Sunday, July 30, 2006

Pompadour Lunchroom & Chocolaterie

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: European
Location:Kerkstraat 148, Amsterdam
Tiba-tiba gerimis turun di siang hari terik itu. Saya, Dhanu (anak saya, berumur 5 th) dan Chica (sepupu saya) baru saja keluar dari Lambiek, toko dan galeri komik andalan saya yg terletak di Kerkstraat. Berhubung telah berhari2 cuaca panas terus, ditambah teriknya sinar matahari di siang bolong, kami sama sekali tidak siap menempuh hujan: masing2 hanya mengenakan kaus lengan pendek, celana pendek dan sandal, tanpa membawa payung atau jas hujan. Rintikan gerimis makin menebal ketika kami mendekati persimpangan antara Kerkstraat dan Spiegelstraat (dari mana dapat terlihat Rijksmuseum yg dari sini jaraknya hanya sekitar 5 menit berjalan kaki). Kami memutuskan untuk berteduh sebentar di tempat yg sebenarnya sudah agak lama saya incar: Pompadour Lunchroom & Chocolaterie, yg terletak hampir di pojokan persimpangan Kerkstraat - Spiegelstraat tsb.

Dari luar, orang yang lewat sekilas hanya dapat melihat dengan jelas etalase Pompadour yg menampilkan berjejer2 coklat mungil (bonbons) yg cantik dan menggoda. Selebihnya, nampak samar ruangan memanjang ke belakang dengan interior bergaya simple, modern namun hangat. Ternyata benar saja, ketika kami memasuki ruangan, suasanya nyaman segera terasa. Di sisi kanan terdapat meja display (vitrine) memanjang, berisi berbagai macam bonbons, kue2 kering (both sweet & savory). Terdapat 2-3 anak tangga menuju ruang belakang yg lebih luas, dan dalam vitrine di jajaran yg lebih tinggi ini terhidang potongan berbagai macam kue2 (cakes & quiches). Di ruang belakang ini terdapat beberapa meja dan bangku bermodel sederhana, bersih dan ramah. Saat itu sudah lewat pk. 14:00, hanya ada sepasang pelanggan yg sedang menghabiskan makan siang mereka. Ruang makan mungil tsb, yg sepertinya hanya dapat memuat sekitar 30 orang, diakhiri dengan sebuah dapur kecil (service area) yg hanya dibatasi oleh dinding rendah. Dari tempat kami duduk (di meja yg paling dekat dengan anak2 tangga), dapat terlihat set wastafel, pemanas air, dll - dan tentu saja para staf Pompadour yg sibuk hilir-mudik melayani tamu.

Sayang waktu itu kami tidak terlalu lapar, tapi niat saya singgah memang adalah sebagai 'preliminary visit' - melihat medan dulu sebelum menyerbu, di lain kali.. hehe.. 'Tea of the day' hari itu adalah fresh mint tea, jadi kami pesan 1 poci utk diminum berdua (Dhanu, seperti biasanya di mana2, sudah bahagia bila dipesankan jus apel). Berbagai cake di dalam vitrine sungguh sangat menggoda. Saya serahkan pemilihan cake utk dimakan bersama2 pada Chica, sebab bagi saya toh mudah bila mau kembali di lain kali utk mengicipi jenis cake yg lain.
Pilihan jatuh pada caramel-chocolate cake, yang disajikan tak lama setelah poci teh kami tiba: poci teh porselain berwarna putih polos, berisi air yg baru mendidih dan seikat tebal daun mint segar. Pilihan cake tsb tidak salah: meskipun utk dimakan bertiga, potongannya cukup besar dan tiap sendoknya sangat mantap dan kaya rasa, sehingga cocok utk dinikmati perlahan-lahan. Lapisan teratas adalah lapisan tipis karamel kental, di bawahnya lapisan 'creamy' namun padat-lembut dengan rasa karamel yg membidangi separuh irisan cake. Separuh lagi, di bawahnya, juga creamy-padat dengan rasa coklat yang tak kalah lembut. Pas sekali: tidak terlalu manis, namun dengan aroma coklat yg kuat menantang. Di dasar cake terdapat selapis tipis base lembut namun cukup padat. Sehingga ketika garpu ditekankan miring pada kue, lapisan2 teratas terlalui dengan mudah, lalu diakhiri hanya dengan sedikit tekanan tegas utk memotong irisan yg hendak dilahapkan ke mulut. Sisi 'belakang' cake ramai dengan lempengan2 coklat yg dipatahkan tidak teratur, namun ketidak-beraturan ini malah menyeimbangkan penampilan bagian 'depan' cake yg sangat rapih dan polos.

Sambil mengobrol menghabiskan waktu menunggu hujan reda, kami pelan2 menghabiskan cake tsb. seraya mengamati sekeliling ruangan. Satu keluarga datang bersama anak2 balita mereka, yg salah satunya kemudian merangkak bebas di lantai ruang makan. Sepasang kekasih memilih sofa di pojok ruangan utk ketenangan berdua. Sepasang turis sibuk memilih2 hidangan dari vitrine, hingga akhirnya memutuskan utk memesan sepotong quiche dan seporsi salad. Seorang ayah dan anak laki2nya, yang sambil berjalan menuju pintu keluar mengutarakan pujiannya, "Tempat ini nyaman sekali ya, Pap! Kuenya enak, aku mau kembali lagi!"

Ucapan anak itu telah merangkum isi resensi saya ini. Secara keseluruhan, kami puas akan kualitas tempat ini. Harga sepotong cake memang agak mahal (sekitar 4,50 Euro), tapi sangat pantas utk kualitasnya. Sementara ini saya beri Pompadour 4 bintang berdasarkan pengalaman yg sekali ini; kita lihat nanti apakah bintang ini akan berkurang atau bertambah setelah mengicipi hidangan2 lain di kunjungan2 berikutnya :)

Pompadour Lunchroom & Chocolaterie
Kerkstraat 148
1017 GR Amsterdam
http://www.patisseriepompadour.com/
open: Monday - Saturday 10:00 - 16:00

Foto diambil dari community.iexplore.com
Ada foto2 choco-caramel cake dan fresh mint tea di http://chicaluna.multiply.com/photos/album/139
Resensi ini di-post juga di Milis Jalansutra, Msg #50907


[tambahan]
Pompadour Lunchroom & Chocolaterie di Kerkstraat ini ternyata adalah cabang (baru dibuka th 2004) dari Pompadour Chocolaterie, Patisserie & Tearoom di Huidenstraat 12, Amsterdam, yg telah berdiri sejak th 1963.
Cuplikan dari situs expatica.com:
===========================================
Pompadour sells 48 different bonbons and a selection of fine cakes and candied fruits - everything is home made on site and special orders usually take a few days notice. [...] Pompadour only uses Valrhona Swiss chocolate, which is "the best chocolate available in Europe and the beans are from Madagascar and the Caribbean," said Esco Gabriels, co-owner, who is off to Madagascar in the spring to inspect the vanilla bean plantation.
[...]
Bonbons are EUR 1.15 in the tearoom and are sold by weight to take away. It's perfectly acceptable to buy one or two pieces. Most bonbons cost less than one euro each - 8 pieces wrapped cost EUR 7. Whole cakes, on average, range from EUR 8-25.

===========================================

Friday, July 28, 2006

De:TALES

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Comics & Graphic Novels
Author:Fábio Moon & Gabriel Bá
Pertama kali saya menikmati karya sepasang pemuda kembar ini adalah kontribusi mereka dalam album AutobioGraphix, yg merupakan kumpulan cerita2 pendek yg mengisahkan sepenggal kisah hidup dari para pembuatnya (antara lain, Frank Miller, Will Eisner, Sergio Aragones, Stan Sakai). Di AutobioGraphix, Fábio Moon dan Gabriel Bá menampilkan gambar hitam-putih yang cukup mendetail dan dengan tepat menggambarkan suasana stasiun dan kereta bawah tanah kota Paris.
Ketika saya temukan De:TALES - Stories from Urban Brazil, setelah melihat sekilas isinya, saya beli utk hadiah ulang tahun suami yg memang senang membaca kisah2 manusia di lingkungan urban (baik berbentuk novel, ilmu pengetahuan populer, maupun cergam) - tentunya dengan niat ikutan baca setelahnya.. haha..

Saya tidak tahu apakah kisah2 dalam De:TALES ini disusun secara kronologis, namun sangat terasa bahwa, baik kisah maupun grafis, makin ke belakang terlihat makin matang garapannya. Dua-tiga cerita pertama (El Camino/The Path, Estrela/The Star, Outdated) terlalu vague, cenderung mushy (apa ya.. terlalu "mendayu2"?). Seputar mimpi dan kencan (gadis di kisah kedua, yg adalah komik bisu, mirip Amelie!). Tapi cerita2 berikut lumayan menarik.
Late for coffee menyajikan percakapan menarik, dengan bbrp permainan angle yg sesuai dengan pace cerita.
As if, Reflections I dan Reflections II mengisahkan dua versi skenario utk setting yg sama, si tokoh (seolah2?) bercakap2 dengan dirinya sendiri.
All you need is love, kisah ringkas yg ditampilkan dengan detail2 menarik. Hampir tak ada percakapan, hanya sedikit narasi.
Qu'est-ce que c'est?/What is it? merupakan cerita pendek yg dimuat dalam AutobioGraphix, cuplikan kejadian ketika si kembar ini bersekolah seni di Paris. Menurut saya, ini merupakan salah satu karya yg terbaik dalam album De:TALES ini.
Happy birthday, my friend! menghidupkan kembali seorang teman dalam rangka perayaan ulang tahunnya.
Saturday mengetengahkan keseharian seorang seniman (ini pasti si Gabriel Bá sendiri), ketika dikejar tenggat waktu di akhir pekan.
Outras Palavras/Other Words, cerita terakhir, berkesan mirip kisah kedua di awal album: disajikan tanpa kata-kata, dengan kadar cerita yg juga mendayu2.

Tadinya, mengacu dari sesama tema urban oleh Eisner dengan kisah2 tenements-nya, saya kira cerita2 urban Brazil ini bakal mirip. Ternyata kisah2 yg diangkat sangat berbeda. Karya si kembar Fábio dan Gabriel ini lebih ke suasana percintaan, pertemanan, dan romantisme masa muda.
Karya yang digarap berbarengan ini memiliki gaya yang sedikit berganti-ganti, namun tetap pada 'pakem'nya. Kekuatan dimensi hitam-putih yang ditampilkan terkadang mengingatkan pada karya Eduardo Rizzo untuk 100 Bullets (karya2 terbaru mereka bahkan ada yg mirip tarikan garis dan blocking bayangan khas Mike Mignola). Sebuah album yg menarik; untuk Fábio Moon dan Gabriel Bá: tiga setengah bintang, dengan harapan memberikan lebih banyak bintang utk karya2 mereka selanjutnya!

De:TALES
Stories from Urban Brazil

(c) 2006 Fábio Moon & Gabriel Bá
Dark Horse
ISBN: 1593074859


Resensi ini juga di-post di milis Komik Alternatif, msg #2869, dengan tambahan sbb:
----------------------------------------------------------------------------
Menurut kata pengantar buku ini (yg ditulis oleh Diana Schutz, editor Dark Horse), si kembar ini memang cukup gigih dalam memperjuangkan karya2 mereka utk diterbitkan. Penolakan demi penolakan telah mereka alami, tapi mereka tetap berusaha, sambil terus mengembangkan kemampuan mereka. Hingga akhirnya penerbit melihat bahwa karya mereka telah menjadi cukup matang dan layak utk diterbitkan.
Hanya saja, di awal kata pengantar, Schutz menekankan betapa uniknya sepasang pemuda kembar yg tetap kompak dan bahkan menghasilkan karya bersama. Tempo hari saya sempat menunjukkan bagian kata pengantar tsb ke Peter van Dongen, yg juga punya saudara kembar laki2, Robbie. Meskipun sudah memilih jurusan hukum dan menjadi pengacara, Robbie masih dapat (dan masih suka) menggambar. Bayangkan bila mereka iseng2 membuat kolaborasi cerita pendek, pasti ada unsur "unik" tambahan! :)

Sunday, July 23, 2006

Nam Tin

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Chinese
Location:Amsterdam
Meskipun sudah sejak dulu dan berkali2 direkomendasikan teman2 asal Taiwan utk makan dim sum di Nam Tin, baru hari Minggu siang ini saya berkesempatan makan dim sum 'dengan serius' di sini. Saya pergi bersama suami dan dua anak kecil, ibu, sepupu (Chica) dan anaknya (Luna). Saat kami tiba, menjelang pukul satu siang, suasana di dalam restoran sudah cukup ramai. Maklum, dim sum yg hanya dihidangkan hingga pk. 17:00 ini memang cukup kondang.

Interior restoran ini sangat luas, dan mampu menampung hingga 500 orang. Meja2 beralaskan taplak merah muda lembut dan lapisan kertas putih tipis tersebar di seluruh penjuru ruang, masing2 dikelilingi bangku2 kayu berlapis bantalan dengan rmotif ramai. Di beberapa sudut ruang terdapat televisi berlayar lebar, yang kadang2 berfungsi sebagai sudut utk berkaraoke. Suasana di dalam cukup nyaman karena ber-AC (mengingat di luar cukup kering dan panas, lebih dari 30C), dan - yang penting bagi kami - restoran ini cukup children friendly. Fasilitas lain pun memadai: terdapat akses utk pengguna kursi roda, dan kamar kecilnya cukup luas dan bersih.

Pelayan yang berjumlah belasan orang terlihat sibuk mondar-mandir di sekujur ruangan. Tidak ada pengkhususan satu pelayan utk satu meja, jadi kami dapat memanggil siapapun yg terdekat atau yg kebetulan sedang melihat ke arah kami. Perlakuan satu pelayan berbeda dengan yg lain, sehingga penilaian terhadap pelayanan tidak dapat dipukul rata - namun mereka rata2 cukup membantu dengan sigap dan tidak ada pengantaran pesanan yg salah, meskipun restoran terlihat cukup penuh.

Di jam2 khusus dim sum ini, terdapat secarik kertas kecil di masing2 meja, berisi daftar menu yg bisa langsung kita tulis jumlah porsinya di samping masing2 nama hidangan. Siang itu kami memesan:
- Rijstflensjes met garnalen (Cheong Fan udang)
- Rijstflensjes eendfilet (Cheong Fan bebek)
- Gebaken octopus (cumi goreng tepung)
- Gevulde aubergines (terong isi ikan)
- Cantonese gebakken rijst (Nasi goreng Yangchow: isi udang, tsa siew, telur dan kacang polong)
- Nasi goreng polos
- Rijstpap kipfilet en mais (bubur ayam & jagung)
- Ha Kau - garnaal pasteitjes (dim sum udang kukus)
- Garnaal gehakt balletjes (baso udang cincang kukus)
- Calamaris in pikante saus (cumi saus pedas)
- Vegetarische bapao (roti mantau polos saus manis)
- Krokante garnaal pasteitjes (pastel udang goreng saus mayonais)
- Garnaal loempiatjes (lumpia udang goreng)
- Pangsit Goreng
- Garnaal Toastjes met sesam (toast ber-topping udang cincang + wijen)

Setelah didaftar begini, ternyata banyak juga pesanannya, maklum lapar mata (sengaja datang ketika lapar :D). Tapi ternyata (hampir) semua pesanan dapat dihabiskan, dengan terpaksa membawa pulang sisa nasi goreng polos dan (pesanan tambahan) cumi goreng tepung. Semua hidangan rasanya pas; udang dan daging bebek pada cheong fan serasa empuk dan manis. keseimbangan antara kenyal dan crispy pada cumi goreng tepung sangat pas (dan segera menjadi favorit anak2). Terong isi daging ikan cincang lumayan unik dan segar. Udang pada seluruh hidangan muncul sebagai mana mestinya: menantang di setiap gigitan, manis di setiap kecapan. Yang tidak terlalu istimewa mungkin hanyalah cumi saus pedas, yg sebenarnya tidak terlalu pedas (satu2nya porsi yg tersisa, sebanyak 2-3 potong).
'Teman' makan dim sum, nasi goreng, sebenarnya juga bisa tampil sebagai hidangan sendiri. Rasanya mantap sekali. Juga bubur ayamnya, yg berisi potongan2 tipis-lebar daging ayam dan butiran2 jagung, sangat kuat menampilkan rasa kaldu ayam, dengan sedikit hint jahe segar.

Selesai makan, kami memesan es krim untuk anak2: masing2 mendapat es krim vanilla dalam cangkir plastik berbentuk kepala hewan (yg boleh dibawa pulang), dan triple sorbet utk ibu. Sisanya memesan kopi biasa dan koffieverkeerd (= kopi-susu). Seluruh hidangan tersebut, plus minuman (2 gelas bir, 3 gelas jus apel dan 2 poci Chinese tea) - dan membuat kenyang 4 orang dewasa + 3 anak kecil - menghabiskan sekitar 100 Euro. Sebuah harga yg sangat pantas utk makan enak dan santai di hari Minggu siang bersama keluarga. Restoran ini bisa saya rekomendasikan utk makan siang dim sum-nya (apalagi karena masih banyak hidangan dim sum yg belum sempat dicoba :)), dan mungkin masih harus dijajal pula hidangan2 selain dim sum.


Nam Tin
Jodenbreestraat 11
1011 NG Amsterdam
Tel (020) 428 85 08 / Fax (020) 428 85 07
kitchen open 12.00-23.30 (sunday until 22.00)
dim sum 12.00-17.00


Foto: terong isi daging ikan (by Chica)
Foto2 lain ada di http://chicaluna.multiply.com/photos/album/134

Menu dim sum di Nam Tin:
Photobucket - Video and Image Hosting
Photobucket - Video and Image Hosting

Thursday, July 20, 2006

How Many Planets Do We Need?



I came across the Ecological Footprint Quiz during my search for references about environmental impacts caused by our (= human beings) domestic behavior. Concerning this matter, How Lightly Do You Tread Upon This Earth? is perhaps among the easiest articles to comprehend.



I thought I’ve been leading a quite modest lifestyle: I always try to buy seasonal veggies, local fruits and free-range meat and eggs. I’ve been using clean water carefully, saving electricity and separating household waste. I choose bicycle and public transport over private cars and I’m not too fond of owning excessive furniture, gadgets and gimmicks. However, the Ecological Footprint Quiz, which I did twice based on the two scenarios of living in The Netherlands and Indonesia, shows the same result: if everybody in the world is living with my lifestyle, we will need more than two planets to support us.


Of course the result of this quiz is not absolute, since it is not possible to include details (in/direct resources, personal values, etc.) and occasional happenings. But it is a nice way to illustrate how ‘expensive’ I am; it can help me reflecting upon how I should go on with living, without making the world a worse place for my children.



This quiz furthermore offers small steps for those who intend to reduce their footprints. Big changes come from small ones, indeed, and it should start from ourselves. Go ahead, take the quiz if you want to see how big your ecological footprints are on our one and only Mother Earth.


Wednesday, July 12, 2006

Why Comic? Why Manga?


By: Motulz
(Ditulis untuk artikel Feature di majalah PS)

Mengapa komik? Sebuah pertanyaan menarik untuk sebuah majalah dewasa yang syarat dengan fashion dan lifestyle? Lantas bagaimana kaitan dan hubungannya antara komik dan lifestyle itu sendiri? Satu pertanyaan yang hampir terlewatkan pula yaitu bukankah komik itu adalah bacaan komoditi anak-anak? Mengapa komik dipertanyakan? Kiranya inilah yang terjadi di hampir banyak pikiran masyarakat.

Komik seperti yang sudah kita kenal memang muncul sebagai sebuah bacaan yang sangat digemari anak-anak. Hal ini beralasan mengingat kemasan dan tampilan komik itu sendiri yang menarik. Komik memang berhubungan dengan gambar atau ilustrasi. Ilustrasi yang digunakan pun memang sangat menarik perhatian anak-anak.

Kita tahu bahwa bagi anak-anak, visual mempunyai daya tarik yang tinggi. Visual membantu anak memancing imajinasi. Dengan bantuan gambar atau ilustrasi maka anak seperti mengintip ke dalam sebuah jendela kecil yang menstimuli imajinasi anak dalam membayangkan jalannya cerita. Perkembangan penggunaan gambar dan ilustrasi dalam cerita ini makin besar dan makin beragam cara penggambarannya. Dalam sejarahya buku cerita berilustrasi atau yang sering disebut cerita bergambar (cergam) punya kisah yang cukup lama. Cerita bergambar dimulai kira-kira awal abad 19, tidak lama ketika dunia percetakan diperkenalkan dengan teknik cetak dengan menggunakan batu (lithography) di Perancis. Sebuah teknik cetak dengan cara menggambar di atas batu dengan pinsil berminyak yang kemudian mencetakkannya ke atas kertas dengan tinta dengan bahan dasar air.

Perkembangan korelasi antara cerita dan gambar ini makin berkembang dari buku cerita bergambar hingga komik strip dan buku komik. Seiring kemajuan teknik dalam percetakan maka perkembangan teknik atau gaya gambar pun makin beragam. Sejalan dengan perkembangan gaya gambar tadi para ilustrator atau komikus mulai menemukan mengembangkan gaya gambar dengan maksimal. Perkembangan ini pun mulai merasuk ke dalam kultur masyarakat. Hal ini menjadi relevan ketika hubungkan dengan penjelasan bagaimana sebuah komik, sebagai bacaan anak-anak sangat mempengaruhi pertumbuhan imajinasi dan cara berfikir anak. Kita tahu dalam pertumbuhan berfikir anak, visual mempunyai kemampuan stimuli yang cukup tinggi. Dari kemampuan ini si anak pun mempunyai kemampuan mengingat apa-apa yang pernah dilihat secara bawah sadar. Dengan demikian seorang anak kadangkala dengan tidak sadar melakukan hal-hal yang pernah ia lihat dalam sebuah komik. Atas pertimbangan ini pula lah maka komik bisa diposisikan sebagai sebuah barang haram yang konon katanya mampu merusak kegiatan anak-anak. Komik bisa membuat anak menjadi asik sendiri dengan dunianya sendiri. Namun ketika hal itu ditarik lebih ke belakang lagi maka makin tampak jelas bahwa kekhawatiran ini lebih beralasan jika diarahkan kepada setiap media, baik media bacaan maupun media tontonan yang menjadi konsumsi anak. Dengan demikian sangatlah menjadi tidak beralasan ketika komik dijadikan bacaan yang dianak-tirikan. Apa betul komik ini merusak pendidikan anak?

Manga, adalah sebutan komik dalam bahasa Jepang atau anime sebagai sebutan untuk animasi. Perkembangan manga sungguh sangat menjadi fenomena dalam perkembangan dunia komik seantero jagat. Manga berkembang di dunia komik sebagai sebuah gaya gambar yang mempunyai ke khas-annya sendiri. Gaya gambar manga seperti yang pernah kita lihat sangat gamblang dengan ekspresi gerak maupun karakter. Karakter yang unik dari manga, seperti mata besar dan model rambut tajam sepertinya menjadi ketertarikan sendiri bagi kalangan penggemar komik. Yang hebatnya, gaya manga ini bukan saja digemari oleh kalangan anak-anak namun sudah merasuk pula ke kalangan dewasa. Kajian lain yang lebih dahsyat dari gaya manga ini adalah sudah masuknya kajian manga ke wilayah budaya atau kultur. Manga mampu mewakili kultur darimana komik itu berasal, yaitu Jepang. Dengan perkembangan gaya manga di banyak aspek kebudayan maka manga juga mempengaruhi budaya-budaya lainnya. Perkembangan manga sudah memberikan banyak pengaruh kepada kebudayaan pop masa kini. Ada banyak komik-komik dari negara di luar Jepang yang terpengaruh dengan gaya manga ini. Seiring perjalanan komik itu pun maka perkembangan gaya manga ini pun bercampur dengan gaya-gaya komik lainnya yang kini menghasilkan gaya-gaya perpaduan komik.

Tidaklah heran kalau saat ini manga sudah menjadi bagian dari komik dunia dan bukan dominasi gaya Jepang saja. Hal ini bisa nampak dari banyaknya bermunculan komik-komik Amerika yang begaya manga, begitupun dengan komik-komik yang sekarang bermunculan kembali di Indonesia hampir semuanya bergaya manga.

Perkembangan manga di Indonesia bisa dibilang bukan barang baru. Manga diperkenalkan di Indonesia sudah cukup lama sekitar awal tahun 90-an. Ketika itu ada banyak komik Jepang yang hadir di pasaran Indonesia seperti Kung Fu Boy, Candy-Candy, Akira, dan lainnya. Perkembangan komik Jepang manga ini makin lama makin besar pertumbuhannya. Pertumbuhan manga di Indonesia sangatlah besar. Hal ini tercatat dari tingginya angka penjualan komik Jepang yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Ada banyak sekali judul yang bisa kita temukan di pasar komik Indonesia. Begitupun dengan bermunculannya komikus Indonesia bergaya manga, dari beberapa yang kita kenal diantaranya adalah Calista, yang lahir pada 25 September 1981 adalah seorang komikus muda Indonesia yang menghasilkan manga-manga bergaya shoujo (remaja perempuan). Mahasiswi dari Universitas Petra Surabaya ini sudah menghasilkan beberapa judul komik diantaranya Past Promise, White Castle, Love Flies, dan masih banyak lagi. Kesemua komiknya diterbitkan oleh Elex Media Komputindo.

Dengan demikian nampaklah jelas bahwa komik bukanlah bahan bacaan yang musti ditakuti oleh orang tua. Anak-anak bisa diberikan bacaan komik selama komik tersebut memang khusus buat anak-anak. Dalam manga kita mengenal beberapa jenis manga yang ditujukan bagi pembacanya. Penggolongan usia ini dikenal sebagai:

- Kodomo untuk anak-anak
- Josei (atau redikomi) untuk wanita
- Seinen untuk pria
- Shoujo untuk remaja perempuan
- Shonen untuk remaja lelaki

Dengan adanya pengkategorian ini maka para pembaca manga harusnya sudah dapat memilag komik mana yang bisa dibaca untuk anaknya dan mana yang sebaiknya tidak diberikan kepada anaknya.

Seperti yang sudah kita bahas di awal tulisan ini, bagaimana hubungan langsung antara komik ini dengan fashion dan lifestyle? Nampaknya sudah jelas bahwa komik dan manga bisa sangat mempengaruhi aspek fashion dan lifestyle di kehidupan remaja. Pengaruh ini bisa berupa gaya bicara, model pakaian, asesoris, baju, sepatu dan masih banyak lainnya. Ini lah yang kita sebut tadi bahwa manga sudah menembus batasannya sebagai gaya komik akan tetapi lebih dari itu manga sudah menyusup ke dalam produk-produk buadaya lainnya seperti film, musik, dan fashion. Saat itu lah manga sudah menjadi kajian terpisah sebagai budaya pop.

Foto : Dari internet