Friday, September 9, 2005

Just keeping track.. [6] (Koran Tempo, Republika, The Jakarta Post, Stripschrift Online, Het Indisch Huis)



Many many thanks to Agam for copying the article from Koran Tempo in the previous journal.

Koran Tempo Jum’at, 09 September 2005
Budaya: Pameran Komik Aroma Eropa Memberi ruang bagi komikus aliran Eropa.

Jakarta -- Garis gambarnya bersih, tak terlalu banyak arsiran. Bagi Anda yang tumbuh remaja pada 1970 hingga 1990-an dan hobi membaca komik, tentu tak asing dengan proporsi gambar ini. Ya, karya komikus Belgia Herge, Tintin, ini begitu terkenal hingga memberi inspirasi bagi para komikus-komikus dunia.

Inspirasi bentuk gambar Tintin pun dengan setia ditekuni oleh Peter van Dongen, komikus Belanda yang tengah menggelar pameran komiknya di Erasmus Huis, Jakarta, hingga 30 September. Bersamaan dengan pameran ini, Peter juga meluncurkan buku komik Rampokan Jawa versi Indonesia di Tanah Air.

Komik Rampokan Jawa sendiri telah mengantarkan pria kelahiran 1966 ini meraih penghargaan Stripschappening, sebagai buku komik terbaik di Belanda pada 1999. Komik ini sempat menjadi kontroversi di negara asalnya karena banyak pihak yang keberatan dengan gaya penceritaan Peter yang terlalu membela Indonesia. Dalam komik ini, Peter menggambarkan perjuangan seorang pemuda Belanda, John Knevel, yang mencari jati dirinya di Hindia Belanda, tempat ia pernah dibesarkan.

Karena itu, dalam hajatan untuk memperingati 60 tahun Indonesia merdeka ini, Peter diundang untuk menampilkan beberapa halaman dari sketsa awal komik Rampokan Jawa yang masih berupa gambar hitam dan putih. Sementara itu, ditampilkan juga beberapa halaman lain yang telah diwarnai dengan warna cokelat, hitam, dan putih.

Selain Rampokan Jawa, Peter juga mengeluarkan Rampokan Celebes, sekuelnya pada 2004. Dalam pameran ini, sampul depan Rampokan Celebes pun turut ditampilkan. Selain kedua komiknya, Peter juga menampilkan beberapa gambar Hotel Rex di Batavia dan Medan dengan format gambar perangko.

Garis-garis zaman dulu begitu kuat melekat di karya-karya Peter. Warna yang dipilihnya pun cenderung kelam, seperti hijau lumut, cokelat tua, dan kuning lembut yang menyiratkan elegi masa lalu. Dia mengakui, masa lalu seolah menjadi obsesi tersendiri baginya. "Saya memang menyukai komik-komik yang bercerita tentang masa lalu, " tuturnya.

Gambar-gambarnya tentang kondisi Kota Batavia, Medan, Surabaya, dan Makassar ataupun gambar transportasi serta pakaian penduduk pun sangat mirip dengan kondisi saat itu, pada 1946. Menurut Peter, ia melakukan riset khusus agar hasilnya sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Dalam pameran yang menampilkan 40 item ini, Peter tak sendiri. Tampil pula karya empat komikus Indonesia yang selama ini menggeluti komik dengan aliran Eropa, yakni Anto Motulz, Dwinita Larasati (Tita), M. Cahya Daulay, serta Beng Rahadian. Berbeda dengan Peter, karya mereka berempat sarat energi kekinian.

Tita, misalnya. Satu-satunya komikus perempuan di pameran ini, menampilkan diary komik. Ia menggambarkan kegiatannya sehari-hari dalam bentuk sketsa, sejak bangun tidur hingga akan tidur. Di Belanda dan Eropa pada umumnya, bentuk komik yang dipilih Tita bukanlah sesuatu yang unik. Namun, di Indonesia tampaknya tak banyak yang cukup sabar menggambar bentuk-bentuk yang sama dalam jumlah banyak dan bertutur tentang kegiatan sehari-hari.

Sementara itu, komikus termuda, Cahya, menampilkan beberapa halaman dari komik Para Lodra. Komik yang bercerita tentang perjuangan ayah dan putranya dalam mencari arti hidup ini terasa diinspirasi komik-komik Indonesia masa lalu, seperti Si Buta dari Gua Hantu.

Sedangkan warna-warna cerah langsung menantang mata pengunjung dalam karya komik Motuls, Petualangan Kapten Bandung. Seperti Herge yang banyak memakai warna, Motulz pun menggunakan pakem yang sama, meski garis gambar mereka berbeda.

Komik pun bisa menjadi sarana ungkapan keprihatinan atas kehidupan sehari-hari. Karya Beng Rahadian, yang didominasi warna hitam dan putih, bertutur tentang kegalauan pria homoseksual dalam memandang orientasi seksualnya. Dari komik-komik inilah, kita bisa melihat bagaimana komik atau kartun tak harus selalu lucu. sita planasari a

And here's an article from Republika

Rabu, 07 September 2005
Komik Sejarah

Jawa, 1946
Berbekal kerinduan mendalam akan kampung halamannya, Johan Knevel, seorang pemuda keturunan Belanda, kembali ke Indonesia. Lima tahun menempuh pendidikan di Eropa, tidak menghapus kecintaannya terhadap tempatnya dilahirkan.

Setelah ditinggal mati orang tuanya, Johan bertekad menemukan Ninih, pengasuh masa kecilnya. Setiba di Indonesia, perjuangan Johan tidaklah mudah. Karena melakukan suatu kesalahan fatal, ia kemudian diburu.

Johan pun kemudian berkeliling ke kota-kota di Indonesia untuk menyelamatkan diri, sekaligus melakukan pencarian atas Ninih, dan dirinya sendiri.

Kisah di atas bukanlah peristiwa nyata atau resensi sebuah film. Ia adalah sebuah karya fiksi karya komikus Belanda, Peter van Dongen, berjudul Rampokan Jawa. Komik ini merupakan roman sejarah tentang pencarian identitas diri seorang pemuda keturunan di Indonesia.

Komik ini unik. Tidak banyak komikus yang bercerita tentang kisah perjuangan di masa lalu. Apalagi hal itu dilakukan oleh seseorang yang sama sekali tidak mengenal negeri yang dijadikan objek karyanya, seperti Peter. Pria blasteran Indonesia-Belanda ini hanya mengenal kampung halaman ibunya dari pelajaran di sekolah.

Bukan hanya itu, Peter lahir di Amsterdam pada tahun 1966. Sementara komiknya mengambil setting tahun 1946 atau kilas balik 20 tahun dari masa kelahirannya. Meski demikian, dengan fasih, Peter menerjemahkan kisah perjuangan bangsa Indonesia di masa silam. Bukan hanya kisah perjuangannya, arsitektur dan lansekap kota-kota Indonesia di masa itu ia gambarkan dengan detil.

Mengaku tidak pernah mengunjungi Indonesia sebelum menghasilkan Rampokan Jawa, karyanya patut diacungi jempol. Dengan gaya lukisan ala Herge--komikus Belgia favoritnya yang menciptakan karakter Tintin--- Peter berhasil menggambarkan dengan cukup akurat.

Misalnya gambaran pelabuhan Tanjung Priok kala itu, termasuk kawasan Pecinan di Glodok. Kemudian kawasan Batujajar di perbatasan Bandung, dan alun-alun Blitar dengan tarung macannya.

Van Dongen juga berhasil menggambarkan kehidupan masyarakat dengan baik. Bagaimana aktivitas pangkas rambut di bawah pohon, jual beli di pasar dengan segenap hiruk-pikuknya. Bahkan ia menggambarkan kostum orang Indonesia tempo doeloe seperti pria dengan sarung atau perempuan dengan kain dan kebaya.

Setting cerita dan kehidupan yang mendetil, diakui Peter, didapatkannya dari riset tujuh tahun di museum dan perpustakaan di Negeri Kincir Angin. Foto-foto dan dokumentasi tentang Indonesia yang banyak tersedia di Belanda, ikut sangat membantu proses penafsirannya atas Indonesia yang sangat terbatas.

Mengenai komiknya yang bertemakan sejarah, Peter mengaku penasaran sekaligus terkenang dengan masa lalu ibunya yang berasal dari Indonesia. Menurutnya, ini menimbulkan perasaan romantis sekaligus melankolis. ''Melihat komik ini juga seperti nostalgia, kembali ke masa lampau,''ujarnya, serius.

Sementara pemilihan Jawa sebagai lokasi cerita, diakuinya karena merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda saat itu, di samping banyaknya bangunan bersejarah yang indah. Namun dalam sekuel karyanya bertajuk Rampokan Celebes yang segera terbit dalam cersi Bahasa Indonesia, Peter juga memasukkaan alam kota di Sulawesi yang merupakan kampung halaman ibundanya.

Rampokan Jawa seakan kembali menghidupkan sejarah saat Belanda menginvasi dan menjajah Indonesia selama 350 tahun. Tak heran kalau komik ini, bukan hanya menarik minat komikus Belanda, melainkan juga mereka yang mengamati hubungan antara Belanda dan Indonesia saat ini.

Van Dongen mengawali karirnya tidak sebagai komikus. Bersama tiga orang saudara, termasuk kembarannya, ia sempat membentuk grup band. Namun karena keinginan melukisnya menggebu-gebu, akhirnya memutuskan menjadi komikus.

Awalnya ia membuat komik berjudul Muizentheater (Mice Theater) pada 1990. Berhasil mendapatkan penghargaan Stripschappening dari komunitas kartunis Belanda.

Menurut Direktur Erasmus Huis, Maarten Mulder, Peter sangat dikenal di Belanda. Karya-karyanya menghiasi surat kabar di Negeri Kincir Angin tersebut. Erasmus Huis, juga akan menggelar pameran karya Peter Van Dingen dan rekan pembuat komik Indonesia. (uli)


From The Jakarta Post:

Dutch colonialism in cartoon strip
Features - September 04, 2005

In honor of Indonesia's 60th anniversary of independence, Erasmus Huis will present the work of Dutch cartoonist Peter van Dongen. Young Indonesian cartoonists will also participate in the exhibition, scheduled from Sept.7 through Sept.30.
Van Dongen debuted in 1990 through the publishing of Muizentheater. A year later, Muizentheater (Theater of Mice) won an award from the Dutch society of cartoonists for Best Comic Book of the Year.
In 1998, Van Dongen published a book titled Rampokan: Java.

The tale about the independence struggle in the former Dutch colony of Indonesia (from where Van Dongen's ancestors came) was even better received than his debut.
It also won award for the Best Comic Book of the Year 1999 and also the Prix du Lion 1999 in Brussels.
The second and last volume, Rampokan: Celebes, was published in 2004.

Erasmus Huis, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3, Kuningan, Jakarta
Phone: (021) 524 1069
-- The Jakarta Post

From Stripschrift Online, a short article about the exhibition plan, before Peter left to Indonesia:

Peter van Dongen naar Indonesië

5 augustus '05 - 12:00 Op 6 september opent Het Erasmus Huis in Jakarta een expositie rond Peter van Dongen. Ook is een uitgever daar gestart met de productie van de Indonesische versie van Rampokan 1: Java.

De tentoonstelling maakt deel uit van een serie tentoonstellingen die in het teken staan van zestig jaar onafhankelijkheid. Het belangrijkste deel van de expo is afkomstig uit Rampokan, dat zich afspeelt ten tijde van de politionele acties. Na een maand wordt de tentoonstelling verplaatst naar de steden Semarang en Surabaya op Java.

De aandacht voor Rampokan valt samen met de viering dat zestig jaar geleden de latere president Sukarno en diens premier Hatta de onafhankelijkheid van Indonesië uitriepen. De Nederlandse regering accepteerde dit niet en stuurde militairen om de orde en rust te herstellen. Opmerkelijk genoeg zal Minister Bot van Buitenlandse Zaken als eerste Nederlandse bewindsman ooit op 17 augustus de viering bijwonen.

Rampokan 1: Java verscheen in 1998. Rampokan 2: Celebes zes jaar later, in 2004. Inmiddels is Java ook verschenen in Frankrijk en zijn er plannen voor uitgaven in Spanje, Italië, Duitsland en nu dus ook Indonesië.

Van Dongen zal medio augustus afreizen naar dat land.

Malariapillen al besteld, Peter?
Peter van Dongen: Ja, ik vertrek 12 augustus en zal er zes weken verblijven, want ik combineer het natuurlijk met mijn vakantie.

Hoe is deze expositie tot stand gekomen?
Ik kwam via Rob Malasch - ik exposeerde vorig jaar in zijn galerie Serieuze Zaken - in contact met de directeur van Het Erasmus Huis. Ze hebben daar regelmatig thema-exposities, en die directeur stelde voor om er samen met mij eentje in te richten rond zestig jaar onafhankelijkheid. Dat leek me geweldig en ik heb meteen contact gelegd met de groep Indonesische tekenaars die in 2002 op de Stripdagen Haarlem aanwezig was. Er komen ongeveer veertig werken van mij te hangen, de rest van de tentoonstelling wordt samengesteld door één van die Indonesische tekenaars.

Wat moeten we ons voorstellen bij die Indonesische versie van Rampokan?
Het is een heel kleine uitgever die het gaat doen en die wordt daarbij voor de vertaling financieel ondersteund door Het Erasmus Huis en de Nederlandse ambassade. De oplage bedraagt zo'n 3000 exemplaren. Ik hoop dat het eerste deel op tijd af is.

Er wordt gefluisterd dat er ook een schetsboek van je gaat verschijnen…
Ja, in het najaar zal er een soort archiefwerk uitkomen bij uitgeverij Oog en Blik. Alle beschikbare potloodschetsen van de pagina's komen er in te staan, maar ook het overige schetswerk, en foto's die ik heb gebruikt als documentatie. Heel bijzonder. AvO


From the website of Het Indisch Huis:

Indonesië toont interesse in Peter van Dongen's strip Rampokan

Het Erasmus Huis in Jakarta opent 6 september 2005 een tentoonstelling van striptekenaar en illustrator Peter van Dongen. De tentoonstelling maakt deel uit van een serie tentoonstellingen die in het teken staan van 60 jaar onafhankelijkheid. Belangrijkste deel van de tentoonstelling is afkomstig uit Van Dongens stripverhaal Rampokan dat zich afspeelt ten tijde van de politionele acties. Na een maand zal de tentoonstelling zich verplaatsen naar de steden Semerang en Surabaya op Java. Ook is een Indonesische uitgever onlangs gestart met het in productie nemen van het eerste deel van Rampokan: Java.

De aandacht vanuit Indonesie voor Rampokan valt samen met de viering dat 60 jaar geleden de latere president Sukarno en diens premier Hatta de onafhankelijkheid van Indonesie uitriepen. De toenmalige Nederlandse regering accepteerde de onafhankelijkheidsverklaring niet en stuurde daarvoor in de plaats militairen om de rust en orde te herstellen. Minister Bot van Buitenlandse Zaken woont op 17 augustus de viering bij. Het is de eerste keer dat een Nederlandse bewindsman op deze dag daarbij aanwezig is.

Rampokan Java verscheen in 1998, Rampokan Celebes zes jaar later in 2004. Inmddels is Java ook verschenen in Frankrijk en zijn er plannen voor uitgaves in Spanje, Italie en Duitsland en nu dus ook Indonesie. Jarenlang historisch bronnen- en beeldonderzoek zijn voorafgegaan aan de publicatie van beide delen. Het was altijd Van Dongens bedoeling het slotakkoord van de Nederlands-Indische geschiedenis zo nauwkeurig mogelijk te reconstrueren.

Rampokan: het verhaal Rampokan, een historische en psychologische roman over het verlies van identiteit en tempo doeloe. Johan Knevel, soldaat en vrijwilliger wordt verscheurd door schuldgevoel: tegen wil en dank staat hij aan de kant van de Indonesische nationalisten. Hij moet wel verraad plegen aan de Nederlandse zaak: dat is zijn enige kans om zijn baboe weer te zien en iets terug te vinden van zijn verloren Paradijs. Het is 1946, Nederlands-Indië (nog even) en de Tijger is los…

Dit tweeluik, Rampokan: Java en Celebes staat in het teken van het Tijgergevecht, de Rampokan. Volgens Javaanse traditie werden gevangen tijgers of panters - symbolen van het kwaad én de koloniale overheerser - ceremonieel gedood aan het einde van de Ramadan.
Peter van Dongen over Rampokan: " De huidige Indonesische jongeren zijn niet belast met het koloniaal Nederlandse verleden. Ze kijken juist onbevangen naar mijn boeken: ze zien 'Kuifje' maar tegelijkertijd herkennen ze ook plekken en gebeurtenissen uit hun geschiedenis."

5 comments:

  1. Loh sampeyan gak cerita sih kalau ikutan pameran (apa aku yang ketinggalan berita) :)). Angkat topi dah!!!. Kalau ada waktu aku mau ahh ngeloyor ke Erasmus Huis untuk lihat komik sampeyan..:)) Btw, rampokan jawa ini ada dijual gak sih di Indonesia?

    ReplyDelete
  2. cak, aku pancen ora kondo2 :P rampokan jawa itu dijualnya justru hanya di indonesia. coba deh cari ke toko2 buku besar spt gramedia.

    ReplyDelete
  3. wah, laen kali Tita pameran aku mau liat dooooooong! Kasih kabar ya!

    ReplyDelete
  4. Oh tentu Mer :) Katanya pameran yang ini mau dikelilingin ke kota2 di Jawa.. Yogya, Solo, ..? Aku juga lagi nunggu kabar dari Erasmus-nya..

    ReplyDelete
  5. Cak U, di Erasmus di jual tuh. Makanya buruan deh ke EH :D

    ReplyDelete