Thursday, December 24, 2009

Preview Pages: Berbagi Hidup




"Berbagi Hidup" merupakan hasil kolaborasi antara Komunitas Anak Berbagi Hidup dan Penerbit Curhat Anak Bangsa, berisi kisah-kisah nyata anak-anak ODHA yang dibuat dalam bentuk cergam berwarna.

Peluncurannya direncanakan:
Hari Senin, tanggal 28 Desember 2009
Pk. 19.00-21.00
Di Jendela Ide, Sasana Budaya Ganesa, Lebak Siliwangi, BANDUNG

Detail lebih lanjut akan diinformasikan kemudian.

Post ttg acara peluncuran di MP

RSVP kehadiran di acara peluncuran di FB

Wednesday, December 23, 2009

[Launching] graphic diary "Berbagi Hidup"

"Berbagi Hidup" merupakan hasil kolaborasi antara Komunitas Anak Berbagi Hidup dan Penerbit Curhat Anak Bangsa, berisi kisah-kisah nyata anak-anak ODHA yang dibuat dalam bentuk cergam berwarna.

Peluncurannya direncanakan:
Hari Senin, tanggal 28 Desember 2009
Pk. 19.00-21.00
Di Jendela Ide, Sasana Budaya Ganesa, Lebak Siliwangi, BANDUNG

Detail lebih lanjut akan diinformasikan kemudian.

RSVP kehadiran di acara peluncuran di FB

Preview pages di MP

Graphic diary “Berbagi Hidup”

Ukuran: B5 (35 x 15 cm)
Jumlah halaman: 24 halaman + cover
Kertas isi: art paper
Print: full color

Cover artist: Mia Diwasasri
Desain cover: Dudi Suwardi
Artists:
Tita Larasati
Sheila Rooswitha
Tri Prasetyningtyas
Malia Hartati & Rony Amdani
Adiputra

Penerbit: Curhat Anak Bangsa

Donasi: Rp. 25.000 boleh lebih (di luar ongkos kirim)


Cara memesan
1. Emailkan alamat pengiriman dan jumlah buku yang dipesan ke drawyourdays@gmail.com
2. Tunggu konfirmasi penerimaan pemesanan dan jumlah biaya pengiriman
3. Transfer ke: BCA 578 0483 158 a.n Frenki Tampubolon
4. Setelah itu, bukti transfer harap dikirimkan ke email drawyourdays@gmail.com ATAU di-fax ke 022 7319981
5. Buku-buku pesanan akan dikirimkan setelah bukti transfer diterima

ATAU

Dapat diperoleh langsung di Komunitas Anak Berbagi Hidup
Jl Cempaka Putih Barat XXI No 34 Jakarta Pusat Tlp. 021. 42802349-50
PiC: Frangky Tampubolon

Wednesday, December 2, 2009

[klipping] Desainer, Jawaban Persoalan Sampah

Kompas Jawa Barat, 30 November 2009

Desainer, Jawaban Persoalan Sampah
Youth Waste Digelar di Mal PVJ

Senin, 30 November 2009 | 15:45 WIB

Bandung, Kompas - Persoalan sampah sebetulnya bisa diatasi para desainer lewat pendekatan kreatif. Para desainer harus mengubah pendekatan lama dengan mengedepankan desain yang mampu bertahan lama, bahkan kalau bisa menggunakan bahan daur ulang.

Hal tersebut mengemuka dalam acara bincang-bincang "Upcycle Vs Downcycle" yang digelar dalam rangka acara Youth Waste, Sabtu (28/11) malam di mal Paris van Java (PVJ). Hadir sebagai pembicara, dosen Institut Teknologi Bandung, Dwinita Larasati; arsitek lulusan ITB, Yu Sing dan Ridwan Kamil; serta aktivis lingkungan hidup, M Bijaksana Junerosano.

"Pada tahun 1960-an profesi desainer produk disebut sebagai profesi paling berbahaya setelah teroris. Sebab, mereka menghasilkan sampah demikian besar. Keusangan dari produk yang mereka hasilkan sebetulnya telah direncanakan agar masyarakat terus membeli yang baru," tutur Dwinita Larasati, dosen bidang desain berkelanjutan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

Dahulu setiap produk memiliki karakter desain downycle, yang artinya lambat laun produk itu memiliki keusangan dan hanya menjadi sampah. Namun, dengan tekanan yang kian besar akibat kondisi lingkungan hidup dewasa ini, desain harus bisa menyesuaikan diri. "Mahasiswa semakin sadar bahwa yang mereka ciptakan nantinya memiliki konsekuensi terhadap lingkungan hidup di sekitarnya," ucapnya. Menurut Dwinita, desain ramah lingkungan di pasaran umumnya lebih mahal 20-30 persen dibandingkan dengan produk sejenis.

Namun, dalam beberapa tahun ke depan, harganya akan sama karena didesak kebutuhan. "Green product seharusnya bukan lagi tren, melainkan sudah jadi kebiasaan baru kita," tuturnya.

Menurut Ridwan Kamil, desain adalah simbol peradaban. Sampah bisa menjadi barang-barang berharga yang menunjang estetika jika dikemas dalam desain menarik. Hal ini dibuktikannya sendiri dengan menjadikan 30.000 botol bekas kemasan minuman berenergi sebagai salah satu material yang menghiasi rumahnya.

"Orang kreatif bisa melihat sampah sebagai potensi," tutur Ketua Bandung Creative City Forum ini. Dalam kesempatan ini, ia menekankan pentingnya prinsip kolaborasi dalam pengembangan desain ramah lingkungan. Kolaborasi ini, misalnya, antara desainer dan musisi atau desainer bersama arsitek.

Rumah dari sampah

Tindakan konkret menjadikan sampah sebagai benda yang upcycle atau dapat dimanfaatkan juga dilakukan Yu Sing, arsitek lulusan ITB. Ia membuat rumah dengan material bekas. Genteng-genteng sisa atau potongan kayu digunakan sebagai dinding.

"Dinding bisa menjadi seperti mozaik, kumpulan beragam jenis bahan material. Tidak perlu cat karena warna asli di bahan itu sudah cukup baik," kata penulis buku Mimpi Rumah Murah yang kini tengah mendesain model rumah kolaborasi di Jakarta.

Menurut Junerosano, masyarakat tidak lagi bisa menunda kebiasaan hidup berwawasan lingkungan. "Ketika Kota Bandung makin panas, makin macet, dan banyak sampah, itulah saatnya kita bertindak. Mau menunggu apa lagi?" gugatnya.

Acara Youth Waste ini sengaja dilakukan di pusat-pusat perbelanjaan agar bisa menyadarkan generasi muda mengenai pentingnya hidup berdampingan dengan sampah. Dalam acara ini dipamerkan berbagai produk interior berbahan dasar sampah hasil desain mahasiswa ITB. (jon)


Saturday, November 7, 2009

SEVEN




WHAT IS "SEVEN"?
An event held by CAB, a publisher who concentrates on graphic diary, where everyone can participate. It's where everyone can draw his or her days, one page each day, for seven consecutive days.

WHO CAN PARTICIPATE?
Basically anyone. You don't have to be an artist or someone who's good at drawing. As long as you are eager to tell your stories in words as well as drawings, you're in!

IS THERE ANY THEME?
The drawings can be day-to-day happenings during the week, dreams, desires, or whatever comes to mind when your pen hits the paper (or the tablet).
Optionally - especially for those in Bandung - since this first SEVEN is held during Helarfest2009, it would also be nice if the keywords of your drawings include "creativity" and "Bandung".

WHEN?
All participants are to start their drawings on Nov 7. One page for one day, until Nov 14. In total, everyone will have 7 pages of drawings.
On Nov 15 we'll gather for a small exhibition, an informal discussion session and the launch of the new CAB website.

WHERE?
All works will be displayed online, so there's no 'real' place. But you are most welcome to arrange the event in your own communities or cities.
(In Bandung, the venue for Nov 15 gathering will be informed as soon as it is confirmed)

HOW?
If you'd like to participate, you are encouraged to upload your drawings on your own Blogs, which will be linked to CAB website. Alternately, you can also send your drawings to CAB (email drawyourdays@gmail.com), to be uploaded on CAB website.

*HOW, EXACTLY?*
1. Go on with your day as you normally would on Nov 7
2. At the middle- or the end of the day, record anything that you think worth memorizing, or simply noting down.
3. The 'note' can be in the form of drawings, collage, clips from magazines, receipts and ticket stubs, anything! It could also be a digital drawing.
4. The length of the 'note' - or, let's say, your "graphic diary" - can be one page for each day
5. Upload the page on your own website or blog (please send us the URL so we can link it to CAB website) -OR- scan and send the page to CAB, to this address drawyourdays@gmail.com
6. Repeat daily, until Nov 14, so each of you would have made 7 pages
7. Enjoy! :)

Friday, November 6, 2009

[klipping] Melongok Industri Kreatif Bangkok

Artikel di Pikiran Rakyat tgl 6 Nov ini adalah laporan dari delegasi CEN.bdg (Creative Entrepreneur Network - Bandung), Febby dan Ben, ketika mereka berpartisipasi dalam acara Creative Catalysts.

Melongok Industri Kreatif Bangkok

BANGKOK dikenal sebagai surga bagi para penggila belanja karena banyak sekali produk-produk, terutama fashion, yang ditawarkan dengan harga murah dan kualitas tingkat atas. Selain dikenal sebagai salah satu tujuan belanja di Asia, Bangkok sebelumnya juga dikenal sebagai kota yang aktivitasnya sangat padat. Tak heran, 10 tahun lalu kema-cetan menjadi hal yang lumrah di kota yang memiliki slogan "City of Life" ini.

Selain dikenal sebagai tujuan berbelanja, di bidang industri kreatif Asia pun Bangkok patut diperhitungkan eksistensinya, terutama dalam bidang desain. Salah satu bukti keseriusan Bangkok dalam hal ini adalah dengan menggelar Bangkok Desaign Festival selama bulan oktober 2009.

Kunjungan tim Bandung Creative City Forum yang diwakili oleh Departemen CEN (Creative Entrepreneur Network) dan difasilitasi oleh British Council Indonesia, merupakan kesempatan baik. Kesempatan ini merupakan sarana "brainstorming", dan semoga bisa diaplikasikan di kota Bandung yang sudah mendeklarasikan diri sebagai "kota kreatif" dan tergabung di antara sembilan kota di dunia dalam "Creaticities".

Satu hal mendasar yang membuat kami angkat topi terhadap Bangkok adalah keseriusan pemerintah kota. Pemerintah kota memfasilitasi berbagai kepentingan industri kreatif di Bangkok dengan tujuan untuk lebih membuat Bangkok lebih terkenal dan "berdaya jual" tinggi di Negara Asia, dan ujung-ujungnya meningkatkan kunjungan wisatawan ke kota ini.

Salah satu bukti keseriusan pemerintah Kota Bangkok adalah dengan mendirikan dan memfasilitasi TCDC (Thailand Creative & Desaign Centre) pada tahun 2004. TCDC didirikan di bawah kontrol dari "The Office of the Prime Minister" dan didanai oleh "The Bureau of the Budget" Thailand.

Maksud pendirian TCDC adalah sebagai pusat pengembangan desain dan pusat pengembangan produk yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing Bangkok di dunia kreatif internasional. Penempatan letak TCDC pun sangat kreatif, yaitu memanfaatkan satu lantai di salah satu pusat perbelanjaan mewah di Bangkok, yaitu Emporium.

Hal ini memudahkan masyarakat untuk mengunjungi tempat tersebut, walaupun tidak direncanakan untuk mendatangi TCDC. Desain interior juga sangat menarik. Orang yang sebelumnya tidak tahu pun akan mencoba masuk dan mungkin berkelanjutan dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang disediakan.

Fasilitas yang terdapat di TCDC selain mini store yang menampilkan berbagai produk kreatif pilihan karya anak-anak muda Bangkok, juga terdapat perpustakaan yang dilengkapi dengan teknologi canggih semacam komputer di setiap meja yang dilengkapi jaringan internet. Ada pula perpustakaan material yang dinamakan "Material Connexion", dan mempunyai jaringan di New York, Cologne, Daegu, dan Milan. Terdapat ruang auditorium super gadget yang bisa dimanfaatkan untuk se-minar-seminar, kafe di dalam perpusatkaan untuk sekadar melepas penat, sampai ruang permanen yang disediakan khusus bagi para seniman memajang karya-karyanya. Singkat kata, TCDC didirikan sebagai "playground of creativity".

Selain memiliki TCDC dalam hal pengembangan industri kreatif, Pemerintah Kota Bangkok juga memfasilitasi berdirinya BACC (Bangkok Art & Culture Centre). Dengan bangunan yang lebih besar dibandingkan dengan TCDC, BACC memiliki bangunan khusus. Tidak di dalam mal, tetapi terletak di pusat kota dan bersebelahan dengan salah satu mal terbesar di kawasan Siam Complex.

Dengan demikian, sekali lagi, sangat mudah untuk diakses dan diketahui oleh publik. BACC terdiri atas tujuh lantai yang di dalamnya terdiri atas ekshibisi area seluas 3000 meter persegi. Terdapat tambahan 1000 meter persegi area ekshibisi di lantai paling bawah dan auditorium di lantai lima yang mampu menampung 222 kursi. Semua didesain khusus untuk event-event musik dan film screenings. Di lantai empat terdapat experimental space untuk performing arts seluas 350 meter persegi. Sementara itu, multifunction hall terletak di lantai satu yang terdiri atas 250 tempat duduk yang bisa digunakan untuk konferensi, pertemuan komunitas, dan lain-lain.

Selain itu, di lantai bawah banyak art library yang menyediakan fasilitas internet dan kids corner. Bagi yang kecanduan dengan belanja, bisa memenuhi kebutuhan dengan mengunjungi lantai 1-4. Segala jenis produk yang berhubungan dengan kreativitas dan beberapa restoran kecil pun banyak tersedia di lantai tersebut.

Seketika saya dan Ben langsung ingat Bandung tercinta (yang dikenal sebagai "kota kreatif"). Yang bisa kami lakukan saat itu hanya mengurut dada dan menarik napas panjang sambil berharap mudah-mudahan di Bandung cepat tersedia tempat semacam BACC, semoga!

Tujuan pendirian BACC adalah untuk membentuk salah satu tempat bertemu pelaku industri kreatif. Menyediakan program-program kebudayaan sebagai salah satu sarana keberlangsungan komunitas dan sebagai tempat bertemunya masyarakat umum dengan pelaku industri kreatif di Bangkok. BACC dioperasikan oleh BACC Foundation dengan dukungan penuh Pemerintah Kota Bangkok dalam hal keuangan dan hal-hal lainnya

**

Banyak hal-hal baru yang tidak dapat kita jumpai di Bandung terjadi di kota ini. Mulai dari keberadaan industri kreatif sampai dengan fasi-litas-fasilitas publik lain yang disediakan pemerintah kota bagi warga dan wisatawan yang datang. BTS Skytrain adalah salah satunya. Selain bagi warga lokal, skytrain merupakan solusi yang sempurna bagi turis yang datang ke Bangkok untuk berwisata.

Selain itu, taman-taman kota pun didesain sangatlah menarik dan nyaman. Sebagian besar dilengkapi dengan danau buatan kecil, bangku-bangku taman, hingga lahan untuk bermain bola basket, bola voli, sepak takraw, dan skateboard. Pedagang kaki lima pun difasilitasi dengan sangat rapi sehingga tidak menimbulkan kesan kumuh bagi keberadaan taman-taman kota tersebut.

Kondisi taman kota yang sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di kota Bandung tercinta. Taman kota hanya berfungsi sebagai ruang terbuka hijau dan tidak dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat karena selalu dalam kondisi terkunci serta dikelilingi pagar, dengan alasan keamanan dan keter-tiban. Padahal kalau saja dibuat sistem yang tegas dan dikelola dengan baik, bukan hal yang tidak mungkin kondisi itu akan terjadi di Bandung.

Keberadaan taman kota dan ruang publik lainnya selain sebagai sarana ruang terbuka hijau,merupakan sarana bagi pelaku industri kreatif untuk berekspresi dengan imajinasi. Pada akhirnya, bukan tidak mungkin nilai-nilai ekonomi akan didapat dari kreasi tersebut, sehingga mampu sedikit mengurangi beban pemerintah yang kadang kesulitan mengurangi angka pengangguran.

Hampir mirip dengan kondisi yang terjadi di Indonesia pada umumnya, korupsi di Bangkok pun kerap terjadi dan sudah menjadi kebiasaan buruk. Namun ada satu perbedaan mendasar yang membedakan perilaku korupsi para pejabatnya dengan kondisi yang terjadi di negeri ini, yaitu masih adanya pembangunan yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Kemajuannya pun dapat dilihat secara luas. Contohnya penyediaan skytrain untuk mengatasi masalah kemacetan. Walaupun baru tersedia dua jalur yang membelah kota Bangkok dan satu jalur MRT di bawah tanah, setidaknya kondisi kemacetan yang sudah parah sedikit bisa teratasi. Bayangkan kalau seluruh kota sudah dilengkapi jalur skytrain, mungkin tingkat penjualan motor dan mobil di Bangkok akan menurun drastis.

Anekdot seperti ini pun menjadi salah satu karya grafis yang dibuat salah satu komunitas desain Bangkok dan dipamerkan di BACC, dengan sebuah gambar peta kota Bangkok yang dipenuhi jalur skytrain dengan judul ITINC yang merupakan singkatan dari "If There Is No Corruption".

Banyak hal-hal menarik yang dapat diambil hikmahnya dari perjalanan "Creaticities" kali ini. Dengan kerja sama yang baik antara pemerintah kota, komunitas, dan para professional, serta sejenak mengesampingkan kepentingan-kepentingan politis yang bisa menghambat terjadinya kemajuan, bukanlah hal yang mustahil jika cita-cita sebuah kota kreatif yang nyaman dapat segera terwujud. Dengan demikian, hal itu dapat lebih meningkatkan lagi taraf perekonomian masyarakat melalui ekonomi kreatif dan meningkatkan PAD yang berasal dari industri kreatif. Maka, julukan "Bandung kota impian", di mana semua cita-cita tentang kota yang nyaman hanyalah mimpi, dapat mempunyai arti yang sejati. Semoga…! (Febby Arhemsyah)***


 

Saturday, October 31, 2009

SEVEN: Draw Your Days!



WHAT IS "SEVEN"?
An event held by CAB, a publisher who concentrates on graphic diary, where everyone can participate. It's where everyone can draw his or her days, one page each day, for seven consecutive days.

WHO CAN PARTICIPATE?
Basically anyone. You don't have to be an artist or someone who's good at drawing. As long as you are eager to tell your stories in words as well as drawings, you're in!

IS THERE ANY THEME?
The drawings can be day-to-day happenings during the week, dreams, desires, or whatever comes to mind when your pen hits the paper (or the tablet).
Optionally - especially for those in Bandung - since this first SEVEN is held during Helarfest2009, it would also be nice if the keywords of your drawings include "creativity" and "Bandung".

WHEN?
All participants are to start their drawings on Nov 7. One page for one day, until Nov 14. In total, everyone will have 7 pages of drawings.
On Nov 15 we'll gather for a small exhibition, an informal discussion session and the launch of the new CAB website.

WHERE?
All works will be displayed online, so there's no 'real' place. But you are most welcome to arrange the event in your own communities or cities.
(In Bandung, the venue for Nov 15 gathering will be informed as soon as it is confirmed)

HOW?
If you'd like to participate, you are encouraged to upload your drawings on your own Blogs, which will be linked to CAB website. Alternately, you can also send your drawings to CAB [email drawyourdays@gmail.com], to be uploaded on CAB website.

More detailed information, coming up!



Click here to access SEVEN at Facebook



*HOW, EXACTLY?*
1. Go on with your day as you normally would on Nov 7
2. At the middle- or the end of the day, record anything that you think worth memorizing, or simply noting down.
3. The 'note' can be in the form of drawings, collage, clips from magazines, receipts and ticket stubs, anything! It could also be a digital drawing.
4. The length of the 'note' - or, let's say, your "graphic diary" - can be one page for each day
5. Upload the page on your own website or blog (please send us the URL so we can link it to CAB website) -OR- scan and send the page to CAB, to this address drawyourdays@gmail.com
6. Repeat daily, until Nov 14, so each of you would have made 7 pages
7. Enjoy! :)

*BAGAIMANA CARANYA?*
1. Jalankan keseharian seperti biasa pada tanggal 7 Nov
2. Catatlah peristiwa, pemikiran, impian hari itu, yang berkesan dan dirasa patut dikenang
3. 'Catatan' tersebut dapat berupa gambar, kolase, potongan majalah, bon dan karcis, apapun! Bisa juga berupa gambar digital.
4. Panjangnya 'catatan' tersebut - atau "graphic diary" tersebut - cukup sebanyak satu halaman
5. Upload halaman tersebut di situs atau blog masing-masing (tolong beritahu URLnya agar bisa ditautkan ke situs CAB) -ATAU- scan dan kirimkan halamannya ke CAB, ke alamat drawyourdays@gmail.com
6. Ulangi setiap harinya hingga tanggal 14 Nov, jadi setiap orang akan membuat 7 halaman
7. Selamat menikmati! :)

Saturday, October 24, 2009

24HCD09




The International 24 Hour Comics Day challenge happened on October 3. I made the first 13 pages but couldn't make it to 24 that day due to lots of happenings (2 guests, 1 outing, 1 shopping trip). I continued until the last page reeeally slowly and was determined to finish it up on Oct 24: The International Climate Action Day!

These pages were all made spontaneously, without prior sketches and/or storyboards, so please apologize any misspelling of names and/or organizations, and if the story is a bit jumbled and not well-structured.

Thursday, September 17, 2009

[klipping] Getting graphic with Indonesian comic books

Time Out Jakarta, September 2009

Curhat Tita
More like a graphic diary than a graphic novel, 'Curhat Tita' (Tita's Story') tells the story of Tita's daily life and all the bizarre things she comes across. Her light and simple sketches, which she draws using a black gel pen, started off as her way of sending news back home to Indonesia while studying abroad. By eschewing the panels found in more traditional comics, her drawings feel more intimate and personal when relating minor details from her everyday life, such as her disagreement with her Caucasian husband on how to wash the dishes. Written in English, Tita transferred exactly what she saw and observed in real life into her drawings, producing a funny, honest and sincere work of art.

Sunday, September 13, 2009

Decipher This

Coming home from work last Friday, I found Lindri's drawings all over our dining table, of which this is one. Guess what she means to say here.



No, it's
not Lindri LOVES Dhanu.
(which was my first guess)










The first line means, "Lindri LOVES, Dhanu DESTROYS"
(The second line means, "Ibu works, Bapak works")

Wednesday, September 2, 2009

[klipping] Komik Keroyokan dan Korupsi

Koran Tempo, Ruang Baca edisi 31 Agustus 2009

Cerita Sampul
Komik Keroyokan dan Korupsi


Belakangan ini komik-komik Indonesia yang terbit mengangkat tema yang beragam dan bentuk yang macam-macam, tak lagi terikat pada model manga dan genre silat dan superhero yang dulu sempat merajai dunia perkomikan. Tema itu bisa soal pemberantasan korupsi hingga kisah keseharian sang komikus. Bentuknya bisa gado-gado karena digarap keroyokan oleh beberapa komikus berbeda gaya atau garis-garis yang bersih. Berikut ini beberapa komik yang muncul tersebut.
Judul: Antologi 7

Pengarang: Alfie Zachkyelle, Tita Larasati, Caravan Studio, Sheila Rooswitha, Motulz, Rhoald Marcellius, Beng Rahadian, Aziza Noor, Adiputra

Penerbit: Curhat Anak Bangsa, Juli 2009

Scott McCloud, tokoh teori komik dan pengarang Understanding Comics, menciptakan tantangan komik 24 jam pada 1990. Dia menantang komikus untuk membuat komik utuh sepanjang 24 halaman selama 24 jam. Gagasan ini diadopsi oleh penerbit Curhat Anak Bangsa (CAB) dengan sebuah proyek yang lebih sederhana: membuat satu halaman cerita bergambar dalam satu hari selama tujuh hari berturut-turut. CAB lantas melempar tantangan itu kepada enam komikus dan satu studio komik dan hasilnya adalah Antologi 7.

Sebagai karya keroyokan, pembaca akan menemukan berbagai tema, cara berutur dan gambar pada buku ini. Alfie Zachkyelle, misalnya, sibuk mengisahkan perjuangan mencari cinta sejati setelah menjadi duda dari seorang cewek Jerman sambil menuturkan soal penyelamatan nasib anjing-anjing peliharaannya yang ditolak di sana-sini. Tita Larasati, yang goresan penanya sudah dikenal lewat komik Curhat Tita yang terbit tahun lalu, kini kembali menncoret-coret panel gambarnya tentang kisah perjalannya yang tersandung-sandung ke Bangkok. Adapun Sheila Rooswitha menurutkan kesialan-kesialan yang menimpanya gara-gara datang terlambat ke kantor.

Meski beragam tema dan gaya, satu hal yang menyatukan ketujuh cerita di buku ini adalah sama-sama mengangkat kisah nyata sang komikus, bukan fiksi. Dalam bahasa Tita, salah satu pendiri CAB, komik begini adalah "graphic diary", catatan harian grafis.

[klipping] Tak Lagi Merantau di Alam Mati Suri

Koran Tempo, Ruang Baca edisi 31 Agustus 2009

Cerita Sampul


Tak Lagi Merantau di Alam Mati Suri

Komik lokal kembali bergairah setelah Benny & Mice meledak. Kini bentuk dan temanya lebih beragam, meninggalkan tren superhero dan silat.

Mata para pengunjung Cengkeh Restoran dan Galeri di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tertuju pada delapan perempuan yang mengenakan kebaya warna-warni. Mereka masing-masing memegang poster dengan gambar kartun yang tak kalah ramai nuansa warnanya dengan busana mereka.

Mereka memang sengaja memakai kebaya karena hari itu penerbit M&C, lewat lini penerbitan Koloni, tengah mengenalkan manga-manga (komik khas Jepang) terbaru hasil goresan komikus Indonesia. Tak tanggung-tangung, pada acara di awal Agustus lalu itu Koloni meluncurkan delapan judul sekaligus.

Tempo menelusuri beberapa toko buku dan menemukan manga Indonesia itu kini berdampingan dengan manga Jepang. Di antara nama komikus asal Negeri Matahari Terbit itu terdapat Ida Ariyanti dengan My Ghost Sister dan Is Yuniarto dengan Garudayana.

Delapan manga itu menjadi gelombang terkini dari komik lokal yang jumlahnya perlahan tapi pasti terus bertambah banyak. Memang, peningkatan itu tak kentara, lantaran komik lokal ini tak berformat mirip manga atau terserak tanpa pengelompokan yang jelas di toko buku. Berbeda sekali dengan manga, yang biasanya diberikan satu tempat khusus di rak toko.

Gelombang kegairahan itu tampak ketika hampir 30 judul komik lokal telah terbit sejak awal tahun ini. Sebagian besar komik-komik itu karya baru dan sebagian lagi karya lawas yang diterbitkan ulang, seperti Mahabharata dan Bharatayudha karya Teguh Santosa.

Salah satu dari komik yang baru muncul adalah Pamali, karya komikus dengan nama pena Norvan Pecandupagi. Komik yang sempat dibedah di panggung utama Pesta Buku Jakarta 2009 ini mengisahkan berbagai pamali atau larangan dan pantangan berdasarkan adat Sunda.

Setiap pamali itu ia kupas dengan jenaka dalam dua sampai tiga halaman. Norvan juga melengkapinya dengan catatan kecil berisi kalimat asli pamali itu dalam bahasa Sunda, terjemahan dalam bahasa Indonesia, serta komentar pribadinya.

Catatan itulah yang menjadi keunikan karya Norvan yang menunjukkan bahwa komikus ini tak sekadar mengandalkan kemampuan menggambar dan dialog dalam balon percakapan. Lewat komentar-komentar yang tak kalah kocak dengan goresan gambarnya, Norvan menunjukkan dirinya bukan sekadar piawai menggambar tapi juga mampu mengolah kata-kata menjadi jenaka tanpa bantuan visual.

Misalnya, saat membahas soal pamali "Tong ngagegelan kuku, bisi cilaka!" ("Jangan mengigiti kuku, nanti bisa celaka!"). Di panel gambar ia membuat pengendara motor yang karena tak percaya pamali lantas mengigiti kukunya dan motor yang tak terkendali itu pun jatuh ke jurang. Nah, pada sudut halaman terdapat komentarnya: "Sebetulnya akan lebih celaka lagi kalau kuku yang kita gigitin itu kuku macan atau kuku ABRI yang lagi melamun. Gak percaya? Tes Gih!"

Selama ini komikus lokal mengandalkan ajang seperti Pekan Komik Nasional demi unjuk diri. Belakangan ini muncul media yang lebih efektif bagi mereka untuk memamerkan karyanya, yakni di dunia maya lewat blog dan situs jejaring sosial.

Norvan adalah salah satu yang memperoleh berkah dari situs jejaring sosial Facebook, tempat salah seorang editor penerbit Gramedia Pustaka Utama menemukan draf komik Pamali tersebut. Editor Gramedia, Hetih Rusli, mengatakan, mereka langsung kepincut begitu melihat karya Norvan itu.

Menurut Hetih, Gramedia memang mengamati adanya gairah di ranah komik lokal dan tertarik menjajal genre ini lewat Pamali. "Kami berkaca dari komik Benny & Mice yang laris dan itu berarti pasarnya memang menjanjikan," katanya.

Komik Benny & Mice memang mencuat di tengah kelesuan komik lokal. Dalam catatan penerbit Nalar, komik karya duo kartunis Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad ini terjual rata-rata 40 ribu eksemplar untuk setiap judulnya.

Redaktur Penerbit Nalar, J.B. Kristanto, menuturkan, saat menerbitkan kumpulan komik strip Benny & Mice yang pernah dimuat di harian Kompas itu, mereka awalnya hanya berani mencetak tiga ribu kopi saja. Kala itu Kristanto pun harus siap rugi, karena sejarah mencatat komik lokal terbilang sepi peminat.

Tak disangka, belum mencapai dua bulan komik ini harus cetak ulang sebanyak dua kali akibat tingginya permintaan. "Ternyata komik itu meledak, kami benar-benar kaget," ujar Kristanto.

Nalar sendiri meminang dua komikus itu lantaran ingin mencoba menggarap pasar komik di pembaca dewasa yang selama ini tak tersentuh. Kristanto waktu itu memilih Benny & Mice karena sebelumnya komik Indonesia sudah terlalu identik dengan tema silat dan superhero yang peminatnya tak banyak, yang menurutnya akibat gayanya yang tak cocok dengan pembaca sekarang ini.

Sukses Benny & Mice dinilai Kristanto tak lepas dari efek pemuatan versi komik strip di surat kabar. Nalar lalu mendekati Radhar Panca Dahana, Widyartha Hastjarya, dan Diyan Bijac dan menerbitkan komik Mat Jagung karya ketiganya, yang sebelumnya dimuat seminggu sekali di Koran Tempo. "Ke depan kami akan terus menambah jumlah penerbitan komik," kata Kristanto.

Penerbit Cendana Art Media juga meneruskan tren pembukuan komik strip dari surat kabar tersebut dengan meluncurkan Lotif Versi Pasbook, yang juga pernah dimuat di Koran Tempo edisi Minggu. Berbeda dengan kumpulan komik strip lainnya, Lotif versi buku ini dipermak tampilannya oleh Beng Rahadian, sehingga berbeda dari versi di koran. Ia membuat perwajahan yang mirip halaman situs jejaring sosial Facebook, sehingga di bawah satu panel cerita terdapat komentar mengikuti bentuk komentar terhadap catatan atau status yang di situs Facebook.

Ragam komik lokal pun semakin bervariasi ketika penerbit yang dipayungi Grup Agromedia mengadaptasi buku laris mereka menjadi komik. GagasMedia membuat versi komik dari buku cerita-cerita jenaka Raditya Dika, Kambing Jantan, dan Gradien Mediatama menyulap buku Anak Kos Dodol menjadi Anak Kos Dodol Dikomikin.

Bagi Direktur Gradien, Ang Tek Khun, sebuah buku punya potensi divisualkan dalam bentuk film dan komik. Khun berpendapat, Anak Kos Dodol, yang berisi kumpulan kisah pengocok perut, bisa dibuat komik.

Menurut penerbit yang bermarkas di Yogyakarta ini, membuat versi komik itu menjadi lebih realistis ketika melihat produktifnya komunitas komik di Kota Gudeg tersebut. "Semua kembali ke komikusnya, karena ada yang bagus, ya jadi dibuat. Kalau tak ada yang bagus, ya batal," ujar Khun.

Komik berisi kisah keseharian anak-anak kos di Yogyakarta yang digambar oleh K. Jati itu kini sudah naik cetak tiga kali atau setara 15 ribu eksemplar. Tak dipungkiri oleh Khun bahwa popularitas komik tersebut sangat dipengaruhi oleh versi aslinya, yang punya angka penjualan jauh lebih tinggi. Melihat respons pasar tersebut, Khun berencana menerbitkan sekuel komik itu. Bahkan, ke depan Gradien memiliki beberapa naskah yang rencananya akan langsung diterbikan dalam bentuk komik.

Sementara itu, dari kota industri kreatif Bandung, penerbit CV Curhat Anak Bangsa meluncurkan komik-komik yang mereka namai graphic diary. Komik yang satu ini pada dasarnya berupa catatan harian yang dibuat dalam bentuk gambar. Salah satu buku pertamanya adalah Curhat Tita karya Tita Larasati. Dalam komik tersebut, dosen Institut Teknologi Bandung itu mengisahkan pengalamannya semasa studi di Eropa.

Tahun ini Curhat Anak Bangsa menelurkan Antologi 7, yang dikerjakan secara keroyokan oleh tujuh komikus, dan Cerita Si Lala karya Sheila Rooswitha Putri. Manajer Pemasaran Penyalur Buku Nalar, Leo Tigor Sidabutar, mengatakan, komik Sheila itulah yang penjualannya lumayan baik.

Penyalur Buku Nalar, yang menjadi distributor komik Curhat Anak Bangsa, mencatat bahwa komik Cerita Si Lala sudah laku 700 eksemplar sejak diterbitkan April lalu. "Kelihatannya memang sedikit, tapi sebenarnya angka itu terhitung lumayan bagus untuk komik yang tidak main stream," ujar Tigor.

Komik Sheila alias Lala ini memang berbeda karena atmosfer ceritanya adem dan tenang tanpa gambar hiperbolis atau pun canda dan aksi yang meledak-ledak. Lala secara wajar menuangkan pengalamannya saat mati-matian menurunkan berat badan yang melonjak setelah menikah atau masa-masanya menjadi pengantin baru, saat mengandung, dan tentang kedua ekor anjing kesayangannya.

Tigor menjelaskan bahwa cerita yang dimuat oleh ibu muda itu ternyata punya daya tarik sendiri bagi pembaca perempuan dan ibu muda yang selama ini tak menjadi pembaca komik. "Jadi, pembacanya memang segmen baru yang bukan pembaca komik yang fanatik," kata dia.

Tigor menyarankan kepada penerbit komik agar terus memperluas genre agar tak bertarung langsung dengan komik Jepang dan Amerika Serikat yang sudah lebih dulu populer. Yang jelas, Tigor meminta agar tak terus-terusan membuat komik silat, yang meski gambarnya sangat matang dan mendetil, tapi pasarnya sudah jenuh dan tak menarik bagi pembaca muda. Sementara itu, genre komik superhero yang mungkin lebih akrab dengan remaja ternyata harganya sering tak terjangkau oleh target pembacanya.

Tigor mengakui bahwa mengangkat tema dan gaya yang tak mengikuti arus memang bisa membuat kantong penerbit bobol. "Mau tak mau dua tahun pertama harus merugi, tapi harus terus terbit demi menciptakan segmen pembaca yang setia," kata dia.

Menurut Tigor, setelah Lebaran nanti paling tidak akan ada sepuluh judul komik baru, termasuk dari tiga penerbit komik yang menjadi rekanan Nalar. "Kalau komik Indonesia mau maju dan dikenal pembaca, ya mesti terus perbanyak judul dan genre juga harus makin variatif," katanya. OKTAMANDJAYA WIGUNA

[klipping] Angin Kedua Komik Lokal

Koran Tempo, Ruang Baca edisi 31 Agustus 2009

Cerita Sampul


Angin Kedua Komik Lokal

Seakan-akan tiba-tiba, sejumlah komik lokal dirilis pada waktu yang kalaupun tak bersamaan ya berdekatan. Ada Antologi Tujuh, The Trails of the Midnight Bunny, Brastaseta: Sang Penyembur Api, Mat Jagung: Kabut Manusia, Warok Surobongsang, 15 Kesalahan dalam Branding, lalu delapan judul sekaligus persembahan Penerbit M&C!.

Isi komik-komik itu bukan saja beraneka macam, melainkan juga terasa segar, kalaupun tak menarik. Contohnya Antologi Tujuh. Buku ini lahir dari prakarsa Tita Larasati, komikus yang populer dengan "genre" graphic diary. Terilhami 24 Hour Comic Day (aksi membuat komik spontan dan rampung dalam 24 jam yang diprakarsai Scott McCloud, penulis buku Understanding Comics), Tita mengumpulkan rekan-rekannya sesama komikus untuk ikut membuat tujuh halaman komik sepanjang tujuh hari kehidupan masing-masing. Hasilnya adalah kumpulan karya yang beraneka rupa dan tak sedikit yang menggelitik.

Yang lebih unik adalah 15 Kesalahan dalam Branding. Karya Herman Kwok, praktisi pencitraan perusahaan, bersama teman-temannya ini boleh dibilang merupakan komik pertama di Indonesia yang berisi pengalaman praktek di suatu bidang tertentu. Katakanlah ini sebuah komik rujukan.

Pada periode yang sama pula, awal bulan ini tepatnya, telah diumumkan pemenang Lomba Komik Jelajah Kota Tua, yang diselenggarakan oleh Departemen Budaya dan Pariwisata.

Begitu banyak komik, produksi lokal pula. Komik lokal bergairah kembali? Tampaknya.

Bagi penggemar komik yang memang merindukan hadirnya karya-karya lokal, dan sangat boleh jadi kreator komik, hal itu tentu merupakan perkembangan yang menggembirakan. Dari segi jumlah, semua judul baru yang disebut itu memang belum menyamai judul-judul hasil terjemahan --masih sangat, sangat jauh. Tapi paling tidak pembaca jadi punya pilihan yang lebih luas; kreator pun jadi punya kesempatan untuk berkarya dan menyajikan alternatif.

Tetapi, sebentar. Bergairah? Bukankah sebelum ini hal yang sama pernah terjadi pula? Dulu, pada pertengahan 1990-an, pernah muncul, misalnya, Kapten Bandung. Atau Caroq. Tapi para superhero sentuhan lokal itu lalu seperti kehabisan napas. Dan begitu pula komik-komik lain yang diterbitkan lewat gerakan indie....

Memang tidak sampai mati, sebab diam-diam satu-dua komik lokal masih dibuat; juga karakter-karakter lain dicoba dihidupkan. Dan barangkali karena tak pernah benar-benar mati itulah selalu tiba masanya ketika, ibarat permukaan air laut, pasang naik kembali tiba.

Pasang naik itu kali ini terjadi pada dua-tiga bulan belakangan. Apa sebab?

Pasti ada lebih dari satu jawaban. Sementara jawaban-jawaban atas pertanyaan itu akan dielaborasi di bagian pertama Cerita Sampul edisi ini, yang sangat boleh jadi akan segera terbit adalah kekhawatiran. Dari pengalaman yang lalu, wajar bila ada pertanyaan akankah gairah itu kembali mengempis seperti yang sudah-sudah.

Tetapi, dengan pengalaman yang sudah-sudah pula, mestinya siapa pun yang terlibat dalam penerbitan komik lokal telah belajar mengenai apa saja kekurangan yang perlu diperbaiki sehingga kali ini hasilnya bisa jauh lebih baik. Melihat berbagai komik yang telah dihasilkan, juga ide-ide kreatifnya, tak berlebihan sebenarnya bila ada optimisme.

[klipping] Komik Lokal: Semangat yang Harus Jadi Bisnis

Koran Tempo, Ruang Baca Edisi 31 Agustus 2009

Cerita Sampul


Komik Lokal: Semangat yang Harus Jadi Bisnis

  • Oleh Hikmat Darmawan

  • Sekilas lihat, tahun 2009 ini seperti ada “second wind” bagi penerbitan komik Indonesia. Banyak penerbit baru. Tapi, “tanda-tanda kebangkitan” macam begini sudah beberapa kali tiba.

    Ibarat ledakan bisnis dotcom di Amerika pada akhir 1990-an, sebermula banyak janji dan harapan di udara. Banyak dari janji itu terpenuhi, tapi lebih banyak yang kandas. Sejak bangkitnya Web 2.0 beberapa tahun belakangan, janji bisnis Internet mencuat lagi, tapi para pelakunya lebih dewasa, lebih mawas, lebih hati-hati. Begitulah juga, mestinya, para pelaku bisnis komik lokal saat ini. Lebih dewasa, lebih mawas, lebih hati-hati.

    Janji-janji

    Saya termasuk yang percaya pada janji-janji kebangkitan komik Indonesia sejak 1998 (dengan membaca gerakan komik indie pada pertengahan 1990-an), dan kemudian pada pertengahan 2000-an. Pada pertengahan 2000-an itu, saya meramalkan bahwa tanda-tanda kebangkitan komik Indonesia sudah tiba.

    Tanda-tanda itu, kurang lebih, adalah: (1) maraknya gairah menerbitkan komik-komik lokal; (2) tumbuhnya kesadaran potensi industrial dan estetis ”novel grafis”. (Ramalan saya itu tercatat, antara lain, dalam buku saya, Dari Gatotkaca Hingga Batman, Orakel, 2005). Tapi, sejak semula, saya menekankan bahwa itu baru “tanda-tanda”. Kebangkitan komik lokal itu sendiri baru mewujud ketika memenuhi syarat-syarat lain.

    Saya segarkan sedikit kenapa dua hal di atas menjadi tanda-tanda kebangkitan komik lokal. Tentu saja, gairah yang marak untuk menerbitkan komik lokal memberi harapan karena begitulah semua industri komik yang besar bermula di Jepang, Amerika, atau Eropa. Gairah penerbitan komik lokal pada waktu itu seperti kelanjutan logis dari gairah membuat komik lokal secara gerilya, indie, pada pertengahan hingga akhir 1990-an.

    Pada pertengahan 2000-an itu muncul penerbitan bermodal kecil yang berani mencetak komik lokal --beberapa adalah yang tadinya beredar secara fotokopian pada 1990-an, seperti Selamat Pagi Urbaz (Beng Rahardian). Media massa pun seperti menyambut, baik dengan berita yang cukup intens tentang komik lokal, atau (seperti Koran Tempo) membuka pintu bagi komik lokal dengan bermitra dengan komunitas komik yang ada.

    Di sisi lain, mulai muncul minat baru terhadap ”novel grafis”. Walau secara akademis istilah ini bermasalah, secara umum para pegiat komik dan sebagian pasar konsumen komik di Indonesia mulai banyak membicarakan novel grafis. Istilah ini menjadi ”seksi” karena, pertama, di Amerika pada 2000, ia telah tumbuh jadi industri baru yang bagai palu godam di industri buku, tampak terus merangsek maju, membuka jalan ke arusutama (mainstream) industri perbukuan di sana.

    Kedua, novel grafis menjadi ranah persemaian banyak inovasi estetik komik, yang membuat komik muncul menjadi sebuah seni mandiri yang mengejutkan. Kapasitas sastrawi dan seni rupa komik mencuat kebanyakan melalui jalur ”novel grafis” itu. Dari gengsi, balik lagi ke industri: Hollywood pun lantas banyak tertarik mengadaptasi novel-novel grafis laris ke dalam film seperti From Hell, V For Vendetta, Road To Perdition, History of Violence, dan American Splendor.

    Optimisme industri dan estetika novel grafis itu pun mampir ke Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Apalagi, seperti saya catat dulu, format novel grafis sesungguhnya sangat karib bagi kita: komik-komik wayang, silat, dongeng, hingga superhero ndagelan yang jaya pada 1960-an hingga 1980-an, hakikatnya berformat fisik novel grafis dengan tebal hingga ribuan halaman. Persis manga, sebetulnya.

    Kebangkitan estetis dan industri

    Maka, jika kita hendak beranjak lebih jauh dalam membicarakan ”kebangkitan komik Indonesia”, kita perlu bertanya lebih dulu: kebangkitan apanya? Hemat saya, kebangkitan komik lokal bermakna dua: kebangkitan estetis dan kebangkitan industrial.

    Kebangkitan estetis memiliki syarat-syarat yang terkait dengan lembaga-lembaga seni rupa yang ada di Indonesia. Di dalam jenis kebangkitan ini, komik harus menjadi cukup berharga untuk bisa dibicarakan secara diskursif di arena lembaga-lembaga seni seperti kritik seni/sastra, ruang-ruang pameran, hingga jurnal-jurnal seni atau medan penerbitan serupa.

    Komik-komik lokal pernah mencicipi kesempatan itu. Masuk pameran CP Bienalle, Jakarta. Menjadi salah satu agenda pameran DKJ di TIM. Diulas oleh beberapa majalah seni terhormat di Indonesia. Diapropriasi oleh para perupa angkatan baru dari Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta. Pameran-pameran yang saya maksud bukan sekadar pameran komik yang bersifat festival, yang meniru ajang Comic Con di Amerika, yang lebih bersifat bursa produk dan sekadar ingin berjualan. Pameran-pameran yang saya maksud adalah seperti pameran komik di MoMA, New York.

    Jika ”dimainkan” dengan benar, kebangkitan estetis komik lokal bisa merentang terus ke lembaga-lembaga seni internasional, dan pada akhirnya bisa juga menarik perhatian penerbitan-penerbitan seni komik yang khusus dan bersifat alternatif, di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, dan Jepang.

    Dari segi industri, saya melihat ada kenaifan yang belum juga usai dari kebanyakan pegiat komik lokal. Kenaifan yang berhubungan dengan kekurangpahaman akan sifat-sifat industri perbukuan di Indonesia. Tentu, banyak yang sangat paham soal harga kertas, biaya percetakan, sampai kepada harga pasar untuk penulis, pembuat sketsa pensil, peninta, penata huruf, dan pewarna.

    Tapi, jarang yang paham bahwa pekerjaan utama industri penerbitan bukanlah sekadar menerbitkan. Berpikir industrial berarti memikirkan infrastruktur penerbitan buku/komik serta masalah-masalahnya. Sementara, banyak pegiat dan produsen komik kita pada pertengahan 2000-an itu masih dengan lugunya berfokus pada produk. Fokus sempit pada produk saja adalah bermasalah, apalagi dengan lugu.

    Contoh keluguan itu adalah ungkapan seperti: ”pokoknya, menerbitkan komik standar Marvel” --yang berarti: kisah superhero, diterbitkan berwarna, modus kerja ”ban berjalan” (ada penulis, pemensil, peninta, pewarna, penataletak), kalau perlu dengan kertas glossy. Pendekatan ini sama sekali belum bervisi industrial, karena kemudian mengabaikan daya beli masyarakat, minat masyarakat, masalah distribusi, juga kapasitas mencetak (yang berkaitan dengan strategi pengelolaan modal).

    Memilih fokus

    Jika kita ingin mendorong terciptanya kebangkitan (kembali) industri komik lokal, fokus terhadap produk yang agak bersifat ”asyik sendiri” itu mesti digeser pada fokus terhadap aspek-aspek bisnis dan industri penerbitan buku. Kesadaran pertama dan utama yang harus dimunculkan adalah kesadaran bahwa industri komik lokal bagaimanapun terkait sepenuhnya dengan keadaan industri perbukuan lokal pada umumnya. Jika industri buku kita busuk, busuklah pula industri komik kita.

    Maka, para pegiat dan produsen komik lokal mesti mempelajari sungguh-sungguh berbagai masalah dunia penerbitan kita, khususnya soal pasar dan infrastrukturnya. Mengapa, misalnya, industri perbukuan kita masih gagal mengatasi ”kutukan 3000” (yakni standar umum penerbitan 3.000 eksemplar, padahal penduduk kita 200 juta orang lebih)? Tahukah para produsen komik lokal itu bahwa sekarang standar 3.000 itu malah makin turun jadi 2.000, 1.500, bahkan 1.000? Kenapa? Apa logikanya? Apa strategi mengatasinya?

    Apakah arti ”pemasaran buku” sesungguhnya? Apakah hanya berarti promosi, ataukah mencakup definisi pasar, strategi produk dan strategi distribusi yang konprehensif dan jitu? Kalaupun sudah punya pengetahuan teoritis tentang itu, sudah benarkah penerapannya? Sudah akuratkah pemahaman lapangan para produsen komik itu tentang ”pasar”?

    Saya memandang penuh harap pada para penerbit komik lokal yang baru-baru ini marak: Cendana Art Media (Understanding Love, Brastaseta, dan Lotif Versi Pasbook), Rumah Penerbit Cleo (Sawung Kampret dan Warok Surobongsang karya Dwi Koen), Orange Publishing Merdeka (Di Bukit Selarong oleh Kostkomik), Penerbit Nalar (Mat Jagung: Kabut Manusia dan Benny & Mice: Hape), Banana Publishing (Ekspedisi Kapal Borobudur Jalur Kayu Manis dan Eendaagsche Exprestreinen), Sleepless Selene Studio (Setengah Dua), Cergam Centre (Sibuk Fesbuk), de Britz (15 Kesalahan Dalam Branding), Curhat Anak Bangsa (Seri Curhat Tita, Cerita Si Lala, Antologi 7). Juga penerbit komunitas Komik Indonesia (Andi Wijaya, dkk.) yang menerbitkan ulang komik-komik lawas. Dan penerbit besar M & C! (grup Gramedia) yang menerbitkan lini komik lokal Koloni.

    Saya tak punya cukup ruang untuk membahas mereka satu per satu di sini. Saya dengar sebagian dari mereka mulai berpikir untuk patungan membuat rak khusus komik/novel grafis lokal di toko-toko buku. Baguslah. Berarti, mereka ada perhatian pada aspek nonproduk.

    Semoga semangat menerbitkan lokal tak berhenti jadi semangat saja, tapi bertransformasi jadi bisnis penerbitan yang dapat diandalkan. Menyenangkan konsumen, menguntungkan penerbit, membahagiakan para komikus.

    Thursday, August 27, 2009

    [klipping] CEN, Jejaring Wirausahawan Kreatif

    Pikiran Rakyat 27 Agustus 2009

    Creative Entrepreneur Network (CEN), Jejaring Wirausahawan Kreatif

    Biar kuat dan solid, membentuk jejaring adalah keharusan. Itu pula yang mendasari pembentukan Creative Entrepreneur Network (CEN-BDG) sebagai sebuah jejaring komunikasi dan informasi antarpelaku industri kreatif di Bandung. Kawan-kawan Kampus yang bergiat di industri kreatif, simak nih bahasan berikut ini!

    CEN sendiri adalah tindak lanjut atas program kerja Bandung Creative City Forum (BCCF) yang berupaya mewujudkan Bandung menjadi kota kreatif yang bisa berkompetisi secara global. CEN yang telah diluncurkan pada Mei 2009 lalu di Selasar Sunaryo, Bandung, bertujuan memperkuat networking antarpelaku industri kreatif. Dengan berjaring, diyakini akan ada percepatan sehingga usaha lebih cepat berkembang.

    Dituturkan koordinator CEN Tita -panggilan akrab Dwinita Larasati-, melalui CEN para pelaku industri kreatif dapat memanfaatkan hubungan jaringan antarpelaku kreatif sendiri. "Tujuan sebenarnya menjadi pusat atau link yang bisa nyambung-nyambungin orang. Misalnya, ada yang perlu desainer, ilustrator, animator, storyboardmaker, atau apa pun, kadang kan susah nyarinya, nah di sini bisa didapat informasinya," kata Tita, yang juga seorang komikus, pada Kampus.

    Di Bandung, pelaku industri kreatif terhitung banyak,tetapi belum semuanya bisa terdeteksi dan saling terhubung, sebab masing-masing berusaha sendiri dan gerilya. Tak sedikit anak muda turut berkecimpung di dalamnya. Makanya, Tita mengatakan bahwa CEN lebih banyak menyasar pada anak muda. "Misalnya saja di lingkungan saya di FSRD. Sejak masih kuliah, sudah banyak mahasiswa yang coba-coba berkreasi sesuatu dan berbisnis. Produknya bagus, tetapi yang tahu hanya teman saja, dan pemasaran mereka seperti salesman. Akan lebih baik kalau mereka bisa berkembang dengan berjejaring lebih luas," kata Tita, yang juga staf pengajar prodi Desain Produk FSRD ITB.

    Selain menyusun database yang nantinya akan menjadi direktori, CEN juga akan menggelar sejumlah program rutin, di antaranya diskusi, pameran, dan pengembangan jaringan pemasaran secara online. Tita mengungkapkan, diskusi yang rencananya akan digelar tiga bulan sekali itu akan membahas beragam tema. "Kemarin tentang surviving crisis, ke depan bisa saja membahas animasi, komik, musik, dll.," katanya.

    Febby Lorentz, project officer CEN, menuturkan bahwa meski CEN memfokuskan pada Bandung, jaringannya akan bersinggungan pula dengan mitra potensial di kota lain di Indonesia, regional Asia, hingga internasional. Jejaring ini terbuka keanggotaannya bagi para pebisnis pemula, pengusaha kecil, hingga perusahaan besar. "Sekarang lagi disusun database-nya. Paling tidak kini sudah ada 70-an yang tergabung," kata Febby.

    Sayangnya, sebab terkendala kesibukan pengelolanya, sejak peluncuran CEN hingga kini, situs web CEN yang beralamat di www.cen-bdg.com belum beroperasi. "Mudah-mudahan bulan depan sudah bisa," kata Febby. Situs web tersebut rencananya akan menampung database pelaku industri kreatif di Bandung. Dengan demikian, masyarakat umum pun bisa mencari dan mengaksesnya sendiri. "Termasuk orang-orang dari luar negeri juga bisa ikut lihat," kata Febby.

    CEN diniatkan menjadi komunitas wirausahawan industri kreatif yang sinergis. Bagi yang berminat bergabung, bisa mendaftar pada situs web-nya, atau sementara ini bisa bergabung pada grup Facebook-nya. "Pencatatan database itu sudah dimulai, dan tidak akan selesai karena akan di-update terus," kata Tita. Nanti semua informasi berjalan di situs web. Selain database, ada juga informasi edukasi dan artikel-artikel yang membahas pengetahuan yang berhubungan dengan bisnis atau industri kreatif," kata Febby. ***

    dewi irma
    kampus_pr@yahoo.com


    Sunday, August 9, 2009

    Komunitas Tintin Indonesia at PKN Bandung




    I presented these slides on behalf of Komunitas Tintin Indonesia at Pecha Kucha Night Bandung vol.6, 1st anniversary edition (08/08/09). Thanks to fellow Tintin Indonesia mailing list members and contacts at FB for the photos and other resources!

    Thursday, August 6, 2009

    [klipping] 9 Pertanyaan untuk Tita Larasati: Pelopor Catatan Harian Grafis

    Jurnal Nasional, 15 Juni 2009

    9 Pertanyaan untuk Tita Larasati: Pelopor Catatan Harian Grafis
    by : Grathia Pitaloka
    MENCURAHKAN isi hati (curhat) lewat kata-kata mungkin sudah biasa, namun Dwinita Larasati atau yang lebih dikenal dengan nama Tita Larasati, doktor lulusan Universitas Teknologi Delft, Amsterdam, ini lebih suka mencatat pengalaman sehari-harinya lewat gambar. Maka, setiap hari ada saja kejadian menarik yang ia tuangkan dalam jurnal pribadinya.

    Kebiasaan bercerita lewat gambar, intens ditekuninya sejak menuntut ilmu di Negeri Kincir Angin, Belanda. Melalui media itulah ia berkomunikasi dan bercerita dengan sanak saudara di Indonesia mengenai keadaan serta pengamannya tinggal di negeri orang. Maklum ketika itu fasilitas internet belum selancar sekarang.

    Tak disangka, jurnal tersebut yang awalnya hanya untuk konsumsi pribadi itu menarik minat banyak orang. Lantas, ketika pulang ke Tanah Air, datang "lamaran" untuk menerbitkan jurnal pribadi tersebut menjadi sebuah catatan harian grafis. Setelah berpikir panjang, akhirnya tawaran itu ia terima dan lahirlah tiga catatan harian grafis berjudul Curhat Tita (2008), Transition (2008), dan Curhat Tita Back to Bandung (2009).

    Catatan harian grafis merupakan sesuatu yang baru di Indonesia dan bisa dibilang Tita merupakan salah satu pelopornya. Berikut obrolan Tita dengan Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.  

    1. Sejak kapan Anda menulis catatan harian berupa gambar?

    Sejak kecil saya sudah senang menggambar. Mungkin karena terpengaruh oleh ayah dan ibu saya yang berprofesi sebagai arsitek. Mereka selalu mendukung untuk mengembangkan bakat saya dengan mendaftarkan ke sanggar atau mengikuti lomba gambar. Ayah pula yang mengajarkan saya untuk selalu membawa kertas dan pulpen sehingga saya bisa menggambar di mana saja.

    Sejak masih berada di Indonesia sebenarnya saya sudah sering membuat catatan harian berupa gambar. Hanya saja ketika itu belum terdokumentasi dengan baik sehingga banyak yang hilang. Kemudian saat melanjutkan pendidikan ke Belanda kebiasaan menulis catatan harian itu saya lakukan lagi. Pada tahun 1995, saya mendapat kesempatan magang selama 10 bulan di sebuah biro desain di Jerman. Di sana saya tinggal di sebuah desa kecil yang sepi dari hiburan, bahkan ketika itu televisi pun saya tidak punya. Kondisi tersebut membuat saya semakin rutin membuat catatan harian berupa grafis.

    Selain untuk membunuh waktu, catatan harian itu saya gunakan sebagai sarana komunikasi dengan orang tua saya di Jakarta. Karena waktu itu belum ada internet, maka catatan itu saya kirim lewat faksimili. Ternyata oleh ibu lembar faks itu difotokopi, diperbanyak, dan disebar ke saudara-saudara. Saya sempat heran, kok ada ya orang yang mau baca catatan harian saya.

    2. Kesulitan apa saja yang Anda hadapi saat mengerjakan catatan harian grafis ini?

    Saya rasa tidak ada, kecuali masalah waktu. Saat ini saya merasa agak kesulitan untuk menggambar banyak karena harus membagi waktu dengan pekerjaan pokok saya sebagai dosen, di mana saya dituntut menyediakan waktu untuk laporan riset atau menyiapkan bahan ajar.

    Soal inspirasi, saya tidak pernah bermasalah karena cerita yang saya gambarkan berupa kejadian sehari-hari. Biasanya saya memilih kejadian yang menjadi highlight setiap hari untuk digambar. Supaya tidak lupa, saya mencatat kejadian atau inspirasi yang hinggap itu di jurnal pribadinya. Itu tidak sulit karena saya biasa menggambar cepat dan sering tanpa dihapus.

     3. Apa yang memotivasi Anda untuk menerbitkannya?

    Awalnya catatan harian itu saya peruntukan untuk konsumsi pribadi. Sampai kemudian waktu teman-teman komikus Indonesia diundang pameran di Harlem, Belanda. Ketika itu saya yang membantu mengurusi surat-suratnya. Usai mengurusi surat-menyurat, direktur pameran itu bertanya apa saya juga menggambar. Saya jawab iya, tetapi gambar saya berupa catatan harian. Lalu dia minta izin lihat dan dia bilang gambar saya harus ikut pameran. Pada mulanya saya sempat merasa minder, tetapi melihat respons pengunjung yang cukup antusias perlahan percaya diri saya pun naik.

    Sejak itu saya mulai rajin ikut pameran, di antaranya bersama komikus Belgia. Waktu itu mereka mengundang para komikus seluruh dunia untuk meng-up-load karyanya yang bertema travelling. Karena banyak karya saya yang bertema jalan-jalan, maka saya pun ikut meng-up-load. Dari sana saya juga banyak mendapatkan respons mengenai karya-karya saya.

    Pulang ke Indonesia saya diajak oleh teman-teman komikus untuk pameran di TIM. Karena belum punya buku, maka karya yang saya pamerkan berupa fotokopi dari catatan harian grafis. Saat itu ada penerbit yang menawarkan untuk dibukukan. Karena merasa nyaman dengan kesepakatan yang dibuat dan saya juga tidak merasa dieksploitasi seperti komoditi, maka tawaran itu saya terima.

    4. Apa ada tokoh khusus yang menjadi panutan Anda ketika membuat catatan harian grafis ini?

    Awalnya niat saya hanya ingin membuat catatan harian. Itu pun hanya untuk konsumsi pribadi sehingga gambar-gambarnya seringkali hanya saya yang mengerti. Kemudian karena banyak orang yang suka, perlahan saya pun mulai membuat gambar yang mudah dimengerti oleh orang banyak, ketimbang saya harus menjelaskan berkali-kali.

    Seiring dengan bertambahnya wawasan, saya jadi tahu ternyata karya berupa buku kumpulan sketsa atau catatan harian bergambar berbasiskan kehidupan nyata, sudah menjamur di Eropa dan Amerika. Saya pun membaca dan menjadikan mereka inspirasi untuk mengembangkan diri. Beberapa novel grafis yang saya suka antara lain Eddie Campbell (Skotlandia), Marjane Satrapi (Iran), Peter Pontiac (Belanda), Joulie Doucet (Prancis), dan Chris Ware (Amerika Serikat). Setelah melihat karya mereka, saya semakin yakin kalau ada tempat untuk saya.

    5. Apakah Anda salah satu pelopor catatan harian grafis di Indonesia?

    Catatan harian grafis memang belum terlalu populer di Indonesia. Pada awalnya niat saya hanya ingin memberikan pilihan bagi para pembaca cerita gambar. Jika kemudian banyak yang suka atau ikut membuat catatan harian grafis, itu saya anggap sebagai bonus.

    Kalau yang diangkat langsung dan sama dengan catatan harian, sepertinya saya memang yang pertama. Saya membuat catatan bergambar itu secara spontan, langsung, tanpa rancangan dengan pensil terlebih dulu. Isinya asli, plek (sama persis) dengan diary yang saya buat. Kalau ada tulisan salah, ya dibiarkan salah, tidak dihapus.

    6. Bagaimana respons masyarakat terhadap catatan harian grafis Anda ini?

    Cukup baik. Pasarnya sudah mulai jelas dan terlihat siapa pembacanya. Mereka yang tak suka atau tak bisa baca komik juga sudah mulai nyambung. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pada dasarnya saya hanya ingin ada nuansa baru di komik Indonesia.

    7. Apa perbedaan antara catatan harian grafis yang Anda buat dengan novel grafis lain seperti karya Marjane Satrapi?

    Catatan harian grafis saya benar-benar dikopi dari catatan harian saya yang asli. Sehingga, kejadian didalamnya lepas dan tanpa plot, sebab saya tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Sementara Satrapi sejak awal memang sudah berniat untuk membuat sebuah memoar autobiografinya secara grafis.

    8. Apa Anda berminat mengembangkan catatan harian grafis ini menjadi sebuah film grafis seperti Persepolish?

    Saya suka film itu, keren banget! Satrapi berhasil mengutarakan substansi yang ingin ia sampaikan pada penonton. Ia menyampaikan sesuatu yang kompleks dengan sederhana dan berhasil merebut perhatian orang. Sementara cerita saya sporadic, masih belum layak menjadi kesatuan sebuah film panjang. Kalau pun dikemudian hari saya akan membuat animasi atau grafis motion pasti bentuknya bukan film panjang seperti Satrapi tetapi videoklip.

    9. Kapan Anda akan meluncurkan karya berikutnya?

    Rencananya pada ulang tahun penerbit, saya akan meluncurkan antologi yang berisi catatan harian saya dan beberapa komikus lainnya. Kalau punya waktu agak luang saya juga ingin menggambar agak serius dengan disket terlebih dahulu dan diberi warna.


    Tuesday, July 28, 2009

    [klipping] Hari-hari Bergairah dalam Komik Indonesia

    Koran Tempo, 26 Juli 2009

    U L A S A N


    Hari-hari Bergairah dalam Komik Indonesia

    Sejumlah komik baru berturut-turut diterbitkan. Bahkan komik tentang pencitraan perusahaan.

    “Kalau komik Indonesia ingin dianggap penting, ia harus masuk ke tengah persoalan yang juga penting,” Seno Gumira Ajidarma (catatan sampul pada Mat Jagung: Kabut Manusia).

    Beberapa bulan terakhir komik Indonesia menjadi masa yang paling menyenangkan. Tidak hanya karena ramai dengan rilis komik-komik terbaru, namun banyak di antara komik-komik itu yang patut mendapat pujian. Beberapa komik ini layak dipuji karena banyak aspek, mulai dari tema dan penulisan cerita, keindahan artistik, hingga kesungguhan dalam kemasan.

    Mat Jagung, komik bersambung yang terbit setiap hari Minggu di Koran Tempo, akhirnya terbit dalam bentuk buku. Tidak seluruh episode memang, namun dipilihkan beberapa episode yang merepresentasikan kiprah Mat Jagung melawan korupsi beberapa tahun terakhir, yaitu Kabut Manusia, Romansa Dinda Ida, Ramadhan Majic Wajik, dan Mas Kawin Ida. Judul beberapa episode ini mungkin tidak terdengar sarat perlawanan terhadap korupsi di negeri ini. Tapi percayalah halaman demi halaman Anda akan dibawa berkelana mengikuti aneka cerita fiktif, yang mungkin mencerminkan dunia yang tidak kita orang awam kenal.

    Tita Larasati, komikus yang populer dengan genre graphic diary-nya, memprakarsai Antologi Tujuh dan mengumpulkan rekan-rekannya sesama komikus untuk berpartisipasi sekaligus memperingati satu tahun berdirinya penerbit Curhat Anak Bangsa. Terinspirasi usahanya (dan juga sesama komikus sedunia) dalam 24 Hour Comic Day, sebuah aksi yang diprakasai Scott McCloud dengan membuat sebuah komik secara spontan dan rampung dalam 24 jam, Antologi Tujuh disajikan sedikit berbeda. Sebanyak tujuh komikus (walau akhirnya menjadi sembilan orang) membuat tujuh halaman komik sepanjang tujuh hari kehidupannya. Sebuah kumpulan karya yang beraneka ragam dan kadang mengundang senyum (terutama jika Anda termasuk tokoh yang ikut digambar).

    Sayangnya tidak semua komikus setia dengan konsep tujuh halaman komik sepanjang tujuh hari kehidupannya. “Seperti terbitan-terbitan sebelumnya, buku ini diharapkan dapat meramaikan alternatif bacaan cergam Indonesia. Juga hendak menunjukkan pada publik, betapa beragamnya gaya kita bertutur secara visual, di mana masing-masing menunjukkan keunikan dan karakternya sendiri. Juga hendak memperlihatkan bahwa kisah berdasarkan kehidupan sehari-hari pun menarik untuk disimak,” ujar Tita Larasati tentang harapan terbitnya Antologi Tujuh.

    Komikus senior Dwi Koendoro juga mengaktifkan kembali serial Sawung Kampret dalam episode Warok Surobongsang. Jika dulu hadir dari tangan beberapa penerbit dengan kemasan berukuran standar komik Eropa, kini Sawung Kampret tampil berukuran mirip standar komik Amerika. Masih mengusung resep yang sama, Dwi Koendoro membawa Sawung Kampret beradu kecerdikan melawan penjajah Belanda di Hindia Belanda.

    Mengambil genre serupa dengan Sawung Kampret, Wahyu Hidayatz membuat Brasta Seta. Berkisah tentang seorang pendekar konyol, kerap tak beruntung, namun secara kebetulan memperoleh kesaktian tak terkira dan diperebutkan dua orang putri cantik. Termasuk tebal untuk ukuran sebuah komik lokal (210 halaman!). Rasanya tak lelah membaca halaman demi halaman, sambil sesekali tertawa terpingkal-pingkal mengikuti sepak terjang jagoan kita ini.

    Komik yang paling unik dan tidak lazim di Indonesia adalah 15 Kesalahan Dalam Branding. Ditulis oleh Herman Kwok, seorang praktisi di bidang pencitraan perusahaan, ia dibantu beberapa rekannya untuk berbagi pengalaman selama bertahun-tahun kariernya di dunia tersebut. Tidak banyak komik Indonesia yang dapat disebut sebagai komik rujukan suatu bidang studi atau profesi. Pada umumnya komik lokal berkonsentrasi pada bidang pendidikan dan fiksi. Akan bagus jika apa yang dilakukan Herman Kwok ini ikut memotivasi para praktisi dan profesional untuk berbagi pengetahuan dalam bentuk komik.

    Fenomena jejaring sosial Facebook juga direfleksikan dalam komik. Beng Rahadian menyeleksi beberapa komik strip Lotif yang rutin terbit setiap hari Minggu di Koran Tempo dan disajikan dengan tampilan persis wajah Facebook, walau kisah-kisahnya tak berhubungan dengan Facebook. Cergam Rangers (yang terdiri atas Oyasujiwo, Fatahillah, Harlia Hasjim, dan lainnya) melakukan pendekatan berbeda. Dalam Sibuk Fesbuk mereka benar-benar mengingatkan penggunanya, bahwa perilaku ‘sibuk fesbuk’ sudah mendarat di dirinya.

    Roman fiksi sejarah juga ikut meramaikan khasanah komik lokal. Merdeka di Bukit Selarong mengambil setting waktu dan tempat di tengah-tengah perang Diponegoro (1825-1830), ketika beberapa remaja terlempar ke masa lalu dan terlibat pertempuran yang dinamai pihak Belanda sebagai Perang Jawa.

    Ariela Kristantina (lebih akrab dipanggil dengan Rie) mengedarkan secara terbatas karyanya the.Trails.of.the.Midnight.Bunny. Cerita yang dibuatnya memiliki beberapa pilihan akhiran. Seperti halnya kehidupan: manusia tidak diberikan pilihan untuk hidup atau tidak, namun bebas memilih jalan yang ingin ditempuhnya. Rie sudah melakukan road show untuk komiknya ke beberapa kota dan saat ini sedang singgah di kota Yogyakarta.

    Tema yang diangkat Ariela dalam komiknya adalah perihal jejak-jejak dalam kehidupan. Kalau ia menjuduli pernyataannya Manusia//Jejak, itu karena pesan dibalik semua komik bertokoh boneka kelinci ini ditujukan bagi publik penikmat karyanya manusia; dan ia pun berkisah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman hidupnya.

    Anda generasi 80-an ingat dengan serial Mahabharata yang terbit secara berkala sebagai sisipan di majalah Ananda? Komik pewayangan karya Teguh Santosa (alm) ini dapat dikatakan sebagai re-boot karya R.A. Kosasih yang terbit 30 tahun sebelumnya. Kini pembaca dapat menikmatinya kembali dalam kemasan luks yang digarap secara serius dan teliti.

    Masih ada beberapa komik menarik yang terbit akhir-akhir ini seperti adaptasi cerita Karl May dalam Api Maut dan Pasir Maut (keduanya dari penerbit Pustaka Primatama), The Quest For Princess Zhafira (Erlangga For Kids), A Place In Your Heart (Koloni/ M&C). Selain itu, dalam waktu dekat akan terbit buku terbaru Benny & Mice berjudul Lost In Bali 2, dan beberapa judul komik fiksi dari penerbit M&C yang mencoba kembali menggarap komik lokal.

    Tidak setiap saat kita menantikan hari-hari mendatang yang penuh komik lokal bermutu.

    Surjorimba Suroto

    www.komikindonesia.com

    Photoshop vs. Reality


    1
    Who needs fiction with reality like this?
    In a media-oriented society a photograph can decide the presidential elections.
    This image will certainly not help the man on the right.

    These slides (from various resources) were presented by Syb on Pecha Kucha Night Bandung #2. You must read the text underneath each slide to know the context. These series of slides basically discuss how people perceive things visually, and how graphic-manipulation technology affects the way we appreciate images nowadays.

    If anyone (photo owner, etc.) thinks that any of these photos shouldn't be displayed here (i.e. due to copyrights), please let me know and I will close this album.

    Sunday, July 26, 2009

    [klipping] Berburu Pernak-pernik Tintin

    Pikiran Rakyat, 26 Juli 2009

    Berburu Pernak-pernik Tintin

    UNTUK kalangan penikmat dan pencinta, pencarian pernak-pernik yang berhubungan dengan hobi itu selalu menjadi cerita mengasyikkan. Mendapatkan benda yang tak mudah ditemukan sesama penikmat hobi yang lain, menjamin kepuasan tertentu. Layaknya perburuan harta karun dalam sebuah kisah petualangan, pencarian pernak-pernik pun dimulai.

    Tita Larasati tergolong beruntung. Saat sedang asyik-asyiknya menggandrungi kisah Tintin, ia menimba ilmu di Universitas Teknologi Delft, Belanda. Kota tempatnya tinggal, tergolong dekat dengan Brussels, kota di mana Museum Tintin berada. Bagi masyarakat Belgia, Tintin adalah tokoh komik kebanggaan.

    "Sebenarnya aku bukan termasuk orang yang ngoyo buat ngumpulin merchandise Tintin. Tetapi, sebelum ke Belanda, rumah keluargaku yang di Jln. Kanayakan juga banyak dihiasi poster-poster Tintin. Oleh karena itu, pas tinggal di Belanda dan dekat dengan museumnya, makin senang banget," kata Tita, yang paling mengidolai seri "Rahasia Kapal Unicorn" dari kisah Tintin.

    Apalagi, di Amsterdam tempatnya dulu tinggal hingga 2007, hanya berjarak 10 menit dari toko komik tertua di Eropa, Lambiek. "Yang paling asyik, kalau di milis ada postingan tentang barang baru apa, saya langsung cari di sini (Amsterdam). Tetapi, saya enggak terlalu freak-lah kalau dibandingkan dengan anak-anak yang lain," ucapnya tersenyum.

    Kemudian Tita mengeluarkan beberapa pernak-pernik Tintin dari dalam ransel hitamnya. Ada gantungan kunci, puzzle, magic box, hingga mobil-mobilan yang disertai dengan sertifikat keaslian (certificate of authenticity). "Kalau sekarang sih enggak mencari dan menghampiri, tetapi dihampiri oleh. Banyak keluarga yang masih tinggal di sana dan masih ngirim oleh-oleh Tintin. Soalnya kalau beli di sini harganya suka bikin sakit hati," kata Tita, sambil memperlihatkan majalah-majalah luar negeri yang beredar dengan khusus meliput seputar Tintin.

    Toko yang khusus menjual pernak-pernik khusus Tintin, dikatakan Surjorimba Suroto, pernah ada di Indonesia. Tepatnya di Plaza EX, Jakarta. "Tetapi, sekitar tahun 2005 atau 2006, tokonya tutup, kita jadi susah kalau nyari merchandise Tintin, soalnya enggak ada lagi," ucap Suryo.

    Pusat pernak-pernik Tintin, kata Suryo, mayoritas berada di Eropa dan Jepang. Oleh karena itu, ketika ada teman yang bepergian ke negara-negara yang banyak menjual pernak-pernik Tintin, banyak anggota lain yang tak ketinggalan untuk menitip. "Biasanya karena sesama Tintin, teman-teman yang dititipi biasanya membawakan kok, itu juga kalau barangnya ada, tetapi menyenangkan kok," kata Suryo.

    Dari seluruh pernak-pernik yang dimilikinya, Suryo menunjuk satu roket mini berwarna merah, yang disebutnya sebagai koleksi kesayangan. Roket ini pernah membawa Tintin dkk. melanglang luar angkasa dalam "Ekspedisi ke Bulan" ("Objective Lune").

    "Roket ini saya beli lumayan dekat, di toko buku Kinokuniya di Singapura. Yang membuat ini spesial, barangnya tinggal satu, diskon 20 persen, dan saya belinya dari uang perjalanan karena saya sekalian dinas," ujar Suryo tersenyum. (Endah Asih/"PR")***