Saturday, March 10, 2007

[klipping] Dari Eksposisi Komik DI:Y

Dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0703/06/hib01.html
Pasti ada aja salah cetak nama gue di katalog. Dulu waktu di Erasmus Huis, Titia, sekarang di TIM, Dinita.. hihihi..
===============================

Yang Mati Justru Distributor
Indonesia



Oleh

Sihar Ramses Simatupang



Jakarta – “Saya menolak komik Indonesia telah mati. Yang mati justru
produsen dan distributor komik Indonesia,” ujar Hikmat Darmawan,
kurator pameran komik yang hadir pada pembukaan eksposisi “Komik
DI:Y” di Galeri Cipta 3 Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu (3/3).



Apa yang dikatakan Hikmat sesungguhnya memang telah jadi fenomena
belakangan ini. Komik Indonesia menjamur. Sebut saja areal di depan
Bioskop 21 Cinepleks di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang
menggelarnya hampir setiap hari. “Kulakan” ini bisa jadi luput dari
perhatian orang banyak, tetapi nyatanya banyak juga pelanggan
setianya.

Jadi, jangan hanya mengenang Djair (Warni), Taguan Hardjo, Ganes Th
yang memang terjamin dalam kenangan publik komik, walau itu perlu.
Namun, waktu terus berjalan, generasi komik Indonesia masih ada.
Bukan hanya komik singkat, Hikmat juga menjamin narasi panjang pada
karya komikus muda Indonesia itu terjaga. Seperti pendapat Ade
Darmawan, Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta, bahwa di balik
pasar yang didominasi komik Jepang dan Amerika, sejumlah komikus
kita melakukan “eksplorasi bahasa visual dan literatur”.

Jadi, komikus Indonesia ada, juga aktif. Bahkan, di ajang pameran
itu digelar komik-komik Indonesia. Memang masih ada fotokopian
sederhana dari komik mini Djair sekitar empat edisi, tapi Beng
Rahardian dan beberapa komikus yang juga menawarkan komik karyanya.
“Teh Jahe” yang merupakan tajuk kompilasi komik pendek Beng menarik
perhatian para hadirin di momen pembukaan eksposisi malam itu.

Ada juga yang sedang mempersiapkan komiknya. “Tolong ya bantu diedit,
komik saya ini,” ujar Tita, berbicara kepada Hikmat, seraya
menunjukkan karyanya empat buku calon komik tebal dan satu buku
berisi komik separuh jadi.

Tita, atau lengkapnya Dinita Larasati, adalah salah satu komikus
Indonesia yang pernah berpameran juga di Erasmus Huis, beberapa
bulan silam. Bersama dengan komikus Indonesia lainnya yang saling
berbeda gaya – mereka adalah Motulz (Dwi Santoso), Cahya (Muhammad
Cahya Daulay), dan Beng. Tita dengan komik “graphic diary”-nya
adalah salah satu fenomena komik terbaru di Eropa, berbicara tentang
kisahnya dalam tumpukan komik grafik yang detail serupa dengan
tumpukan dekoratif. Kisah pribadinya itu, gamblang dan terbuka.

Sekarang ini, komik manga dari Jepang masih menghebohkan pasar
industri komik di Indonesia, dengan mata gadis Jepang yang kerap
ditampilkan lebar itu. Kurator Hikmat, kemudian menyebut fenomena
lain manga yaitu kisah cinta dan desire-nya yang kerap tak logis,
namun dikonsumsi para generasi muda Indonesia saat ini.

Jadi, selain komik-komik silat di Indonesia yang penuh dengan aroma
“nostalgia kebangsaan” itu, juga usai terbius oleh pikatan komik
manga atau petualangan Tintin karya Herge, Asterix karya Rene
Goscinny (naskah) dan Albert Uderzo (gambar), atau secara acak komik
Roel Dijkstra, Trigan, Arad & Maya, Coki si Pelukis Cepat, Storm,
jangan lupakan komik Indonesia yang mungkin sedang beredar secara
underground di sekeliling Anda.



Orisinal dan Stilis

Mainstream itu, seperti yang dituturkan Hikmat, tak nampak dalam
pameran ini. Para komikus dari Kota Yogyakarta, Bandung dan Jakarta,
menampilkan kekuatan pribadi pada masing-masing karyanya. Seperti
tajuknya DI:Y yaitu Do It Your Self, dalam pameran gaya personal
mereka masing-masing, terasa pada momen eksposisi.

Di pameran ini ada Athonk yang memperlihatkan objek tak konvensional
dengan tubuh tokoh yang mengalami deformasi, terkesan “cuwek” namun
dilengkapi panel yang masih rapi. Tokohnya pun digambarkan mirip
wajah tengkorak dan berambut Mohawk. Ada Bambang Toko yang gambarnya
terkesan naif, namun kisahnya cukup menarik dan rumit untuk diselami.
Eko Nugroho yang eksperimentalis dan gandrung menggambarkan dunia
ganjil dalam strip tiga panel terutama dalam Fight Me (2004).

Iwank yang ajeg dalam gaya namun ringan dalam narasi. Ma’il yang
dalam komik personalnya menunjukkan upaya subversi atas kenyataan
sosial-historis yang resmi selama ini. Oyas Sujiwo yang dari “gaya
manga” ke “DI:Y” – bersama istrinya Iput kemudian mengeksplorasi
“komik bodor” Humor ala Bandung dan Prasajadi yang karyanya sangat
khas dengan latar desain grafis, simetris dan terkesan rapi.

Membuat komik, contohkan saja yang konvensional, memerlukan strategi
teknik yang memadai – keseimbangan antara visual dan narasi. Mirip
rangkaian slide film yang menggabungkan kisah dengan penjelasan
gambar (komik nenek moyang film?), komik sangat memerlukan
kecerdasan dari komikusnya. Sebuah seni yang tak bisa dipandang
sebelah mata. Tinggal bagaimana produsen-distributor kita merespons
gelombang besar komikus muda Indonesia ini.

5 comments:

  1. Jadi? Jadi?? Boleh ditunggu? :D :D :D. Selamat yah!

    ReplyDelete
  2. Wah Ven, jalannya masih jauh.. hahaha.. Makasih tapinya ya, sebab makin menyemangati! (*ayo kamu bisa sempat!*)

    ReplyDelete
  3. ambil nomer antrian untuk beli komik tita .. :D

    ReplyDelete
  4. mau donk dpt edisi perdananya ;-)
    di tunggu yah..hehe

    ReplyDelete
  5. kapan terbitnya, mbak..? saya udah pulang blom, ya waktu itu.. ;))

    ReplyDelete