Tuesday, March 13, 2007

[klipping] 'Gerilya' Komik Indonesia

Dari Republika: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=285841&kat_id=306


Minggu, 11 Maret 2007
Komik Yourself
'Gerilya' Komik Indonesia


Di tengah popularitas komik Jepang dan Amerika Serikat (AS), komik lokal hampir tak mendapat tempat di rak pajang toko buku. Kendati demikian, kondisi sebenarnya ternyata tidak terlalu mengenaskan. Setidaknya, komik lokal masih hidup dan dinikmati oleh penggemarnya.


Ingin bukti? Tengok saja cuplikan hasil karya 11 komikus yang dipamerkan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki sejak 3 Maret 2007 lalu. Eksposisi Komik Daerah Istimewa Yourself (DI:Y) itu masih bisa dinikmati sampai 17 Maret mendatang.


Untuk memberi bobot pameran, juga digelar diskusi komik bertajuk Komik sebagai Sub Kultur, pada Sabtu 10 Maret 2007, dengan pembicara Vaniani Ika (pengamat komik), serta Dinita Larasati, Beng Rahadian, dan Bambang Toko (ketiganya komikus).


Komik Indonesia pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tetapi, era itu sudah lama berselang. ''Komik lokal digandrungi pada tahun 1970-an,'' ujar Ade Darmawan, ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta.

RA Kosasih beserta komik Mahabharata-nya amat terkenal dalam tahun 1970-an. Begitu pula, Hasmi dan karya fenomenalnya, serial Gundala Putera Petir. Nama lain yang sukar hilang dari ingatan pecinta komik lokal adalah Ganes TH, pencipta serial Si Buta dari Goa Hantu.


Dalam tahun 1970-an, lanjut Ade, komik lokal kental sekali dengan nuansa Indonesia. Kalau bukan lantaran mengangkat mitos tentu karena bahasa visualnya yang akrab. Cara komikus menggambarkan gerak-gerik tokoh-tokohnya patut diacungi jempol. Pada masanya, komikus malah sejajar dengan bintang film ternama yang selalu menjadi pusat perhatian saat berada di keramaian.


Ade berpendapat komikus zaman dulu amat terasah. Mereka mampu menciptakan karya-karya orisinal. ''Sayangnya, kemampuan itu tidak tertular pada generasi muda komikus,'' katanya.


Dalam pengamatan Ade, komikus masa kini sangat terpengaruh oleh gaya komik Jepang. Dari segi visual, tak ada pencapaian baru yang ditunjukkan. ''Padahal, kalau menggali lebih jeli, mereka bisa menemukan gaya khas sendiri,'' komentarnya.


Bilakah kebangkitan komik lokal tiba? ''Tak perlu merisaukan, Godot datang atau tidak,'' kata Hikmat Darmawan, kurator komik pada Eksposisi Komik DI:Y. Sejumlah komikus muda yang berdomisili di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta mengusung filosofi punk -- do it yourself alias kerjakan saja sendiri -- untuk mengangkat kembali kejayaan komik lokal.


Athonk termasuk salah satu komikus muda yang terbaik saat ini. Tokoh yang direkanya jauh dari pengaruh komik Jepang maupun Amerika yang digandrungi semua umur. Ia menawarkan sebuah kemungkinan realisme tema.


Seri Old Skull merupakan karya Athonk yang paling digemari. Dalam Old Skull, komikus bernama asli Sapto Raharjo sedikit banyak mengangkat pengalaman pribadinya semasa 11 bulan mendekam di bui. Salah satunya menceritakan tentang insafnya Old Skul, pemakai putaw berambut Mohawk berwajah tengkorak. ''Gaya kartun seri komik strip Old Skull tampak kasar, minim stilisasi, seperti diguris seadanya, serbacepat, dan spontan,'' komentar Hikmat.


Selain Athonk, ada pula Eko Nugroho. Dari pemikiran cemerlangnyalah lahir komik-komik banyolan seri The Konyol. Dalam The Konyol, Eko mengetengahkan keseharian orang kebanyakan. Di akhir tahun 1990-an, Eko membuat dunia komik lokal menggeliat. Presiden komunitas The Daging Tumbuh ini memprakarsai penerbitan jurnal komik indie, Daging Tumbuh. Daging Tumbuh merupakan kumpulan komik --mayoritas komik-komik DI:Y-- yang disebarluarskan dalam bentuk hasil fotokopi.


Tentang penyebab keterpurukan komik lokal, Hikmat punya teori. Kemungkinan besar itu terjadi karena ketidaksiapan industri buku untuk menerbitkan komik lokal. ''Tanpa dukungan infrastruktur industri, sulit untuk membuat komik tersebar luas,'' katanya.


Kecenderungan penerbit menyukai pencetakan komik luar negeri tentu bukan tanpa alasan. Dalih utama menyangkut kemudahan menerbitkan. ''Tinggal menerjemahkan naskah yang populer,'' urai Hikmat. Manga alias komik Jepang merupakan komik terbanyak yang menyerbu pasar Indonesia. Sedangkan, Amerika tak begitu produktif menghasilkan komik laris. ''Paling hanya Tintin dan Superman,'' imbuh Hikmat.


Pada tahun 1978, masyarakat baca Indonesia mulai mengenal komik asal Amerika. Saat itu, Tintin hadir. ''Tenda tempat penjualannya sampai rubuh gara-gara kerumunan penggemar,'' kenang Hikmat. Memasuki tahun 1980-an, Manga menyapa pecinta komik. Modus industrinya dibantu dengan anime (kartun Jepang). ''Manga menjadi amat kondang juga karena ketersediaannya yang berlimpah,'' kata Hikmat.


Di tahun 1990-an, dunia komik memasuki masa suram. Oleh masyarakat, komik hanya dianggap sebagai sub-kultur. ''Potret sebenarnya menggambarkan masyarakat yang terfragmentasi,'' ucap Hikmat. Di mata Hikmat, masa depan komik lokal tidak ditentukan oleh jumlah komikus yang meramaikan. Keaslian ide jauh lebih penting. ''Sebab, yang orisinallah yang bakal laris,'' ujarnya menandaskan. reiny dwinanda

5 comments:

  1. Tintin dari amerika?
    Yang orisinil yang laris? Perasaan komik2 jadul yang dibahas diatas tuh either adaptasi ato jiplakan deh...

    ReplyDelete
  2. pada saat itu 'orisinil' dalam artian belum pernah diliat orang, maklum tipi jarang, akses informasi susah ...

    kalo Tintin dari Amerika gue no komen deh... wartawannya pegimane,ya?

    ReplyDelete
  3. kok bahasannya masih berkutat di situ2 lagi, ya? orisinalitas yang bukan 'rasa' jepang dan amerika, terinspirasi dari gaya-gaya komik legendaris masa lalu..

    ReplyDelete
  4. maklum orang old school om Hafiz... udah karatan, susah belajarnya...hehehehehe

    ReplyDelete
  5. emangnya orisinilitas itu yg seperti apa sih ?

    ReplyDelete