Wednesday, December 28, 2005

Thirty Three Today





Getting up this morning, I brought Lindri (who was already up at around 06:30 as usual) downstairs, to the study. It's always chilly here at my mother in law's house, especially in winter mornings. The day before, snow fell softly and lightly covered the ground; today, only some spots looked white. I opened the internet connection on moeder's PowerBook and went to my mails, with Lindri eating a banana next to me (while fiddling with anything within her reach). Ooh there's a lot of birthday wishes and prayers, from family and friends! Thank you all!

Dhanu came into the study not long after he heard us going downstairs. He gave me some drawings: one from Lindri, and another from himself, picturing a table with a present, wrapped with bows, on it. And a home made card, from my husband's sister and her family (who stayed here as well until yesterday). During breakfast, I got my other presents: Charlie and the Chocolate Factory DVD from Lindri (I haven't seen that one), Akira DVD from Dhanu (adding to our animation DVD collection), and two sets (Seasons 1 & Season 2) of Frasier DVD and a set of pasta plate (including olives, pesto and pasta) from moeder. A present from Sybrand is a couple of concert tickets: we're going to see Sparks in Paradiso Amsterdam, in February! Yaaay! A bit later after breakfast, we had our birthday cake: a chocolate cake, which Lindri likes so much she finished two servings in a go. Dhanu was a bit reluctant to eat it at first, saying that he'll eat his portion "next week", but then grabbed and ate it by hand a moment later.

My birthday has never been a big thing, because it comes between big celebrations: Christmas and New Year. I have never been at school (it's holiday season) so I've never felt the birthday fuss at school. And when we were much younger, this month was when we used to travel to Central Java, to stay at my grandparents' house in Salatiga. There was where I used to celebrate my birthday, usually altogether with a family Christmas event and such. I really do not mind this, since I prefer not to be the center of attention - therefore, especially in the later years, I'd rather use this day to reflect at my passing life and to think about the coming years.

My first thought usually went to my parents, who have delivered me into the world (my mother: "You practically jumped out of my womb - I haven't even properly laid myself down on the maternity bed!"), provided for me and brought me up. Their most valuable gift to me? Their trust and confidence in me, which have led me to where I am now. Then some childhood birthday parties (not necessarily mine) at home, inviting neighbourhood kids and preparing our own kiddie games and making goodie bags (out of manila cartons and colourful crepe papers), and a compulsory home entertainment: cartoons! (my father has an old projector movie player) Then there was my birthday celebration at an orphanage in Salatiga, some birthdays on which I was to wear pretty dresses (with pouting mouth, as shown in our family photo albums). I've noticed myself growing, including habbits that I stopped and attitudes that I keep.
I then thought about my achievements: having my own family, my endless school/research works, and my oh-so-fun, distracting hobby (comics! drawings!). What I would change, what I would improve, what I would leave behind (my extra weight, for instance).

"What do you want for your birthday?" is probably one of the most difficult questions in life, since I still don't know how to answer it, eventhough this predictable question comes every year. OK, when I was 9, going to 10, I asked my father to buy me a bike and I promised never to ask for any birthday present ever again in my life. He bought me that black 'sepeda mini', which I rode to school until my junior high years (until I turned 14 - then I had to ride a bus to go to my senior high school). That was really my last birthday wish, and perhaps up to today I'm still keeping my promise to not ask for anything ever again.
So, everytime that question pops out, I usually reply with, "Thank you, I've had everything", or "World peace", or "A magic wand that can help me finish my dissertation", or "A super power", or something within those lines..

After pondering for a while, I think I've been leading a pleasant life. Moreover, because I am blessed with loving family and friends. What have I done with my life, and what will I make of it? However it is, I am happy where I am. I might not have big ambitions, but I have plans and goals for me and my family in the near future, and I hope to achieve them in due time.


Comicstrip: by Flo. which more or less expressing what I'm about to do if the snow keeps falling..


Tuesday, December 20, 2005

Mengantar Ibu Mengenang Masa Kecil





[As posted in Jalansutra mailing list, msg# 45846]

"Wah, dulu ibu lebih banyak di kolam renang daripada di rumah, makanya jadi hitam begini", kata ibu suatu hari, sambil menunjukkan foto masa kecilnya. Di kali lain, "Orang itu dijuluki 'Pasfoto' oleh bude2mu, sebab dia suka memandang ke arah kami dari dalam rumah panggungnya, lewat jendela depan. Bingkai jendela itu bagai membingkai wajahnya, persis format pasfoto!" katanya sambil tergelak tertawa. Lalu sejarah keluarga, tentang wafatnya eyang kakung kami, atau ayahanda ibu, secara mendadak di meja kantornya, "Tidak ada pertanda apa2 hari itu, bapak tiba2 'pergi' saat sedang bekerja". Banyak sudah kisah2 yg kami dengar dari ibu, seputar masa kecilnya dan tempat tinggalnya yg berpindah2, sesuai daerah tempat ayahnya bertugas dan tempat2 sekolahnya. Rasa ingin tahu kami, anak2 ibu yg lahir dan besar di Jakarta, utk mengalami sendiri suasana tempat ibu tinggal semasa kecil akhirnya terpenuhi pada akhir tahun 2002 yang lalu.

Seluruh anggota keluarga, dari bapak-ibu, para anak dan menantu, hingga cucu2, sengaja mengatur waktu utk berkumpul dan bernapak tilas ke tempat2 masa kecil bapak dan ibu di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada hari kedua perjalanan, kami (total: 7 orang dewasa + 3 balita), dalam sebuah minibus sewaan (plus 2 supir), berangkat menuju Lumajang dari Tretes, melalui Malang.

TOKO OEN MALANG
Di Malang, tentu saja kami tidak melewatkan utk mampir di Toko Oen, dengan dalih untuk 'brunch' (padahal di guest house Tretes kami sudah sarapan roti bakar). Pesanan kami antara lain adalah kangkung hotplate, udang ham goreng tepung, cumi goreng tepung dan ko lo kai; di samping itu ibu masih membeli bermacam2 roti dan kue utk bekal di jalan. Rasa makanannya seperti yg kami harapkan, dan suasana di dalam rumah makan juga tenang dan sejuk, dibandingkan hawa di luar. Waktu saya kecil dulu, setiap tahun kami selalu melakukan perjalanan ke Jawa Tengah, dan saya selalu senang dengan bentuk toko atau restoran di 'Jawa', yg khas bergaya jaman kolonial. Berada di dalam Toko Oen ini menghasilkan kesan yang sama, dengan suasana dapurnya yg berlantai semen, besar dan terbuka, sebuah sudut tempat berjualan buku dan peta, dan 'vitrine' roti dan kue2 di sisi depan restoran. Lengkap semuanya, dengan bangku2 dan meja rendah yg tertata dalam ruangan dengan daun jendela kayu yang tinggi2, dan beberapa kipas angin di langit2 ruangan. Arsitektur masa itu sepertinya telah berhasil mewujudkan bangunan yg interiornya berhawa nyaman, tanpa perlu AC.

LUMAJANG
Kami beranjak melanjutkan perjalanan ke Lumajang. Seperti halnya di kota2 kecil lain, patokan kami mencari tempat tinggal jaman dulu adalah: alun-alun. Dari sana kami dapat berkiblat ke arah2 tertentu. Jadi setiba di Lumajang, kami langsung menuju alun2 dengan ibu sebagai navigatornya. Banyak yang sudah berubah, namun akhirnya ibu berhasil menemukan jalan menuju rumah dinas ayahnya dulu.
Dari luar, rumah itu tampak tak berpenghuni, namun terawat sangat baik. Minibus kami parkir di halaman depan sebuah kantor yang tepat bersebelahan dengan rumah tsb. Untungnya penjaga rumah tsb sedang ada di tempat, dan setelah dijelaskan oleh ibu bahwa ini adalah rumahnya semasa kecil dulu, kami diperbolehkan masuk ke halaman belakang (tapi tidak ke dalam rumah). Dengan wajah berbinar2, ibu menunjukkan bekas kamarnya dan kakak2nya dulu, tempatnya bermain di halaman belakang, pohon yg dulu dipanjatnya, dan apa saja yg telah berubah dari rumah itu. Teduh, sejuk dan tenang, adalah kesan2 yg kami peroleh dari rumah ini.

LUMAJANG-JATIROTO
Dari Lumajang, kami menuju Jatiroto. Sepanjang perjalanan, kami dapat meilhat hasil karya eyang kakung yang hingga sekarang masih berfungsi: sebuah jembatan tua yg menghubungkan dua buah jurang, dengan jalur bekas lava (pasir berwarna gelap) jauh di bawahnya. Di sisi jembatan tua ini, telah dibangun jembatan baru yang lebih kokoh dan lebar, untuk dapat menampung beban kendaraan, termasuk bis dan truk, yang lewat. Kini si jembatan tua hanya berfungsi sebagai jalur pejalan kaki (meskipun di jembatan yg baru juga terdapat jalur pejalan kaki), atau sekedar tempat bersantai.
Karya eyang yang lain, adalah saluran air yg dibuat sejajar dengan jalan raya, sementara memotong sungai utama yg arah alirannya menyiku dengan jalanan. Jadi kelihatannya si sungai utama itu punya 'jembatan' sendiri utk mengalirkan airnya.
Sepanjang perjalanan, ibu sibuk menceritakan kembali tentang masa lalunya, ketika ayahnya mengerjakan jembatan dan saluran air tsb., dan bagaimana ia mengayuh sepeda ontel yg terlalu besar baginya di sepanjang jalan tsb. Makin mendekati Jatiroto, ibu terlihat makin bersemangat, apalagi ketika rel dan lori tebu mulai tampak di sisi jalan, di tengah2 perkebunan tebu. "Ini tempat mainku dulu! Memunguti panen tebu yg jatuh, dan mengejar2 lori!", katanya.

JATIROTO
"Saat berkuasa Ratu Wilhelmina pernah berkunjung ke [Pabrik Gula Jatiroto] sebagai ungkapan syukur karena pabrik gula memberikan keuntungan yang sangat besar, sekitar 20 persen setiap tahunnya, sehingga mampu menyelamatkan perekonomian Negeri Kincir Angin." (Kompas, 14 Mei 2004)
Dari foto2 tua yg mengabadikan saat kunjungan ratu tersebut, terbayang betapa meriahnya masa itu. Namun ketika minibus perlahan memasuki kompleks permukiman pabrik gula, kami hanya menemukan kesan kusam, remang2 dan tak terawat. Rumah2 yang disangga kaki2 pondasi beton, dengan dinding kayu dan batu bata, terlihat kotor dan terbengkalai. Beberapa rumah malah dibiarkan kosong dan merapuh sendiri, di tengah2 alang2 yg tumbuh liar di sekelilingnya. Sambil menghela napas, ibu berkata, "Dulu, suasananya sama sekali berbeda. Pabrik gula ini sangat dihargai karena posisinya sbg industri penting. Sekarang? Tak dipandang sebelah mata."
Kami menuju rumah masa kecil ibu, yang ternyata masih ditinggali orang. Ibu tidak hendak mengganggu para penghuni rumah itu, hanya hendak berjalan2 melihat2 sekelilingnya. Ibu dan bapak turun, sementara kami tetap tinggal di dalam minibus. Membayangkan kala hewan2 peliharaan eyang kakung bersebaran di halaman rumah, saat ibu dan kakak2nya pulang sekolah, lalu langsung berlari keluar lagi utk bermain. Kami mengamati rumah di seberang rumah ibu, di mana si "Pasfoto" biasa menempatkan diri. Itu dia jendelanya, tepat mengarah ke rumah ibu!

Setelah ibu puas melihat sekeliling rumah, kami bermobil kembali menuju lokasi pabrik gula. Pabrik tersebut dari luar tampak memprihatinkan, dengan tangki2 raksasa dan gedung2 besar yang juga tampak kusam. Ibu menunjuk ke salah satu sisi gedung, "Itu ruang kantor eyangmu dulu, di mana beliau 'pergi' secara mendadak."
Kami juga melewati kolam renang tempat ibu melewatkan sebagian besar hari2nya sepulang sekolah. Kolam renang ini merupakan bagian dari gedung "societeit", atau tempat berkumpulnya warga Belanda di masa lampau. Ketika tiba di sana, hari telah menjelang maghrib, dan hampir tak ada penerangan di lahan tersebut. Gedung itu makin terlihat suram, apalagi dikelilingi oleh rumput liar dan ilalang. Kolam renang di samping gedung sudah tidak berfungsi lagi, bahkan sulit diakses karena lebatnya alang2.

Menjelang malam, kami meninggalkan Jatiroto, kembali ke Tretes utk kembali bermalam di sana. Ibu yang sedari pagi terlihat bersemangat, dan tak henti2nya bercerita sambil menunjuk ke berbagai tempat, kini agak terdiam di sepanjang perjalanan. Mungkin ada rasa puas telah melihat kembali tempat tinggalnya dulu; mungkin ada rasa haru mengenang masa2 kecil yang tak kembali; mungkin ada rasa prihatin akan terbengkalainya kondisi daerah2 tsb sekarang. Apapun yang ada di benak ibu saat itu, kami anak2nya senang telah dapat melihat sendiri lokasi cerita2 ibu, sambil mengantar ibu pulang sejenak ke masa lalu.


Gambar2: sketsa2 waktu bernapak tilas, menggambarkan jembatan dan jalur sungai karya eyang. Foto: foto keluarga di atas jembatan. Diabadikan oleh kakak, jadi dia tidak terlihat di dalam foto.


Saturday, December 17, 2005

Ah, yang bener aja..?!! (RUU Anti Pornografi)




Dimulai dari membaca sebuah artikel berjudul Mempertanyakan Kepedulian Seniman di Kompas, yg ternyata membahas ttg RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yg sedang digodog oleh DPR. Dilanjutkan dengan membaca tanggapan seseorang dari Komnas Perempuan di sebuah mailing list (intinya saya kopikan di bawah), yg juga menyertakan lampiran RUU tsb.

Langsung pikiran saya tertuju ke sebuah bab di Persepolis, di mana Satrapi dan teman2nya (yg belajar di sebuah sekolah seni di Iran) terpaksa menggambar model perempuan yg mengenakan cadar lengkap. Dengan cara ini, tidak mungkin mereka melatih ketrampilan menggambarkan anatomi manusia dengan baik. Juga ketika Satrapi sedang menggambar seorang model pria; ia ditegur seorang pengawas karena memandangi laki2 tsb., dengan alasan 'melanggar kode moral'. Satrapi harus menggambar model tsb sambil menatap pintu! Ini kan lucu, sekaligus ironis.
Satrapi juga menyatakan, saking harus selalu sibuk memperhatikan penampilannya - bukan utk menarik perhatian, tapi demi menghindari hukuman - ia (dan sesama perempuan) tak sempat lagi memikirkan hak2, apalagi penyuaraan pendapat mereka!

Yah, kasus Satrapi ini memang dari sisi ekstrim, karena situasi di negaranya yang memang represif terhadap kaum perempuan. Tapi, dengan RUU semacam ini, apa berarti kita di Indonesia mau menuju ke arah sana?! Kalau tujuannya melindungi kaum perempuan dan anak2, mestinya lebih ditekankan ke pasal2 mengenai, misalkan:
- Pelecehan seksual: dari lingkungan tempat kerja hingga di lingkungan rumah tangga. Hukum tuh preman2 jalanan yg suit-suit atau menyerukan kata2 nggak sopan saben ada cewek lewat! Hukum berat majikan yg suka 'ngerjain' pembantunya!
- Kesejahteraan WTS: pengontrolan kesehatan, pelatihan ketrampilan (supaya yg terjebak di dunia itu bisa keluar dgn kemampuannya sendiri), perlindungan terhadap kekerasan (baik oleh pelanggan, germo, maupun aparat yg juga memeras).
- Penindakan spamming porno di Internet.
- Pengkondisian jalan2 umum di daerah manapun dan jam berapapun, utk menjadi aman bagi perempuan yg bepergian sendiri (= menghindari resiko kekerasan seksual/ pemerkosaan), spt menambah penerangan jalan dan petugas keamanan.
- Pengkondisian tempat2 umum (kantor, pusat perbelanjaan, dsb), supaya menyediakan tempat yg nyaman bagi ibu2 utk menyusui dan mengurus bayinya. Jangan2 menyusui di tempat umum bisa dianggap tindak pidana juga karena mengeluarkan payudara dari balik baju!

Okelah bila perundang2an ini bertujuan utk mengatasi persoalan pesta seks dan video porno anak2 sekolah, misalkan. Tapi apakah semua masalah itu selesai dengan cara pengekangan (terutama terhadap kebebasan berekspresi)?
Yang harus 'dipegang ekornya', menurut saya, adalah asal muasal stigma terhadap "tubuh telanjang". Saya lihat dari pengalaman di Belanda, di mana anak2 mudah ter-expose terhadap program dan iklan televisi dan majalah yg menampilkan (bagian) tubuh telanjang, bahkan sex shop (meskipun yg terbanyak terdapat di daerah lampu merah, tidak tertutup kemungkinan adanya sex shop di lingkungan permukiman biasa). Tapi apakah anak2 Belanda ini semuanya tumbuh jadi maniak sex? Justru tidak. Peran orang tua, lingkungan dan pendidikan memang sangat penting dalam memberikan pengertian kepada anak2, dan hal inilah yg sangat kurang di Indonesia.

Akhir kata, pornografi adalah isu moral. Dengan membatasi dan mengekang segala hal, RUU ini menganggap dan mempermalukan masyarakat Indonesia sebagai orang2 tanpa moral yg tidak becus menentukan pandangan dan sikap mereka sendiri. Bila RUU ini disahkan, bisa2 orang2 Indonesia jadi benar2 bodoh, miskin moral dan makin kekanak2an.

gambar: dari Persepolis 2, bab berjudul The Socks. Klik ini utk melihat versi besarnya.

*Tambahan*: kutipan dari tulisan Jim Supangkat di Kompas, Minggu 18 Des 2005, yg 'terbit' beberapa jam setelah saya membuat entry ini (saya tebalkan bbrp bagian teks):
[...]
Salah acuan itu membuat RUU Tindak Pidana Kesusilaan yang sebenarnya disusun untuk kepentingan (melindungi) masyarakat jadinya malah (mohon dicatat) menghina masyarakat. Persepsi di balik RUU ini melihat seksualitas, sensualitas, ketelanjangan, dan bahkan aktivitas ciuman dalam kehidupan punya cuma satu dasar: pornografi.

RUU itu jadinya menuduh setiap orang yang mengangkat persoalan seksual, masalah sensualitas dan ketelanjangan punya tujuan mengeksploitasi kesenangan seks seperti pada pornografi. Semua bahan persoalan-persoalan ini materi kuliah anatomi, karya-karya seni, makalah seminar perkawinan dan pendidikan seks bisa dilihat mencerminkan akhlak rendah karena mencari keuntungan dengan menjual kesenangan seksual (Pasal 469). Kesalahan acuan membuat Pasal 469 ini bukan melindungi masyarakat dari penyebaran produk pornografi, tapi malah mem-pornografi-kan masyarakat
.
[...]





(lampiran: dari sebuah mailing list)
====================================
Pasal2 yang menurut saya harus dikritisi adalah:

I. "Larangan MEMPERTONTONKAN bagian tubuh tertentu yang sensual.." (Pasal 25) ..pidana penjara 2 - 10 tahun (Pasal 79),
dalam Penjelasan Pasal 4: Bagian tubuh tertentu yang sensual ANTARA LAIN adalah alat kelamin, PAHA, PINGGUL, pantat, PUSAR, dan PAYUDARA PEREMPUAN, baik terlihat SEBAGIAN maupun seluruhnya.

##Catatan sementara: artinya pihak yang berwenang menafsirkan RUU ini dapat menafsirkan bagian tubuh tertentu yang sensual di luar (lagi!) dari yang diatur RUU ini. Tentang mempertontonkan, apakah berarti “langsung” terlihat? bagaimana bila tidak langsung terlihat, tertutup kain, tapi ketat, sehingga membentuk bagian itu misalnya? ini akan menjadi bergantung kepada pihak yang berwenang menafsirkan RUU ini.
##Contoh Kasus:
--coba kita ingat, Celana yang sekarang menjadi Trend & “begitu banyak” dipakai perempuan berbagai usia, Celana yang memperlihatkan pinggul, dan ketat membalut kaki, dan biasanya dipakai bersama baju yang pendek = akan terlihat pusar??
--atau coba kita ingat Pakaian yang dipakai Artis perempuan ketika mereka tampil menyanyi, menari (atau tidak harus Artis, bisa Pakaian Pesta kita juga), yang mungkin memperlihatkan itu??
--atau contoh lagi, Peragawati yang memakai Baju2 yang dirancang oleh Perancang Busana, yang mungkin memperlihatkan Bagian2 tubuh yang dinyatakan sensual oleh RUU ini??
--bagaimana dengan Budaya berbagai Daerah di Indonesia, yang punya berbagai kebiasaan berpakaian??
apakah berarti PEREMPUAN DALAM JUMLAH YANG BEGITU BANYAK itu DAPAT DIPIDANA PENJARA??


II. "larangan menari erotis ATAU bergoyang erotis di depan umum.." (Pasal 28) ..pidana penjara 18 bulan - 7 tahun (Pasal 82),
dalam Penjelasan Pasal 28:
“Menari” erotis adalah melakukan gerakan-gerakan tubuh secara berirama dan mengikuti prinsip-prinsip seni tari sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu karya seni koreografi.
“Bergoyang” erotis adalah melakukan gerakan-gerakan tubuh secara berirama, “tidak” mengikuti prinsip-prinsip seni tari,dan lebih menonjolkan sifat seksual sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan tersebut dapat “diduga bertujuan merangsang nafsu birahi”.

##Catatan sementara: “= KEDUANYA DILARANG”
--lalu bagaimana dengan Tarian2 Daerah?? Tari Jaipongan dari Jawa Barat misalnya??
--bagaimana dengan Perempuan yang profesinya memang menjadi Penari??
--kalau alasannya: merangsang nafsu birahi, kalau yang bermasalah adalah birahi laki2 yang mungkin timbul setelah melihat Tarian itu, kenapa Perempuan yang harus dilarang menari?? hingga harus dibuat RUU ini?? seharusnya laki2 yang harus berpikir bagaimana mengontrol birahinya, dan bertanggungjawab atas birahinya itu??


III. “Larangan membuat (diantaranya) Tulisan, Film, yang MENGEKSPLOITASI daya tarik aktivitas orang dalam berhubungan seks atau melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan SEJENIS..” [PASAL 9 ayat (2)] ..pidana penjara 2 – 10 tahun [Pasal 63 ayat (2)],

*Pasal 1 angka 14:
“mengeksploitasi” adalah kegiatan memanfaatkan perbuatan pornoaksi untuk tujuan mendapatkan keuntungan materi atau non materi bagi diri sendiri dan/atau orang lain.

*Pasal 34 ayat (1):
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud dalam PASAL 4 SAMPAI dengan PASAL 23 DIKECUALIKAN untuk tujuan PENDIDIKAN dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dalam BATAS YANG DIPERLUKAN.
Penjelasan Pasal 34 ayat (1)
"dalam batas yang diperlukan" adalah sesuai dengan tingkat pendidikan dan bidang studi PIHAK YANG MENJADI SASARAN pendidikan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

*Pasal 34 ayat (2):
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) TERBATAS PADA LEMBAGA RISET ATAU LEMBAGA PENDIDIKAN YANG BIDANG KEILMUANNYA BERTUJUAN UNTUK PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.

##Catatan sementara:
Homoseksual adalah salah satu bentuk orientasi seksual, yang menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia.
Untuk menginformasikan hal tersebut diantaranya dapat dilakukan melalui Tulisan dan Film, dan itu adalah bagian dari perjuangan Hak2 Lesbian, Gay, Transeksual di Indonesia.
MENGEKSPLOITASI dalam Pasal 9, akan sulit ditafsirkan dalam Tulisan dan Film, Contoh: Film Arisan - untuk Gay, Film Detik Terakhir – untuk Lesbian, pihak yang berwenang menafsirkan RUU ini dapat saja mengatakan bahwa Film2 itu MENGEKSPLOITASI DAYA TARIK HUBUNGAN SEKS PASANGAN SEJENIS??


IV. BADAN ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI NASIONAL
Kalau kita baca RUU ini, Badan ini adalah pihak yang paling mungkin berwenang menafsirkan RUU ini.

*Pasal 42 BAPPN mempunyai fungsi: huruf (b): pengkoordinasian instansi pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan pencegahan dan penanggulangan masalah pornografi dan/atau pornoaksi;

*Pasal 42: ayat (g): pelaksanaan kerjasama nasional, regional, dan internasional dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah pornografi dan/atau pornoaksi;

**Pasal 43: ayat (7): Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf g, BAPPN mempunyai tugas : Huruf (b) menjadi SAKSI AHLI pada proses pemeriksaan tersangka/terdakwa dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan;

**Pasal 44: Ayat (1): BAPPN terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.
Penjelasan Pasal 44: Ayat (1): Unsur Pemerintah adalah instansi dan badan lain terkait yang tugas dan wewenangnya mencegah dan menanggulangi pornograifi dan atau pornoaksi yang antara lain terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Kementerian atau Departemen.
MASYARAKAT adalah lembaga swadaya masyarakat yang MEMILIKI KEPEDULIAN terhadap masalah pornografi.

*Pasal 46: Persyaratan keanggotaan BAPPN adalah : Huruf (d): memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang pornografi dan pornoaksi; dan
Penjelasan Pasal 46: Persyaratan ini lebih ditekankan bagi unsur masyarakat yang antara lain terdiri dari Pakar komunikasi, Pakar teknologi informasi, Pakar hukum pidana, Pakar seni, Pakar Budaya, dan Tokoh AGAMA.

*Pasal 50: Ketentuan lebih lanjut mengenai BAPPN diatur dengan Peraturan Presiden.

##Catatan sementara:
Hal terpenting adalah bagaimana mekanisme pemilihan orang2 yang akan berada dalam Badan ini? supaya dapat mewakili nilai2 dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam?
Contoh: untuk menentukan bagian tubuh yang sensual – yang mungkin akan berbeda – bagi setiap orang??
atau tentang Homoseksual adalah salah satu bentuk orientasi seksual, yang menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia?? apakah bisa dijamin bahwa dalam Badan ini ada orang yang mendukung perjuangan Hak2 Lesbian, Gay, Transeksual di Indonesia – sehingga bila menjadi SAKSI AHLI tidak sewenang2 mempidana orang??


V.
Pasal 36 Ayat (1)
Pelarangan pornoaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, atau Pasal 32, DIKECUALIKAN untuk:
a.cara berbusana dan/atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat‑istiadat dan/atau budaya kesukuan, SEPANJANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN RITUS KEAGAMAAN ATAU KEPERCAYAAN;
b.kegiatan seni;
c.kegiatan olahraga; atau
d.tujuan pendidikan dalam bidang kesehatan.

Ayat (2): Kegiatan seni HANYA DAPAT DILAKSANAKAN DI TEMPAT KHUSUS PERTUNJUKAN SENI.
Ayat (3): Kegiatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya dapat dilaksanakan di tempat khusus olahraga.

Pasal 37
(1) Tempat khusus pertunjukan seni HARUS MENDAPATKAN IZIN DARI PEMERINTAH.
(2) Tempat khusus olahraga harus mendapatkan izin dari Pemerintah.

##Catatan sementara:
mengapa HANYA SEPANJANG berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan?
Bagaimana kalau pakaian SEHARI-HARI perempuan di suatu daerah di Indonesia – memang mempertontonkan bagian tubuh yang sensual?
Sudah cukup saya mendengar penderitaan Teman2 saya di Aceh – yang ketakutan sejak diberlakukannya Syariat Islam di Aceh, karena harus berbusana muslimah, termasuk tidak boleh memakai celana panjang, sehingga mereka harus membawa sarung – takut tiba2 ada Polisi Syariah??
ada yang sekali tertangkap – dan diarak keliling Kota oleh Polisi Syariah karena tidak memakai Kerudung?
Sudah cukup TUBUH PEREMPUAN menjadi OBYEK POLITIK!!


VI. “Larangan berciuman bibir di muka umum..” (Pasal 27) ..dipidana 1 – 5 tahun penjara (Pasal 81),
menurut saya, dengan alasan apapun - ini tidak boleh menjadi tindak pidana, kalau ada pihak2 yang merasa itu tidak boleh - harusnya disampaikan lewat pendidikan - tapi tidak dengan menjadikannya sebagai tindak pidana,


Teman2, menurut saya, PEREMPUAN ADALAH PIHAK YANG PALING RENTAN DIPIDANA oleh Rancangan Undang-Undang ini.
Saya mengikuti perjalanan Rancangan Undang-Undang ini selama sekitar 2 tahun.. dari Draftnya belum ada tentang Pornoaksi.. & saya lihat tidak ada perubahan substansi dalam Rancangan Undang-Undang ini, tapi melihat perkembangan di DPR dan Pemerintah, Rancangan Undang-Undang ini tidak mungkin ditolak - kalaupun ditolak tetap akan berjalan, sehingga saya mengambil sikap untuk mengikuti proses pembahasan di DPR dan Pemerintah, dan berusaha terus memperjuangkan Pasal2 yang menurut saya harus diubah,

Saya benar2 takut - Kekerasan terhadap Perempuan akan meningkat dengan Undang-Undang ini.. dari mulai pilihan berpakaian.. pilihan berekspresi (misalnya: para Penari perempuan..) ..pilihan pekerjaan (misalnya: Peragawati)
Komnas Perempuan berencana mengundang pihak2 yang rentan dipidana oleh UU ini - bila RUU ini disahkan, perempuan berbagai usia, Penulis, Pekerja Seni (Pembuat Film, Penyanyi, Penari, Artis, Perancang Busana, Peragawati, dan lain2), Lesbian, Gay, Transeksual.. dan perwakilan2 masyarakat lainnya,

Thursday, December 15, 2005

Tsunami Krant



Yesterday morning, after dropping Dhanu off at school, I went to Dirk (nearby our place) to do a quick shopping. After paying, I arranged my stuff at one of the tables provided for that purpose and saw that there's a box full of papers on each table. Title of the paper: Tsunami Krant - Een Jaar Na De Ramp (= Tsunami Paper - One Year After the Disaster - the first image here is a scan of the first page). It's given away for free, on behalf of the cooperating aid organizations. I picked one up rightaway, and flipped through the pages once I got home. Seems like the purpose of this paper is to let everyone (especially those who have donated to GIRO 555) know what happened to the financial aid, how it was distributed, and some resulfs of the contribution.


I really appreciate this publication. Because, indeed, after (almost) one year, people start to wonder about the situation at the damaged areas. Especially those who could only 'watched' from a distance and have no chance to be directly involved in the recovering process. At the top section of each page are FAQ and news sections. Moreover, there are figures of aid portions received by each country and of contributors, reports accompanied by photos. Most of these are touching.


I haven't had the chance to read thoroughly, but some articles cought my interest - such as how children, in their spare time, would draw about their horrible experience (drawing can be a therapy, you know). I would love to see their drawings, I hope somebody gathered these works and display them for the benefit of these children. Another article is about children who lost their parents (illustrated with a photo of a little girl with very beautiful, round, clear eyes), who are in need of paternal attention. My thoughts rightaway ran to my kids and how I would like to hug them right now. Underneath the main photo at the cover page, an article titled Mom, Dad, I'm still alive - why are you still crying? makes me think how rich I am to have a complete family with me, plus the luxury of a proper place to sleep and enough food to eat everyday.


At the last page, is the Kinder Tsunami Krant (= Children Tsunami Paper), containing, among others, an article titled De kinderen van Atjeh lachen weer (= Children of Aceh laugh again), illustrated with a photo of two boys on a pair of swings (second image in this entry). These swings and playground are among numerous facilities built by the money from Giro 555. One boy said that they're so happy with the new facilities, that they kept playing eventhough it rained. Children, indeed, have all the rights to be happy. And to think that some kids are never satisfied of their abundant expensive toys.. Another article is about Rachmat Tsunami, an Acehnese baby who was born during the disaster (the third photo is the baby with his parents). The parents told the story of Rachmat's birth - how the mother gave birth on the roof top of the father's office building during the tide, with help from no one, and how the father ran downstairs when the tide was low, to fetch some necessities from a fridge. How the father had to find something sharp to cut the umbilical cord of the baby and, in the end, had to use his car keys. Wow. I'm really impressed by their experience. In this last page, there's also a child's drawing, picturing a house that is almost drowned by the high water level.


I would suggest to anyone who reads Dutch (and lives in Holland) to get a hold on this paper, take it from a local supermarket. Perhaps it can do to you what it did to me: exercising my emphaty and making me wonder, again, about humanity and the purpose of life..




Tuesday, December 13, 2005

Sunday, December 11, 2005

Bouillabaisse, instant version


Description:
I wanted to make my own Bouillabaisse and, browsing the Internet, I mostly found complicated recipes- the ones that I know I won't follow diligently, considering time and efforts. So I added "easy" as the keyword in Google, where finally I found this version.

I only changed several things:
- I used frozen fish mix (consists of cod fillet, prawns, mussels, crab sticks)
- I don't have pressure cooker, so I cooked it in a 'normal' soup pan. Add the fish mix into the pan at the latest part of the process.
- I might have added fish stock somewhere in the process.

Recipe source: Let's Cook French
Image source: One Season at a Thyme

Ingredients:
- 6 potatoes
- 1 leek or some onions
- one can of tomatoe pulp
- garlic, saffron, salt, pepper, olive oil, white wine
- 4 white fish fillets
- 1 lb of mussels
- some large prawns (if you like)

Directions:
Put some olive oil in the bottom of a pressure cooker, a layer of potatoes cut into flat thins strips, a layer of leeks or onions cut into rounds, then tomatoes and relayer with the rest of ingredients.
Cover with 3 quarts of white wine, some crushed garlic, and put in the amount of saffron you desire.
Place the fish fillets on top, the mussels without the shells, the prawns, and some salt and pepper.
Close the pressure cooker.
When it begins to steam, lower the burner and let it cook for 10-15 min.

Open and it's ready!!

Tuesday, December 6, 2005

Pakjesavond




The night of Dec 5th is called "Pakjesavond", or 'evening of packages', where Sinterklaas and his Zwarte Piet secretly delivering presents to your house. The custom is that the children (and anyone else in the house) should sing loudly, so Sinterklaas can hear them and drop by their house to deliver the presents. If Sinterklaas doesn't hear your singing, he might pass by without knowing that there are children who deserve his presents in that house. Zwarte Piet, the helper of Sinterklaas, always spread strooigoed (sweet treats to throw around) wherever Sinterklaas goes, and that is the sign of his presence.

So, last night I and Syb prepared something similar to those happenings. It's a pity we don't have any CD containing Sinterklaas songs, so we had to browse on the Internet for something we could use. There's a site for karaoke, songs with midi, complete with lyrics. Not bad.
So, after dinner, Syb brought the iBook over the front room's bed, then we sang songs that Dhanu picked from the list. Lindri could also sing the tunes, though the words didn't come out too clearly. Me? I know lots of Dutch children songs, but not for this specific event, so I always had to peek at the lyrics. As planned, when the kids were deeply occupied with singing, Syb slipped away (as if going to the toilet), sneaking to the kitchen. He wore a black glove and threw strooigoed at us, from the kitchen. That was such a surprise, this strooigoed rain, since loud noises occurred when they hit a hard surface.

The throwing went on several times, while Dhanu was being amazed, staring at the direction to the kitchen, but could see nothing except Syb's gloved hand. Lindri, in the meantime, didn't bother investigating - she was already busy picking up and stuffing her mouth with the pepernoten and candies. Before throwing the sweets, Syb already secretly pushed our rattan laundry basket (filled with presents) to the dining area.
Not long after the sweets-shower stopped, Syb appeared from the toilet's hallway, acting surprised. Dhanu rightaway updated him with the latest situation - he was excited but trying to keep cool. Syb asked Dhanu if he wanted to catch the Piet, while they're not far away yet. The door to the balcony was a bit open, and cold wind came in. We could feel the chilly wind, and that added to Dhanu's excitement. But he wouldn't go chasing the Piet. He wouldn't even run to the basket full of gifts, just sitting and smiling there eagerly.

Syb brought the basket over and let Dhanu remove the lid. It was full of presents! Dhanu had to identify each present by reading the letter written on each, then gave it to whom the initial was written. One by one, so everyone can enjoy each other's expressions when opening their gifts.
My parents also took part in this game, by giving me a couple of things to wrap and be included in the Pakjesavond. Lindri got a playing mat (a mat with roads, houses, etc, printed on it), a LEGO mini racing car, Dora underwear and hairpins, books (a Sinterklaas sticker book and Hexa kan niet heksen by Tijn Snoodijk)... Dhanu got a Bionicle (red spider variation), a Meccano (helicopter/ fire truck set), a pair of pajamas (orange, his favorite color), a book (M is een Monster, also by Tijn Snoodijk - "My favorite book!", Dhanu claimed), a small Transformer... Syb got books from me: Een indruk van Echtheid (a collection of comics essays by Joost Pollmann) and Tover mijn verhaal (published by Teken Mijn Verhaal Foundation, where Dutch comic artists drew stories based on disabled childrens' requests). I got a set of Persepolis by Marjane Satrapi (one package for two volumes) and, a real surprise: a DVD player! Aah.. it will be a comfy change when the kids don't have to fight over space again when watching movies from my iMac, and they won't be able to fiddle with the keyboard and mouse anymore (*phew*).

The night continued with, of course, constructing all the Bionicle and LEGO and Meccano and playing endlessly. I'm glad Dhanu really likes all his present and he didn't like one more than another - all are equally big scores! And I like to see that he didn't behave greedily. His expressions were mostly overwhelmed and awed, while also trying to constrain his overjoy. Lindri felt the excitement and she, too, could already appreciate her new things. Bedtime is usually around 20:00, but last night we let the kids enjoy their presents, until they voluntarily fell asleep (at about 21:00).
It's good that Dhanu's school makes the rule of starting classes at 10:00 in the morning today (instead of the usual 08:30), considering most kids would stay up until late for their new presents. Because, really, in the morning Dhanu was again fully occupied with playing, and having some extra time in the morning gave him time to accept the fact that it's not holiday yet. He still has to go to school.
Lindri doesn't have to go anywhere today (she goes to her daycare center only on Mondays and Wednesdays), so I could wake up late. I thought. But no, Lindri woke up too early as usual and started demanding things from me (Feed me! Read me this book! Give me some water!). That's a bit tiring, because I spent last night finishing Persepolis, both volumes (really a good read! I'd reccommend it to everybody!).

For us, the festive season just started.. there's going to be Dhanu's birthday, and Christmas, then my birthday.. Anyway, it's time to pick up Dhanu from school now. He'll have a friend coming over. Until the next news! :)


Image: Strooigoed from Wikipedia


Monday, December 5, 2005

Dag, Sinterklaasje.. dag, Zwarte Piet!




Dec 5th, the birthday of St. Nicholas, is one of the most anticipated days here in Holland, especially for children. This is the day they get presents, along with all the novelties of the year that come with the Sinterklaas tradition: chocolate letters, pepernot, speculaas, finding your shoes filled with snoep (sweet treats) every morning you wake up, greeting Sinterklaas and his Piets when they just get off the boat (from Spain), greeting Sinterklaas who parades on his white horse..

This year Dec 5th is on Monday. People go to work as usual, but supermarkets are closed early (at 18:00 instead of the usual 22:00) and schools are arranging special programs. Today, De Community School (where Dhanu goes) arranged a Sinterklaas meeting at Hemonyplein (a square nearby the school) at 08:30. Unfortunately, rain poured down heavily around that hour, the appointed square was empty, so parents and children arrived at the school building, looking a bit anxious.
I stayed with Dhanu, when the teachers were trying to improvise the program. They should have had a B-plan, considering the uncertain weather nowadays. I took Dhanu upstairs (to his classroom) so he could hang his jacket and put his backpack. Nobody was allowed into the classroom, but some peeked to see a stack of big presents in the middle of the classroom!

These youngest kids of the school (class 1 to 4) were then gathered in the sport hall, all sitting on blue mattresses. Older students (class 5 to 8) waited in their classrooms. Some of them were wearing the costume of Zwarte Piet (a cap and a cape), some Sinterklaas' cape and high hat. Parents and teachers stood around the walls and at the back of the hall.
The principal of the school, helped by a teacher (Dhanu's class teacher, Meester Joeri), led the children to sing Sinterklaas songs, while the Sinterklaas himself entered the room, accompanied by two Zwarte Piets. The kids were excited and could hardly sit still. Sinterklaas brought a bad news, that his bags full of presents (for the kids) were stolen! They have to find the bags, quickly!

The kids were then divided into two: class 1-2 to the theater hall, while class 3-4 stayed at the sport hall. I went along Dhanu's classmates to the other hall. Between the two halls, stands a counter (a reception desk and a kitchenette to serve tea/coffee/cup soup). Some bigger kids were hanging around the counter, pointing and shouting, "We have found the thieves! They're here!".

In the theather hall, the kids were seated on low wooden benches, parents on plastic seats. More singing, Sinterklaas and his two Piets entered the room, then the "thieves" story continued. The kids were so excited they couldn't sit on the bench, they stood and danced, their faces full of anticipation and eagerness. They were sweet, though, obediently raising their hand when about to say something, eventhough some shoutings were heard now and then.
Soon, the 'thieves' were caught (two men dressed in Dalton Brothers' kind of stripey prison uniform). Presents were revealed from 'behind the blue doors' (the storage room of the theater hall). Then Sinterklaas started to call some of the kids to sit on his lap - not all, because he's old and tired, he said. He was given a book of 'report' of these children. Sweet, these kids: they came forward and sat on Sinterklaas' lap and sang when asked to sing, answering all the questions. Getting off his lap, the kids received a handful of pepernoten from Zwarte Piet, to be eaten together with friends.

At about 10:00. Sinterklas left, while the children sang the "Dag Sinterklaas" song for him. They danced, jumped and sang happily, then were led to their classrooms. We parents were still following them into the classroom, where the seats were arranged to form a big circle. In the middle of the circle, was a pile of presents, boxes of the same size.
Meester Joeri explained that Sinterklaas has left these presents for them, and each kid may pick one present for him/herself. Once everyone got their present, they unwrapped them at the same time. Everybody got the same thing: a catapult game with plastic tree and monkeys. We left not long afterwards, then came back to pick up the kids at 12:00 already.

Tonight, we still have to make a surprise for Dhanu and Lindri. We had to make it as if Sinterklaas himself came and left a bunch of presents for us. The presents are now hidden in the laundry room, and I've cooked up a plan with Syb of how to go about it. Allright, time to move on.. dinner, and then the 'theater'.. hee hee. See you!

(One of the children's songs for Sinterklaas:)

"Zie ginds komt de stoomboot
uit Spanje weer aan.
Hij brengt on Sint-Nicolaas,
ik zie hem al staan.
Hoe huppelt zijn paardje
het dek op en neer,
hoe waaien de wimpels
al heen en al weer."



Image: from St. Nicholas Center

Saturday, December 3, 2005

Suntory Whisky commercial, feat. Duran Duran




A commercial from the 80s for Suntory Whisky in Japan, featuring Duran Duran. I wonder if this really ever boosted up their sale.

Thursday, December 1, 2005

Some Like It Hot - Power Station




Welcome back to the 80s!
I still like the song, although the clip is a bit too.. well.. 80s.

Some Like It Hot
Power Station

We want to multiply, are you gonna do it
I know you're qualified, are you gonna do it
Don't be so circumscribed, are you gonna do it
Just get yourself untied, are you gonna do it

Feel the heat pushing you to decide
Feel the heat burning you up, ready or not

Some like it hot and some sweat when the heat is on
Some feel the heat and decide that they can't go on
Some like it hot, but you can't tell how hot 'til you try
Some like it hot, so let's turn up the heat 'til we fry

The girl is at your side, are you gonna do it
She wants to be your bride, are you gonna do it
She wants to multiply, are you gonna do it
I know you won't be satisfied until you do it

Some like it hot and some sweat when the heat is on
Some feel the heat and decide that they can't go on
Some like it hot, but you can't tell how hot 'til you try
Some like it hot, so let's turn up the heat 'til we fry

Feel the heat pushing you to decide
Feel the heat burning you up, ready or not

Some like it hot and some sweat when the heat is on
Some feel the heat and decide that they can't go on
Some like it hot, but you can't tell how hot 'til you try
Some like it hot, so let's turn up the heat 'til we fry

Some like it hot, some like it hot
Some like it hot, some like it hot
Some like it hot, some like it hot
Some like it hot, some like it hot

Tuesday, November 29, 2005

40075km-comics

http://www.40075km-comics.net/?lang=en
Everyday we move from one place to another. Wether it is from our bedroom to the bathroom or from a country to another. 40075 km invites you to publish the stories behind these short or long trips.
This narration project is open to all of you graphic artists. It’s simple, free and easy.

Monday, November 28, 2005

Rampokan Exhibition in Yogya (articles)




Some clippings from local newspaper about Peter van Dongen's exhibition in Yogyakarta (thanks to Suryo from Komik Alternatif mailing list for the info).
The first article from Kedaulatan Rakyat contains an announcement about the exhibition, along with an interview with Anggi Minarni, the Director of Karta Pustaka Yogyakarta (where the exhibition is held). My nickname is not the only word that was misspelled in that article.
The second article from Kedaulatan Rakyat contains opinions from Hasmi, creator of the legendary Gundala Putra Petir, who opened the exhibition. His points are: in creating comics, great skills should be improved by creativity (which is the biggest challenge in this Internet era), artists should understand the overall background of their subjects (be resourceful! - and diligent).


Kedaulatan Rakyat 9 Nov 2005
Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik
YOGYA (KR) - Karta Pustaka bersama Erasmus Huis menyelenggarakan acara ‘Peter van Dongen, Kartunis dan Re-kan Pembuat Komik Indonesia: Motulz, Titi, Cahya dan Beng’ di Pendapa Karta Pustaka, Jl Bintaran Tengah 16, Jumat 11 November mendatang dibuka pukul 19.30. Pembukaan akan dilakukan komikus Yogya, Hasmi pencipta tokoh komik Gundala Putra Petir.

Direktur Karta Pustaka, Anggi Minarni mengatakan, kegiatan ‘Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik’ sebenarnya diilhami oleh perayaan di Indonesia sehubungan dengan 60 tahun Kemerdekaan. Erasmus Huis akan menggelar karya kartunis Belanda Peter van Dongen, kelahiran Amsterdam tahun 1966 bersama karya lain dari generasi baru kartunis Indonesia. “Kartunis Indonesa banyak dipengaruhi oleh gaya buku komik Eropa: Motulz, Titi, Cahya dan Beng,” katanya.

Setahu Anggi Minarni, Peter van Dongen mengawali karirnya sebagai penabuh drum dalam sebuah kelompok musik ska-reggae pada awal tahun 80-an. Setelah enam tahun dan sejumlah album singlenya, ia kemudian jatuh cinta pada komik. Sejak kecil, Peter van Dongen sudah mengagumi garis-garis jelas pada gaya kartunis Herge, Jacons dan kemudian Franquin dan Chaland. Ia berhasil melanjutkan studinya di jurusan gambar profesional di Sekolah Tinggi Grafis Amsterdam, namun sayangnya ia tidak berhasil masuk Reitveldas-cademie.

Namun demikian, Van Dongen tidak berhenti menggambar dan pada tahun 1990, ia melakukan debut dengan diterbitkannya Theatre of Mice (Casterman). Tahun 1991, karya Van Dongen memperoleh penghargaan Buku Komik Terbaik dari ‘Stripschappenning’, sebuah penghargaan dari komunitas kartunis Belanda. Pada tahun 1998, Van Dongen mengeluarkan buku baru berjudul ‘Rampokan: Java’ (Ong & Blik). Dongeng tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia yang merupakan tanah leluhur Van Dongen ini mendapatkan sambutan yang lebih baik daripada debutnya. Kembali Van Dongen memperoleh penghargaan ‘Stripschappening’ untuk karyanya ini sebagai Buku Komik Terbaik tahun 1999, serta penghargaan ‘Prix du Lion’ 1999 di Brusel. ‘Rampokan: Java’ turut diterbitkan oeh Joost Swarte. Pada tahun 1998, baik penulis maupun penerbit memperoleh penghargaan untuk Desain Buku Terbaik. Edisi kedua dan terakhir Rampokan berjudul ‘Rampokan” Celebes’ diterbitkan tahun 2004. (Jay)-o


Kedaulatan Rakyat 14 Nov 2005
KOMIKUS ‘GUNDALA PUTRA PETIR’ HASMI: Komik Indonesia Jangan Sekadar Meniru

YOGYA (KR) - Para komikus alias pembuat komik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Persoalannya, apakah mereka memiliki kreativitas yang tinggi sehingga tidak sekadar meniru ? Kreativitas dalam menggarap tema dan karakter yang benar-benar ‘Nge-Indonesia’. Komikus Indonesia jangan sekadar meniru dari negara maju seperti Jepang, perlu membuat komik khas Indonesia.

Demikian ditegaskan Hasmi, komikus dari Yogya yang terkenal dengan karyanya ‘Gundala Putra Petir’ saat membuka Pameran Komik ‘Peter Van Dongen dan Rekan Pembuat Komik Indonesia’ di Pendapa Karta Pustaka, Bintaran Tengah, Jumat (11/11) malam. Selain karya Peter Van Dongen ditampilkan pula karya Motulz, Tita, Cahya dan Beng. Pembukaan pameran tersebut diberi pengantar Direktur Karta Pustaka, Anggi Minarni.

Menurut Hasmi, tantangan membuat komik saat ini memang soal kreativitas. Masalahnya, media, teknologi komputer sudah menjadi bagian industri dari komik itu sendiri. “Persoalan bakat yang besar, adakah dibarengi kreativitas yang tinggi ?” tanya Hasmi. Ia hanya memberi ilustrasi, membuat komik itu sebenarnya harus memahami sosio-kultur dari materi yang akan diga-rap. Lihatlah karya Peter Van Dongen begitu ingin menghadirkan komik bercerita tentang Indonesia atau Asia, karakter orang-orang Indonesia atau Asia sangat kuat muncul dalam karya tersebut. Tak hanya itu, setting bangunan, cerita benar-benar digali dari sosio-kultur Indonesia. Pada prinsipnya, komikus sebelum menuangkan dalam karya sudah memiliki sejumlah referensi sosio-budaya, dipadukan dengan kemampuan imajinasi, akhirnya menjadi karya yang berkualitas dalam rentang waktu yang panjang. “Saya mengungkapkan hal ini sebenarnya bercermin dari diri sendiri. Saya membuat komik Gundala Putra Petir, justru memiliki bayangan tentang Eropa. Padahal saya sendiri tidak mengenal betul Eropa. Tapi, bagaimana lagi semua sudah kebacut alias telanjur,” ucapnya terus terang. Herannya, justru karya tersebut banyak yang memuji dan melekat betul dalam memori masyarakat.

Dalam pengamatan Hasmi, Yogyakarta dengan potensi seniman mudanya merupakan lahan sumber tumbuh-kembangnya komik. “Potensi yang besar memang harus digali dengan segala proses, ketekunan. Syukur komikus mampu membuat mashab, aliran sendiri, serta gaya tersendiri dalam karya yang dihasilkan,’ harapnya yang malam itu merasa berbahagia karena sepanjang hidup baru 2 kali membuka pameran komik. Meski dalam hal ilustrasi itu sendiri, atau komik tidak mengenal ‘mashab’, tetapi karakter karya dari goresan spontanitas bisa dilacak dari mana karya itu berasal. “Saya sendiri juga tidak setuju dengan Manga dari Jepang,” katanya tanpa memerinci, kenapa tidak setuju.

Hasmi juga berharap dari komikus muda, tetap saja muncul kreasi. Bahkan, siapa tahu dari kreasi ada penerbit yang mau berbaik hati menerbitkan, kemudian didistribusikan dan direspons pembaca. Sedangkan Anggi Minarni dalam pengantar antara lain mengatakan peristiwa pameran komik sekarang ini masih langka. “Kalau mendatangkan karya dari Belanda kemudian dipersandingkan dengan komikus Indonesia, harapannya bisa merangsang komikus Indonesia berkreasi.” tandasnya. (Jay)-o

Kompas 15 Okt 2005
Upaya Meraih Pasar dengan Format Baru
BI Purwantari

”Di komputer tertulis stoknya masih ada, kenapa saya dan Anda tidak bisa menemukan buku itu?” tanya seorang pembeli di sebuah toko buku besar di Jakarta dengan nada meninggi. Wajah si penjaga toko tampak bingung dan hanya bisa menjawab, ”Maaf, kami sedang membereskan stok buku.”

Setengah putus asa si pembeli menghampiri tumpukan ratusan komik, membolak-balik komik-komik tersebut. Karena yang dicari belum ditemukannya, ia beralih menuju rak bertuliskan cerita remaja. Satu persatu dibacanya judul tiap buku. Sekitar lima belas menit kemudian terdengar seruannya, ”Ah..ini dia..ketemu juga akhirnya!” Rupanya buku yang dicari tersebut terletak agak tersembunyi sehingga tidak mudah dilihat pembeli.

Buku yang dicari itu berjudul Selamat Pagi Urbaz, Sebuah Novel Grafis karya Beng Rahadian. Meskipun disebut novel grafis, tetapi formatnya tidak jauh berbeda dengan komik: menggunakan panel-panel gambar dengan balon untuk dialognya.

Di toko buku ini kita dapat menyaksikan tumpukan menggunung komik seperti Kung Fu Boy, Detektif Conan, Kapten Tsubasa, Yugi Oh, dan lainnya di antara rak-rak buku. Masih ditambah lagi komik-komik beraliran manga lainnya dipajang di rak dengan posisi yang mempermudah pembeli mencarinya. Sementara itu, karya Beng Rahadian tadi maupun buku novel grafis lainnya berjudul Split karya Bayu Indie hampir-hampir tak tampak di deretan rak buku yang ada.

Novel grafis, sebuah istilah yang dipopulerkan pertama kali oleh Will Eisner di Amerika Serikat pada paruh terakhir tahun 1970-an, merujuk pada sebuah bentuk komik yang mengambil tema-tema lebih serius dengan panjang cerita seperti halnya sebuah novel dan ditujukan bagi pembaca bukan anak-anak. Istilah ini sebenarnya dipakai oleh Eisner lebih untuk mencuri perhatian perusahaan penerbit tempat ia menyerahkan naskah komiknya di tengah-tengah dominasi pengertian komik sebagai bacaan murahan dan penguasaan pasar pada era itu.

Di Indonesia sendiri, istilah ini belum lama dipakai oleh komikus lokal yang melahirkan karya komik dengan alur cerita seperti halnya sebuah novel, seperti karya Beng Rahadian berjudul Selamat Pagi Urbaz ataupun Split hasil goresan Bayu Indie. Kedua komikus ini bersama-sama dengan penerbitnya, Terrant Comics, secara eksplisit menyebut di sampul depan bukunya sebagai karya novel grafis. Karya lain yang belum lama ini diluncurkan adalah Rampokan Jawa, versi terjemahan bahasa Indonesia dari Rampokan Java, buah karya Peter van Dongen, komikus keturunan Indonesia berkewarganegaraan Belanda.

Dari segi bentuk, kedua karya ini tidak jauh berbeda dengan bentuk komik umumnya. Bahkan dari aspek cerita pun sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dengan karya yang tidak disebut novel grafis. Di kedua karya ini elemen-elemen humor dan kekerasan juga tampil seperti halnya di dalam komik-komik umum. Selain itu, karya komik pada umumnya sebenarnya juga bukan konsumsi anak-anak saja. Banyak pembaca remaja hingga orang dewasa yang juga gandrung membaca komik.

Namun demikian, pihak penerbit memiliki alasan tersendiri untuk menyebutnya sebagai novel grafis. Pandu Ganesa dari Pustaka Primatama yang menerbitkan Rampokan Jawa menyebut, ”Gambarnya sangat indah dan ekspresif. Dari segi cerita juga mampu membuka mata pembaca tentang hal-hal yang selama ini tidak diketahui masyarakat.” Sedangkan Oktavia, General Manager Terrant Comics, menyatakan, ”Masih jarang komikus lokal membuat karya berbentuk cerita yang panjang seperti novel. Selama ini pasar dibanjiri oleh bentuk komik-komik Jepang.”

Apa pun alasan penerbit, karya novel grafis yang beredar di Indonesia mempunyai perbedaan dengan komik-komik yang saat ini mendominasi pasar: komik terjemahan, terutama dari Jepang. Meskipun harga jual novel grafis tidak jauh berbeda dengan komik terjemahan, yaitu sekitar Rp 12.000 hingga Rp 15.000, tetap ada perbedaan perlakuan pasar terhadap kedua produk tersebut. Ilustrasi di awal tulisan cukup memberi gambaran tentang hal ini. Perbedaan keduanya semakin jelas bila kita bandingkan jumlah copy yang dicetak untuk sebuah judul. Kedua karya Terrant Comics yang diterbitkan tahun 2004 dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Hingga Oktober 2005 jumlah yang terjual baru separuhnya. Demikian pula dengan Rampokan Jawa, hanya dicetak 3.000 eksemplar. Tahun 2001 Galang Press pernah menerbitkan karya Seno Gumira berjudul Jakarta 2039, yang oleh Hikmat Darmawan, pengamat komik, juga dikategorikan sebagai novel grafis, hingga kini hanya terjual 700 eksemplar dari 2.000 eksemplar yang dicetak.

Situasi yang sangat berbeda terjadi pada komik-komik terjemahan. Serial Detektif Conan misalnya, setiap judul seri komik terbitan Elex Media Komputindo ini diproduksi hingga 90.000 eksemplar. Sementara judul komik terjemahan lainnya bisa mencapai 10.000 eksemplar.

Situasi pasar yang tidak terlalu menyambut ini agaknya tidak membuat jeri para penerbit novel grafis. Seperti dinyatakan Oktavia, ”ini semacam proyek idealis kami, menerbitkan karya yang betul-betul karya orang Indonesia sendiri. Toh, kami juga punya lini lain di Terrant Books yang menerbitkan novel-novel remaja karya para penulis remaja Indonesia dan cukup diterima pasar.” Memang, Terrant Books yang memajang slogan Pelopor Kebangkitan Penulis Muda Indonesia di website-nya pernah meraup sukses cukup besar dari novel Eiffel I’m in Love, yang berhasil terjual 70.000 eksemplar dalam waktu enam bulan dan kemudian diangkat ke layar lebar serta menjadi film box office kedua setelah Ada Apa Dengan Cinta?.

Sementara itu, Pandu Ganesa mengakui bahwa kerja memasarkan Rampokan Jawa adalah kerja yang sangat berat. Selain karena harganya cukup mahal bagi kantong pribumi yaitu Rp 75.000, juga karena, ”Toko-toko buku di sini menganggap komik adalah produk untuk anak-anak dan sesuatu yang ’ringan’. Jadi dengan bentuk seperti ini tidak semua toko buku mau menerima.” Hal senada diungkap Hikmat Darmawan. Menurutnya, ”Yang jelas novel grafis karya komikus lokal ’ditaruh’ di rak novel oleh toko-toko buku di sini dan bukan di rak komik. Jadi, penerimaan terhadap novel grafis masih berada di tahap awal.”

Berbeda dengan novel grafis karya penulis lokal yang belum mendapat tempat di pasar dalam negeri, novel grafis karya komikus asing, terutama Amerika Serikat, yang didistribusikan ke Indonesia membentuk pasar sendiri di sini. Salah satu tempat para penggemar novel grafis asing bisa memuaskan hobi membacanya adalah toko buku Kinokuniya. Di Kinokuniya Plasa Senayan, novel grafis diberi rak khusus, terpisah dari rak komik, dengan jumlah rak yang cukup banyak.

Penempatan secara khusus seperti ini selain karena permintaan dari kantor pusat di Singapura, menurut Amanda Ayusya dari Kinokuniya, ”Karena turn over buku-buku novel grafis sangat tinggi yang menunjukkan peminatnya cukup banyak. Sering kali satu judul tertentu habis dalam waktu hanya sebulan.” Selain permintaan yang cukup tinggi, berdasarkan pengamatan, penempatan secara khusus ini disebabkan melimpahnya jumlah judul yang tersedia.

Pangsa pasar novel grafis karya komikus asing ini bukan hanya orang-orang asing yang tinggal di Indonesia, tetapi juga orang-orang Indonesia sendiri. Meskipun harganya relatif mahal, rata-rata di atas Rp 100.000, toh pembeli lokal tidak ragu membelanjakan uangnya untuk sebuah karya novel grafis berbahasa Inggris. Menurut Hikmat Darmawan, ”Mereka adalah orang-orang yang memang mengerti tentang novel grafis dan mencari format yang betul-betul novel grafis: karya tematik, alur cerita bukan sebatas tentang superhero, artinya yang tidak mainstream-lah.” Tema-tema di luar tema komik umumnya, seperti tentang persoalan masyarakat urban, psikologi, atau bahkan sosialisme, inilah yang, menurut Hikmat, disukai oleh pembeli yang sering menyambangi Kinokuniya.

Lantas, apakah format baru seperti novel grafis ini dapat membuka peluang baru juga untuk pasar novel grafis di dalam negeri? Beberapa pihak memberi indikasi terbukanya peluang tersebut. Peluang itu terbagi menjadi dua kutub, kutub karya terjemahan seperti Rampokan Jawa dan kutub karya asli komikus lokal. Di kutub pertama, menurut Hikmat, ”Bagus kalau memang ada yang mau menerbitkan terjemahan novel grafis asing. Ini akan mendidik komikus lokal untuk menghasilkan karya serupa. Contohnya komik Tintin yang diterjemahkan ke berbagai bahasa itu memberi inspirasi kepada Peter van Dongen untuk menghasilkan Rampokan Java.”

Di kutub kedua, Pandu Ganesa melihat bahwa ”Format novel grafis ini bisa menjadi jembatan bagi generasi muda Indonesia untuk mengenal kembali karya sastra yang lebih serius.” Dengan kata lain, contoh yang diberikan kutub pertama dapat mendorong komikus lokal menciptakan karya novel grafis untuk karya-karya sastra Indonesia. Nada optimistis serupa dilontarkan Rahayu Hidayat, pengamat komik. ”Format komik sebetulnya merupakan jembatan antarbudaya. Ia memberi peluang bagi karya-karya serius atau klasik untuk dipopulerkan dalam bentuk komik sehingga menjangkau lebih banyak pembaca,” ujar Wakil Dekan I, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia ini.

Karya-karya klasik yang dikomikkan pernah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU) dalam seri Album Cerita Ternama (ACT) pada era 1970-an sampai 1980-an. Menurut Listiana dari GPU, ACT dulu cukup laris dan bahkan permintaan pasar saat ini untuk menerbitkan kembali ACT cukup besar. Ini berarti, optimisme yang dilontarkan Pandu dan Rahayu bukan isapan jempol belaka. Namun demikian, peluang ini mesti dibarengi dengan kerja keras di kalangan komikus dan penerbit dalam negeri selain strategi distribusi yang tepat. Seperti dilontarkan Pandu Ganesa, ”Promosinya tidak boleh lagi model konvensional. Klub-klub pembaca atau buku harus aktif bergerak dan lebih banyak lagi membentuk klub-klub semacam ini.” Kalau memang komunitas komik tidak ingin didominasi terus-menerus oleh manga, tentunya optimisme ini tidak seharusnya berhenti sebagai lontaran ide saja. (umi/sat/wen/ Litbang Kompas)

From the same Kompas, still related to Novel Grafis (also mentioning a bit about Peter's Rampokan):
Mereka Menyebut Novel Grafis
Novel Grafis, Komik atau Sastra?

There is supposedly one more article from Kompas 15 Nov 2005, titled Menggugah Kebangkitan Komik Indonesia, which contains interviews with Anggi Minarni (about indie comics in Indonesia), Beng Rahadian and Anto Motulz, but I'm still looking for it..

Illustration: cover of Waarom Die Vlag Toch? by Peter van Dongen, published by Het Indisch Huis, Den Haag, which is used for promotional materials of Peter's exhibition in Indonesia.
Here are some photos of the opening day, along with a report from Motulz.

Saturday, November 26, 2005

Serayu 1997


Bandung - Serayu (Purwokerto)

These drawings were made in 1997, telling about the National Whitewater Rafting Competition at Serayu River, Central Java. No, I wasn't one of the athletes - I was there only for the fun of it (and to meet friends, of course). A full story about this event, here (in Indonesian)

Serayu 1997




Iseng2, sambil ngerjain tulisan, seperti biasa saya mampir2 ke situs KCM (euh.. kadang2 ke Multiply juga sih.. hehe). Eh, ada berita (dan foto2) baru, ttg Kejurnas Arung Jeram 2005, kali ini di Citarum, Kab. Bandung. Langsung membangkitkan kenangan lama! Cihuyy.. istirahat otak bentar, tinggalin draft disertasi sejenak, saya lanjut ngGoogle utk cari berita2 lain ttg kejurnas ini. Di situs Sinar Harapan dapet satu artikel yg kutipannya demikian: "...kejurnas yang baru digelar kembali sejak 1997 tersebut." Wah, jadi sejak yang dulu itu, memang baru diadakan lagi th 2005 ini? Pantesan, di antara tahun2 itu belom pernah saya denger kabar lagi ttg acara ini.

Dulu itu ceritanya gini.. Th 1997 itu saya baru lulus kuliah, dan kerjanya hanya ngasisteni aja, sambil bantu2 di Lab Desain Produk. Waktu itu juga sedang proses melamar jadi CPNS (kan ceritanya mau jadi dosen). Ada temen seangkatan di Produk, yg sekaligus juga rekan senasib-sepenanggungan waktu TA dan proses pelamaran CPNS, Ihsan, yg adalah jurig ulin (setan main). Jalan ama Ihsan berarti nembus hutan-gunung, main di kali, dan sebangsanya. Sehingga pernah saya dikenalin ke grup arung jeramnya, UCanRaft, yg anggotanya emang cuma segelintir. Biarin, yg penting senang, bisa main perahu di kali!

Nah, Ihsan dan temen2 UCanRaft ini ngajak saya ikutan ke Kejurnas Arung Jeram-nya Marinir yg waktu itu diadain di kali Serayu, Jawa Tengah. Waktu itu saya nggak bisa berangkat bareng mereka, hanya bisa nyusul belakangan. Gampang sih, tinggal beli tiket bis malem dan berangkat dari terminal Cicaheum, Bandung. Subuh2 nyampe di "persimpangan ke mana saja" (terminal Secang), terus naik angkutan umum ke arah Serayu. Di 'angkot' ini tinggal nanya ama keneknya, lokasi arung jeram, mereka langsung tau dan nurunin saya di depan kali Serayu (bukan di depan camp, sebab - waktu itu udah pagi terang - saya kira orang2 toh bakal turun ke kali sebentar lagi). Sambil nunggu, saya permisi sama orang2 setempat utk numpang duduk di gardu di sisi jalan setapak, tempat strategis di deket gapura. Jadilah, saya ngobrol2 dengan warga lokal, sambil pasang mata ke gapura, di mana satu persatu para peserta masuk lokasi arung jeram. Nggak banyak yg kenal, lha saya bukan atlit arung jeram kok.. hehe.. jadi seneng juga waktu liat tampang familiar: si Punjung tukang kayak, anak SR'93.

Akhirnya, Ihsan dan teman2 datang! Saya segera pamitan dengan bapak2 di gardu, terus ikut rombongan Ihsan ke deket lokasi start. Kita buka tenda kecil di sana, buat duduk2. Di spot tempat kita duduk ini lebih banyak batu kalinya ketimbang tanahnya, jadi enak, gak becek. Dan bisa ngeliat jelas ke arah garis start di depan mata, sementara di belakang ada jalan setapak tempat orang2 nggotong raft ke titik start.
Nggak berapa lama kemudian, saya ketemu temen2 lain, kontingen dari Sulawesi Utara: tim Waraney. Beberapa bulan sebelumnya, waktu menemani ibu ke Manado, saya memang sempet main sama mereka, ikutan rafting dan kemping segala. Di antaranya, ada Kengkang (Franky Kowaas), yg pagi itu berkeras ngusahain saya utk bisa salaman sama temennya, Adjie Massaid (duh, nggak penting banget deh) - tapi kejadian juga. Eh tapi beneran sempet heboh, waktu Adjie turun sendiri (pake kayak), banyak ibu2 muda dan anak2 sekolah pada lari ke kali, sampe ikutan nyebur demi bisa mendekatinya.

Acaranya sendiri seru. Di th 97 ini masih dipisahkan antara kelas2 Militer dan Sipil (di th 2005, semua juara digabung, nggak ada pemisahan antara tim2 militer dan sipil). UCanRaft ikutan nomor rescue segala, yg nyebur si Rina, satu2nya 'rescuee' cewek waktu itu. Pendayungnya ya itu2 aja, abis orangnya emang cuma segitu.. haha.. Saya dan Ira (sekarang istri Ihsan), ngikutin dari tepian sungai, sampai ke garis finish juga. Lalu nontonin juga tim2 amatiran yg dengan susah payah ngangkut raft rame2 melalui jalan setapak, turun ke sungai. Sementara tim Marinir? Empat orang, berjalan cepat, hup hup hup, beres!
Agak sorean, aktivitas dihentikan karena volume sungai naik cepat. Tim penyisir segera menelusuri sungai utk memastikan bahwa tidak ada yg masih main di air. Saya dan tim UCanRaft sempet keliling2 sebentar nyari tempat mandi. Tadinya sempet mampir2 ke warung2 pinggir jalan yg ada MCK umumnya, nyari2 yg rada bersih. Tapi ya, jadinya seadanya lah, yg penting kebutuhan inti sudah terlampiaskan :D Di camp, saya nebeng di tendanya tim UCanRaft, mereka banyak punya dipan sisa, jadi nggak masalah.

Nah sore2 begini, yg tadinya mau dipake istirahat, jadi dipake utk buru2. Tau2 ada orang ngelongok ke tenda kita, nyari Ihsan. Ternyata masih kerabatnya, yg bilang ada pesan urgent utk Ihsan, dan Ihsan harus cari wartel terdekat utk nelpon ke oom-nya yg tinggal deket situ. Naik kijangnya UCanRaft, Ihsan saya temani mencari kabar dadakan itu. Ternyata oh ternyata, kabar mendadak itu berlaku juga buat saya: bahwa besok paginya akan ada tes CPNS: wawancara dan tertulis dari fakultas, tak bisa dijadual ulang!
Kita langsung balik ke camp dan buru2 cerita ke tim, sebelum segera pamit lagi utk balik ke Bandung. Hari mulai gelap, saya dan Ihsan nyari angkutan umum ke terminal bis terdekat, beli tiket bis malem utk ke Bandung. Seinget saya, udah lewat tengah malam setibanya kami di Cicaheum. Saya ikut Ihsan naik angkot ke rumahnya (di daerah Dipati Ukur), lalu dari situ dia anter saya ke rumah (sekitar Kanayakan Dago). Sisa dini hari, sebisa mungkin, dipake tidur..

..Paginya, jam 7-an sudah langsung mandi dan dandan rapih-sopan. Nyampe sekolah lagi jam 8-an, Ihsan juga udah di sana, bareng teman2 para pelamar CPNS. Tes hari itu ternyata hanya omong2 sebentar dengan dekan, terus masing2 diberi pertanyaan tertulis yg harus diselesaikan sebelum jam dua siang. Saya dan Ihsan langsung buru2 ngerjain tugas itu di kantor Produk (gampang, intinya harus nulis motivasi: kenapa ingin jadi dosen), serahin tulisan jam 12 siang, terus kami langsung ganti baju dan berangkat ngebis, balik ke Serayu lagi!

Sampai Serayu waktu itu dini hari. Saya dan Ihsan meraba2 jalan menuju tenda, terus rebahan di dipan2 kosong tanpa mbangunin siapapun, tidur sampe matahari terbit. Hari ini acara berlangsung cukup seru. Sayang, Ihsan tumbeng setelah p-p Serayu-Bandung, jadi dia nggak bisa ikutan ngedayung hari itu. Siang itu juga saya banyakan ngobrol sama Kengkang, yg malam sebelumnya ternyata bertandang ke tenda UCanRaft (tapi nggak ketemu saya - mana tau dia kalau saya dan Ihsan dipanggil mendadak ke Bandung).
Saya sempet juga ngeliat2 T-shirt kenang2an yg dijual saat acara berlangsung. Haduh, bener2 nyesel, saya dan Ihsan nggak sempet bikin kaos buat dijual2in, sebab kami yakin hasilnya lebih bagus dan pasti laris! Hahahaha! Agak sorean, kejuaraan berakhir dan masing2 tim kembali bersiap di camp, utk menghadiri upacara penutupan di alun2. Saya dan tim UCanRaft berkijang, mampir ke rumah orang tuanya teman seorang member UCanRaft (nah lo, panjang kan?), apa lagi kalo bukan utk menumpang mandi. Ini rumah model tua di Jawa Tengah, yg kamar mandinya guede banget (dan sekaligus tempat cuci baju), yg cuma diterangi satu bola lampu, lantainya semen, dindingnya semen dan tegel, dan airnya duingiiinn. Lagi2, basuh2 seadanya aja.. hehe.. lagian nggabisa lama2, kan kamar mandi harus dipake bergantian.

Sekitar jam tujuh malam, kita berangkat ke alun2. Di tengah lapangan, keliatan barisan rapih (Marinir) dan tidak rapih (peserta kejurnas lain). Saya nggak ikutan baris dong ah, tapi cuma nongkrong di pinggir lapangan, bareng Ihsan dan penduduk setempat yg ikutan nonton upacara penutupan. Rame, euy, setelah selesai pidato2 dan penyerahan penghargaan ke para juara, ada kembang api segala. Setelah bubaran upacara, semua pergi makan malam ke balai kota (asik makaaan).

Setelah makan malam, tim UCanRaft berangkat balik ke Bandung dengan kijang mereka itu. Saya nggak ikutan, sebab besoknya toh harus ke Yogyakarta, ke kawinan sepupu. Jadilah malam itu saya nebeng tenda lain utk menumpang tidur: atas ijin Kengkang, di tenda anak2 Waraney. Anak2 UCanRaft berangkat langsung dari balai kota. Saya ikut kembali ke camp dengan para peserta kejurnas, rame2 naik truk. Sempet ada insiden nggak jelas di jalan, yg melibatkan penggebugan entah siapa oleh siapa :(
Malam itu di camp sebenernya masih ada acara lagi: api unggun, nyanyi2 dan dansa dansi (poco-poco, lho.. hehe). Tapi apa daya, udah ngantuk banget dan harus simpan tenaga buat ke Yogya besoknya. Saya segera pilih dipan yg kosong, utk ngegabruk tidur.

Pagi2 sekali, Kengkang nraktir teh panas, tempe dan pisang goreng di warung di depan kompleks perkemahan, terus kita siap2 berkemas utk bubar. Saya yg mestinya sudah tinggal angkat ransel dan berangkat, malah jadi ikutan duduk2 di tenda sambil ngobrol2 ngalor ngidul. Orang2 keliatan bener pada enggan berangkat, masih menikmati suasana, sampai pada akhirnya tim Marinir datang utk mberesin tenda. "Mas-mas, mbak-mbak, dimohon pengertiannya!", begitu ucap seorang komandan dengan tegas- (dan keras)nya ke arah kita. Dengan segera kami beringsut keluar tenda, yg segera dirubuhkan dengan terampil dan dikemas rapih dalam waktu singkat.
Sebelum bubaran, Kengkang memberikan kaos tim Waraney-nya ke saya. Untuk kenang2an, katanya. Saya tolak. Ini banyak yang mau lho, katanya. Masih saya tolak. Kamu nggak kasihan sama saya, sampe mengiba begini? Akhirnya saya terima :P (sekarang masih tersimpan rapih, somewhere di lemari rumah Bandung).

Dari tepian jalan, saya setop angkutan ke arah Secang, melambai ke Kengkang, langsung melanjutkan perjalanan ke Yogya. Setiba di Yogya, saya langsung ke hotel tempat keluarga menginap, menemukan kamar sedang kosong (krn semua sedang ke rumah sepupu yg nikahan itu), dan dengan senang hati ketemu kamar mandi berair hangat dan bed empuk!

Demikian cerita th 1997, delapan tahun yg lalu, yg tergali lagi gara2 baca berita. Heh.

Ttg Kejurnas di Serayu th 97 ini bisa dibaca di sini
Ttg Kejurnas th 2005 ini, beritanya antara lain ada di Sinar Harapan dan Kapanlagi.com
Lebih lengkap ttg Kejurnas 2005, ada di situs Federasi Arung Jeram Indonesia

Ilustrasi: detail dari diary-sketsa saat itu - lengkapnya bisa dilihat di sini.


Saturday, November 19, 2005

Rampokan: Interview at BBC Radio


http://www.bbc.co.uk/indonesian/
An interview about Peter van Dongen's Rampokan series at BBC Radio, Indonesian Section (Siaran 1300 GMT), for Kabar Buku program, Saturday Nov 19th, 2005. The interview starts at 22:17.

*edit to add*
The link works only for live broadcasts. The interview itself was filed here.

Friday, November 18, 2005

Anansi Boys

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Neil Gaiman
Sejak ayahnya meninggal dunia, kehidupan "Fat Charlie" Nancy (yg sebenarnya tidak gemuk), yang berjalan biasa-biasa saja (bahkan cenderung membosankan) banyak mengalami perubahan. Fat Charlie, yg semenjak kecilnya selalu merasa dipermalukan ayahnya yg berpembawaan ceria, flamboyan, dan sangat gemar menyanyi ini dihadapkan pada runtutan kejadian yang sama sekali baru baginya.
Pertama, ia menemukan bahwa ayahnya adalah Anansi, si dewa laba-laba pemintal cerita. Selanjutnya, Fat Charlie menemukan bahwa ia memiliki seorang saudara laki-laki, bernama Spider, yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya. Spider datang tidak hanya utk bertemu dengan Fat Charlie, namun ternyata juga mengambil alih seluruh kehidupannya: tempat tinggal, pekerjaan, dan bahkan tunangannya.

Dalam usahanya mengusir Spider utk memperoleh kembali kehidupannya, Fat Charlie dihadapkan pada peristiwa2 aneh, yang secara perlahan2 juga mengubah tabiat dan bawaan dirinya. Ia menemukan kembali sisi yang hilang dari dirinya, yaitu sisi yg ia warisi dari mendiang ayahnya. Namun, dalam usahanya ini ternyata ada rahasia di balik rahasia, yg membuat Fat Charlie terpaksa membereskan kembali semuanya. Dan ini tidaklah mudah.

Dalam kisah ini, kita bisa merasakan bahwa tokoh2 yang sepertinya tak berkaitan satu sama lain, lambat laun akan saling bertaut dalam jejaring cerita. Titik2 tokoh berangsur bergerak pada alur menuju satu titik pertemuan, di mana semuanya terjadi. Tidak berhenti sampai situ, kejadian2 pun berlangsung pararel dari satu alur ke alur yg lain. Gaiman telah menyusun ceritanya sedemikian rupa, sehingga hampir dapat dipercaya bahwa Anansi sendiri yg telah menitipkan ceritanya pada Gaiman - seluruhnya saling bertautan dan menuju satu arah, persis sebuah jaring laba-laba.

Kisah bertemakan dewa-dewa dan semesta lain tidaklah asing bagi Gaiman, yg telah menghasilkan karya2 spt Sandman, Stardust dan American Gods, yg menampilkan berbagai jenis dan tingkatan dewa2 dan berbagai makhluk mitos.
Selain karena American Gods (AG) adalah karyanya yg terakhir sebelum Anansi Boys (AB), kedua novel ini terbandingkan berkat kemunculan tokoh Anansi di dalam keduanya (meskipun, tentu saja, Anansi memegang peran lebih penting dalam AB). Bila AG menyajikan cukup banyak gambaran kekerasan dan seksual vulgar, AB menampilkannya dengan lebih halus (atau, tak sebanyak pada AG). Meskipun sama2 melibatkan banyak sekali dewa dengan komplikasi dan selera humor mereka masing2, pada AB cerita terasa berjalan lebih ringan, lebih menghibur. Lebih personal dengan sentuhan cerita pertalian antar anggota keluarga.


Saya suka tampilan edisi Anansi Boys yg baru saya baca ini. Selain karena jenisnya soft cover, desain sampulnya sederhana namun berkesan misterius, anggun dan menarik (bandingkan dengan versi ini). Sebagai tambahan, pada buku ini terdapat Exclusive Extra Material:
Anansi Boys deleted scene (bonus teks, yg kurang pas utk dimasukkan dalam cerita, namun terlalu bagus utk dibuang),
Extracts from Neil Gaiman's notebook (nikmati kopian tulisan tangan Neil, dalam prosesnya merangkai kata2 utk novel ini),
An Interview with Neil Gaiman (cukup ringkas, namun menarik - terutama perihal hubungannya dengan anak2nya),
Reading-group Discussion Questions (bahan diskusi, tapi siapa ya yg membuat pertanyaan2 yg spt ujian essay ini?)

Berikut ini cuplikan dari wawancara pada bagian ekstra tsb, yg kurang lebih menggambarkan isi buku ini (yg, menurut Neil, adalah "a magical-horror-thriller-ghost-romantic-comedy-family-epic").

What was your favourite moments of Anansi Boys?
...I had to stop at that point and figure out how a comedy worked. I knew that I wanted it to be a comic novel, and it needed to be a comedy, but also that there were places in there where I was skirting perilously close to horror.
...You start realising that in horror fiction people get what they deserve, whereas in comedies people get what they need. And I felt that at the end of Anansi Boys, everybody got what they needed.

Anansi Boys
Neil Gaiman
(C)Review, 2005
ISBN# 0-7553-0508-6

God is dead. Meet the kids.





Getting home from Delft to Amsterdam, yesterday, I was caught in the peak hours. To make things worse, trains got delayed, and even cancelled, from the Delft station - leaving the people at the platform fully packed, standing against the chilly autumn evening, and mostly grumpy. I didn't mind the situation so much because I got a good book to read: Anansi Boys, Neil Gaiman's newest novel (my sister found this soft cover version in Singapore.. yaay!).

When the train to Amsterdam finally came, I joined the crowd, squeezing myself into the already-jammed interior. There's no seat available, so I and some other people stood up at the aisle. I resumed reading my novel while trying to keep my balance. Somehow I felt somebody stole a glance at me, once in a while: a woman sitting next to where I stood.

At one stop after Delft, Den Haag HS, a lot of passenger got off, and those who stood and continued their journey were shuffling around the aisle to find seats. The easiest choice for me was the seat next to the woman, so I sat there, quite content, and resumed reading. Again, the woman stole a glance not only at me, but seems like she was trying to read my book, too. This time, more sternly.
She herself was holding a thin A5-sized folder-like publication on her left hand, while her right was busy underlining some words in her folder. Naturally, I also glanced at what she's been busy with. It turned out that the folder in her hand was a - sort of - religious folder. Complete with an illustration of Jesus, full of quotations of verses in the bible. Then I suddenly realized why she was so curious about Anansi Boys: the catching phrase of this novel is, "God is dead. Meet the kids", which is printed fairly big and flashy (blue-metallic color against black background) at the back cover of the book. No wonder she looked at me as if I'm a mild heathen.. hee hee.. (a review for Anansi Boys, coming up!)

Photo source: the website of MUM Puppet Theatre

========================================
ps [an old story]. People should lighten up. This reminds me of discussions in several mailing lists about The Da Vinci Code by Dan Brown: the truth (or un-truth) of it, the official declaration from the Catholic church, and all such fuss. I've posted my opinion (as a comment) at a friend's review, here goes:

Books labelled as "best sellers" usually don't match my taste, and that's clearly the case with The Da Vinci Code. Out of curiousity, I finally bought a copy from a 2nd-hand book stall in a marketplace (3 Eur only) not long ago and started reading, finished the next day and rightaway came to a conclusion that this book is overrated.

1. I've been an admirer of Da Vinci's works and have naturally been always interested in biographies & documentations concerning this great artist & all relevant subjects. So, things that are supposedly "big secrets" in this book hardly roused my excitement. These "surprises" might be interesting, mind you, had the author not exaggerate all the supporting elements towards these sub-climax. So, my first problem is perhaps the language style of the book, which sounds rather pompous.

2. I won't refer to myself as a religious person, so I don't really mind whatever subject a book contains. It's just that this book brings up a topic that I've read (or watch or hear) time and again. Just another form of a repeated news.

3. There's a difference between an amusing, great detective story and a plain mystery story where most what-happens-nexts are predictable. Sadly, this book falls into the later category. Plain words are perhaps adequate in telling an exciting mystery adventure, but plain words for not-so-mysterious happenings are boring. This book is clearly not a great literature material. And I could see rightaway why Hollywood wants it on big screen; everything is there: there's a hero and his pretty partner-heroine, villains, conspiracy, exclusive & fancy 'tours' across Europe, and the script is ready. There, you've got yourself a supossedly-succesful movie.

4. I am biased by the idea that the main character will be played by Tom Hanks. That's it, enough to ruin the whole book. I like how Tom Hanks presents his characters in most of his movies, but I don't think he suits this Langdon character.

However, I can respect the research done by the author to complete this book, and his ability to put words together so that people who don't usually read novels are able and willing to read this book until the end. For that, I give this book one star.





Thursday, November 17, 2005

Townscapes

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Comics & Graphic Novels
Author:Pierre Christin & Enki Bilal
Pierre Christin bekerja sama dengan Enki Bilal dalam membuat album Townscapes ini di tahun 1970an. Album ini berisi tiga cerita pendek, plus satu cerita sebagai awalan yg memperkenalkan tokoh utama pada cerita2 pendek tsb. Kisah2 dalam album ini semuanya bertemakan protes terhadap kebijakan2 pemerintah, militer dan kaum penguasa dan pemodal, yang berakibat ke pengrusakan lingkungan, ketidak-pedulian terhadap situs bersejarah, dan kesejahteraan rakyat. Meskipun fokus dan contoh2 kasus pada kisah2 ini terasa usang, namun tema2 yg diangkat Christin dan Bilal tsb nampaknya masih berlaku hingga kini.
Meskipun dibuat di awal2 karirnya, karya Bilal untuk album ini sudah sangat mengagumkan. Ia telah berhasil menggambarkan berbagai ekspresi dengan jitu, mengajukan visual berbagai detail dengan unik, dan menciptakan suasana sesuai dengan mood yg sesuai dengan cerita.

Pada intinya, album yang dibuat pada lebih dari 30 th yg silam ini mengajak berpikir: apakah pembangunan selalu berarti perbaikan kualitas hidup bagi kebanyakan orang? Apakah yang sebenarnya diinginkan manusia, demi kepuasan hidupnya? Sejauh mana lingkungan, budaya dan sejarah akan dikorbankan, atas nama "kemajuan" dan "peningkatan kesejahteraan"? Tiga setengah bintang untuk album ini, yg telah kembali membukakan benak pada pemikiran2 tsb.

Berikut ini adalah ringkasan kisah2 pada Townscapes.

And Thus Was A Legend Born… (1975) sebagai cerita awal mengisahkan ttg sebuah pertemuan rahasia sekelompok politikus, yg berlokasi di sebuah gedung tua yg dulunya adalah sebuah hotel mewah. Seorang pemuda bertubuh tinggi langsing dan berambut pirang keperakan, meskipun turut terlibat dalam pertemuan ini, tampak tidak menonjol – bahkan sebaliknya, cenderung misterius. Namun ternyata pemuda ini lah yg menghantar para politikus tsb, satu demi satu, terjerumus masuk ke dalam perut bumi dengan disambut makhluk2 aneh. Pertemuan berakhir dengan runtuhnya gedung tua tsb, melesak masuk ke dalam tanah, disaksikan oleh publik yg sama sekali tidak berkeberatan akan lenyapnya para politikus tsb. Si pemuda misterius tsb adalah tokoh yg akan terus muncul dalam kisah2 berikutnya. Meskipun berada di belakang adegan utama, ia memegang peranan penting di tiap kisah.
Dalam cerita awal ini, sekilas terdapat meta-narasi di mana Christin dan Bilal menampilkan diri mereka sendiri.

The Cruise of Lost Souls (1975) mengisahkan sebuah desa terpencil, di mana terletak sebuah pangkalan militer di dekatnya, yang kabarnya giat melakukan percobaan2 teknologi. Karena pangkalan militer ini lah kondisi di lingkungan sekitar desa itu berubah (danau menjadi dangkal, ladang menjadi kurang subur, dsb) sementara desa tsb terisolasi dari luar akibat tertutupnya akses umum oleh pangkalan militer tsb.
Suatu pagi, para warga desa tiba2 mendapati semua rumah dan bangunan desa terangkat, dan mengambang setinggi dua meter dari permukaan tanah. Pada hari yang sama, desa tersebut mendapat tamu sepasang orang muda, pria dan wanita, yg kemudian tinggal bersama mereka selama kejadian aneh tsb. Warga desa tidak keberatan, bahkan terlihat menikmati perubahan keadaan ini, yg mereka duga terjadi gara2 eksperimen di pangkalan militer tsb.
Di hari berikut, seluruh isi desa terangkat jauh lebih tinggi lagi, hingga terbawa angin keluar dari tengah hutan tempat mereka berada, menuju ke pesisir pantai, hingga mengambang di atas permukaan air laut lepas. Di sepanjang perjalanan desa tsb, para warga menjumpai penduduk2 lain yg mulai menyadari dan menonton fenomena “desa terbang” ini. Para penduduk ini pun menganggap bahwa kejadian ini adalah gara2 eksperimen di pangkalan militer tsb, sehingga turut ‘menitipkan’ protes ttg tergusurnya nelayan dan desa mereka gara2 pembangunan sebuah resort megah di dekat daerah mereka, atau daerah industri yg dibangun dekat desa mereka. Kalangan militer dan pemerintah sendiri akhirnya harus turun tangan utk menyelesaikan kasus ini, demi nama baik mereka.

Ship of Stone (1976) ber-setting di sebuah desa tua di pesisir Perancis, di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Pada puncak bukit di sisi desa tsb terdapat sebuah kastil kuno yang dipercaya sebagai tempat cikal bakal nenek moyang bangsa di daerah itu. Kehidupan sehari2 para penduduk desa terancam ketika sekelompok pemodal memutuskan utk membangun sebuah kompleks kondominium dan resort mewah di puncak bukit tsb, yg berarti harus menggusur kastil tua tsb. Desa di kaki bukit akan dijadikan sebuah obyek wisata, dengan mengubah beberapa tempat menjadi hotel dan café bergaya chic.
Para penduduk desa keberatan dengan hal ini, sehingga berusaha mencari cara utk menghalang2i maksud para pemodal tsb, dibantu oleh seorang pemuda pendatang, yg berpostur jangkung dan berambut pirang keperakan. Ditemani oleh seorang gadis lokal, pada suatu malam pemuda ini menghampiri kastil tua tsb, untuk menemui seorang kakek2 yang, menurut orang2 desa, telah tinggal di kastil tsb selama berabad2 lamanya. Malam itu juga si pemuda dan gadis tsb menyaksikan sesuatu yg luar biasa: kenyataan bahwa kastil tsb memang merupakan kediaman bagi nenek moyang bangsa mereka; bukan hanya dari abad atau zaman yang baru lalu, namun sejak masa pertama kalinya makhluk2 mulai menghuni planet ini. Dengan bantuan para nenek moyang dari kastil tsb, para penduduk desa melancarkan aksi mereka melawan rencana pembangunan daerah tsb, dengan cara yg mustahil diterima akal sehat.

The Town That Didn’t Exist (1977) berkisah ttg sebuah kota kecil yang suram, di mana para penduduknya, yg sebagian besar adalah buruh, sedang melakukan aksi mogok kerja dan protes kepada pemilik pabrik. Suatu ketika, si pemilik pabrik, yg juga adalah orang dan sumber dana paling berpengaruh bagi kota kecil tsb, meninggal dunia secara mendadak. Perusahaannya diteruskan pada ahli warisnya, yaitu putri tunggalnya, yg bertemankan seorang pemuda jangkung berambut putih keperakan. Putri tunggal ini menggunakan pengaruh dan modal yg ia miliki utk mengubah seisi kota, yg tadinya berkesan kelabu dan kuno, menjadi berwarna warni dan indah ceria. Orang2 berpakaian bagus, kehidupan ditanggung layak. Ada satu lagi perubahan besar: seluruh kota ini ditutup oleh pagar2 pembatas dan kubah2 raksasa yg memisahkan kota tsb dari lingkungan di luarnya.
Kesejahteraan hidup penduduk kota telah terjamin, suasana kota dibuat sedemikian indah dan menarik, tapi apakah benar 'perbaikan’ semacam ini merupakan hal yg diinginkan para penduduk kota tsb?

Townscapes
Pierre Christin & Enki Bilal
(C)Humanoids/DC Comics, 2004
ISBN 1-4012-0361-2

Rampokan at Karta Pustaka, Yogyakarta




Works of Peter van Dongen and Indonesian comic artists, that were exhibited at Erasmus Huis Jakarta and Semarang, are now being shown at Karta Pustaka, Yogyakarta, starting November 11th, 2005. The report (in Indonesian) and photographs here are courtesy of Motulz (thanks, Tul!).

Sekilas Laporan dari Jogja (extend exhibition Peter van Dongen)

Berangkat dari Cengkareng jam 10.45WIB. Kita tiba di Adi Sucipto pukul 11.45 langsung naik taxi hotel menuju Hotel Santika. Saya di kamar 360 (karena ada wi fi internet) dan Benk di kamar 364. Menunggu malam.. saya cuma istirahat di hotel sambil internet sementara Benk reuni dengan teman2 Jogjanya.

Malamnya kita ke lokasi pameran dengan motor (ala Jogja gitu deh) gue di bonceng Agung Komikaze (untung ada dia). Sesampainya di lokasi masih sepi dan langsung disambut Ibu Anggie. Dia masih ingat dan mengenal Benk dengan baik. Kami langsung bergabung dengan pengunjung yang datang kepagian. Baru ngobrol sebentar kita langsung dipanggil Ibu Anggie untuk dikenalkan kepada Pak Hasjmi. Beliau tidak terlalu tua dari yang saya bayangkan.. masih sehat.. dan masih ramah (maklum baru sekali ketemu beliau). Saya sama Benk mempertanyakan kondisi Gundala, beliau sangat ingin sekali memunculkan kembali Gundala, sayangnya saat ini belum bisa aja.

Acara langsung dibuka oleh Ibu Anggie lalu dilanjutkan oleh kata sambutan dari Pak Hasjmi. Pak Hasjmi mengulas tentang "gaya komik" Peter van Dongen yang terpengaruh oleh Herge. Baginya ini merupakan sebuah wacana baru bagi komikus Indonesia, baik yang tua maupun yang muda. Dulu, komik dengan gaya-gaya itu sering dikonotasikan dengan meniru, atau plagiator. Bagi Pak Hasmi ini merupakan sebuah langkah proses, tahap belajar yang sangat wajar dilakukan bagi semua orang termasuk pembuat komik.

Pak Hasmi pun mengakui bahwa saat dulu ia membuat komik pun meniru komik Amerika yang saat itu beredar. Hanya saja memang topik "meniru" ini sangat tabu dibahas. Nah bagi Pak Hasmi, keterbukaan Peter ini menjadikan sebuah pelajaran baru bagi komikus Indonesia. Selesai sambutan, Pak Hasmi langsung membuka pameran dan mempersilakan masuk. Pameran dihadiri banyak pemerhati komik. Saya ketemu Eko (Daging Tumbuh), Sam (Petak Umpet), Pak Haryanto? (dari Bening Animasi), lalu Ismail (Sukribo).

Ketika selesai pameran, kita akan pamit pulang (sekitar pukul 22.30) kita masih diajak makan malam oleh teman-teman komikus Jogja (sama Lulu (boemboe), Ismail (Sukribo, Ayam Majapahit), Ferry, Agung (Komikaze) dll). Selesai makan.. kita pulang ke hotel. Semalaman saya gak tidur.. cuma ngerjain kerjaan dan online hehehe.

Hari Sabtu, saya hanya beberes sementara Benk ada keperluan dengan teman Jogjanya. Pukul 13.00 kita check out, setengah jam kemudian diantar mobil hotel ke bandara lalu langsung check in dan boarding pukul 15.10. Tiba di Jakarta pukul 16.00... lelah rasanya :) lalu saya dan Benk berpisah.

Bagi saya.. pameran komik Belanda - Indonesia ini bisa jadi berbeda dengan pameran2 komik biasanya di Indonesia. Peter, yang hanya komikus baru dikenal di Indonesia ternyata bisa mendapatkan tempat yang SANGAT AKRAB dengan para penggemar, pemerhati, dan pekerja komik di Indonesia. Komik Peter seperti memberikan sebuah pandangan baru akan komik yang selama ini berkesan gak serius. Ada banyak pengunjung pameran yang sangat menyayangkan ketidak hadiran Peter dan ingin sekali bertemu dengan Peter. Sepertinya Peter memberi nafas baru bagi komik Indonesia, selain pula memberikan secercah harapan dan kesempatan untuk bangkitnya komik di Indonesia.