Monday, November 28, 2005

Rampokan Exhibition in Yogya (articles)




Some clippings from local newspaper about Peter van Dongen's exhibition in Yogyakarta (thanks to Suryo from Komik Alternatif mailing list for the info).
The first article from Kedaulatan Rakyat contains an announcement about the exhibition, along with an interview with Anggi Minarni, the Director of Karta Pustaka Yogyakarta (where the exhibition is held). My nickname is not the only word that was misspelled in that article.
The second article from Kedaulatan Rakyat contains opinions from Hasmi, creator of the legendary Gundala Putra Petir, who opened the exhibition. His points are: in creating comics, great skills should be improved by creativity (which is the biggest challenge in this Internet era), artists should understand the overall background of their subjects (be resourceful! - and diligent).


Kedaulatan Rakyat 9 Nov 2005
Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik
YOGYA (KR) - Karta Pustaka bersama Erasmus Huis menyelenggarakan acara ‘Peter van Dongen, Kartunis dan Re-kan Pembuat Komik Indonesia: Motulz, Titi, Cahya dan Beng’ di Pendapa Karta Pustaka, Jl Bintaran Tengah 16, Jumat 11 November mendatang dibuka pukul 19.30. Pembukaan akan dilakukan komikus Yogya, Hasmi pencipta tokoh komik Gundala Putra Petir.

Direktur Karta Pustaka, Anggi Minarni mengatakan, kegiatan ‘Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik’ sebenarnya diilhami oleh perayaan di Indonesia sehubungan dengan 60 tahun Kemerdekaan. Erasmus Huis akan menggelar karya kartunis Belanda Peter van Dongen, kelahiran Amsterdam tahun 1966 bersama karya lain dari generasi baru kartunis Indonesia. “Kartunis Indonesa banyak dipengaruhi oleh gaya buku komik Eropa: Motulz, Titi, Cahya dan Beng,” katanya.

Setahu Anggi Minarni, Peter van Dongen mengawali karirnya sebagai penabuh drum dalam sebuah kelompok musik ska-reggae pada awal tahun 80-an. Setelah enam tahun dan sejumlah album singlenya, ia kemudian jatuh cinta pada komik. Sejak kecil, Peter van Dongen sudah mengagumi garis-garis jelas pada gaya kartunis Herge, Jacons dan kemudian Franquin dan Chaland. Ia berhasil melanjutkan studinya di jurusan gambar profesional di Sekolah Tinggi Grafis Amsterdam, namun sayangnya ia tidak berhasil masuk Reitveldas-cademie.

Namun demikian, Van Dongen tidak berhenti menggambar dan pada tahun 1990, ia melakukan debut dengan diterbitkannya Theatre of Mice (Casterman). Tahun 1991, karya Van Dongen memperoleh penghargaan Buku Komik Terbaik dari ‘Stripschappenning’, sebuah penghargaan dari komunitas kartunis Belanda. Pada tahun 1998, Van Dongen mengeluarkan buku baru berjudul ‘Rampokan: Java’ (Ong & Blik). Dongeng tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia yang merupakan tanah leluhur Van Dongen ini mendapatkan sambutan yang lebih baik daripada debutnya. Kembali Van Dongen memperoleh penghargaan ‘Stripschappening’ untuk karyanya ini sebagai Buku Komik Terbaik tahun 1999, serta penghargaan ‘Prix du Lion’ 1999 di Brusel. ‘Rampokan: Java’ turut diterbitkan oeh Joost Swarte. Pada tahun 1998, baik penulis maupun penerbit memperoleh penghargaan untuk Desain Buku Terbaik. Edisi kedua dan terakhir Rampokan berjudul ‘Rampokan” Celebes’ diterbitkan tahun 2004. (Jay)-o


Kedaulatan Rakyat 14 Nov 2005
KOMIKUS ‘GUNDALA PUTRA PETIR’ HASMI: Komik Indonesia Jangan Sekadar Meniru

YOGYA (KR) - Para komikus alias pembuat komik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Persoalannya, apakah mereka memiliki kreativitas yang tinggi sehingga tidak sekadar meniru ? Kreativitas dalam menggarap tema dan karakter yang benar-benar ‘Nge-Indonesia’. Komikus Indonesia jangan sekadar meniru dari negara maju seperti Jepang, perlu membuat komik khas Indonesia.

Demikian ditegaskan Hasmi, komikus dari Yogya yang terkenal dengan karyanya ‘Gundala Putra Petir’ saat membuka Pameran Komik ‘Peter Van Dongen dan Rekan Pembuat Komik Indonesia’ di Pendapa Karta Pustaka, Bintaran Tengah, Jumat (11/11) malam. Selain karya Peter Van Dongen ditampilkan pula karya Motulz, Tita, Cahya dan Beng. Pembukaan pameran tersebut diberi pengantar Direktur Karta Pustaka, Anggi Minarni.

Menurut Hasmi, tantangan membuat komik saat ini memang soal kreativitas. Masalahnya, media, teknologi komputer sudah menjadi bagian industri dari komik itu sendiri. “Persoalan bakat yang besar, adakah dibarengi kreativitas yang tinggi ?” tanya Hasmi. Ia hanya memberi ilustrasi, membuat komik itu sebenarnya harus memahami sosio-kultur dari materi yang akan diga-rap. Lihatlah karya Peter Van Dongen begitu ingin menghadirkan komik bercerita tentang Indonesia atau Asia, karakter orang-orang Indonesia atau Asia sangat kuat muncul dalam karya tersebut. Tak hanya itu, setting bangunan, cerita benar-benar digali dari sosio-kultur Indonesia. Pada prinsipnya, komikus sebelum menuangkan dalam karya sudah memiliki sejumlah referensi sosio-budaya, dipadukan dengan kemampuan imajinasi, akhirnya menjadi karya yang berkualitas dalam rentang waktu yang panjang. “Saya mengungkapkan hal ini sebenarnya bercermin dari diri sendiri. Saya membuat komik Gundala Putra Petir, justru memiliki bayangan tentang Eropa. Padahal saya sendiri tidak mengenal betul Eropa. Tapi, bagaimana lagi semua sudah kebacut alias telanjur,” ucapnya terus terang. Herannya, justru karya tersebut banyak yang memuji dan melekat betul dalam memori masyarakat.

Dalam pengamatan Hasmi, Yogyakarta dengan potensi seniman mudanya merupakan lahan sumber tumbuh-kembangnya komik. “Potensi yang besar memang harus digali dengan segala proses, ketekunan. Syukur komikus mampu membuat mashab, aliran sendiri, serta gaya tersendiri dalam karya yang dihasilkan,’ harapnya yang malam itu merasa berbahagia karena sepanjang hidup baru 2 kali membuka pameran komik. Meski dalam hal ilustrasi itu sendiri, atau komik tidak mengenal ‘mashab’, tetapi karakter karya dari goresan spontanitas bisa dilacak dari mana karya itu berasal. “Saya sendiri juga tidak setuju dengan Manga dari Jepang,” katanya tanpa memerinci, kenapa tidak setuju.

Hasmi juga berharap dari komikus muda, tetap saja muncul kreasi. Bahkan, siapa tahu dari kreasi ada penerbit yang mau berbaik hati menerbitkan, kemudian didistribusikan dan direspons pembaca. Sedangkan Anggi Minarni dalam pengantar antara lain mengatakan peristiwa pameran komik sekarang ini masih langka. “Kalau mendatangkan karya dari Belanda kemudian dipersandingkan dengan komikus Indonesia, harapannya bisa merangsang komikus Indonesia berkreasi.” tandasnya. (Jay)-o

Kompas 15 Okt 2005
Upaya Meraih Pasar dengan Format Baru
BI Purwantari

”Di komputer tertulis stoknya masih ada, kenapa saya dan Anda tidak bisa menemukan buku itu?” tanya seorang pembeli di sebuah toko buku besar di Jakarta dengan nada meninggi. Wajah si penjaga toko tampak bingung dan hanya bisa menjawab, ”Maaf, kami sedang membereskan stok buku.”

Setengah putus asa si pembeli menghampiri tumpukan ratusan komik, membolak-balik komik-komik tersebut. Karena yang dicari belum ditemukannya, ia beralih menuju rak bertuliskan cerita remaja. Satu persatu dibacanya judul tiap buku. Sekitar lima belas menit kemudian terdengar seruannya, ”Ah..ini dia..ketemu juga akhirnya!” Rupanya buku yang dicari tersebut terletak agak tersembunyi sehingga tidak mudah dilihat pembeli.

Buku yang dicari itu berjudul Selamat Pagi Urbaz, Sebuah Novel Grafis karya Beng Rahadian. Meskipun disebut novel grafis, tetapi formatnya tidak jauh berbeda dengan komik: menggunakan panel-panel gambar dengan balon untuk dialognya.

Di toko buku ini kita dapat menyaksikan tumpukan menggunung komik seperti Kung Fu Boy, Detektif Conan, Kapten Tsubasa, Yugi Oh, dan lainnya di antara rak-rak buku. Masih ditambah lagi komik-komik beraliran manga lainnya dipajang di rak dengan posisi yang mempermudah pembeli mencarinya. Sementara itu, karya Beng Rahadian tadi maupun buku novel grafis lainnya berjudul Split karya Bayu Indie hampir-hampir tak tampak di deretan rak buku yang ada.

Novel grafis, sebuah istilah yang dipopulerkan pertama kali oleh Will Eisner di Amerika Serikat pada paruh terakhir tahun 1970-an, merujuk pada sebuah bentuk komik yang mengambil tema-tema lebih serius dengan panjang cerita seperti halnya sebuah novel dan ditujukan bagi pembaca bukan anak-anak. Istilah ini sebenarnya dipakai oleh Eisner lebih untuk mencuri perhatian perusahaan penerbit tempat ia menyerahkan naskah komiknya di tengah-tengah dominasi pengertian komik sebagai bacaan murahan dan penguasaan pasar pada era itu.

Di Indonesia sendiri, istilah ini belum lama dipakai oleh komikus lokal yang melahirkan karya komik dengan alur cerita seperti halnya sebuah novel, seperti karya Beng Rahadian berjudul Selamat Pagi Urbaz ataupun Split hasil goresan Bayu Indie. Kedua komikus ini bersama-sama dengan penerbitnya, Terrant Comics, secara eksplisit menyebut di sampul depan bukunya sebagai karya novel grafis. Karya lain yang belum lama ini diluncurkan adalah Rampokan Jawa, versi terjemahan bahasa Indonesia dari Rampokan Java, buah karya Peter van Dongen, komikus keturunan Indonesia berkewarganegaraan Belanda.

Dari segi bentuk, kedua karya ini tidak jauh berbeda dengan bentuk komik umumnya. Bahkan dari aspek cerita pun sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dengan karya yang tidak disebut novel grafis. Di kedua karya ini elemen-elemen humor dan kekerasan juga tampil seperti halnya di dalam komik-komik umum. Selain itu, karya komik pada umumnya sebenarnya juga bukan konsumsi anak-anak saja. Banyak pembaca remaja hingga orang dewasa yang juga gandrung membaca komik.

Namun demikian, pihak penerbit memiliki alasan tersendiri untuk menyebutnya sebagai novel grafis. Pandu Ganesa dari Pustaka Primatama yang menerbitkan Rampokan Jawa menyebut, ”Gambarnya sangat indah dan ekspresif. Dari segi cerita juga mampu membuka mata pembaca tentang hal-hal yang selama ini tidak diketahui masyarakat.” Sedangkan Oktavia, General Manager Terrant Comics, menyatakan, ”Masih jarang komikus lokal membuat karya berbentuk cerita yang panjang seperti novel. Selama ini pasar dibanjiri oleh bentuk komik-komik Jepang.”

Apa pun alasan penerbit, karya novel grafis yang beredar di Indonesia mempunyai perbedaan dengan komik-komik yang saat ini mendominasi pasar: komik terjemahan, terutama dari Jepang. Meskipun harga jual novel grafis tidak jauh berbeda dengan komik terjemahan, yaitu sekitar Rp 12.000 hingga Rp 15.000, tetap ada perbedaan perlakuan pasar terhadap kedua produk tersebut. Ilustrasi di awal tulisan cukup memberi gambaran tentang hal ini. Perbedaan keduanya semakin jelas bila kita bandingkan jumlah copy yang dicetak untuk sebuah judul. Kedua karya Terrant Comics yang diterbitkan tahun 2004 dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Hingga Oktober 2005 jumlah yang terjual baru separuhnya. Demikian pula dengan Rampokan Jawa, hanya dicetak 3.000 eksemplar. Tahun 2001 Galang Press pernah menerbitkan karya Seno Gumira berjudul Jakarta 2039, yang oleh Hikmat Darmawan, pengamat komik, juga dikategorikan sebagai novel grafis, hingga kini hanya terjual 700 eksemplar dari 2.000 eksemplar yang dicetak.

Situasi yang sangat berbeda terjadi pada komik-komik terjemahan. Serial Detektif Conan misalnya, setiap judul seri komik terbitan Elex Media Komputindo ini diproduksi hingga 90.000 eksemplar. Sementara judul komik terjemahan lainnya bisa mencapai 10.000 eksemplar.

Situasi pasar yang tidak terlalu menyambut ini agaknya tidak membuat jeri para penerbit novel grafis. Seperti dinyatakan Oktavia, ”ini semacam proyek idealis kami, menerbitkan karya yang betul-betul karya orang Indonesia sendiri. Toh, kami juga punya lini lain di Terrant Books yang menerbitkan novel-novel remaja karya para penulis remaja Indonesia dan cukup diterima pasar.” Memang, Terrant Books yang memajang slogan Pelopor Kebangkitan Penulis Muda Indonesia di website-nya pernah meraup sukses cukup besar dari novel Eiffel I’m in Love, yang berhasil terjual 70.000 eksemplar dalam waktu enam bulan dan kemudian diangkat ke layar lebar serta menjadi film box office kedua setelah Ada Apa Dengan Cinta?.

Sementara itu, Pandu Ganesa mengakui bahwa kerja memasarkan Rampokan Jawa adalah kerja yang sangat berat. Selain karena harganya cukup mahal bagi kantong pribumi yaitu Rp 75.000, juga karena, ”Toko-toko buku di sini menganggap komik adalah produk untuk anak-anak dan sesuatu yang ’ringan’. Jadi dengan bentuk seperti ini tidak semua toko buku mau menerima.” Hal senada diungkap Hikmat Darmawan. Menurutnya, ”Yang jelas novel grafis karya komikus lokal ’ditaruh’ di rak novel oleh toko-toko buku di sini dan bukan di rak komik. Jadi, penerimaan terhadap novel grafis masih berada di tahap awal.”

Berbeda dengan novel grafis karya penulis lokal yang belum mendapat tempat di pasar dalam negeri, novel grafis karya komikus asing, terutama Amerika Serikat, yang didistribusikan ke Indonesia membentuk pasar sendiri di sini. Salah satu tempat para penggemar novel grafis asing bisa memuaskan hobi membacanya adalah toko buku Kinokuniya. Di Kinokuniya Plasa Senayan, novel grafis diberi rak khusus, terpisah dari rak komik, dengan jumlah rak yang cukup banyak.

Penempatan secara khusus seperti ini selain karena permintaan dari kantor pusat di Singapura, menurut Amanda Ayusya dari Kinokuniya, ”Karena turn over buku-buku novel grafis sangat tinggi yang menunjukkan peminatnya cukup banyak. Sering kali satu judul tertentu habis dalam waktu hanya sebulan.” Selain permintaan yang cukup tinggi, berdasarkan pengamatan, penempatan secara khusus ini disebabkan melimpahnya jumlah judul yang tersedia.

Pangsa pasar novel grafis karya komikus asing ini bukan hanya orang-orang asing yang tinggal di Indonesia, tetapi juga orang-orang Indonesia sendiri. Meskipun harganya relatif mahal, rata-rata di atas Rp 100.000, toh pembeli lokal tidak ragu membelanjakan uangnya untuk sebuah karya novel grafis berbahasa Inggris. Menurut Hikmat Darmawan, ”Mereka adalah orang-orang yang memang mengerti tentang novel grafis dan mencari format yang betul-betul novel grafis: karya tematik, alur cerita bukan sebatas tentang superhero, artinya yang tidak mainstream-lah.” Tema-tema di luar tema komik umumnya, seperti tentang persoalan masyarakat urban, psikologi, atau bahkan sosialisme, inilah yang, menurut Hikmat, disukai oleh pembeli yang sering menyambangi Kinokuniya.

Lantas, apakah format baru seperti novel grafis ini dapat membuka peluang baru juga untuk pasar novel grafis di dalam negeri? Beberapa pihak memberi indikasi terbukanya peluang tersebut. Peluang itu terbagi menjadi dua kutub, kutub karya terjemahan seperti Rampokan Jawa dan kutub karya asli komikus lokal. Di kutub pertama, menurut Hikmat, ”Bagus kalau memang ada yang mau menerbitkan terjemahan novel grafis asing. Ini akan mendidik komikus lokal untuk menghasilkan karya serupa. Contohnya komik Tintin yang diterjemahkan ke berbagai bahasa itu memberi inspirasi kepada Peter van Dongen untuk menghasilkan Rampokan Java.”

Di kutub kedua, Pandu Ganesa melihat bahwa ”Format novel grafis ini bisa menjadi jembatan bagi generasi muda Indonesia untuk mengenal kembali karya sastra yang lebih serius.” Dengan kata lain, contoh yang diberikan kutub pertama dapat mendorong komikus lokal menciptakan karya novel grafis untuk karya-karya sastra Indonesia. Nada optimistis serupa dilontarkan Rahayu Hidayat, pengamat komik. ”Format komik sebetulnya merupakan jembatan antarbudaya. Ia memberi peluang bagi karya-karya serius atau klasik untuk dipopulerkan dalam bentuk komik sehingga menjangkau lebih banyak pembaca,” ujar Wakil Dekan I, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia ini.

Karya-karya klasik yang dikomikkan pernah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU) dalam seri Album Cerita Ternama (ACT) pada era 1970-an sampai 1980-an. Menurut Listiana dari GPU, ACT dulu cukup laris dan bahkan permintaan pasar saat ini untuk menerbitkan kembali ACT cukup besar. Ini berarti, optimisme yang dilontarkan Pandu dan Rahayu bukan isapan jempol belaka. Namun demikian, peluang ini mesti dibarengi dengan kerja keras di kalangan komikus dan penerbit dalam negeri selain strategi distribusi yang tepat. Seperti dilontarkan Pandu Ganesa, ”Promosinya tidak boleh lagi model konvensional. Klub-klub pembaca atau buku harus aktif bergerak dan lebih banyak lagi membentuk klub-klub semacam ini.” Kalau memang komunitas komik tidak ingin didominasi terus-menerus oleh manga, tentunya optimisme ini tidak seharusnya berhenti sebagai lontaran ide saja. (umi/sat/wen/ Litbang Kompas)

From the same Kompas, still related to Novel Grafis (also mentioning a bit about Peter's Rampokan):
Mereka Menyebut Novel Grafis
Novel Grafis, Komik atau Sastra?

There is supposedly one more article from Kompas 15 Nov 2005, titled Menggugah Kebangkitan Komik Indonesia, which contains interviews with Anggi Minarni (about indie comics in Indonesia), Beng Rahadian and Anto Motulz, but I'm still looking for it..

Illustration: cover of Waarom Die Vlag Toch? by Peter van Dongen, published by Het Indisch Huis, Den Haag, which is used for promotional materials of Peter's exhibition in Indonesia.
Here are some photos of the opening day, along with a report from Motulz.

No comments:

Post a Comment