. Sesuatu yang menarik perhatian. Ketika kita mencoba membaca barang sedikit, maka "jebakan" itu pun bekerja: perhatian kita tersedot oleh cerita, dan tak lama, kita ketagihan.

Yang demikian itu terjadi karena Tezuka adalah seorang juru cerita yang ulung. Perangkat naratifnya yang utama adalah bahasa komik yang sinematis. Memang, sejak awal kariernya, ketika berumur 20 tahun (pada 1947), ia telah memiliki kesadaran penuh akan pengaruh film pada komik—dan memanfaatkan pengaruh itu dengan baik.

Tezuka mengaku, film-film Perancis dan Jerman yang ia saksikan sewaktu masih sekolah jadi modelnya dalam bertutur. Ia bereksperimen dengan teknik close up, angle yang berbeda-beda, dan menggunakan banyak bingkai/ panel untuk menggambar sebuah gerakan atau ekspresi wajah. Hasilnya, komik pertama Tezuka, Shintakarajima ("New Treasure Island"), setebal 200 halaman memberi pengalaman seperti "menonton film" bagi pembacanya. Tanpa promosi apa pun, komik itu terjual hingga 800.000 eksemplar pada masa terbit awalnya.

Secara khusus, Buddha seperti membulatkan sejarah 1.000 tahun manga: bermula dari lingkungan Buddha, digenapkan dengan sebuah epik tentang Buddha.

Hikmat Darmawan Pencinta Komik

[berita] Telah terbit: Jogja 5,9 Skala Richter

Kontributor: Anto Garang, Azisa Noor, Alfarobi, Asnar Zacky, Beng Rahadian, Budiono, Devia, Diyan Bijac, Endik Koeswoyo, F Agung, Ganjar W, Hanree, Herjaka, Injun, Mario Diaz, Man, Motulz, Nana Twins, Iput-Oyas, Ones, Rudi GM & Tita

Design, Layout & Editorial: Akademi Samali
Penerbit: Aruskata (2007)

Cover: Art Paper (F/C)
Isi: 104 halaman (puisi, komik dan artikel)
Harga: Rp.30,000;
Pemesanan:
bangwin@yahoo.com  
http://toko.bangwinet.com/


Buku komik ini adalah kompilasi karya-karya komik dalam rangka mengenang musibah gempa bumi Yogyakarta, 27 Mei 2006 lalu. Menurut rencana akan diterbitkan oleh Akademi Samali bertepatan dengan
peringatan satu tahun. Tercatat ada 18 judul komik yang terangkum disini. Kisah yang diutarakan dalam setiap judul sangat bervariasi, namun benang merahnya tetap terjaga.

Simaklah "Keberanian, Harapan, Cita-cita" karya Mario Diaz yang mengkisahkan seorang gadis cilik yang merenung nyaris putus harapan. Berterima kasihlah ia kepada boneka beruang nya yang memberikannya semangat untuk tetap menggapai cita-cita. Ada pula "Pak Gempa" karya Endik Koeswoyo dan Diyan Bijac dengan tokoh utama bernama Bapak Gempa Melanda Hadiningrat. Narasi yang disampaikan pak Gempa seakan menjadi refleksi suara hati para korban. Hanya dalam sesaat ia kehilangan rumah dan (mungkin) sebagian anggota keluarganya. Secara cerdik pembaca diajak melihat pengalaman sehari-hari para korban. Katakanlah kesulitan mendapatkan bahan pangan dan sandang, karena harus melengkapi ketentuan administrasi.

"Namaku Tini" dipersembahkan oleh Anto Garang dengan ilustrasi yang sangat realis. Seorang gadis cilik menyesali sikap manja dan merajuk kepada kedua orang tuanya. Tanpa disadari ia berdo'a kepada Tuhan agar ia dapat pergi meninggalkan ayah ibunya. Beberapa jam kemudian musibah datang dan kini ia sebatang kara, menyesali bahwa apa yang ia harapkan menjadi kenyataan. Nampak pula "Asa" karya Aziza Noor dengan gaya ilustrasinya yang khas, namun kini tanpa kata. Empat halaman penuh gambar tanpa teks sudah cukup menyampaikan pesan.

Zacky secara cerdas mampu merangkaikan kata-kata dan gambar pada "Suatu Saat di Jogja". Sulitnya bantuan menjangkau wilayah terpencil, atau para pejabat, artis atau anggota partai yang berbondong-bondong menyerahkan bantuan sambil direkam kamera TV. Sedikit berbeda dengan Anto Motulz dalam "Tragedi di Sebuah Jembatan" yang mengambil kisah sempalan pengalaman para pengemudi truk bantuan kemanusiaan. Peristiwa nyaris celakanya para pengemudi bersama truk saat jembatan roboh adalah salah satu contoh peristiwa yang dapat saja terjadi saat itu.

Komik yang membuat kita membaca ulang beberapa kali mungkin hanya "Tidur Panjang" karya Beng Rahadian. Rangkaian gambar surealis tanpa teks nampak sangat sulit dicerna para awalnya. Namun perlahan pembaca dapat merasuk ke dalam pesan yang ingin disampaikan. Selain mereka semua, masih ada pula karya Mansjur Daman, Injun, Tita, dan
lain sebagainya.

Tak banyak komik bertema memoir di Indonesia, termasuk dengan tema musibah bencana alam. Apa yang dilakukan para komikus ini patut mendapat pujian. Sebuah rasa simpati kepada saudara kita yang tertimpa musibah dapat direfleksikan dalam berbagai rupa. Disini kita menyaksikan bahwa sebuah (kompilasi) komik juga dapat berbuat banyak untuk memberikan semangat hidup kepada para korban.

suryo (komikindonesia.com)


Seno Gumira Ajidarma (Sastrawan):
"....Saya kira, meski tak saya sebutkan, semua penggubah dalam buku ini telah
memberikan kontribusi makna yang tidak dapat diabaikan: Bahwa cerita grafis
lebih dari mampu menggugah jiwa manusia. Saya berpendapat bahwa komik Indonesia
bisa mendapatkan tanggapan bermakna, hanya jika memasuki wilayah dengan makna
yang paling ketat perjuangan ideologis dalam pembebanan maknanya�yakni masuk ke
tengah-tengah persoalan dunia nyata. Maka, bagaimanapun bentuknya, memasuki
wilayah tematik gempa merupakan langkah yang penting bagi komik Indonesia"

Butet Kartaredjasa (Presiden Republik Mimpi):
"Kekuatan sihir juga bisa muncul dari sebuah komik, maka komik ini pun menjadi
sebuah sihir yang menggedor kesadaran kemanusiaan kita"

Surjorimba (komikindonesia.com):
"...Saat menutup lembar terakhir, kita akan sadar bahwa gambar yang bercerita
dapat menyampaikan sejuta pesan"

Friday, May 25, 2007

Balloon, Board, Bdg-Jkt




Stories of the week

Nah Lo.. Part 2

Belum lama ini kan gue dapet email dari Multiply soal Copyright Violation. Habis itu gue batasi akses ke semua playlists gue, jadi hanya para contacts yg bisa liat. Ternyata setelah aksesnya  terbatas ini, gue jadi banyak banget dapet 'request to become a contact' yang - sebagian besar dari mereka ngaku - hanya ingin jadi kontak supaya bisa nyedot lagu2 dari playlist gue. Aneh2 aja, ada yg "minta lagu coboy-nya dong". Lha, gue tau Coboy aja enggak. Malah kemaren ada yg langsung minta "semua lagu2 Katon lengkap". Langsung decline! What do I look like, a free music bank?!

Nah tadi pagi gue dapet lagi email dari Multiply:

Multiply - Copyright Violation

We have received a Digital Millenium Copyright Act (DMCA) request to remove one or more content items from your Multiply site. Per the DMCA, we are required to act when a copyright holder claims someone is sharing their content without permission. For now, we have changed the access on the item(s) reported so that only you can access them going forward. We suggest you remove these item(s) completely, as well as any others that may contain copyrighted material. We reserve the right to cancel your account if we discover another violation.

Here is the list of items that were reported to contain copyrighted material:
http://esduren.multiply.com/music/item/151
http://esduren.multiply.com/music/item/73
http://esduren.multiply.com/music/item/183
http://esduren.multiply.com/music/item/56
http://esduren.multiply.com/music/item/66

If you believe these item(s) do not violate any copyrights, please contact customer service here: http://multiply.com/info/inquiry

Thank you for understanding.

Multiply customer service


Jadi barusan lagu2 di playlists gue kosongin, tapi gue biarin intro dan komentar2nya. Coba sebelum Multiply main apus (yg dulu), ada email spt ini juga supaya playlist-nya nggak langsung ilang. Setuju juga kata Ipih, kenapa fasilitas download-nya nggak diblok aja dari Multiply-nya, sementara fasilitas utk upload tetap ada.
Ya sutraa..
Have a lovely weekend, all!

Kapten Bandung: Komplotan Abeng

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Comics & Graphic Novels
Author:Motulz
Adanya isu bahwa album ini sudah ada di pasaran membuat saya mencari2 setiap kali mampir ke toko buku. Setiap kali cek ke customer service, selalu terlihat bahwa stok sedang kosong. Tapi hari ini, di Toko Gunung Agung BIP (Bandung), tertera angka 10 pada layar komputer! Akhirnya berhasil juga album ini terpegang (ada teaser-nya di http://komik.multiply.com/photos/album/18)

Kali ini Kapten Bandung muncul berukuran A5 dan hanya setebal 32 halaman. Kertas dan cetakannya berkualitas standar, namun terlihat bahwa outline gambar tidak tercetak tegas. Melihat ukurannya, album komik ini cukup praktis bila dibaca sambil makan di gerai cepat-saji (= yang saya lakukan segera setelah membelinya).

Ceritanya cukup sederhana, tentang komplotan pencuri sepeda motor, dengan sasaran utama motor2 di kampus, yang aksinya dihentikan oleh Kapten Bandung. Terlepas dari kurangnya greget cerita dan latar belakang (setting) yg kadang2 terlalu 'sepi', album ini tetap memiliki daya tarik. Yap, apa lagi kalau bukan Kapten Bandung itu sendiri yg banyak ditunggu-tunggu oleh para kolektor yang telah mengenalnya sejak terbitan perdananya dulu. Hal lainnya, tentu saja sudut2 kota Bandung yang direkam dan digambarkan dengan baik oleh Motulz. Hanya saja sayang pembuatannya tidak konsisten: beberapa panel, bahkan halaman, diselesaikan tanpa detail (contoh, baliho di jalan berupa bidang kosong, dan tembok di jalanan terlihat bersih). Satu lagi daya tariknya, album ini mungkin bisa sedikit mengobati kerinduan akan komik bermuatan lokal.

Overall, saya beri tiga bintang utk point2 di atas, dengan harapan terbitan berikutnya bisa jauh lebih baik lagi. Ayo semangat, Tul! Ayo Pid, bikin cerita yg lebih seru lagi!


Kapten Bandung: Komplotan Abeng
Ide tokoh & cerita: Motulz
Penerbit: PT. Pendulum Multimedia Kreasi, 2007
ISBN: 978-979-1343-00-8
Harga: Rp. 17.500,-

Saturday, May 19, 2007

Long weekend?




Our kids' school removed the Thursday holiday to Friday, so on Thursday I and Syb had a 'day off' and managed to do some stuff together. We had lunch at Victoria Café - and herewith is their folder for anyone interested (*wink at Chica*).

Friday, May 18, 2007

Duh Gemesnyaaa*)



*)Note: I wrote an Indonesian expression as the title since I couldn't find any sufficient English version.

As most of you have known, I've been looking for a replacement *sniff* for my currently-dead iMac. Yesterday, we finally got the chance to browse at IBCC, which is reputed to have the most complete Mac shop in Bandung. The shop, which turned out to be not so big, nor so impressive, is called IforDay.

I wasn't really sure about what I was going to have. At first I had an eye on an iMac desktop, but after considering for a while, my choice went to a MacBook. I opted for a black one, but they didn't have any in their stock. Ordering to Jakarta was not possible either, because (according to an attendant who served us) there will be a new one for this variation, so no black one will be delivered until the next 2-2,5 weeks. The 'new one' (the black one with a new processor?) is said to be here after one month. I can't afford to wait that long.

The white ones are available, so we said we'd take one. The same attendant immediately prepared a new one for me, installing softwares and such. He asked us to choose one of the two bonuses to go with the MacBook: an outer-surface protector or a screen shield. We chose the latter, so after the installing was done, the attendant had the shield spread on the screen for us (we know we would be so clumsy doing this, and therefore were grateful for this extra service).

Paying time. We of course didn't bring that much cash, so I could only make a down payment and come back some other day with the rest and to pick up the MacBook. We didn't pay with credit card because, if it's not from BCA, they'll charge you 3% (which is about the amount of Lindri's school fee).

Now the *gemes* part comes. My BNI Bandung account contains much too few amount, and so does our PostBank account. Our ABN Amro Netherlands, both my own and our joint accounts, keep a substantial number. But here lies the problem: a letter of request to activate our Internet banking has been sent to our ABN Amro representative in Amsterdam - but they haven't responded. Therefore our bulk in those accounts are virtually useless. The ABN Amro in Bandung can't help us here, because they don't have an online arrangement(?) with ABN Amro Netherlands.

There is one hope yet: my ABN Amro Jakarta account. It has the right sum of money and (after inquiring via telephone) it is possible for me to make a withdrawal in Bandung, as long as I provide my ID card. Sounds easy, isn't it. I thought so - but I was wrong.
This morning I went to an ABN Amro office, directly to the Customer Service. Everything went smooth and quickly until it's time for me to receive the money. The teller said that my account is blocked. It's true that I haven't been using this account for years and have only been receiving regular courrant accounts.

I had to wait for about half an hour until the personnel who attended me was available again. When it's finally my turn, she tried to call my contact person at ABN Amro Jakarta , but didn't succeed. She then tried to get in touch with a general banking personnel, and so on. All these trying, waiting and dealing took about one hour, until a conclusion was drawn: they can unblock my account and move it to Bandung (my current domicile), but it takes time. I can perhaps withdraw my money on Monday - at the soonest - when everything is taken care of.

Until then, I'll just have to yearn for my MacBook that is stored at IBCC, far down the South of Bandung. In the meantime, to amuse myself, I'm browsing on the Internet for MacBook sleeves :D I hope I can get this banking business straight and pick it up on Monday already!

Image source: http://en.wikipedia.org/wiki/MacBook











Wednesday, May 16, 2007

Going There and Back




I'm taking you through my regular route, from home to school and back.

[titipan isan] PIMNAS 97 di Bali


Ini meja kerja si Isan. Waktu itu salah satu tempelan kertas di dinding ada yg bikin Motul jiper..

Ini foto2 temuan Isan, temen seangkatan di Desain Produk ITB yg sekarang juga ngajar di situ.

Case: Closed



Wednesday: Court Day. I went to PN early, as usual, this time at about 09.30. The panitera, Mr. A, saw me and told me to stay put, to wait where I was. I continued my 'waiting' activities: reading research materials and drawing in my sketchbook.

10.00 The appointed time for us to meet the judge. No sign of anything. Continued waiting..

10.30 A couple of women in civil servant uniforms came and sat accross my bench. I recognized one of them, Mrs. H, as the Sub-division Head of Registration at DisDuk (the Civil Registration Office). She recognized me, too, and indeed she was to be our 'expert witness' today.
I went upstairs to see Mr. A, letting him know that our witness has arrived. He went to check the judge but, he said, she's still in a meeting. We were told to wait. Mrs. H. had another case to go, too, so she (and her assistant, apparently) took care of that first - and that was done rather quick.

11.00 Mrs. H had works to do someplace else, so she preferred not to wait any longer. I looked for Mr. A again, saying that Mrs. H would have to leave and that I didn't want to have another postponement. He said the judge was still in a meeting and would us please wait another while.

11.20 Mrs. H was kind enough to wait this long, but she really had to leave. Mr. A finally let us approach to the judges' chambers (it's in a big building, you need a password to enter). The judge was talking to a guest (a lawyer, perhaps), but knowing the situation, she let Mrs. H in. They knew each other already, because it turned out that it's not the first time for Mrs. H to appear in court as an 'expert witness' - she's done that plenty of time for various cases concerning civil registrations.
Mrs. H and the judge talked in private. We were then told to wait in Court Room II, second floor, above Juvenile Court Room.

11.50 Mrs. H, her assistant and I were still waiting in Court Room II, without any sign of the judge appearing. Mr. A had to check down-and-upstairs for the judge, and he looked annoyed, too - especially everytime Mrs. H asked him, "Where is she?"
At a point, we all went downstairs because Mrs. H would like to cancel the trial. She said, the judge has met her and acquired formal information from her, so she didn't actually need to appear in person anymore. She could make a letter containing the judge's inquiries.

12.00 We went into the court room again because we saw the judge coming. Our session finally started.

12.20 We were done listening to our expert-witness. The judge said that she had to make sure about the procedure (concerning the registration), so her decision can be followed-up. She then allowed Mrs. H to leave the room, before turning to me to read her decision, that she allowed our marriage certificate to be registered as valid according to the Indonesian law. She hit her hammer on the table: case closed.
Thank God! Finally! *does Snoopy dance*

12.30 I followed the panitera to his office to take care of paper works. Mind you, this is Mr. A, the money-crazed civil servant. So, despite the fact that I was so relieved (that the case is over), I knew that the moment I dread would come soon. As easily predicted, Mr. A rightaway asked for a sum of money, so he can process the paper works (which are: a letter of statement from PN that our marriage certificate is allowed to be validated at DisDuk). Too bad the office was empty (it's lunchtime!) so nobody could hear our conversation, nor I could embarrass him (as if that's possible) in front of his colleagues.

T: Fine, just give me the bill and I'll pay according to the amount.
A (acting as if he looked for them his drawers): Oh, but I don't keep any kuitansi here. Why don't you pay now and I'll give you the receipt when you come to pick up the letters.
T (too tired to protest, I took out 50K IDR and shoved it in front of him): This will do, I presume?
A (snatching the money from the table): Oh, yes.
T (getting up): OK, tomorrow is a holiday, so can I pick it up this Friday?
A: Yes, but I have a plan with my children already. Perhaps not Monday, but please come again on Tuesday and I'll have it ready for you.
T (leaving his desk): Right, Tuesday, then.
A: Hold on.. Let's say this payment is for the notulensi, allright? So you'll still have to pay for the Letter of Statement. Do that when you pick up the letter. How about that?
T (stopped on track and was getting reeaally tired - mumbling): Yea perhaps. We'll see. Bye.

Dear readers, I'm not an anti-tipping person, nor a cheapskate in the department of rewarding deserving people. Had Mr. A not ask to be given money (in his harsh way, I might add), I would not be so reluctant as I am now. Anyways, this matter will be taken care of next week.
Afterwards, I'll have to go to DisDuk to have our marriage certificate validated - also our kids' birth certificates. Then to KanWil HukHAM, to apply for our kids' dual nationality. There's still a long way to go, but at least this phase is over. The glass is half full!

Thank you all for your moral support, which could really boost my spirit going through all this mess. More updates to come :)




Tuesday, May 15, 2007

Nah Lo..



Tadi pagi email ini masuk ke inbox gue:


Multiply - Copyright Violation


One
or more of your content items was found to be in violation of
Multiply's terms of service regarding copyrights. We have deleted the
item(s). We suggest you do the same with any other itmes that may
contain copyrighted material. We reserve the right to cancel your
account if we discover another violation. Here is the list of items
which contained copyrighted material:

http://esduren.multiply.com/music/item/56
http://esduren.multiply.com/music/item/9
http://esduren.multiply.com/music/item/151
http://esduren.multiply.com/music/item/183
http://esduren.multiply.com/music/item/96

Thank you for understanding.

Multiply customer service


Tadinya
ada 11 playlists di sini, sekarang jadi 6. Diliat2, ternyata yg
dihilangkan itu yg kumpulan lagu2 Disney, akustik & live version
Duran Duran, lagu2 80s, sama entah apa lagi (lupa.. hehe).

Ya
sutra lah, emang udah lama nggak upload lagu2 juga.. dan memang sudah
agak sadar setelah ngobrol ama Motulz si aki serba tahu, waktu gue
masih di Amsterdam dulu :D
















Saturday, May 12, 2007

Album SMA (1988-1991)




These are selected photos from my Senior High School albums, scanned and uploaded due to our plan to make a huge reunion event. This first batch is from my first-grade era, more will come up.

Following is a list of events that are featured in these photos:
- Pesta Perkenalan kelas 1-7, 6 Agustus 1988, di rumah Ade Nanis, Permata Hijau
- Acara Akhir ekskul basket di Cipanas
- PAMSOS 89 di SMA 6
- Student Camp XX di Situ Gunung, 13-16 Juni 1989, diadakan oleh Trupala
- Perpisahan kelas 1-7, 7-8 Juni 1989 di villanya Eqwin di Cibulan
- Try Out ekskul basket di Bandung

Thursday, May 10, 2007

Colouring Plates




Tul, ini baru gue buka buat lu doang, buat diliat2 :D Silakan dipilih2, gue masih bikin lagi kok. Yg ini dari seri binatang piaraan, nanti akan ada kebun binatang, sama hewan ternak.

Just So




A depiction of our happenings last week. The first batch, Blasted!, is about how I spent hours at the office of Pengadilan Negeri last Wednesday. The second batch is just Dhanu being silly. I've also uploaded two extra pages in the This and That album: Q SmokeHouse and H.E.M.A. Dutch Resto (watch out, lots of food here).

Upah Makan Siang: Rp. 10.000,-/orang/hari



Pada tau nggak, bahwa ada peraturan baru dari pemerintah (mulai berlaku Januari 2007), bahwa PNS (Pegawai Negeri Sipil) sekarang harus tanda-tangan absen tiap hari utk dapet uang makan siang sebesar sepuluh ribu rupiah? Ini berlaku juga utk lingkungan kerja saya, sebagai dosen di ITB (nevermind about becoming a BHMN, we're all still expected to be PNS).

Setiap hari kami disodori map berisi daftar nama untuk ditanda-tangani. Mau nggak mau, hanya para dosen yg hadir di kampus (or, to be more precise: di kantor Kelompok Keahlian/KK masing2) yang berhak mendapatkan upah makan siang ini. Jadi pada akhir bulan, daftar tanda tangan ini dihitung2, dijumlah2kan, dan para dosen dipersilakan mengantri di kantor fakultas utk mengambil sejumlah uang tsb. Katakanlah dalam sebulan si dosen hadir setiap hari kerja, berarti Rp. 10.000,-/hari x (4 minggu x 5 hari/minggu) = Rp. 200.000,-. Padahal belum tentu dalam sebulan itu si dosen hadir penuh, jadi rata2 jumlah yg diambil adalah sekitar 150-170ribu.


Mind you, uang ini harus diambil sendiri oleh ybs. di bagian keuangan kantor fakultas, tidak boleh dikuasakan, tidak bisa ditransfer ke rekening bank masing2. Tidak boleh diambil secara kolektif oleh pegawai admin KK utk kemudian diserahkan kepada ybs. di ruang KK masing2. Harus diambil pada saat yg ditentukan pada bulan itu juga, sebab bila tidak, akan hangus(!).

Jadi masalahnya di mana?
1. Perihal uang makan itu sendiri. Kalau memang masing2 PNS berhak atas uang makan siang sebesar 10K/hari, kenapa tidak langsung dimasukkan ke gaji saja?
2. Perihal daftar hadir. Apakah hadir setiap hari itu menjamin produktivitas seseorang? Dan hanya para pencil-pusher semacam ini kah yg 'layak' diberi imbalan makan siang?
3. Perihal resiko 'bocor'. Dalam prosedurnya, tentu saja banyak peluang utk melakukan kecurangan. Tanda-tangan? Ah, bisa nitip. Nggak diambil sampai akhir bulan? Berarti jatah hangus - tapi uangnya terus ke mana?
4. Perihal buangan waktu dan limbah. Setiap hari ada lembaran2 kertas A4 (tidak bolak-balik) utk absen dosen. Berapa rim habis utk satu kampus dalam sebulan? Utk sekian ratus instansi di Jawa Barat? Di seluruh Indonesia? Lalu tenaga yg merunut dan menghitung tanda-tangan masing2 PNS.. berapa jam waktu terbuang utk hal remeh-temeh ini?
5. dll, bikin kesel kalau dirunut semua.

Perlu diingat bahwa kebijakan ini berlaku utk PNS di seluruh Indonesia. Bayangkan PNS di sektor2 lain, dengan tingkat yg berbeda2. Bisa2 jatah mereka jadi sasaran empuk oknum2 administrasi dan para personel di lingkungan kerja mereka. Ditipu2, dihalang2i dan dipersulit utk memperoleh haknya - padahal mungkin sekali 10ribu itu adalah sangat berharga bagi mereka.

Bukan berarti saya nggak menghargai uang, seberapapun jumlahnya. Tapi prosedurnya ini sama sekali nggak smart dan sama sekali tidak elegan. OK, coba kita go with the flow. Sekitar dua minggu lalu saya dan dua orang rekan kerja berniat mengambil hak kami utk bulan April. Di bagian keuangan, ada satu map berisi daftar nama para dosen (menurut abjad), di sampingnya terdapat jumlah hari kehadiran masing2, keterangan jumlah uang yg berhak mereka peroleh, dan terakhir adalah kolom tanda-tangan setelah uang diambil.
Ketika tiba giliran saya, terlihat bahwa nama saya, jumlah hari dan uang telah tertera pada map, tapi dicoret habis (pakai pensil!). Menurut mereka, saya belum berhak mendapat jatah makan siang ini karena gaji saya belum 'jalan' (it's true, saya belum juga digaji oleh ITB karena masih harus menunggu SK dari Dinas Pendidikan Nasional utk 'meresmikan pengembalian saya sebagai PNS di ITB').

Tentu saja ada pertanyaan, "Kok dicoret? Siapa yg nyoret?"
Kata mereka, "Dari atas sudah dicoret, Bu"
"Kalau dari atasnya tidak disetujui, mestinya kan namanya juga belum ada, dong? Ini kok tertulis jelas, dengan detail jumlahnya sekaligus?"
"Yah.."
"Uangnya ke mana dong? Masa ditarik lagi?"
"Ya nggak ada, Bu"
Terus terang saya risih dan malas utk mempersoalkan uang segitu. Makanya nggak saya perpanjang lagi, dan bersama rekan2 tadi, keluar dari kantor fakultas dengan penuh tanda-tanya.

Please, people, I have more important things to do and think about. I value my time and thus prefer to not make a fuss over this petty business. I just wish our government makes no more silly -no- stupid regulations!




Wednesday, May 9, 2007

"..biayanya sudah habis, Bu.."


Bagi yang masih mengikuti serial "Balada Pengadilan Negeri": ini adalah lanjutan dari bagian sebelumnya, di mana saya diminta ngisi pulsa henpon sang Panitera. Tentu saja nggak saya kasih dan sejak itu saya nggak pernah kontak2 ybs lagi melalui HPnya. Kali ini ttg penundaan sidang selama 3 kali, termasuk dengan yg terjadi hari ini:

1. Rabu 25 April. Saya datang pk. 10.30, ke kantor Panitera, Pak A. Menurut rekan2 seruangannya, Pak A ada tapi sedang keluar sebentar, mohon ditunggu. Saya tunggu sampai tengah hari tidak muncul2, saya cari di koridor, dekat kantor hakim, juga tak ada. Terpaksa saya tinggal saja.

2. Rabu berikutnya, 2 Mei, saya datang lagi (pk. 10.00) dan berhasil menemui Pak A. Saya bilang, menurut personel Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DisDuk), surat keterangan dari mereka biasanya sudah cukup utk memenuhi persyaratan sidang. Jadi tidak perlu menghadirkan seorang staf ahli sebagai saksi dalam sidang, seperti yg diminta Ibu Hakim. Yang terakhir ini tentunya bisa saja, tapi harus ada surat panggilan resmi dari PN. Menurut Pak A, kita laporkan saja ini sekaligus ketika menghadap Bu Hakim.

Jadilah kita menunggu Bu Hakim, yg katanya sedang di jalan. Tapi sampai lewat pk. 12.00 pun beliau belum tiba, jadi saya dianjurkan utk datang saja lagi minggu depannya, toh sekalian bisa bersamaan waktunya dengan kehadiran staf ahli dari DisDuk tsb. Dia pun menambahkan, "Mungkin juga Bu Hakim ada halangan, karena sekarang sedang ada hajatan". Bukannya bilang dari tadiii!

3. Rabu berikutnya (hari ini), 9 Mei. Saya sudah duduk manis di kantor PN sejak sebelum pk. 08.00 karena langsung ke sana dari mengantar anak2 sekolah. Pak A tiba sekitar pk. 09.30, lalu duduk di dekat saya. "Begini, Bu", mulainya, "Kami kan sudah menyiapkan surat panggilan utk staf DisDuk, tapi karena biaya utk kasus ini sudah habis, maka undangan ini belum dikirimkan. Jadi hari ini belum ada saksi yg dipanggil".
"Jadi biayanya harus saya tambahkan berapa, dan harus saya bayar di mana?" tanya saya cepat. "Di bagian kasir, di Kantor Perdata". Lalu kami sama2 ke sana. Ternyata ini kasir yg pernah memberi saya tips seribu rupiah.. haha..

Pak A (ke kasir): Bu, ini mengenai kasus nomer 74, biayanya sudah habis kan ya?
Kasir: Untuk pengajuan perkara? Atau apa?
Pak A: Ini untuk mengirimkan undangan penghadiran saksi.
Kasir: Oooh untuk itu mah masih ada, kasus 74 kan? (sambil melihat ke map saya) Iya ini masih ada kok. Kemaren itu Pak B salah berarti mintanya, dia bilang buat perkara baru, makanya saya bilang abis. Kalo buat undangan aja mah masih cukup.
Pak A: Oh, ya sudah, kalau begitu ini bisa dikirimkan. (beralih ke saya) Salah, Bu, kemaren, pesennya..
Saya (yg selama transaksi ini cuma nonton): Oh gitu. Jadi saya nunggu Bu Hakim aja ya sekarang.
Pak A: Iya, lapor saja bahwa saksinya belom ada.

What a bunch of incompetence! Saya duduk nunggu lagi sampai lewat jam 12 siang. Pak A menghampiri lagi sekitar pk 12.30 utk menyarankan saya pulang, sebab Bu Hakim datangnya pasti siang. Sekaligus menunggu kehadiran saksi dari DisDuk. Hari Rabu berikutnya saja datang lagi.
Oh I'm so not looking forward to next Wednesday!

Tapi yah emang musti dilakuin aja kali ya.. secara gue nggak ngasih 'salam2 tempel' acan.. :P







Saturday, May 5, 2007

H.E.M.A. Dutch Resto

Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: European
Location:Jakarta
Here's the situation: it was definitely lunchtime and we needed a quick bite - one that our kids would really eat (they have become very picky recently) but no fastfood chain, please. And preferably nearby, since we had to catch our transportation back to Bandung in a couple of hours. My mother suggested this Dutch Family Restaurant, which sounds quite proper for our situation, so we went there. The restaurant is called H.E.M.A., a name not unsimilar to an established retail store in The Netherlands, but this one stands for Halal, Enak, Murah, Artistik (Halal, Tasty, Cheap, Artistic).

The interior has the notion of a wooden cottage; wooden elements (mock fences, tables and chairs, pilars) are spread around the place. Tiny gimmicks from The Netherlands can be found everywhere. You know, those small wooden 'klompen', plastic tulips, miniature windmills, cheese cutting board and Delft-blue ceramics. Feel at home yet? There's a television at one corner, broadcasting a Dutch program, although you could barely listen to it.

We quickly ordered our meals: tuna sandwich for Syb, fries and mayo for Dhanu and Lindri, a hot dog for Dhanu, fish and chips and cream mushroom and chicken soup for me. For my mother, a portion of sirloin steak. On to the food..
My soup arrived first, in a common soup-bowl, dashed with croutons and a sprig of parsley. Lindri ate all the croutons and gave the rest to me. It tasted decent, but not special.
Syb said his sandwich had a strong mayonaise taste, but hardly any tuna at all. Dhanu enjoyed his hotdog, that was completed with zig-zagged mustard and ketchup, although I wasn't impressed by the sausage at all. Both kids were happy with their fries, of course, which were cut 'Belgian-fries' style: thick, random and a bit rough. The fries were served in pressed wooden bowls, based with an oil paper, but lots of pieces were soaked and rather greasy. The 'mayonaise' was perhaps mixed with a bit of mustard, and were served in a small plate, garnished with parsley sprigs.

My fish and chips. It was probably a big mistake to order this food in a 'Dutch restaurant'. I hoped for at least a decent chunk of deep-fried fresh fish (while realizing that there's no way I would get kibbeling as a nice surprise). But what came in front of me were two patties of fried, coated frozen 'fish', which was hard to cut and evenmore to chew. Don't even ask about the taste. It's a wonder I finished them anyway. My fries were no different from the kids'. But the sauce! I thought it was tartar sauce of some sorts.. but it turned out to be a 'tuna mayonaise'! Just imagine my surprise when applying a knifepoint of that sauce to the already-ruined fish patties. Oh and of course that sauce was garnished with a parsley sprig, too.

What's for dessert? Syb ordered 'klappertaart' and a cup of black coffee, and I a portion of vanilla ice cream. The klappertaart appeared different from klaapertaarts I knew before: this one was served in a single, round aluminum baking container, and shaped like the top of a high ice cream cone. It tasted fine, though. The ice cream came in two scoops, one was dressed with strawberry syrup(?) and the other chocolate fudge. I only ate a spoon of it, the rest was claimed by Dhanu.
My mother actually ordered a portion of poffertjes as well, but it came only after we've paid and all (poffertjes included), so we had it packed to bring. I didn't get to taste it but my mother said it's just so-so.

All in all, the food was allright and edible, although not spectacular. The place was nice, the service good, the ambience friendly (nevermind the kitsch, the Dutch gimmicks and the noisy teenagers who seemed to consider this restaurant their hanging place). The toilet, however, was small but pleasant.
Will we come back to this place again? Maybe, if we feel like trying other dishes on the menu (there's hutspot met klapstuk!). It's just too bad that they don't really serve the Dutch rookworst, or ewrtensoep.


Scale 1 to 5
Service: 3,5
Food: 2,5
Ambience: 3
Price: 3,5
Total: about 3


H.E.M.A. Dutch Resto
Jl. K.H. Akhmad Dahlan No. 18
Keb. Baru, Jakarta Selatan
T +62 (21) 739 3891
F +62 (21) 725 2712
W http://www.hemaresto.com/

Drawings, coming up! :D

Friday, May 4, 2007

An Eventful Weekend




Last weekend was really hectic, but still fun. Here's a brief note of how it went, plus some pages about my dead iMac..

Sick Week




These pages are (gladly) from long ago, where the whole house was sick. Due to technical difficulties (*ahum*deadimac*ahum*), I could only scan and upload these pages today, so some of you might have seen this in my sketchbook.