
It's been a while, hasn't it...
Magno radio is nominated for People's Design Award by Cooper-Hewitt [National Design Awards]. I'd encourage anyone to vote for it not simply because it is the only product from Indonesia that manages to enter this nomination, ever. And not merely due to my familiarity to the product and the designer. But beyond all these, like I said in my comment at the voting site, it is (design) sustainability at the term's most noble meanings!
Comparison of values between firewood and a Magno wooden product 


Dear teman-teman, terima kasih banyak atas perhatiannya atas kasus plagiasi gambar saya. Hari ini sudah terjadi pertemuan dengan pihak RadNet, dan kasus ini sedang ditindak-lanjuti sesuai rencana. Untuk sementara, sejauh ini yang dapat saya beritahukan kepada teman-teman semua, karena proses sedang berlangsung. Kolom komentar di entry terdahulu untuk sementara ini juga saya set ke disabled, sampai kasus terselesaikan dengan tuntas. Mohon dimaklumi :)Oleh Herlambang Jaluardi
"Komik saya, ya terserah saya." Kira-kira begitulah ujaran yang pantas disematkan kepada komunitas pembuat komik di Bandung saat ini. Pakem baku komik dibenturkan dengan semangat "semau gue" itu.
Garis kaku panel untuk membatasi suatu adegan tidak lagi menjadi suatu keharusan. Susunan adegan dibiarkan berserak di setiap lembar. Gaya ini tampak di dua komik karya Tita Larasati: Curhat Tita dan Transition. Komiknya tidak tebal sampai ratusan halaman. Gambarnya pun masih menyisakan arsiran-arsiran bolpoin dan tidak diwarnai, seperti sketsa yang belum selesai. Hanya sampulnya yang penuh warna.
Cerita kedua komik ini sederhana dan tidak bermaksud melucu ataupun menggurui. Benar-benar hanya menceritakan kehidupan sehari-hari Tita dan keluarga serta lingkungan tempat mereka tinggal.
Kalaupun ternyata ada kegetiran dan kelucuan, memang kedua unsur itu lazim ada di setiap fragmen hidup, termasuk Tita. Karena itu, ada tulisan "graphic diary" di setiap sampul komik yang diterbitkan CV Curhat Anak Bangsa tahun 2008 ini.
Dalam kata pengantar komik Curhat Tita, Tita menuliskan, pada mulanya ia menjadikan gambar sebagai "bentuk laporan" kegiatan sehari-hari di sebuah keluarga saat magang di Jerman tahun 1995. Ia mengirim gambar itu kepada orangtua di Jakarta melalui faksimile. Lembaran faksimile ini kemudian difotokopi untuk dibagikan kepada sanak saudara.
Kebiasaan berkirim gambar ini terus berlangsung hingga ia beralih menggunakan buku sketsa. Hal ini membuat pengarsipan gambarnya lebih terjamin. Gambar-gambar itulah yang terangkum di Curhat Tita.
Ayam goreng kampung
Kejadian yang ditemui sehari-hari juga menjadi sumber ide bagi Erick Sulaiman. Sebagian kecil karyanya terangkum dalam Perpustakaan Sketsa: Kumpulan Komik Strip Gila terbitan PT Kumata Indonesia (Desember, 2007).
Pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Nasional ini menjadikan hal biasa menjadi lebih komikal. Di jalan-jalan Kota Bandung, Erick kerap melihat menu makanan ayam goreng kampung. Frasa itu memberi rangsangan untuk membayangkan seekor ayam yang sedang menggoreng sebuah perkampungan. Itulah yang ia gambar menjadi komik strip.
Naif dan bermuatan lokal seakan menjadi ciri karyanya. Salah satu komik stripnya menceritakan keluarga Bodo (keluarga kelinci) sedang berwisata di Lembang. Dalam perjalanan mereka berhenti mengisi perut. Setelah menemukan warung, mereka makan dengan lahap, dan bahkan akan menambah. Niat dibatalkan setelah mereka tahu bahwa yang mereka makan adalah daging kelinci. Era internet
Komikus bernama pena Ivy Black mengambil tema keseharian yang lebih ekstrem daripada dua komikus tadi. Ia menerbitkan komik tentang hubungan cinta sesama laki-laki dengan judul Sunset Glow.
"Seru aja melihat hubungan sesama laki-laki itu," kata perempuan kelahiran Bandung ini. Ivy melabeli komiknya dengan batasan umur 18 tahun ke atas. Ia mengaku terinspirasi dari film kartun tentang homoseksual yang banyak beredar di internet. Internet pula yang dipilih Ivy sebagai salah satu media berpromosi.
"Aku enggak mungkin menjual komik terang-terangan. Lewat internet dan jaringannya, orang bisa menghubungi kalau ingin mendapatkan komik aku," kata Ivy yang punya beberapa alamat situs web ini.
Dunia maya
Dunia maya juga menjadi ruang bagi Tita dan Erick memublikasikan karya mereka dengan segera. Halaman web Tita menampilkan beberapa karyanya yang belum dipublikasikan dan mempromosikan dua komik yang sudah terbit. Begitu juga dengan web milik Erick.
Bahkan, komik strip yang sudah dicetak awalnya sudah ia pajang di web-nya. Setelah versi cetaknya terbit, ia menghapus komik itu. Kini, beberapa komik baru pun sudah ia unggah dan bisa dibaca pengunjung web. "Nantinya, komik baru itu juga akan dihapus kalau sudah dicetak," kata Erick.
Memajang karya di internet bagi Erick adalah upaya "memasarkan" namanya sebagai komikus. Pembajakan karya yang rawan terjadi di jagat maya pun tidak ia hiraukan. "Semakin banyak orang men-download komik saya dari internet, semakin banyak orang yang mengakui karya saya," katanya.
Begitulah, jagat per-komik-an di Bandung terus bergulir dengan menerbitkan "komik-komik" baru di setiap generasi.
Tadi siang, di sebuah kantor dinas di Bandung:





| Start: | Oct 18, '08 10:00a |
| End: | Oct 19, '08 10:00a |
| Location: | bandung, jakarta, surabaya, semarang, medan |

| Start: | Nov 7, '08 10:00a |
| End: | Nov 8, '08 5:00p |
| Location: | Auditorium CCF Bandung |
| Start: | Oct 14, '08 10:00a |
| End: | Oct 31, '08 5:00p |
| Location: | Galerie Esp’Art – CCF Bandung, Jl. Purnawarman 32 |
Kumpul-kumpul keluarga dari pagi hingga sore di hari pertama Lebaran rupanya tidak menyurutkan semangat saya dan beberapa saudara untuk bertemu lagi pada malam harinya. Kali ini tujuannya adalah untuk mencoba makanan di Pasta de Waraku, Grand Indonesia. Para sepupu yang beberapa kali melewati tempat makan ini sudah lama tertarik mencoba, karena melihat display model hidangannya pada dinding, yang memang sangat membangkitkan selera. Kami (total sebelas orang, termasuk anak-anak) harus menunggu selama satu jam untuk mendapatkan tempat duduk. Tapi satu jam ini sepertinya tidak menjadi soal untuk anak-anak, yang melewatkannya dengan bermain di berbagai fasilitas pada playground di lantai yang sama.
Sekilas, saus plum itu mirip segumpal selai kental, yang kalau diratakan ke sekujur spaghetti meninggalkan semburat merah di tengah-tengah hijaunya saus basil yang lebih dominan. Taburan nori yang ikut teraduk dan parmesan memeriahkan warna hidangan ini. Ketika mengicipi, rasa curiga saya bahwa bakal ada kesan anyir ikan tidak terbukti. Pastanya rasanya bahkan lebih ‘ringan’ dari pasta Italia, apalagi dengan adanya senggolan saus plum yang asam-manis dan saus basil yang tidak seberat pesto, meskipun rasanya mirip.
Saya dan adik berbagi Maccha Parfait (33K), sementara yang lain memesan Fruit Parfait (28K), Oreo Banana Parfait (28K), Petit Ice Cream (35K), Maccha Monaka (20K) dan Vanilla Monaka (20K). Petit Ice Cream adalah lima macam es krim berukuran mochi bite-size, Maccha dan Vanilla Monaka masing-masing adalah satu scoop es krim rasa green tea dan vanilla yang ditangkup wafer bundar, membentuk ‘ice cream burger’. Oreo Banana Parfait adalah es krim vanilla yang tercampur hancuran Oreo dan selingan irisan pisang. Mirip dengan Fruit Parfait, yang tentunya didominasi oleh irisan buah segar. Maccha Parfait tersusun dari cereal pada dasar gelas, es krim vanilla dan green tea, dengan topping wafer, irisan strawberry, red bean paste dan rice dumpling. Pas banget, semua rasa dari hidangan utama hingga dessert menyatu dengan akur, diselingi dengan ocha dingin yang bisa terus di-refill.
Pasta de Waraku