Foto adalah hasil jepretan Chica di acara peluncuran Curhat Tita
=========================================================
PUKUL 19.00 di toko buku Aksara di kawasan Kemang Raya itu. Bagian depan toko buku ini dominan kaca. Sehingga rak buku yang di tata dengan desaian post modern itu tampak asri. Konstruksi bangunan baja. Lantai dasar semen biasa, dan lantai dua kayu. Jika Anda membutuhkan buku-buku, terutama desain, baik grafis dan arkitek, Aksara memang tempatnya.
Masuk dari bagian depan, di sebelah kiri sudah disulap sebagai ruang pertemuan. Malam itu banyak hadir kalangan komikus. Beberapa wajah yang saya kenal datang kemudian, di antaranya Wahyu, dari milis Masyarakat Komik Indonesia (MKI). Juga ada Beng Rahardian, komikus.
Di Jumat malam itu, sejarah komik Indonesia mencatat satu lagi hal baru. Tita Larasati, doktor lulusan Universitas Teknologi Delft, Belanda 2007, meluncurkan bukunya bertajuk Curhat Tita, a graphic diary. Covernya sosok wanita, goresan tangan Tita, perumpamaan karakternya sendiri sedang melambaikan tangan kiri, menoleh ke kiri.
Sebagai komik, dia unik. Keunikannya adalah merupakan goresan tangan Tita, yang dibuatnya di sela-sela kegiatan rutinnya sehari-hari, sebagai seorang ibu, sebagai wanita bekerja. Semua goresan tangan itu terdokumentasikan. Ketika masih di Belanda dulu, goresan gambar itu ia ibaratkan surat yang berisi kabar keberadaannya. Gambar itu lalu ia fax ke ayahnya di Bandung. Di saat internet berkembang, gambar dikirim via email, gambar-gambar itu kemudian menghiasi pula blog Tita.
Gambar keseharian, melakukann senam dengan anak-anak. Juga ia goreskan bagaimana keluarga mereka setelah pulang kembali ke Bandung - - Tita kini mengajar di jurusan desain Institut Teknologi bandung - - anaknya mempertanyakan mengapa kulitnya masih putih juga, padahal sehari-hari panas, di saat mereka menunggu angkot untuk mengantar anak sekolah.
Motulz, komikus Kapten bandung, yang turut mendampingi Tita dalam launching buku malam itu, tak menduga gambar-gambar Tita menjadi sebuah komik yang hebat. Ia mengenal Tita dulu di Bandung, hanyalah sosok yang sering melihat-lihat saja kegiatan para komunikus Bandung berkarya.
Tetapi kemudian justeru Tita yang menjadi komikus. Di buku Motulz berkomentar, “ Menarik! Salah satu catatan harian yang seharusnya dipublikasikan, selain gambarnya bagus, ceritanya pun ringan. Saya nggak habis piker kalau Tita masih punya waktu untuk mebuat komik ini di saat menjadi ibu dua anak dan menjadi dosen.”
Tetapi kemudian justeru Tita yang menjadi komikus. Di buku Motulz berkomentar, “ Menarik! Salah satu catatan harian yang seharusnya dipublikasikan, selain gambarnya bagus, ceritanya pun ringan. Saya nggak habis piker kalau Tita masih punya waktu untuk mebuat komik ini di saat menjadi ibu dua anak dan menjadi dosen.”
Melalui Tita pula, Mutolz dan kawan-kawan komikus Bandung, mendapatkan akses berpameran di Belanda. Dari berpameran komik di luar sana, Motulz mengaku dapat berkenalan dengan komikus besar dunia.
“Garis lugu mengungkap situasi dengan gembira dan nakal, itulah yang asyik dalam buku harian Tita,” komentar Priyanto, Kartunis majalah TEMPO.
Sedangkan kolomnis Yasraf Amir Piliang, bertutur, “Dengan mengajak kita ‘membaca’ dunia keseharian, Curhat Tita menjadikan dunia itu lebih dekat, akrab dan bermakna, yang didalam abad informasi kini justeru semakin berjarak dari kita, baik secara fisik maupun psikis. Kita diajak untuk ‘merebut’ kembali dunia harian yang “nyata’ itu yang nyaris tergilas oleh hiruuk pikuk dunia urban, nyinyir media massa dan banalitas dunia hiburan. Kini kita perlu merasakan kembali nikmatnya memasak, bermain di lapangan, senam pagi, menggambar, bersepeda, mereparasi perabot, di dalam dunia yang dipenuhi oleh segala bentuk artifisialitas dan banalitas.”
Kepada undangan, selain memberikan sebuah buku gratis, Tita mengemas sebuah t-shirt dalam paper bag, yang unik bergrafis sosoknya, hitam putih. Saya beruntung dapat berbincang ringan dengan sosok muda Rony, dari CV Curhat Anak Bangsa, penerbit buku Tita.
Ia memasarkan buku ini melalui distributor yang telah memiliki jalur ke toko buku Gramedia, dengan memberikan rabat hingga 50%. “Agar bukunya bisa terdistribusikan Mas,” ujarnya.
Ia memasarkan buku ini melalui distributor yang telah memiliki jalur ke toko buku Gramedia, dengan memberikan rabat hingga 50%. “Agar bukunya bisa terdistribusikan Mas,” ujarnya.
Sebuah upaya, sebuah karya, sebuah jalan yang terus diperjuangkan oleh anak-anak kreatif negeri ini, yang justeru mendapatkan apsresiasi oleh negeri lain, oleh bangsa lain.
Sebuah jalan, yang memang dicuekin oleh pemerintah negeri ini. Jalan dalam arti harfiah saja, bahkan di Kemang pula, dibiarkan saja berlubang, tanpa mereka malu duduk sebagai pemimpin di atas sana.
Jika saja trias politika bangsa ini berkesadaran, saya sudah sejak lama mengajak Bank Indonesia bahkan, untuk mendukung industri intangible asset tumbuh menjadi salah satu penghasil devisa. Komik salah satunya.
Tetapi harapan tinggal harapan. Antara asset, antara kesempatan, antara peluang, seakan dunia terpisah yang seakan harus berjalan sendiri-sendiri.
Di lain sisi industri yang tangible di negeri ini saja belum tumbuh, apalagi industri intangible. Lahan pertanian padi, kedelai, yang jelas-jelas pasarnya nyata, belum tumbuh signifikan. Dalam kedaan demikian, untuk terus berkarya menjadi jawaban.