Tuesday, July 28, 2009

[klipping] Hari-hari Bergairah dalam Komik Indonesia

Koran Tempo, 26 Juli 2009

U L A S A N


Hari-hari Bergairah dalam Komik Indonesia

Sejumlah komik baru berturut-turut diterbitkan. Bahkan komik tentang pencitraan perusahaan.

“Kalau komik Indonesia ingin dianggap penting, ia harus masuk ke tengah persoalan yang juga penting,” Seno Gumira Ajidarma (catatan sampul pada Mat Jagung: Kabut Manusia).

Beberapa bulan terakhir komik Indonesia menjadi masa yang paling menyenangkan. Tidak hanya karena ramai dengan rilis komik-komik terbaru, namun banyak di antara komik-komik itu yang patut mendapat pujian. Beberapa komik ini layak dipuji karena banyak aspek, mulai dari tema dan penulisan cerita, keindahan artistik, hingga kesungguhan dalam kemasan.

Mat Jagung, komik bersambung yang terbit setiap hari Minggu di Koran Tempo, akhirnya terbit dalam bentuk buku. Tidak seluruh episode memang, namun dipilihkan beberapa episode yang merepresentasikan kiprah Mat Jagung melawan korupsi beberapa tahun terakhir, yaitu Kabut Manusia, Romansa Dinda Ida, Ramadhan Majic Wajik, dan Mas Kawin Ida. Judul beberapa episode ini mungkin tidak terdengar sarat perlawanan terhadap korupsi di negeri ini. Tapi percayalah halaman demi halaman Anda akan dibawa berkelana mengikuti aneka cerita fiktif, yang mungkin mencerminkan dunia yang tidak kita orang awam kenal.

Tita Larasati, komikus yang populer dengan genre graphic diary-nya, memprakarsai Antologi Tujuh dan mengumpulkan rekan-rekannya sesama komikus untuk berpartisipasi sekaligus memperingati satu tahun berdirinya penerbit Curhat Anak Bangsa. Terinspirasi usahanya (dan juga sesama komikus sedunia) dalam 24 Hour Comic Day, sebuah aksi yang diprakasai Scott McCloud dengan membuat sebuah komik secara spontan dan rampung dalam 24 jam, Antologi Tujuh disajikan sedikit berbeda. Sebanyak tujuh komikus (walau akhirnya menjadi sembilan orang) membuat tujuh halaman komik sepanjang tujuh hari kehidupannya. Sebuah kumpulan karya yang beraneka ragam dan kadang mengundang senyum (terutama jika Anda termasuk tokoh yang ikut digambar).

Sayangnya tidak semua komikus setia dengan konsep tujuh halaman komik sepanjang tujuh hari kehidupannya. “Seperti terbitan-terbitan sebelumnya, buku ini diharapkan dapat meramaikan alternatif bacaan cergam Indonesia. Juga hendak menunjukkan pada publik, betapa beragamnya gaya kita bertutur secara visual, di mana masing-masing menunjukkan keunikan dan karakternya sendiri. Juga hendak memperlihatkan bahwa kisah berdasarkan kehidupan sehari-hari pun menarik untuk disimak,” ujar Tita Larasati tentang harapan terbitnya Antologi Tujuh.

Komikus senior Dwi Koendoro juga mengaktifkan kembali serial Sawung Kampret dalam episode Warok Surobongsang. Jika dulu hadir dari tangan beberapa penerbit dengan kemasan berukuran standar komik Eropa, kini Sawung Kampret tampil berukuran mirip standar komik Amerika. Masih mengusung resep yang sama, Dwi Koendoro membawa Sawung Kampret beradu kecerdikan melawan penjajah Belanda di Hindia Belanda.

Mengambil genre serupa dengan Sawung Kampret, Wahyu Hidayatz membuat Brasta Seta. Berkisah tentang seorang pendekar konyol, kerap tak beruntung, namun secara kebetulan memperoleh kesaktian tak terkira dan diperebutkan dua orang putri cantik. Termasuk tebal untuk ukuran sebuah komik lokal (210 halaman!). Rasanya tak lelah membaca halaman demi halaman, sambil sesekali tertawa terpingkal-pingkal mengikuti sepak terjang jagoan kita ini.

Komik yang paling unik dan tidak lazim di Indonesia adalah 15 Kesalahan Dalam Branding. Ditulis oleh Herman Kwok, seorang praktisi di bidang pencitraan perusahaan, ia dibantu beberapa rekannya untuk berbagi pengalaman selama bertahun-tahun kariernya di dunia tersebut. Tidak banyak komik Indonesia yang dapat disebut sebagai komik rujukan suatu bidang studi atau profesi. Pada umumnya komik lokal berkonsentrasi pada bidang pendidikan dan fiksi. Akan bagus jika apa yang dilakukan Herman Kwok ini ikut memotivasi para praktisi dan profesional untuk berbagi pengetahuan dalam bentuk komik.

Fenomena jejaring sosial Facebook juga direfleksikan dalam komik. Beng Rahadian menyeleksi beberapa komik strip Lotif yang rutin terbit setiap hari Minggu di Koran Tempo dan disajikan dengan tampilan persis wajah Facebook, walau kisah-kisahnya tak berhubungan dengan Facebook. Cergam Rangers (yang terdiri atas Oyasujiwo, Fatahillah, Harlia Hasjim, dan lainnya) melakukan pendekatan berbeda. Dalam Sibuk Fesbuk mereka benar-benar mengingatkan penggunanya, bahwa perilaku ‘sibuk fesbuk’ sudah mendarat di dirinya.

Roman fiksi sejarah juga ikut meramaikan khasanah komik lokal. Merdeka di Bukit Selarong mengambil setting waktu dan tempat di tengah-tengah perang Diponegoro (1825-1830), ketika beberapa remaja terlempar ke masa lalu dan terlibat pertempuran yang dinamai pihak Belanda sebagai Perang Jawa.

Ariela Kristantina (lebih akrab dipanggil dengan Rie) mengedarkan secara terbatas karyanya the.Trails.of.the.Midnight.Bunny. Cerita yang dibuatnya memiliki beberapa pilihan akhiran. Seperti halnya kehidupan: manusia tidak diberikan pilihan untuk hidup atau tidak, namun bebas memilih jalan yang ingin ditempuhnya. Rie sudah melakukan road show untuk komiknya ke beberapa kota dan saat ini sedang singgah di kota Yogyakarta.

Tema yang diangkat Ariela dalam komiknya adalah perihal jejak-jejak dalam kehidupan. Kalau ia menjuduli pernyataannya Manusia//Jejak, itu karena pesan dibalik semua komik bertokoh boneka kelinci ini ditujukan bagi publik penikmat karyanya manusia; dan ia pun berkisah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman hidupnya.

Anda generasi 80-an ingat dengan serial Mahabharata yang terbit secara berkala sebagai sisipan di majalah Ananda? Komik pewayangan karya Teguh Santosa (alm) ini dapat dikatakan sebagai re-boot karya R.A. Kosasih yang terbit 30 tahun sebelumnya. Kini pembaca dapat menikmatinya kembali dalam kemasan luks yang digarap secara serius dan teliti.

Masih ada beberapa komik menarik yang terbit akhir-akhir ini seperti adaptasi cerita Karl May dalam Api Maut dan Pasir Maut (keduanya dari penerbit Pustaka Primatama), The Quest For Princess Zhafira (Erlangga For Kids), A Place In Your Heart (Koloni/ M&C). Selain itu, dalam waktu dekat akan terbit buku terbaru Benny & Mice berjudul Lost In Bali 2, dan beberapa judul komik fiksi dari penerbit M&C yang mencoba kembali menggarap komik lokal.

Tidak setiap saat kita menantikan hari-hari mendatang yang penuh komik lokal bermutu.

Surjorimba Suroto

www.komikindonesia.com

Photoshop vs. Reality


1
Who needs fiction with reality like this?
In a media-oriented society a photograph can decide the presidential elections.
This image will certainly not help the man on the right.

These slides (from various resources) were presented by Syb on Pecha Kucha Night Bandung #2. You must read the text underneath each slide to know the context. These series of slides basically discuss how people perceive things visually, and how graphic-manipulation technology affects the way we appreciate images nowadays.

If anyone (photo owner, etc.) thinks that any of these photos shouldn't be displayed here (i.e. due to copyrights), please let me know and I will close this album.

Sunday, July 26, 2009

[klipping] Berburu Pernak-pernik Tintin

Pikiran Rakyat, 26 Juli 2009

Berburu Pernak-pernik Tintin

UNTUK kalangan penikmat dan pencinta, pencarian pernak-pernik yang berhubungan dengan hobi itu selalu menjadi cerita mengasyikkan. Mendapatkan benda yang tak mudah ditemukan sesama penikmat hobi yang lain, menjamin kepuasan tertentu. Layaknya perburuan harta karun dalam sebuah kisah petualangan, pencarian pernak-pernik pun dimulai.

Tita Larasati tergolong beruntung. Saat sedang asyik-asyiknya menggandrungi kisah Tintin, ia menimba ilmu di Universitas Teknologi Delft, Belanda. Kota tempatnya tinggal, tergolong dekat dengan Brussels, kota di mana Museum Tintin berada. Bagi masyarakat Belgia, Tintin adalah tokoh komik kebanggaan.

"Sebenarnya aku bukan termasuk orang yang ngoyo buat ngumpulin merchandise Tintin. Tetapi, sebelum ke Belanda, rumah keluargaku yang di Jln. Kanayakan juga banyak dihiasi poster-poster Tintin. Oleh karena itu, pas tinggal di Belanda dan dekat dengan museumnya, makin senang banget," kata Tita, yang paling mengidolai seri "Rahasia Kapal Unicorn" dari kisah Tintin.

Apalagi, di Amsterdam tempatnya dulu tinggal hingga 2007, hanya berjarak 10 menit dari toko komik tertua di Eropa, Lambiek. "Yang paling asyik, kalau di milis ada postingan tentang barang baru apa, saya langsung cari di sini (Amsterdam). Tetapi, saya enggak terlalu freak-lah kalau dibandingkan dengan anak-anak yang lain," ucapnya tersenyum.

Kemudian Tita mengeluarkan beberapa pernak-pernik Tintin dari dalam ransel hitamnya. Ada gantungan kunci, puzzle, magic box, hingga mobil-mobilan yang disertai dengan sertifikat keaslian (certificate of authenticity). "Kalau sekarang sih enggak mencari dan menghampiri, tetapi dihampiri oleh. Banyak keluarga yang masih tinggal di sana dan masih ngirim oleh-oleh Tintin. Soalnya kalau beli di sini harganya suka bikin sakit hati," kata Tita, sambil memperlihatkan majalah-majalah luar negeri yang beredar dengan khusus meliput seputar Tintin.

Toko yang khusus menjual pernak-pernik khusus Tintin, dikatakan Surjorimba Suroto, pernah ada di Indonesia. Tepatnya di Plaza EX, Jakarta. "Tetapi, sekitar tahun 2005 atau 2006, tokonya tutup, kita jadi susah kalau nyari merchandise Tintin, soalnya enggak ada lagi," ucap Suryo.

Pusat pernak-pernik Tintin, kata Suryo, mayoritas berada di Eropa dan Jepang. Oleh karena itu, ketika ada teman yang bepergian ke negara-negara yang banyak menjual pernak-pernik Tintin, banyak anggota lain yang tak ketinggalan untuk menitip. "Biasanya karena sesama Tintin, teman-teman yang dititipi biasanya membawakan kok, itu juga kalau barangnya ada, tetapi menyenangkan kok," kata Suryo.

Dari seluruh pernak-pernik yang dimilikinya, Suryo menunjuk satu roket mini berwarna merah, yang disebutnya sebagai koleksi kesayangan. Roket ini pernah membawa Tintin dkk. melanglang luar angkasa dalam "Ekspedisi ke Bulan" ("Objective Lune").

"Roket ini saya beli lumayan dekat, di toko buku Kinokuniya di Singapura. Yang membuat ini spesial, barangnya tinggal satu, diskon 20 persen, dan saya belinya dari uang perjalanan karena saya sekalian dinas," ujar Suryo tersenyum. (Endah Asih/"PR")***


[klipping] Cerita Tintin, Beragam dan Menyenangkan

Pikiran Rakyat, 26 Juli 2009

Cerita Tintin, Beragam dan Menyenangkan

KUTIPAN itu milik Seno Gumira Ajidarma yang dimuat salah satu surat kabar Indonesia, memuat hasil pemikirannya tentang ideologi dalam komik Tintin. Konflik mengenai tokoh Tintin dan situasi sosial politis yang menyertai lahirnya karakter ciptaan Herge ini, memang sudah merebak sejak puluhan tahun ke belakang.

Lewat cerita yang digoreskan Herge, Tintin memang tak sekadar komik anak-anak yang mempertunjukkan ajang adu otot. Dalam beberapa serinya, sikap Tintin sering terlihat pro dan kontra terhadap sesuatu isu sensitif, yang sedang mengemuka pada masa itu.

Tanpa bermaksud mengemukakan ideologi yang dikandung kisah Tintin dalam kacamata banal, Tintin menjelma menjadi karakter yang teramat mengasyikan untuk ditelaah. Setidaknya, itu yang ditangkap oleh para pecintanya yang tergabung dalam Komunitas Tintin Indonesia.

"Waktu kecil, saya suka Tintin karena ceritanya suka lucu, terus ada petualangan, dan gambarnya enak dilihat," kata Surjorimba Suroto, founder sekaligus koordinator Komunitas Tintin Indonesia, sambil bercerita ihwalnya berkenalan dengan tokoh Tintin dari seorang teman semasa SD yang pernah tinggal di Belanda.

Menurut Suryo, panggilan Surjorimba, kisah petualangan Tintin sangat unik, lantaran bisa dipersepsi secara berbeda oleh pembaca lintas generasi. "Sebenarnya saya tidak terlalu fanatik sama tokoh tertentu, tetapi saya lihat keseluruhan cerita. Yang paling berkesan justru tahun-tahun setelah masa kecil membaca Tintin. Pemahaman setiap kali saya membaca, selalu berubah sesuai usia," kata Suryo.

Keunikan lain yang dikemukakan Suryo, adalah profesi Tintin sebagai wartawan yang detektif (atau detektif yang wartawan?) sehingga memungkinkannya melan-glang buana. "Saat baca Tintin, saya seolah beneran ikut keliling dunia. Kita diajak kenalan dengan budaya Amerika Selatan dan negara-negara lain, ternyata setelah ke sana, apa yang saya lihat sendiri tak jauh berbeda dengan apa yang digambarkan di komik," kata Suryo, yang paling terkesan dengan kemampuan Herge bercerita secara filmis dalam episode "Penculikan Kalkulus".

Pengalaman ikut keliling dunia bersama si wartawan berjambul juga dirasakan kartunis sekaligus dosen jurusan Desain Produk ITB, Tita Larasati. "Dua makhluk ini (Tintin dan Snowy) kayaknya seru aja. Tintin paling tingginya cuma 150 cm, mungil, tetapi bisa ke mana-mana, sampai keliling dunia," kata Tita,

Selain itu, Tita terpikat dengan tokoh Tintin, karena jalinan cerita yang selalu seru, dan dengan ending yang tidak tertebak. "Kalau buku lain kan kadang-kadang kita udah tahu endingnya. Kalau Tintin, aku nebaknya ke mana, enggak taunya ending-nya ke mana," kata Tita, yang mengaku ngefans dengan tokoh Kapten Haddock.

Penokohan Tintin yang diramaikan oleh karakter antagonis, juga membuat Tita setia membaca dan mengoleksi pernak-pernik Tintin. "Ada orang-orang yang menyebalkan, tetapi dia survive terus. Ada juga selingan tokoh, misalnya si kembar yang detektif tetapi tolol, banyak juga kejadian konyol. Buat anak-anak, Tintin itu apealing banget," kata Tita, yang sudah membaca komik Tintin sejak berusia sepuluh tahun.

Dua anggota Komunitas Tintin Indonesia yang lain, Galih dan Suci Damayanti, juga mengemukakan keseruan yang sama. "Aku suka karena ceritanya yang beragam, banyak adegan slapstick, banyak juga yang nyebelin kalau ada Kapten Haddock," kata Galih.

Cerita beragam juga diiyakan Suci. "Selain beragam juga menyenangkan. Jiwa petualang Tintin itu yang membuat cerita ini mengasyikan, seru. Dan ternyata kasusnya juga hidup, masih relevan hingga sekarang," kata mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran ini. (Endah Asih/"PR")***


Friday, July 24, 2009

[online order] Antologi TUJUH

Diluncurkan pada tgl 17 Juli 2009 lalu di Aksara Kemang, Jakarta, antologi ini menandai hari jadi penerbit CAB yang pertama.


Terinspirasi dari konsep 24 Hour Comics yang dicanangkan oleh Scott McCloud, yang tantangannya adalah membuat satu halaman cergam dalam satu jam selama 24 jam berturut-turut, "Tujuh" mengajak para kontributornya untuk membuat satu halaman cergam dalam satu hari, selama tujuh hari berturut-turut.
Hasilnya bukan hanya terlihat sebagai kumpulan berbagai cerita, tapi juga menjadi kompilasi kekayaan ragam gaya yang dimiliki para penutur visual kita di masa kini.


ISBN 978-979-17708-4-2
100 hlm, paperback

para kontributor + judul:
  • Alfie Zachkyelle, Lonewulff Mencari Cinta
  • Tita Larasati, When does a Journey Start?
  • Caravan Studio, Caravan Origins
  • Sheila Rooswitha, Tujuh Kejadian Sial Saat Terlambat
  • Motulz, Jangan Begadang Kalau gak Ada Artinya
  • Rhoald Marcellius, a Week...
  • Beng Rahadian, Penghujung Mei 2009
  • Azisa Noor, Crossroads
  • Adiputra, Tujuh Pelajaran dari Jalan Irian

Cara pesan online:
1. Kirim email ke titalarasati@gmail.com berisi informasi: nama, alamat pos, jumlah buku yang dipesan, dan pilihan bank utk transfer.
2. Harga per buku Rp30.000,- + ongkos kirim (per batch, bukan per buku) Rp5.000,- utk ke seluruh P. Jawa (kecuali ke Surabaya, Rp6.000,-). Utk kota2 lain di Indonesia, akan diinformasikan via email nanti.
Transfer jumlah total pesanan ke salah satu rekening di bawah ini:

Bank MANDIRI
cab. Asia Afrika Utara, Bandung
130-00-0526220-2
a.n. Rony Amdani
Jl. Eceng 2, Bandung

BCA
KCP Burangrang, Bandung
4381370997
a.n. Roni Amdani

BNI
cab. ITB Bandung
SWIFT code: BNINI DJAITB
0028649704
a.n. Dwinita Larasati

3. Kirim bukti transfer melalui fax no. (022) 7319981 attn. Rony Amdani atau ke email titalarasati@gmail.com 

Thursday, July 23, 2009

Desain & Keberlanjutan [VERSUS Juni 2009]




Komik tentang Desain dan Keberlanjutan, dimuat di VERSUS Juni 2009, bagian Think Green. Baru dapet majalahnya tadi pagi, dan baru nyadar bahwa yg di majalah itu halaman2 komik ini harus dibaca yg KANAN dulu, baru yg KIRI :D

Monday, July 20, 2009

god is in the details (ubud, july 2009)




July 15th, in a trip to Bali, I was invited to stay in one of the bamboo huts of Environmental Bamboo Foundation (EBF) at Nyuh Kuning in Ubud. I happily accepted the offer, since it's been quite a long time since my last stay at EBF (around 1996, during a backpacking trip). This time I was accompanied by my colleague Nedina Sari, who took these pics.

Friday, July 17, 2009

[klipping] Tita Larasati Terinspirasi Tintin

Pikiran Rakyat, Sabtu 18 Juli 2009



Tita Larasati Terinspirasi Tintin

INSPIRASI bisa datang dari mana saja, tanpa diduga. Tita Larasati (38) merasakan hal itu. Untuk membuat coretan dan sketsa dari tangannya, ibu dua anak ini terinspirasi dari seluruh kejadian yang ditemui dalam kesehariannya. Tak ketinggalan, dari tokoh kartun favoritnya Tintin.

Tita yang mulai dikenal secara luas sejak menerbitkan catatan harian grafis berjudul "Curhat Tita", memang tumbuh dengan komik seperti Asterix-Obelix, Tintin, Trigan, dan majalah dari Belanda, Eppo. Orang tua Tita yang berprofesi sebagai arsitek, membuatnya dekat dengan dunia corat-coret sejak berusia dini.

"Influence ngomik (membuat komik) dari mana-mana, terutama Tintin," ujar Tita, ditemui di Bloemen Cafe, Jln. Bosscha Bandung, Sabtu (11/7) sore. Saat itu, Tita dan beberapa temannya dari komunitas Tintin Indonesia memang sedang mengadakan acara kopi darat.

Membicarakan Tintin, langsung saja Tita bersemangat mengeluarkan merchandise Tintin miliknya, beserta jaminan sertifikat keasliannya. Sejak masih kuliah di Belanda beberapa tahun silam, ia memang sudah mengoleksi benda-benda yang berhubungan dengan detektif berjambul itu. "Soalnya, komik kan sudah dianggap sebagai perjalanan hidupku. Dulu sebelum punya anak, aku paling suka bercerita tentang perjalanan dan itu sangat terinspirasi oleh Tintin. Kalau sekarang sih, lebih sering cerita tentang anak-anak," ujar Tita, yang kini tinggal di kawasan Kanayakan Bandung ini.

Adapun cerita grafis yang paling dirasakannya punya arti mendalam, yaitu mengenai kisahnya melahirkan. Di dalamnya, ada proses persalinan dari menit ke menit, termasuk detik-detik kontraksi. (Endah Asih/"PR")***

Tuesday, July 14, 2009

Syb's B'day




It was last Sunday, at Tony Roma's Bandung for lunch. And at home, later in the evening, for our second dessert: chocolate cake from Magic Oven.

Thursday, July 9, 2009

Launching Antologi TUJUH

Start:     Jul 17, '09 7:00p
End:     Jul 17, '09 9:00p
Location:     (ak.'sa.ra) Kemang, Jl. Kemang Raya 8b Jakarta 12730
Terinspirasi oleh 24 Hour Comics yang dicanangkan Scott McCloud, di mana
seseorang ditantang untuk menggambarkan kisahnya dalam satu lembar kertas setiap jam, Penerbit Curhat Anak Bangsa (CAB) membuat “Tujuh”, di mana orang dapat menggambarkan cerita sehari-hari dalam satu lembar kertas setiap harinya, selama tujuh hari. Kumpulan “Tujuh” yang pertama, yang memuat karya-karya dari rekan-rekan sesama penutur visual, diterbitkan oleh CAB dalam rangka memperingati hari jadinya yang pertama, yang jatuh pada bulan Juli 2009.

Bersama ini kami mengundang rekan-rekan sekalian untuk hadir dalam peluncuran antologi “Tujuh” ini pada:

Hari, tgl: Jumat 17 Juli 2009
Waktu: pk. 19:00-21:00
Tempat: (ak.'sa.ra) Kemang, Jl. Kemang Raya 8b Jakarta 12730

Tiada kesan tanpa kehadiran Anda ☺ Mari bertemu, merayakan keragaman cergam Indonesia yang makin semarak! Sampai jumpa di Aksara!

- Tita
co-founder CAB

Antologi TUJUH
Penerbit Curhat Anak Bangsa, Juli 2009
ISBN 978-979-17708-4-2

Adiputra, “Tujuh Pelajaran dari Jalan Irian”
Alfie Zachkyelle, “Lonewullf Mencari Cinta”
Azisa Noor, “Crossroads”
Beng Rahadian, “Penghujung Mei 2009”
Caravan Studio, “Caravan Origins”
Motulz, “Jangan Begadang kalau Gak Ada Artinya”
Rhoald Marcellius, “A Week…”
Sheila Rooswitha, “Tujuh Kejadian Sial saat Terlambat”
Tita Larasati, “When Does a Journey Start?”

Wednesday, July 8, 2009

Central Java Trip 2009

[Just a note to self, which perhaps can also be helpful for others]
We have booked all accommodations beforehand from Bandung, based on Internet search and (friends/family) recommendations. One of our kids just got back from a camping trip; he was still exhausted and didn't feel well along the way. Both kids are very particular about food; therefore we could only make meal stops at places that meet their 'requirements'.        

DAY 1 | Wednesday, July 1st | Bandung – Baturraden

Departing around 10:30 from home, Bandung (with a rented car & driver).
Stopped for lunch at RM Gentong (nearby Tasikmalaya), spending 149,250 IDR for oxtail soup, fried rice, beef satay, fries, milkshakes, fruit punch, orange juice and iced tea. It’s a nice, spacious place plus a small playground.
Arriving in Baturraden at about 18:00, spent the night at Rosenda Cottage (300,000 IDR per night, incl. breakfast). Nice view to the mountains from the balcony, a nice and clean establishment, quite near to the Baturraden Park. Recommendable.
Had a ‘room service’ dinner (Restaurant Warung Gunung): 219,000 IDR for cream soups, sweet and sour chicken, chicken in butter sauce, spaghetti bolognese, white rice, orange juice, ice lemon tea and beer.

RM Gentong
Jl. Raya Gentong no. 16
T 0265 455572
Ciawi Tasikmalaya

Rosenda Hotel & Cottages (3 stars)
Jl. Pariwisata, Baturraden, Indonesia
T 0281 681570 (3 lines)
F 0281 681571
W http://hotelrosenda.blogspot.com/


DAY 2 | Thursday, July 2nd | Baturraden – Temanggung


Breakfast came in three choices: toast, porridge or fried rice. I shouldn’t have taken the sad porridge (it was just like eating wet rice, very undefined) and had the toast instead. Taking a walk at the Park (entrance fee: 5,000 IDR per person) after breakfast, then departed at about 09:00 from the cottage.
Had lunch at a Chinese restaurant, Murni Rasa. in Wonosobo. Everything was delicious, but the winner (in taste and price) was gurami asam manis. Other dishes were corn-crab soup, beef kangkung, white rice, ice lemon tea, lemon juice and orange juice. Total damage: 144,000 IDR. The restaurant also sells local specialties: carica (slices of young papaya brimming in sweet syrup), kacang dieng, dried fried mushrooms, etc.
Proceeded to Temanggung, arrived at Indraloka Hotel at about 16:00. We stayed in a room with twin beds for 200,000 IDR/night, plus an extra bed (70,000 IDR) and a driver’s room (100,000 IDR). The room is clean, but a ‘semi-indoor garden’ adjacent to the toilet/shower room looks a bit weird because it’s empty (only cement floor and artificial stone walls) and dark (no lamp).
Dinner was at the hotel’s restaurant, Daunmas: 117,000 IDR for fries, salad, sandwich, chicken cordon bleu, es kopyor, ice tea, lychee juice, coffee and beer.  

Wr. Makan Murni Rasa
Jl. A. Yani no. 122A, Wonosobo
T 0286 321659

Hotel Indraloka
Jl. Suwandi Suwardi no.3
Temanggung
T 0293 491392, 491710


DAY 3 | Friday, July 3rd | Temanggung – Salatiga


After a buffet breakfast, we walked to an old playground adjacent to the hotel, which turns out to have a swimming pool as well. Kids spent a while playing here during the morning, before we left the hotel at about 09:30.
Visiting Mas Singgih at his workshop Piranti Works, where he and his team produce Magno wooden radio. http://www.wooden-radio.com/
Had an exquisite lunch at Kampung Sawah, sitting in a bamboo hut next to a rice field, facing Sindoro mountain: grilled ribs, crispy-fried gurame, iced drinks, etc.  Courtesy of Mas Singgih and family ☺  

After lunch, we continued our trip to Salatiga, arriving at LeBeringin Hotel at about 16:00. Our room was in the new part of the hotel. Located at the city center, noises couldn’t be avoided. Especially since our balcony faced the parking space towards the entrance/exit gate, and there’s only one wall between balconies and we happened to have noisy next-door neighbors (kids). 460,000 IDR/night, but we had Internet connection in the room.

Dinner was at the hotel’s restaurant, Senjoyo, located at the highest floor along with the swimming pool. The setting is a bit strange. The service is still amateurish: only two tables were occupied, yet they were very slow in responding to our requests. We had cream soups, steak, grilled snapper, fish and chips, ice creams, hot tea (‘teh poci’) and iced lemon tea for a total of 211,000 IDR.

LeBeringin Hotel – Restaurant – Spa
Jl. Jenderal Sudirman no. 160, Salatiga
T 0298 326129, 327082
F 0298 316688
E sales@hotelberingin.com
W www.hotelberingin.com


DAY 4 | Saturday, July 4th | Salatiga – Ungaran

They charged 20,000 IDR for each child for the buffet breakfast. Oh well. Anyhoo, we left the hotel at about 09:30, heading to Kalibening village at Tingkir district of Salatiga. We had an appointment with Pak Bahruddin to visit his alternative (junior high level) school, Qaryah Thayyibah. At QT met up with Anna (Sybrand’s friend from The Netherlands), her husband Havedz and their 2 months old baby Ben.  
From QT, we went to Tegalwaton district (very close by Tingkir) to have lunch at Anna and Havedz’ place: Havana Horses. http://www.havanahorses.co.id/

The day is getting late, so we proceeded to Ungaran. Here, we stayed at a place called Villa Joglo, an establishment that has only seven villas, each an old wooden Joglo house, plus offices, a swimming pool and other service areas, surrounded by wide lawns, gardens and rice fields. There’s even a small stream of river going through the premises. At night, we could hear various noises of birds, crickets and geckos, enjoying the cool and fresh air, under a mosquito net, in our blankets. We chose a wooden Joglo hut with two rooms, 650,000 IDR/night (before 15% tax & service). Dinner was at the villa’s restaurant: 289,500 IDR for fries, broccoli cream soup, potato cream soup, fettuccine with chicken, mushroom and cream sauce, grilled ribs, chicken-spinach roll, hot tea, iced tea and beer.


Hills Joglo Villa
Desa Keji RT06, RW01
Mapagan – Ungaran, Semarang
T 024 6926101-03
F 024 6926102
M 081 8291416
W www.villajoglo.com


DAY 5 | Sunday, July 5th | Ungaran – Cirebon

Breakfast was great! Each person had a platter of omelet, fries, fresh tomato and sausages, orange juice, coffee and tea, plus toasts with butter and two kinds of jam. We started for our journey Westward at about 09:30.
Lunchtime came when we were nearby Pekalongan, the most possible town to find ‘desirable‘ food for our picky kids. KFC: 115,000 IDR and the kids didn’t even eat any chicken; they were just in for the fries, Fruit Tea and Transformer toys.
Reaching Cirebon nearing 19:00, after an excruciating traffic jam nearby a bridge. We stayed at Zamrud Hotel (2 stars), spacey twin-bed room, and Internet is available at the lobby: 395,000 IDR/night.
Dinner was the hotel’s room service (nobody has any extra energy after the horrible traffic jam): chicken-asparagus soup, spaghetti bolognese, squid fried in butter sauce, sweet and sour chicken, white rice, mixed juice, milkshake, fruit punch and orange juice for a total of 193,540 IDR.  

Zamrud
Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo no. 46-A
Cirebon
T 0231 246201 (hunting)
F 0231 246202
W www.zamrud-hotel.com


DAY 6 | Sunday, July 6th | Cirebon – Bandung

Homeward! Stopped for lunch at Jatinangor. Again, ‘safe’ food for kids at Papa Ron’s Pizza:  fettuccine al fredo, pizza cheese napoli, pizza basic cheese, cream soup and garlic bread, ice cream, sundae, peach melba, iced lemon tea, hot tea and coffee for 197,132 IDR.
Arrived in Bandung around 15:30. Paid off the driver and car rent for 5.5 days: 1,850,000 IDR (excluding gas, highway tickets and driver’s meals).
Photos and drawings, coming up…