Thursday, May 10, 2007

Upah Makan Siang: Rp. 10.000,-/orang/hari



Pada tau nggak, bahwa ada peraturan baru dari pemerintah (mulai berlaku Januari 2007), bahwa PNS (Pegawai Negeri Sipil) sekarang harus tanda-tangan absen tiap hari utk dapet uang makan siang sebesar sepuluh ribu rupiah? Ini berlaku juga utk lingkungan kerja saya, sebagai dosen di ITB (nevermind about becoming a BHMN, we're all still expected to be PNS).

Setiap hari kami disodori map berisi daftar nama untuk ditanda-tangani. Mau nggak mau, hanya para dosen yg hadir di kampus (or, to be more precise: di kantor Kelompok Keahlian/KK masing2) yang berhak mendapatkan upah makan siang ini. Jadi pada akhir bulan, daftar tanda tangan ini dihitung2, dijumlah2kan, dan para dosen dipersilakan mengantri di kantor fakultas utk mengambil sejumlah uang tsb. Katakanlah dalam sebulan si dosen hadir setiap hari kerja, berarti Rp. 10.000,-/hari x (4 minggu x 5 hari/minggu) = Rp. 200.000,-. Padahal belum tentu dalam sebulan itu si dosen hadir penuh, jadi rata2 jumlah yg diambil adalah sekitar 150-170ribu.


Mind you, uang ini harus diambil sendiri oleh ybs. di bagian keuangan kantor fakultas, tidak boleh dikuasakan, tidak bisa ditransfer ke rekening bank masing2. Tidak boleh diambil secara kolektif oleh pegawai admin KK utk kemudian diserahkan kepada ybs. di ruang KK masing2. Harus diambil pada saat yg ditentukan pada bulan itu juga, sebab bila tidak, akan hangus(!).

Jadi masalahnya di mana?
1. Perihal uang makan itu sendiri. Kalau memang masing2 PNS berhak atas uang makan siang sebesar 10K/hari, kenapa tidak langsung dimasukkan ke gaji saja?
2. Perihal daftar hadir. Apakah hadir setiap hari itu menjamin produktivitas seseorang? Dan hanya para pencil-pusher semacam ini kah yg 'layak' diberi imbalan makan siang?
3. Perihal resiko 'bocor'. Dalam prosedurnya, tentu saja banyak peluang utk melakukan kecurangan. Tanda-tangan? Ah, bisa nitip. Nggak diambil sampai akhir bulan? Berarti jatah hangus - tapi uangnya terus ke mana?
4. Perihal buangan waktu dan limbah. Setiap hari ada lembaran2 kertas A4 (tidak bolak-balik) utk absen dosen. Berapa rim habis utk satu kampus dalam sebulan? Utk sekian ratus instansi di Jawa Barat? Di seluruh Indonesia? Lalu tenaga yg merunut dan menghitung tanda-tangan masing2 PNS.. berapa jam waktu terbuang utk hal remeh-temeh ini?
5. dll, bikin kesel kalau dirunut semua.

Perlu diingat bahwa kebijakan ini berlaku utk PNS di seluruh Indonesia. Bayangkan PNS di sektor2 lain, dengan tingkat yg berbeda2. Bisa2 jatah mereka jadi sasaran empuk oknum2 administrasi dan para personel di lingkungan kerja mereka. Ditipu2, dihalang2i dan dipersulit utk memperoleh haknya - padahal mungkin sekali 10ribu itu adalah sangat berharga bagi mereka.

Bukan berarti saya nggak menghargai uang, seberapapun jumlahnya. Tapi prosedurnya ini sama sekali nggak smart dan sama sekali tidak elegan. OK, coba kita go with the flow. Sekitar dua minggu lalu saya dan dua orang rekan kerja berniat mengambil hak kami utk bulan April. Di bagian keuangan, ada satu map berisi daftar nama para dosen (menurut abjad), di sampingnya terdapat jumlah hari kehadiran masing2, keterangan jumlah uang yg berhak mereka peroleh, dan terakhir adalah kolom tanda-tangan setelah uang diambil.
Ketika tiba giliran saya, terlihat bahwa nama saya, jumlah hari dan uang telah tertera pada map, tapi dicoret habis (pakai pensil!). Menurut mereka, saya belum berhak mendapat jatah makan siang ini karena gaji saya belum 'jalan' (it's true, saya belum juga digaji oleh ITB karena masih harus menunggu SK dari Dinas Pendidikan Nasional utk 'meresmikan pengembalian saya sebagai PNS di ITB').

Tentu saja ada pertanyaan, "Kok dicoret? Siapa yg nyoret?"
Kata mereka, "Dari atas sudah dicoret, Bu"
"Kalau dari atasnya tidak disetujui, mestinya kan namanya juga belum ada, dong? Ini kok tertulis jelas, dengan detail jumlahnya sekaligus?"
"Yah.."
"Uangnya ke mana dong? Masa ditarik lagi?"
"Ya nggak ada, Bu"
Terus terang saya risih dan malas utk mempersoalkan uang segitu. Makanya nggak saya perpanjang lagi, dan bersama rekan2 tadi, keluar dari kantor fakultas dengan penuh tanda-tanya.

Please, people, I have more important things to do and think about. I value my time and thus prefer to not make a fuss over this petty business. I just wish our government makes no more silly -no- stupid regulations!




23 comments:

  1. Miskin sekali kita akan ide. Pernah kepikir nulis hal ini ke koran kampus?

    ReplyDelete
  2. sepertinya peduli akan nasib PNS kecil... tapi yang tetep 'ngakal' untuk dapet jatah? Tapi mudah2an memang kalo uang yang angus itu bener2 di simpan lagi ya, untuk menghemat uang negara dan biar yang membutuhkan saja yang pasti ngambil *yg udah kaya mungkin males ngambil dengan antri :D*

    Untuk penghematan kertas, diusulkan untuk memakai kertas yang sudah terpakai saja, mis. bekas print gagal dll. <- meski ini di perusahaan saya skg ada aturan kudu dihancurkan dengan mesin shredder

    ReplyDelete
  3. Ini ITB lho, bagaimana orang2 ITB nggak bisa mengatasi, memperjelas dan mempermudah situasinya?? Harusnya kalau memang nggak "proper", boss-boss di ITB udah protes duluan dan mengusulkan sistem yang lebih jitu, minimal untuk diberlakukan di ITB, walaupun uangnya kecil. Misalnya ditransfer ke Bank. Jadi gak perlu antri dan buang waktu. Kasian Tita ... serba tanggung situasinya ya ... namanya "tertera" tapi "nggak ada" ... aneh banget!!!

    Di universitas tempat aku kerja, semua tunjangan di luar gaji muncul begitu saja dalam bank account, kalau ada yang aneh semuanya bisa dicheck di bagian keuangan di rektorat dan bisa diprotes. Untuk yang penting2 mengenai tunjangan ini kita menandatangani surat di sekretariat anytime kita ke sana (gak mesti antri di waktu yang ditentukan). Universitas ini punya 50.000an mahasiswa dan lebih dari 600 professor, jadi cukup sibuk manajemennya, tapi lancar-lancar aja.

    ReplyDelete
  4. Plon, gak usah merasa nggakenak karena merasa terganggu dengan prosedur rese gara2 duit cebanan ya...
    Pertanyaannya kan bukan masalah dirimu menghargai uang ato tidak, justru nih, pertanyaannya: negara menghargai pegawai negri sipilnya berapa?
    Ceban itu kan uang makan supir sekali makan, kalo nganterin nyonya belanja, itu juga supir dapetnya paling nggak 2x sehari kan, sekali lagi uang ngopi, ato makan malam kalo nyetirin sampe acara kondangan?
    Ceban untuk uang makan dosen? Masih dipersulit lagi? Berapa sih ceban kalo dibandingkan dengan gaji anggota DPR?
    Ceban, untuk dosen yang menghabiskan tahun-tahun menimba ilmu, agar bisa mendidik kaum intelektual bangsa, tak perduli beratnya birokrasi yang menghalang?
    Ceban, untuk dosen, masih dipersulit? Emang keterlaluan!

    ReplyDelete
  5. Negeri ini penuh anomali ya Mbak Isti. Penghargaan yang nggak sepadan dengan pengorbanan. Manajemen dan mental yang nggak sejalan ... banyak makan ati ...

    ReplyDelete
  6. Gilee yee..peraturan dimakan sendiri.. *dooh dari yg perintil2 kayak kertas aja udh makan duit, wasting time buat bikin daftar... then masih di persulit kalo pas udh wktnya kudu bayar uang makan orang*

    ReplyDelete
  7. Makanya, salut banget sama yang masih punya idealisme jadi pendidik, yang dengan konsekuen menjadikan dirinya teladan.
    Ingat cerita seorang teman, yang meliput pemboman kedubes di Paris. Pejabat yang datang dari Jakarta, lebih perduli untuk shopping di Lafayette, daripada menengok sang korban, bangsa sendiri yang jadi pegawai kecil di negeri orang. Itu pejabat, yang mendengar jumlah gaji mereka saja sudah terlongo saking besarnya, plus ongkos pesawat dll ke Paris, hanya untuk belanja tas dan jam tangan di Lafayette? Menggunakan pegawai kedubes yang habis dibom untuk jadi ajudan belanja? Plis deh...

    ReplyDelete
  8. itulah yang terjadi kalo ITB tetap "dikuasai" oleh orang picik dan bodoh....

    ReplyDelete
  9. ta, kali cuma di fsrd. di sappk, uangnya langsung ditransfer kok. gak pake ngantri segala di kantor fakultas. walopun emang tidak banyak, ya lumayanlah buat ngafe dan bayar pulsa.

    ReplyDelete
  10. walalala.. tambah malu2in.. kalo bener begitu ya... atau mungkin masih jaman batu? lom tau kl duit bisa di transfer?? hihihi

    ReplyDelete
  11. Ibu cuma bisa bilang CKCKCKCK........... Kalau berlaku umum ya memang bener itu tingkat pendidikan tinggi lo, kalau di tingkat menteri namanya 'dana non-budgeter', terus akal-2an jijik apalagi ya? setelah cebanan (ambil istilah mbak Isti) ini? Makanya kalau mau 'bersih' ya memang harus profesional, coba kalau udah jadi orang macam Srihadi, Nyoman Nuarta, dll yang masih banyak itu, ga usah lah mikirin 'cebanan; itu ya Ta? Tapi memang perlu waktu dan modal dasar: SABAR ya Ta? Sambilberdoa, kapan "orang-2 itu" (siapa?) takut sama Tuhan ya? Secara ibu dapet jatah rumah aja bp suruh balikin, sbb kita kan udah punya jatah (dari Bp) biar jatah ibu buat PNS lain yang 'lebih butuh'. Nah ibu mikir, butuh itu kan relatif, sampai berapa? Hehehe. Yo wis lah, habis tenaga dan pikiran mikirin 'aturan yang tidak teratur' di bnegeri RI yang tercinta ini.......sabar.sampai kapan?........jadi pertanyaan selama hayat dikandung badan (termasuk para pensiunan itu).

    ReplyDelete
  12. Untuk topik ini, saya sudah kritik keras di milis dosen. Kelihatannya kritikan saya masuk ke pimpinan karena saya lihat ada surat menyurat dari bos yang di dalamnya ada (lampiran?) kalimat-kalimat saya. he h ehe. Maksudnya surat pimpinan itu mencoba membahas kritikan saya. Welah. (Ada banyak point yang saya sampaikan di sana. Kalau mau, nanti bisa saya emailkan. Eh, ikut milis dosen kan? Seru di sana!)

    Memang di pusat sana, kayaknya saya ini jadi enemy #1. Padahal maksud saya bukan begitu. Maksud saya kalau memang mau melakukan sesuatu, lakukan dengan benar. Jangan "dolanan". Hanya sekedar formalitas dan sekedar mengikuti aturan. Yang terakhir ini saya sebut menjadi robot. (Dan mereka marah lagi.) ouch.

    Soal nggak digaji, kayaknya kita seperahu. Bahkan gaji saya sudah berhenti sejak 1998 :) he he he. But I am still around on campus and even teach. Rezeki mah gak bakalan salah alamat. I am just doing it for fun.

    ReplyDelete
  13. Terima kasih semua atas tanggapannya :)

    so: oh gitu ya? memang seharusnya regulasi ini bisa diterjemahkan dengan lebih pandai oleh para pejabat fakultas, bukannya main nurut aja. yg protes bukan hanya saya kok, jadi mudah2an segera bisa ditindak-lanjuti (tapi gini aja masa nunggu protes dulu, bukannya inisiatif sendiri.. kan buang2 waktu aja)

    p'budi: inbox yg milis dosen sudah lama nggak saya tengok, pak - terakhir ya cuma utk posting ttg insiden sepeda.. hehe.. para 'robot' itu sebenernya mungkin hanya memilih utk hidup damai saja dan mengesampingkan ketidak-nyamanan :D setuju, pak, rezeki nggak akan salah alamat.. thanks, that's very encouraging

    ReplyDelete
  14. wah rumit ya.. good luck tita!

    ReplyDelete
  15. lieur...lieur......loba pisan tetekbengekna tapi tidak ada hasilnya....

    ReplyDelete
  16. Mbak Tita..
    Saya baru sadar kalau Mbak udah pulang ke Indonesia. Kapan mulai tinggal di Bandung, Mbak?

    ReplyDelete
  17. Sejak Februari 2007. Wah.. tau2 udah 4 bulan aja..

    ReplyDelete
  18. lho mbak, kalo pacarku kok dapet jatah makanan di kantinnya ya? Ada jamnya juga gitu, lewat jam 1 nggak bisa makan...

    ReplyDelete
  19. aku udah denger masalah ini juga karena sebagian temen2 kantor aku adalah PNS. Wah emang banyak pertanyaan2 dibalik hal ini ya? tapi seperti biasa pertanyaan yang gak bisa dijawab ya... sedihhhh

    ReplyDelete
  20. bisa jadi six sigma project yang menarik nih...

    ReplyDelete
  21. kalo aku sih udah ga peduli... sudah sering aku 'luput' ngisi absen tersebut. dalam minggu ini saja sudah beberapa hari nggak keburu tanda tangan, karena bolak balik ke kelas, S2 dan kuliah S3. Balik2 ke Kriya, daftar absennya sudah 'dijemput' petugas. ya, sudah... makan tuh duit..! duit makan yang entah dimakan siapa...

    ReplyDelete
  22. wah, bang bataviarose juga ngejalanin six sigma buat management yah ....

    rumit, karena yg ngejalanin orang :D

    ReplyDelete