Saturday, September 27, 2008

Dengan atau Tanpa: PRT

Obrolan saya dan rekan2 dosen di sebuah Jumat pagi di kantor S2 FSRD ITB mengarah ke dilema PRT, yang memang sedang rame2nya jadi kenyataan di musim mudik Lebaran begini. Mulai dari PRT yang nggak akan balik lagi tapi nggak pamitan, PRT yang tau2 ngeboyong kerabatnya utk ikutan kerja di kota (atau ingin ikutan icip2 tinggal di kota meskipun cuma sebentar), sampe PRT yang malah jadi dapet kesempatan untuk memeras employer-nya ("Saya mau balik lagi, asal dibeliin henpon model terbaru"). Tapi intinya adalah, orang kota sangat tergantung sama jasa PRT (termasuk babysitter, supir, tukang kebon, dan perangkat asisten RT lain), sehingga bisa 'dimanfaatkan' (in a negative term) oleh PRT yang 'niat' (juga dalam arti negatifnya :P).

Sehubungan dengan ketergantungan itu, timbul pertanyaan utama: Sebenernya bisa nggak sih orang2 kota di Indonesia hidup tanpa PRT? Jawaban singkatnya: bisa. Tapi prerequisite dan konsekuensi untuk "bisa" itu juga nggak sedikit!

Antara lain:
  • Tempat2 belanja kebutuhan sehari2 harus mudah diakses, kalau bisa within walking distance. Bisa berupa pasar tradisional, kios/warung, mini market atau supermarket.
  • Fasilitas RT yg mendasar, seperti kompor dan kulkas harus ada, dan operasional & perawatannya harus mudah. Fasilitas lain seperti mesin cuci baju, microwave, apalagi mesin cuci piring, adalah optional.
  • Rumah yang ditinggal kosong melompong harus terjamin keamanannya. Keki kan kalo cuma ke warung beli gula bentar, ehh balik2 TV udah digondol maling...     
  • Sumber energi dan air harus tersuplai dengan baik. Listrik nggak boleh byar-pet, sediaan gas untuk masak harus lancar, air bersih harus ngalir terus. Idealnya sih air ledengnya bisa langsung diminum, jadi kita nggak usah buang2 energi lagi utk masak2 air. Dan semua kelancaran ini harus bisa dihentikan temporer oleh masing2 RT, misalkan kalau rumahnya mau ditinggal lama, jadi tetap ada kontrol.
  • Mekanisme pembuangan sampah harus jelas: begitu ditaruh di luar rumah, pengambilan sampah (oleh dinas kebersihan) harus rutin dan dilakukan dengan baik.
  • Pembayaran berbagai hal (listrik, air, dll) bisa pakai internet banking, jadi kita nggak perlu buang2 waktu utk ngantri dan ngisi formulir ini itu di berbagai loket.
  • Harus ada tempat yg pantes utk menjemur cucian di rumah. Atau, kalau nggak ada tempat dan nggak punya mesin cuci, harus ada tempat laundry komunal yang mudah terjangkau dari rumah.
  • Jam-jam kerja harus fleksibel. Malah mungkin sebisa mungkin kerja di rumah, sambil mengontrol aktivitas domestik, termasuk mengurus anak2.
  • Setiap anggota keluarga harus kebagian tugas domestik.
Daftar ini masih bisa diperpanjang lagi (yang mau nambahin, silakaan :D). Sekarang tinggal berandai-andai, Indonesia bisa nggak ya diurus sedemikian rupa sehingga daftar itu bisa jadi kenyataan?


Gambar: Rosie, robot asisten rumah tangga keluarga Jetson (Hanna-Barbera Productions, 1962-1963)

Wednesday, September 24, 2008

"Anak Sekarang"

Iya, iya saya tahu, generasi mana pun pasti menganggap generasi yang lebih muda itu lebih lembek dan lebih manja ketimbang mereka. Hal ini terlihat sekali di lingkungan kerja saya yang adalah sebuah perguruan tinggi, yang setiap tahunnya dimasuki seangkatan generasi termuda di lingkungan tersebut. Ada beberapa kejadian yang membuat saya merasa kepingin nulis soal ini.

SPP
Semester baru baru dimulai. Pagi itu saya sudah ada di kantor bersama beberapa rekan dosen, para pegawai administrasi belom dateng. Ada telpon, saya angkat. Ternyata orang tua salah seorang mahasiswa.
Ortu: Bu, maaf mau tanya, SPP semester ini berapa ya?
Saya: Putra Ibu angkatan berapa?
Ortu: (menyebut angkatan)
Saya (sambil cari2 info di dinding): Sebentar, semestinya ada informasinya di sini.
Waktu saya sedang cari2 itu, datanglah seorang pegawai admin. Dia ngasih tau bahwa infonya ditempel di sisi luar kantor, nggak terlihat dari tempat saya nelpon.
Saya: Ada detailnya, Bu, ditempel di sini. Putra ibu bisa langsung datang dan melihat sendiri, sekaligus melakukan prosedur pembayaran.
Ortu: Oh, saya yang akan melakukan itu
Saya: Putra ibu memang sedang di mana?
Ortu: Dia di Bandung sih, tapi sedang main dengan teman2nya
Saya (mulai heran): Ya, dia kan bisa mampir kampus untuk mengurus SPPnya?
Ortu: Tapi dia nitip saya. Ya sudah Bu, terima kasih. 
Saya (udah narok telpon, ngomong ke temen2 seruangan): Anaknya di Bandung tapi lagi main sama temen-temennya??!

Material
Ortu: Bu, lain kali kalo mau menugaskan anak2 bawa material, jangan mendadak dong!
Saya: Gimana mendadaknya, Bu? Kalau ada tugas studio, biasanya kami sediakan bahannya. Kalau kurang, siswa biasanya bisa mencari sendiri ke toko material.
Ortu: Enggak, soalnya anak saya pernah nih, suatu malem ribut. Katanya, mah, tolong cariin material ini dong, besok saya harus bawa nih! Wah saya sampe repot muter2 nyari2 di toko2, udah malem, pula!
Saya (mikir, ni anak tega bener ama ibunya): Biasanya nggak semendadak itu kok Bu. Kalaupun harus cari sendiri, pasti ada jeda beberapa hari.
Masuk kuliah itu umur berapa sih, 18an kan ya. Apa nyari material aja masih harus minta ke orang tuanya, seperti kalo bikin prakarya waktu SD dulu?!

Dijawab nggak ya...
Nanya itu boleh. Nanya kritis itu bagus. Nanya asal bunyi itu yang nggak nahanin. Apalagi nanya yg sifatnya cuma 'minta disuapin', nggak ada usaha nyari jawaban sendiri. Kali ini kasusnya bukan cuma ke saya, tapi juga ke rekan2 dosen lain. Dosen senior, angkatan 70an awal, pernah ditelpon hanya untuk ditanya, "Pak, beli acrylic di mana ya?"
Dosen yang mengajar mata kuliah A, pernah ditelpon sama mahasiswa yang udah lamaaa banget gak masuk, "Pak, kuliah A itu kapan sih?" 
Dosen lain dapet pertanyaan ini, "Pak, ada kuliah nggak besok?" (padahal di jadual dia jelas2 ada - dia cuma pengen tau, si dosen ini akan masuk ngajar atau enggak)
Duh euy.

Kasus2 begini ini yang mau nggak mau bikin saya berandai2 bareng temen2 lain, memulai kalimat dengan "Jaman kita dulu...". Nggak salah kan ya?


Sunday, September 21, 2008

Sketsa Curhat ttg Bandung di PR

Ultah Kota Bandung jatuh tgl 25 Sept nanti, tapi berhubung halaman ekstra (Selisik) biasanya terbit tiap Senin, maka hari ini Pikiran Rakyat sudah membahas ttg Bandung dalam rangka hari jadinya ini di bagian Selisik itu. Di halaman tengah Selisik itu ada sketsa2 'curhat' yang saya buat khusus untuk edisi ini. Rencananya, masing2 sketsa itu dibuat untuk direspon oleh Pidi dengan sketsa2nya sendiri, tapi sayangnya nggak jadi. (Deadline nggak kekejar ya Pid?) Di situ juga ada foto saya yang diambil waktu wawancara beberapa bulan lalu dengan PR, di-crop, posenya jadi agak2 gak jelas.. :P

Print gambar yang di halaman tengah ini hitamnya nggak tajam. Dan, gambar2 yang tadinya rencananya berupa fragmen2 terpisah yang didampingi sketsa2 Pidi, jadinya disatukan di bentangan halaman tengah. Agak aneh aja ngeliatnya ter-magnify sekian besar (apa ini sebabnya jadi blawur?). Lalu, saya disebut mengambil MA dan PhD di "The Design Academy Delft University of Technology".. kesannya itu satu sekolah :D Tepatnya: MA dari Design Academy Eindhoven (di Eindhoven) dan PhD dari Delft University of Technology (di Delft).

Anyway, semoga pesen sketsa2 itu nyampe', bisa dinikmati pembaca dan nyambung dengan artikel2 Selisik hari ini: Dari Kota Kembang ke Kota Kreatif, Sulitnya Mengembalikan "City of Excellence", dan Mendorong Perubahan Melalui Kreatifitas. Worth reading. Selamat ulang tahun, Bandung, semoga dirimu nggak makin salah diurus!    

Gambar2 lain ada di sini: http://esduren.multiply.com/photos/album/121

Thursday, September 4, 2008

Monsieur Leotard

It finally arrived! (thanks to saturdaypeople)
I've browsed a bit and stopped after ten seconds for I didn't want to spoil my surprises before really reading it thoroughly. I hope I could spend this weekend enjoying this book. All pages are fully painted and (seems like) no page is identical in forms and contents.
Happy happy joy joy!

Now please excuse me while I'm zooming out to take kids (and myself) to school...