Thursday, September 15, 2005

Just keeping track.. [7] (Kompas, Suara Pembaruan)



Publication of Peter van Dongen's exhibition still goes on.


This photo is from Kompas, 15 Sept 2005 (thanks, Jenz)

Personally, I don't think this photo captures how interesting the exhibition really is (you can hardly see the main exhibition materials). I wonder if it really attracts people to come and see it.

Heh. I was being silly: I thought that photo is one big photo, but it's actually composed of two photos! I didn't put attention to the size of the big frames versus the size of the person's head. Duh. But anyway, the caption doesn't really match the photos (or the other way around). A reliable source (*ahem*) said that it could happen sometimes, when the designer (and/or editor) all of sudden decided to put on another photos, without realizing that they don't match the caption.



This one is from Suara Pembaruan, 11 Sept 2005


SUARA PEMBARUAN DAILY



Asyiknya Nonton Pameran Komik



HAMPIR sebulan penuh, dari 6 sampai 30 September 2005, berlangsung sebuah pameran komik di pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam pameran itu, tampil karya Peter van Dongen, komikus Belanda yang menampilkan cerita komik dengan setting Indonesia "tempo doeloe" dan empat komikus muda Indonesia.

Menyaksikan karya-karya mereka, ternyata menimbulkan keasyikan tersendiri. Apalagi bagi mereka yang hobi membaca dan sekaligus mengoleksi komik, karya-karya yang ditampilkan dalam pameran itu dapat menjadi alternatif pilihan di tengah maraknya komik-komik Jepang di Indonesia.

Karya Peter van Dongen, komikus kelahiran Amsterdam, Belanda, tahun 1966 menjadi lebih menarik diamati, karena kisahnya tentang Indonesia di masa lampau. Komikus itu terampil menyajikan detail dalam gambar komiknya, mulai dari bangunan, bentuk tubuh orang, sampai gaya busana, dan suasana masa lalu Indonesia pada tahun-tahun awal kemerdekaan RI, sekitar 1946.

Walaupun dia tergolong kaum muda Belanda yang lahir sesudah selesainya pendudukan Belanda di Indonesia, namun van Dongen mampu menampilkan masa lampau itu dengan hampir sempurna lewat goresan gambar komiknya. Selain dari kisah ibunya yang kelahiran Manado, Sulawesi Utara, dia juga mengadakan riset tahunan di Museum Institut Tropik di Amsterdam.

Soal komiknya yang mirip dengan komik Tintin buatan Herge, van Dongen mengaku bahwa dia memang amat menyukai Tintin. Sejak kecil dia senang membaca komik Tintin, dan berharap suatu hari bisa membuat komik seperti itu. Maka dari tangannya lahirlah komik-komik yang mengingatkan kita pada komik Tintin.

Van Dongen hanya salah satu komikus yang berpameran di Erasmus Huis. Selain dia, juga tampil Dwi Santoso yang dikenal dengan nama Anto Motulz dalam karya-karya komiknya. Komikus kelahiran Jakarta tahun 1972 itu mengatakan,"Menggambar dan melukis (memang) merupakan hobi dasar saya sejak kecil."

Komikus lainnya, Dwinita Larasati atau yang akrab dipanggil Tita. Dia juga dilahirkan di Jakarta tahun 1972. Berbeda dengan komikus lainnya, Tita yang kini sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Belanda, tampil dengan diary comic. Bila orang lain membuat catatan harian berbentuk tulisan, maka Tita membuat catatan harian dalam bentuk komik.

Muhammad Cahya Daulay atau Cahya yang lahir di Jakarta tahun 1978, merupakan komikus muda lainnya yang ikut berpameran. Cahya menggambar komik sejak masih duduk di bangku SMP. Dia pernah menerbitkan kartun Para Lodra, berkisah tentang seorang ayah dan putranya yang berusaha mencari arti kehidupan.

Satu lagi komikus yang tampil di pameran itu adalah Beng Rahadian. Pria kelahiran 1975 itu juga merupakan komikus yang produktif. Karya terbarunya Jalan Sempit, bercerita tentang seorang pria gay bernama Amet yang ingin menjadi seorang heteroseksual. Amet mulai menjalin hubungan serius dengan seorang perempuan bernama Mia. Pasangan gay Amet yang mengetahui hal ini, berusaha meneror Mia dengan kekerasan.

Komik memang bisa menceritakan segala hal. Seperti dikatakan van Dongen, bahkan soal politik dan ekonomi pun dapat dijadikan komik. Jadi ayo baca...eh...bikin komik. (B-8)




Last modified: 8/9/05





From Pasarbuku mailing list:
From: Bobby Bats
Date: Fri Sep 16, 2005 4:56 pm
Subject: Re: [PasarBuku] Penerbit gokil: Komik hardcover

Pak Pandu benar.

Komik "Rampokan Jawa" adalah salah satu buku berbahasa Indonesia terpenting di
tahun 2005 ini yang kudu dimiliki, bukan hanya oleh mereka yang mencintai komik
tetapi juga pemerhati sejarah. Makanya kondisi fisiknya sengaja dibuat tidak
terlalu jauh dengan versi londonya. Mewah dan wah (maksudnya bikin ngiler).
Penikmat buku sejati pasti bisa membayangkan macam apa pentingnya isi buku yang
fisiknya didesain dan dibungkus seperti ini. Jadi, niat penerbit serta pihak
pemrakarsa macam milis komik alternatif tentu saja patut diacungi jempol.

Pecinta komik lokal tahu betul kenapa mereka kudu punya buku ini. Gambarnya khas
betul macam coretan Georges Remy alias Herge, seperti yang diakui sang komikus
Peter van Dongen. Sangat detail dan serius. Bedanya, setiap bingkai yang
disuguhkan kental nian bercerita tentang bumi nusantara di awal abad ke-20.
Mulai dari pelabuhan, pasar, hutan, perkebunan, pertokoan semuanya menyuguhkan
sentimen keindonesiaan yang kuat. Tanpa sadar, Peter melakukan promosi
pariwisata untuk negeri ini lewat gambar-gambar buatannya di seantero Eropa.

Bagaimana pula hal menarik yang bisa ditawarkan untuk pemerhati sejarah?
Darah indo yang mengalir dalam diri Peter agaknya menjadi alasan kuat untuk
bercerita tentang negeri ini. Tahun 1990-an ia melakukan napak tilas, dan inilah
proses riset, jalan-jalan pulang kampung seraya mengumpulkan data. Bahan ini
pulalah yang kelak membuat "Rampokan Jawa" terasa fasih bertutur tentang negeri
ini tahun 1920an hingga 1940an. Setting besarnya sih tentang kembalinya rezim
oranye pasca Proklamasi kemerdekaan RI, namun setting recehannya amat memikat
mata. Tengok saja cerita tentang tentara Gurkha, tentara Belanda yang kader
komunis, aksi penghadangan konvoi tentara Belanda oleh gerilyawan Indonesia,
atau stereotip keturunan Tionghoa yang jadi pedagang. Ah, padahal dia orang
Belanda yang di mata orang Indonesia pasti alergi untuk bicara sejarah kolonial.


Begitulah. "Rampokan Jawa" tak sekadar mewah secara fisik, tapi juga secara
fakta dan coretan gambar. Peter dengan lincah menorehkan sepotong fiksi epik
negeri ini. Jika satu bingkai gambar bisa bercerita dalam seribu kata, tak
terkira lagi berapa kata mampu terucap dalam tebalnya "Rampokan Jawa" yang
kebetulan tidak diberikan nomor halaman ini...

1 comment:

  1. u huy, sudah ada doktor membahas komik, sekarang komikus menjadi doktor!

    ReplyDelete