Jadi ceritanya begini. Di minggu2 pertama kami di Indonesia, hari2 kami penuh dengan kepengurusan surat2 kewarga-negaraan, kepegawaian, ijin tinggal/imigrasi, dsb.nya. Salah satunya adalah kepengurusan surat pelaporan nikah di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Jl. Seram, Bandung.
Kami menikah th. 1999, namun (due to my cluelessness) tidak dilaporkan ke RI dalam jangka waktu satu tahun setelah menikah. Sehingga pelaporan sekarang ini tentunya sudah terlambat 7 tahun. Karena terlambat, Dinas Kependudukan tidak bisa lagi mencatatkan, namun hanya bisa mengeluarkan Surat Penolakan (= menolak pelaporan karena terlambat), yg harus saya bawa ke Pengadilan Negeri. Pihak Pengadilan Negeri ini yg selanjutnya akan mengesahkan pernikahan kami.
Sudah saya penuhi semua persyaratan utk membuat Surat Penolakan. Pertama kali saya datang ke kantor Dinas Kependudukan adalah sekitar 2 minggu yg lalu. Seorang petugas di sana (Loket 13), Pak Rofiq, berkata akan menyelesaikan semua urusan, dalam waktu 1-2 hari kerja. Namun karena KTP Bandung saya belum jadi, dokumen baru bisa saya lengkapi keesokan harinya, setelah saya ambil KTP dari Kecamatan. Ketika fotokopi KTP sudah tiba di tangan Pak Rofiq, tentu saja saya harapkan Surat Penolakan tsb dapat keluar pada hari berikutnya, atau lusanya.
Maka ke sana lah saya keesokan harinya, di sela2 waktu mengajar dan menjemput anak2 dari sekolah. Kali pertama, Pak Rofiq dikabarkan sakit (= tidak masuk kantor), dan tidak meninggalkan berkas2 kerjanya di kantor. Tidak ada yg tahu ttg surat2 saya di kantor tsb, tidak ada lagi tempat bertanya.


Nomer2 yg diberikan kepada saya, supaya menghubungi sendiri ybs utk mencari tahu ttg kelanjutan kepengurusan dokumen2 saya. Nomer rumah? HP? Urusan kantor ya diselesaikan di kantor dong.. Yg saya pakai belakangan hanya nomer kantor ("Disduk").
Kali kedua, Pak Rofiq ada namun ibu pejabat yang berautoritas utk menanda-tangani surat2 tsb sedang sakit, sehingga surat tsb belum dapat dikeluarkan. Kali ketiga dan keempat, si ibu masih juga sakit (jadi total 4 hari beliau absen).
Kali kelima, saya coba telpon dulu ke kantor tsb sebelum berangkat ke sana. "Oh, ibu sudah masuk kantor lagi, silakan datang saja, pasti surat2nya sudah selesai ditanda-tangani", kata suara seorang perempuan yg mengangkat telpon. Setelah menelepon, saya langsung ke kantor tsb, naik ke lantai dua, Loket 13. "Tunggu sebentar, Pak Rofiqnya sedang sholat", kata seorang staf di sana. Oke, saya tunggu bersama bbrp orang lain yg juga berkepentingan dengan Pak Rofiq. Begitu beliau muncul, saya langsung menagih surat tsb, "Pak, ibunya sudah masuk lagi, berarti surat saya sudah ditanda-tangani dan bisa saya ambil ya?". Diambilnya sebuah map dari balik meja, sambil ditunjuk2, "Wah belum Bu, belum saya print ini formulirnya. Belum kelar. Nanti lah saya telpon kalau sudah siap diambil".
Saya dongkol, tapi bisa apa lagi, coba. Meskipun didatangi orang2 lain yg menunggunya, Pak Rofiq terus saja berjalan ke arah tangga, tidak menghiraukan orang2 ini (termasuk saya). Waktu itu adalah Senin siang, 12 Maret 2007.
Kamis 15 Maret, sekitar pk. 17:00, saya mendapat telpon dari Pak Rofiq, "Surat bisa diambil, Bu, ditunggu besok jam sembilan pagi". Wah, ya nggak apa2 deh, saya hanya harus memberitahu ITB bahwa saya akan terlambat dalam forum presentasi proposal thesis para mahasiswa S-2, yg dimulai pk. 09:00.
Hari ini, Jumat 16 Maret, setelah nge-drop anak2 di sekolah, saya langsung ke Kantor Imigrasi di Jl. Suci, utk melanjutkan kepengurusan ijin tinggal Syb dan anak2. Selesai dari sana sekitar pk. 09:15, saya langsung ke Kantor Kependudukan, naik ke Loket 13. "Pak Rofiqnya di bawah, di Loket 1" - saya turun lagi, dan beliau mengenali tampang saya. "Lama ya, Bu?" katanya tersenyum2. "Lumayan", saya bilang. "Silakan duduk dulu, saya ambil berkas2nya", lalu ia naik ke lantai dua. Saya duduk di bangku2 utk tamu di depan Loket 1. Kembali dengan map saya, ia menunjukkan surat2 yg selesai ditanda-tangan, memberitahu bahwa saya harus melengkapi fotokopi paspor saya. Lalu minta biaya administrasi.
Nah ini dia.
"Berapa?" tanya saya. "Tiga puluh ribu", ujarnya. "Oke", saya bilang, sambil ngeluarin dompet, "Tolong kuitansinya ya Pak". "Wah kita mah nggak punya kuitansi", katanya, sambil mengerutkan kening.
S: Masa nggak ada, bukti pembayaran deh kalo gitu
R: Wah, kita nggak pake gitu2an
S: Gimana saya tau harus bayar berapa, kalo nggak ada standarnya? Saya kan juga harus tanggung jawab ke yang punya uang? Tanda pembayaran biasa aja, deh.
R (bangkit dari bangku tamu, mondar manidr ke balik meja Loket 1. Looking more and more animated): Nggak ada kuitansi di sini mah, udah kasih aja uangnya, gampang.
S: Nggak bisa dong, gimana saya mau ngasih 15, 30, atau 50 ribu kalau nggak ada ketetapannya?
R (mulai tampak kesal, kembali berdiri di balik Loket 1): Ya udah, gini aja. Sana ke lantai dua, minta kuitansi ke Bu Siti. Kasih uangnya ke sana. Saya kan udah bantu Ibu, masa Ibu ngebantu saya gini aja nggak mau.
S: Lho, kalau memang ada biaya resmi tentu saya lunasi. Kalau soal membantu, ini kan memang sudah tugas Bapak?
R: Bukan! Tugas saya tuh ini (sambil menggerak2kan jarinya ke sekeliling mejanya, nggak jelas maksudnya apa), saya ini sudah mbantu Ibu ngurusin surat2 itu! Ya udah deh 25ribu aja, tuh, nggak pake harga ekstra!
S: Tau gitu saya ngurus ini lewat orang yang semestinya aja! (masih senyum2 tapi sambil jalan ke lantai dua)
Di lantai dua, saya minta Ibu Siti membuat tanda terima, ditulis tangan, dilengkapi cap Dinas Kependudukan. Saya beri 25ribu rupiah ke Bu Siti, bertukar dengan tanda terima tsb, lalu pergi meninggalkan Loket 13. Sampai di bawah, saya cari Pak Rofiq di loket 1, tidak ada. Keluar dari kantor tsb, saya lihat dia sedang berjalan ke dalam area parkir, dari arah luar (baru jajan, mungkin?). Saya sodorkan kuitansi dari Bu Siti, "Ini lho Pak, kan gampang!". Tampangnya terlihat masih sebal, "Ah ya udah! Paling ke sananya juga nggak pake gitu2an!" (sambil nuding ke kuitansi).

Kuitansi heboh tsb.
Mungkin kelakuan saya yg aneh ya, ngotot minta tanda bukti pembayaran. Dan mungkin kuitansi itu benda aneh yg dianggap tidak normal dalam sebuah transaksi yg meilbatkan uang. Apa saya yg salah karena nggak go with the flow spt umumnya orang yg gampang ngasih pelicin sana sini? Naif? Mungkin saja.
Kalo kebetulan Pak Rofiq baca tulisan ini, atau ada yg baca ini dan kenal sama Pak Rofiq, titip pesen aja, "Jangan marah ya, Pak". Saya toh cuma warga biasa yg punya kewajiban mencatatkan dan melaporkan ini-itu. Tentu saja saya juga punya hak utk dilayani secara jelas, baik dan benar dalam menjalankan kewajiban tsb.