Sunday, September 18, 2005

Just keeping track.. [8] (Cek & Ricek, Tempo Magazine)




Cek & Ricek is a national gossip magazine in Indonesia (after having been a popular television program, at first). Rosihan Anwar, a senior journalist who opened the exhibition at Erasmus Huis wrote a short article about that event, followed by two other subjects in the "Halo Selebriti" column. Herewith I copied the contents of the article (only the one about the exhibition). Thanks to Rieza at Komik Alternatif mailing list for sending me scanned pages of the magazine :D

Cek & Ricek 14-20 September 2005
Pameran Komik Belanda Indonesia, Pelukis Srihadi Dan Pirous, Banggakah Anda Jadi Putra Bangsa Ini?
Oleh: H. Rosihan Anwar

Kartunis Peter Van Dongen (39) dari negeri Belanda bersama rekan pembuat komik Indonesia Motulz, Tita, Cahya dan Beng menggelar pameran di Erasmus Huis Jakarta yang dibuka 6 September 2005 oleh Rosihan Anwar, sejarawan. Meskipun saya tidak tahu banyak tentang gambar/cerita komik, namun atas permintaan Erasmus yang menamakan saya "sejarawan", saya ucapkan pidato sambutan. Setelah bertanya kepada Ramadhan K.H. kartunis atau komikus mana yang dikenalnya, saya pun menyebutkan nama urang Sunda R.A. Kosasih yang terkenal di tahun 1950-an yang bertutur tentang cerita-cerita wayang. Saya sebut nama Kosasih, tapi menurut Myra Sidharta, penulis biografi delapan penulis peranakan "Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman", saya lupa mengemukakan nama Put-On, komikus peranakan yang bertutur banyak tentang Betawi.
Peter Van Dongen yang lahir di Amsterdam tahun 1966 adalah seorang dari generasi ketiga Indo. Ibunya Ny. Knevel lahir di Manado, kakeknya serdadu KNIL tewas di zaman Jepang. Peter tidak perlah berdiam di Indonesia. Toh pada tahun 1998, kemudian tahun 2004 dia menerbitkan buku komik Rampokan Java dan Rampokan Celebes. Cerita dan lokasinya ialah Indonesia. Berkat riset yang dilakukannya dan cerita yang didengarnya dari nenek dan ibunya, dia berhasil menggambar adegan kota beserta jalan dan tokonya di zaman Hindia Belanda dengan akurat. Dia bertutur tentang Johan Knevel pergi ke Indonesia mencari Ninih yang dulu jadi babu pengasuhnya, dan didapatinya Ninih berada di pihak para pejuang kemerdekaan.
Gaya Peter banyak kena pengaruh tokoh Tintin dalam komik Hergé dengan garis-garis gambar yang lurus, bersih, dan tidak memakai arsir, garis-garis silang-menyilang pada lukisan, demikian dijelaskan kepada saya oleh Anto Motulz yang belajar di ITB. Sebagai perbandingan, Motulz menunjuk kepada gambar komiknya sendiri yang dipamerkan. Saya juga berjumpa dengan Muhammad Cahya Daulay yang dipanggil Cahya, dan Beng Rahadian alias Beng. Mereka berusia kurang lebih 30 tahun. Seorang rekan mereka Dwinita Larasati atau Tita tidak hadir pada acara pembukaan pameran, karena berada di negeri Belanda menyelesaikan program doktor di Universitas Teknologi Delft. Tapi saya berjumpa dengan kedua orang tua Tita. Rupanya ayahnya, Purnomohadi, seorang arsitek yang pensiun dan mengaku diri fan buku-buku dan tulisan saya, di antaranya In Memoriam.
Seorang pemuda bernama Adrian menyalami saya sambil menyerahkan kartu namanya. Dia Ketua Masyarakat Komik Indonesia. Di kartu namanya tercantum: Support your local comics movement. Saya bilang pada Adrian, kirimlah buku-buku komik Indonesia, nanti saya dukung gerakan memajukan komik di negri ini.


Pictures: The complete article in two parts. Perhaps you can view the article bigger here for part 1 and here for part 2.


I received from Agam (thank a lot! :D) these articles from Tempo Magazine: Edisi. 30/XXXIV/19 - 25 September 2005


Buku
Bila Sang Meneer Melukis Indonesia: Sebuah komik terbitan Belanda tentang masa agresi militer tahun 1940-an diterbitkan dalam versi Indonesia.

”.... 27 Oktober 1945. Seper-ti-nya mimpi-mimpi buruk itu berkurang kalau aku menulis dalam buku harian-ku…. Untung saja, aku toh-- tak perlu merasa bersalah…. Bagaimanapun, aku perlu membela diri. Itu kecelakaan….”
(Rampokan Jawa, oleh Peter van Dongen)

Syahdan, Peter van Dongen tak pernah me-nyaksikan perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan. Ia dilahirkan di Amsterdam pada 1966, ketika Indonesia sudah lama menjadi republik yang merdeka dan tengah bergulat dengan dirinya sendiri. Ia juga tak pernah merasakan ruwetnya kehidupan tentara bawahan yang dikirim oleh negerinya, Belanda, ke tanah Hindia. Tapi, lewat komik karyanya yang dipamerkan di Balai Erasmus 7-30 September, ia berhasil melukiskan kehidupan masyarakat Indonesia era 1940-an.

Van Dongen lahir dan besar di Belanda. Sepenggal cerita ibunda serta foto-foto menguning berisi suasana Indo-nesia tahun 1940-an itu menggelitik imajinasi Van Dongen.

Hindia, yang diceritakan sang ibu ini, kemudian menuntun pria kelahiran 1966 itu menelusuri Museum Tropis di Amsterdam hingga Museum Tentara di Yogyakarta. Ia berburu buku harian tentara Belanda yang pernah dikirim ke Indonesia sampai buku tentang Indonesia karangan Mochtar Lubis hingga Pramoedya Ananta Toer. Singkatnya, Van Dongen jatuh cinta pada Indonesia.

Cintanya pada Indonesia tak pupus begitu saja. Tahun 1998 ia membuat komik Rampokan Jawa, kisah perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Tokoh sentral dalam cerita-nya adalah Johan Knevel, tentara Belanda yang kembali ke Indonesia tahun 1947 yang memiliki agenda pribadi, yakni mencari Babu Nini, ibu asuhnya yang penuh kasih sayang.

Komik atau novel grafis Rampokan Jawa kemudian diganjar penghargaan di Belanda untuk desain buku terbaik tahun 1998 dan penghargaan Stripschappening sebagai buku komik terbaik tahun 1999. Komik ini juga diberi penghargaan ”Prix du Lion” di Brussels. Di samping segala puja-puji ini, ternyata Van Dongen mendapat kritik tajam dari masyarakat Belanda, khususnya dari kerabat tentara yang dikirim ke Hindia.

”Kisah ini masih menjadi lembaran hitam bagi sejarah Belanda,” kata Van Dongen, yang keturunan Cina-Maluku dari pihak ibunya. Orang Belanda masih marah terhadap soal ini dan menjadi kritis akan apa yang mereka dengar tentang Indonesia. Menurut sebagian masyarakat Belanda, kisah agresi militer sebaiknya disimpan saja. ”Mereka kesal dengan orang seperti saya yang membuat buku tentang era ini. Padahal, bagi generasi saya, masalah ini dibuka sedikit lebih baik,” kata pria yang mulai menggambar komik serius pada tahun 1994 ini.

Buat masyarakat Belanda yang meng-anggap peristiwa agresi ke Indonesia sebagai lembaran hitam, memang hal ini akan seperti mengulang kembali kenangan tentang Indonesia di masa itu. Van Dongen, dengan tarikan gambar yang mirip komik petualangan Tintin karya Herge, menggambarkan dengan sangat lihai segala hal detail tentang Indonesia kala itu. Dia menggambar dengan garis yang lurus, bersih, tidak memakai arsir persis seperti gaya Herge.

Pelabuhan Tanjung Priok dengan kapal-kapal yang sedang bongkar muatan, perempuan bersanggul dan berkebaya, pria-pria tawanan tentara Hindia bertulang rusuk menonjol, kota pecinan di Glodok dengan pengusahanya yang berwajah Tionghoa meski memakai nama Jawa. Lalu, hutan-hutan lebat di Jawa hingga suasana Pasar Atom di Bandung dengan becak dan dokarnya. Meski tak seperti petualangan Tintin, beberapa adegan yang vulgar dan menggambarkan kekerasan membuat komik Van Dongen ini tak cocok dikonsumsi anak-anak.

”Saya memang terpengaruh gaya Herge, khususnya buku Tintin, Lotus Biru, tentang pendudukan Jepang di Cina. Cerita politik, dengan gaya menggetarkan hati, memperlihatkan latar belakang budaya dan Shanghai- selama tahun 1930. Itu menakjubkan. Gaya bercerita saya lebih modern, dengan- penyuntingan cepat dan mungkin lebih rumit,” kata Van Dongen.

Namun, tak seperti Tintin yang penuh warna, Rampokan Jawa hanya menggunakan warna hitam-putih dan cokelat dengan tinta India dan kuas kecil. Meski kata Van Dongen itu lebih karena keterbatasan dana penerbit. ”Selain rasanya terlihat lebih bagus dan lebih otentik.”

Mendengar judul Rampokan Jawa memang terasa janggal dan mengundang tanya. Tapi judul komik yang versi Indonesianya telah diterbitkan oleh Pustaka Primatama bekerja sama dengan Komunitas Komik Alternatif ini dibuat Van Dongen setelah melalui riset mendalam. ”Rampokan asalnya dari dua kata, rampok dan macan. Pertarungan macan setelah bulan Ramadan. Ini kebiasaan masyarakat Kediri dan Blitar,” kata Van Dongen.

Macan menggambarkan roh jahat. Bila seorang kiai berhadapan dengan macan dan mati dalam pertarungan itu, daerah tersebut akan mengalami hal buruk seperti banjir. ”Saya menyampaikan secara metafora bagi prajurit kolonial Belanda melawan keinginan Indonesia untuk merdeka,” kata pria yang sehari-hari berprofesi sebagai ilustrator paruh waktu ini. Sayang, terjemahannya agak terasa janggal, banyak kalimat yang tak jelas, misalnya ”..karena rampokan, saat itu semua bencana terramalkan...” (Apa pula arti kata ”terramalkan”?) Penerjemahan bukanlah pekerjaan menerjemahkan kata demi kata secara harfiah. Ada sebuah nuansa dan kultur yang ikut serta diterjemahkan, termasuk gaya bahasa dan ”rasa” seluruh isi komik.

Rampokan Java sesungguhnya bukan karya Van Dongen yang pertama. Tahun 1990, ia pernah menerbitkan Muizentheater atau teater tikus, dongeng tentang dua bersaudara laki-laki era 1030-an. Kesuksesan Rampokan Jawa membuat Van Dongen membuat sekuel Rampokan Celebes pada tahun 2004. Di kisah ini, Johan Knevel bertualang ke Sulawesi. Mungkin pada terjemahan berikutnya nanti, penerbit akan jauh lebih berhati-hati dan cermat.

Utami Widowati dan Evieta Fadjar/LSC


Menunggu Komik Asli Indonesia

Di pojok yang lain Balai Erasmus, ada goretan Dwi Santoso, Dwinita Larasati, Muhammad Cahya Daulay, dan Beng Rahadian. Mereka adalah komikus asli Indonesia yang bersama-sama berpameran dengan Peter van Dongen.

”Menurut saya, saat ini adalah momen yang tepat untuk kebangkitan komik Indonesia. Melihat perkembangan film dan sastra yang kini bangkit setelah mati, komik Indonesia seharusnya juga bisa. Apalagi komik adalah hiburan yang gampang, murah, dan bisa dibawa ke mana-mana,” kata Dwi Santoso atau Anto Motulz, 33 tahun, yang berencana menerbitkan dua komik akhir tahun ini.

Lalu, ke manakah kiblat komik Indonesia? Ke komik Jepang atau komik Eropa. ”Saya sangat terpengaruh komik Eropa, khususnya karya Herge. Tapi adaptasi saya hanya sebatas visual. Isinya masih berpijak pada kondisi masyarakat Indonesia,” kata Motulz. Karya Motulz berjudul Kapten Bandung, yang di-tampilkan dalam pameran ini, pernah diterbitkan pada 1995.

Pada tahun-tahun tersebut pula, Indonesia pernah mengenal komik Caroq karya Thariq, yang kini juga sudah tak terlihat di peredaran.

Para komikus Indonesia sebetulnya punya ide komik yang menarik. Problemnya adalah infrastruktur pemasaran dan distribusi, serta ongkos untuk menerjemahkan yang jauh lebih murah (dari sisi produksi) dibanding membuat komik asli. Para komikus Indonesia harus berjuang menembus pasar itu untuk bisa me-lawan dominasi komik manga.

Lihatlah ide Beng Rahadian. Ia memamerkan karya berjudul Jalan Sempit tentang kehidupan kaum gay kelas bawah yang punya nuansa gelap. Tampaknya ini mewakili pendapat Beng tentang komik Indonesia. ”Ya, adaptasi mesti ada batasnya juga. Menurut saya, komik itu sifatnya pribadi sekali,” kata pria usia 30 tahun itu, yang menyatakan membuat komik sama asyiknya dengan mengamati kehidupan sosial Indonesia.

Motulz merasa agak sulit mendefinisikan komik Indonesia semestinya seperti apa. ”Sama seperti produk budaya lain, saya ingin tanya sebenarnya ada tidak sih film, musik, bahkan sinetron yang hanya mengandung ciri khas Indonesia. Saya rasa tidak ada,” ujarnya, meski secara teknis Motulz menyebut komik Eropa lebih realis dibandingkan dengan komik Jepang yang kaya akan distorsi gambar, seperti mata yang terlalu besar atau otot badan yang kaku bak robot.

Lalu, yang jadi masalah, mengapa komik Indonesia belum sepopuler komik terjemahan Jepang. ”Kalau ada komik baru, pasti dibandingkannya dengan yang sudah ada di pasar. Sementara pembaca inginnya komik yang bagus. Jadi, ya, saya sih optimistis satu saat komik Indonesia akan bangkit,” kata Beng, yang cukup produktif membuat komik strip dan diterbitkan di Koran Tempo.

Utami Widowati


Membuka Jejak Hitam Kolonial

Namanya Peter, Peter van Dongen, 39 tahun. Kemampuannya, ia sanggup menggambar peristiwa-peristiwa dengan setting enam puluh tahun yang silam, dengan presisi tinggi.

Peter lahir dan dibesarkan di Amsterdam, Belanda. Tapi, jauh di dalam hatinya ada sebuah tempat bernama Hindia-Belanda, negeri yang belum pernah dikunjunginya. Di sanalah tanah kelahiran ibunya, dan di sana pula kakeknya gugur dalam Perang Dunia II.

Dalam komiknya, Rampokan Jawa, ia mewakilkan dirinya yang gandrung Hindia-Belanda lewat tokoh Johan Knevel. Ya, di Jakarta, Peter van Dongen memamerkan dua karyanya, masing-masing dengan setting Jawa dan Sulawesi: Rampokan Jawa dan Rampokan Celebes. ”Buku tentang Hindia Belanda dan perang kemerdekaan Indonesia berpusat di Jawa. Dan ibu saya pernah tinggal di Makassar,” kata Peter.

Peter mengakui, komik adalah proyek pribadi. Dan ia memang pemuda yang punya keahlian itu. Karya pertamanya, Theatre of Mice (1990), mendapat penghargaan komik terbaik ”Stripschappenning” dari komunitas kartunis Belanda, pada 1991. Delapan tahun kemudian, 1999, ia kembali menerima Stripschappenning dan ”Prix du Lion” di Brussels karena bukunya, Rampokan Jawa. Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Peter.

Orang Belanda mengkritik karya Anda karena dianggap terlalu membela Indonesia. Bagaimana menurut Anda sendiri?

Begini, orang Indonesia yang saya maksud juga menyerang orang Cina, dan Jawa, pada tragedi 1998 setelah Soeharto jatuh. Bagi saya, manusiawi, setiap orang pernah membuat salah. Orang Belanda masih marah ter-hadap itu dan menjadi kritis mengenai apa yang mereka dengar dari Indonesia. Mereka kesal saya membuat buku era agresi militer. Saya membuka lembar-an hitam. Bagi generasi saya, lain, lebih baik dibuka perlahan.

Tentara Amerika yang ke Vietnam dan tentara Belanda yang ke Indonesia adalah penyerang. Dalam cerita, mereka digambarkan dalam sosok antagonis atau lelaki jahat. Maka-nya, saya mendapat reaksi negatif dari keluarga tentara Belanda yang sudah berperang.


Mengapa Anda membikin karya itu? Nostalgia?

Ya, ini nostalgia, ditambah saya tertarik pada sejarah Belanda-Indonesia yang masih menjadi lembaran hitam bagi sejarah Belanda.


Buku apa saja yang menjadi rujuk-an- karya itu? Buku Pramoedya Ananta-Toer?

Saya lupa, mengenai korupsi, perbudakan. Bukan tentang Jawa, tapi bisa menggambarkan bagaimana kehidup-an orang Indonesia di masa kolonial.


Tapi, mengapa Anda memilih cerita Belanda di Indonesia?

Karena dunia kehilangan manusia ketika nenek moyang kami datang, makanya saya ungkapkan dalam buku. Saya cinta Indonesia.


Ada banyak latar cerita dari Sulawesi. Bagaimana inspirasi itu tergali?

Ibu saya pernah menetap di Sulawesi, Makassar, pada 1947 hingga 1952. Ia memberi saya ide dengan cerita-ceritanya. Misalnya, ia mengalami saat Makassar dibom Angkatan Laut Indonesia pada Agustus 1950 dan itu akan saya cerita-kan pada prolog Rampokan Celebes.


Setelah melihat keadaan Indo-nesia, apa langkah Anda selanjutnya?

Saya belum pasti, masih mengerjakan subyek mengenai Indonesia, mungkin orang seperti ibu saya yang pergi ke Belanda. Ceritakan secara kilas balik.


Mengapa Anda begitu terinspirasi oleh karya Herge, pembuat komik Tintin itu?

Saya suka cara menggambarnya. Saya lebih terkesan lagi gaya bertuturnya. Karya The Blue Lotus membuka mata saya. Cerita politik, alur menggetarkan, memperlihatkan latar belakang budaya dan pendudukan Jepang di Shanghai selama tahun 1930. Menak-jub-kan. Gaya bercerita saya lebih modern, dengan penyuntingan cepat dan mungkin lebih rumit.


Apakah Anda puas dengan karya ini? Apa obsesi yang lain?

Saya puas, terutama pada versi Indonesia. Karena saya berasal dari akar Indonesia. Mungkin saya terobsesi, tapi saya seorang penyuka kesempur-na-an. Dalam gaya Herge, ada garis-garis tegas di mana kita memperlihat-kan detail, tapi sederhana. Pilihan tepat -untuk menampilkan gambar.


Kabarnya Anda senang berlibur mengunjungi Padang, Makassar, dan Toraja?

Saya masih berusaha menemukan bangunan di Jakarta dan Bukittinggi yang meninggalkan kenangan pada masa kolonial Belanda. Arsitektur -Belanda dari tahun 1920-1930, itu sejarah Indonesia. Berharap anak muda di sini menyukainya juga.


Photo: Cover of Tempo Magazine edition 30/XXXIV/19 - 25 September 2005

15 comments:

  1. Udah masuk Cek dan Ricek, jadi kalangan selebritis dong.

    ReplyDelete
  2. Cek n ricek? Ahahahahahahahahahahhaha selamat ya Jeng :D :D :D. *asik punya temen celeb* ahahahahah

    ReplyDelete
  3. Ampuun Ven :)) Gue kan nggamau menyaingi KoYo pujaan para tokoh antagonis! Huehehehehe...

    ReplyDelete
  4. wah saya juga datang ... tita yang mana ya?

    ReplyDelete
  5. saya nggak datang pas pembukaan pameran itu, juga hari2 berikutnya, sebab memang sedang nggak di jakarta :(

    ReplyDelete
  6. ow, begicu ya ... hihihihi .. salam kenal kalau begitu

    ReplyDelete
  7. habis ini dikejar2 pekerja infotainment sampai ke motorway di Belanda, mobilnya digedor...... sarah azhari banget :)
    jangan2 iwan meulia pirous dosen fisip ui yg nulis kehidupan seniman di surabaya & yogya itu anaknya ad pirous?

    ReplyDelete
  8. setau saya pak pirous punya dua putri, satu angkatan 88 dan satu lagi angkatan 92, dua2nya lulusan fsrd itb. iwan meulia, mungkin masih saudara, atau kebetulan hanya namanya yg sama.

    ReplyDelete
  9. iya.. makanya nih bela2in ngumpulin klipping-nya abis2an. salam kenal juga :)

    ReplyDelete
  10. wah, ngga bisa ngga mau... sudah dipilih soalnya.:D
    eh, mulai sekarang esduren harus latihan bilang "no comment".. kayak gayanya dessy ratnasari kalo ngadepin wartawan..

    ReplyDelete
  11. whahahahah.. mending "no comment"nya pake gaya jennifer anniston aja deh, lebih keren kali yaa :P (atau "no comment"-nya mike tyson, langsung gebug?! hihihi)

    ReplyDelete
  12. betul, ini agam-tia yang pernah di nottingham bukan ya?

    ReplyDelete
  13. betul, ini agam-tia yang pernah di nottingham bukan ya?

    ReplyDelete
  14. tepatnya: iwan anak ke dua, kakak-adiknya perempuan.

    ReplyDelete