Thursday, April 17, 2008

[klipping: Pikiran Rakyat] Tita Larasati: Alternatif Baru Dunia Komik

http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=19174

Tita Larasati, Alternatif Baru Dunia Komik

Ada beragam cara menuangkan pemikiran dan pengalaman pribadi dalam hidup. Banyak orang memilih media kata, misalnya, membuat puisi, lirik, hingga tulisan curahan hati (curhat) biasa, yang disimpan di jurnal pribadi atau mungkin dipublikasikan di blog. Sama halnya dengan Tita Larasati, ia pun ingin curhat tentang kisah kesehariannya, dari yang membahagiakan, menyedihkan, sampai memalukan. Yang berbeda, ia mengekspresikannya melalui gambar komikal yang unik dan lucu.

Jumat (11/4) lalu, Tita meluncurkan graphic diary berjudul Curhat Tita di Galeri Soemardja ITB, Bandung. Sebelumnya, ia juga menggelar acara serupa di Toko Buku Aksara, Jakarta, beberapa waktu lalu. Lulusan S1 Desain Produk FSRD ITB angkatan 1991 ini memang tengah giat memperkenalkan karyanya, yang boleh dibilang sebuah tawaran baru bagi dunia cerita bergambar (cergam/komik) Indonesia.

Jurnal pribadi yang diterbitkan untuk umum, sudah cukup unik. Ditambah tampilannya dalam bentuk gambar komikal, menjadikan karya Tita menarik diketahui lebih jauh. Di Indonesia, karya semacam itu belum lumrah. Maka, Curhat Tita ini boleh jadi adalah graphic diary pertama yang diterbitkan di Indonesia.

Berbeda dengan di luar negeri, graphic diary dalam berbagai format dan gaya sudah banyak beredar di toko buku. Dalam kesempatan bedah bukunya, Tita pun sempat berpresentasi memperlihatkan karya-karya dengan tema serupa, yang sudah diterbitkan di negara lain.

Menarik mendengar cerita tentang motivasi dan proses Tita dalam membuat buku harian bergambarnya. Mulanya tahun 1995, ketika itu perempuan bernama lengkap Dwinita Larasati ini tengah melaksanakan program magang di Jerman. Dipicu rasa rindu dan keinginan keluarga yang ingin tahu kabarnya di negeri orang, ia pun rutin mengirimkan kabar harian melalui mesin faksimile, sebab teknologi internet belum musim. "Tadinya mau nulis cuma kayaknya ’garing’ aja, jadinya ngirim gambar deh," kata perempuan kelahiran Jakarta, 28 Desember 1972 itu, membuka obrolan dengan Kampus ketika bertandang ke rumahnya beberapa waktu lalu, seraya tersenyum.

Gambar yang dikirim berisi rupa-rupa kisah Tita bertemu orang baru, makanan baru, hingga tempat baru di Jerman. Tita yang suka menggambar sejak kecil ini terkadang juga mengirim selembar kertas yang memuat rangkaian kegiatannya berhari-hari, sehingga ukuran gambarnya pun kecil-kecil. Apa pun itu, yang jelas kiriman kabar bergambar dari Tita, menimbulkan kesan tersendiri bagi keluarganya. Gambar-gambar itu pun kemudian dikumpulkan dan diperbanyak, sehingga bisa dinikmati keluarga besar dan teman-teman Tita di tanah air.

Selepas lulus ITB, tahun 1998, Tita pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi S2 di The Design Academy dan S3 di Delft University of Technology, kemudian baru kembali ke Indonesia tahun 2007. Jika 9 tahun lalu ketika berangkat ke Belanda, status Tita masih S1 dan lajang, maka sekembali dari sana ia bertitel doktor dan menjadi ibu dari dua anak --Dhanu dan Lindri. Tita menikah dengan lelaki berkebangsaan Belanda, Sybrand, tahun 1999. Kesibukan Tita kini jadi dosen di almamaternya. "Sebelum ke Belanda memang sudah diangkat (jadi dosen), makanya memang harus pulang. Lucunya, waktu berangkat cuma bawa satu koper, tapi pulangnya bawa satu kontainer," cerita Tita diiringi derai tawa.

Kebiasaan menggambar sewaktu di Jerman, semakin dirutinkan saat Tita berada di Belanda, bahkan sampai ia kembali ke Indonesia dan melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Tita telah mengumpulkan lebih dari 100 lembar kertas A4, dan lebih dari tujuh buku sketsa berukuran A5 yang memuat gambar-gambarnya, yang kemudian diseleksi menjadi Curhat Tita. Saat internet mulai berkembang, gambar-gambar itu pun kemudian turut di-upload di blog pribadi Tita (http://esduren.multiply.com).

Sesuai dengan judul bukunya, Curhat Tita, maka buku ini murni berasal dari kisah kehidupan Tita. Sampul depan bukunya pun memuat gambar Tita, yang memperlihatkan dirinya sebagai perempuan yang suka berpenampilan dengan celana jin, kemeja kotak-kotak, dan sepatu gunung. "Saya hanya ingin membuka jenis lain alternatif cergam yang berdasarkan cerita nyata keseharian, sebab cergam bukan hanya fantasi, superhero, dsb.," kata Tita.

**

Tita menjelaskan, karya berupa buku kumpulan sketsa atau catatan harian bergambar berbasiskan kehidupan nyata, sudah menjamur di Eropa dan Amerika. Tita menyebutkan beberapa komikus yang dianggap menjadi sumber inspirasi pengembangan graphic diary-nya. Antara lain, Eddie Campbell (Skotlandia), Marjane Satrapi (Iran), Peter Pontiac (Belanda), Joulie Doucet (Prancis), dan Chris Ware (Amerika Serikat). Para komikus ini memiliki semangat dan percaya diri tinggi untuk mengembangkan seni bertuturnya. "Saya jadi merasa yakin setelah melihat karya mereka. Oh, ternyata ada juga ya tempat untuk saya," kata Tita.

Bagaimana kebiasaan Tita dalam menggambar? Ternyata ia memilih kejadian yang menjadi highlight per hari, untuk digambar. Agar tidak lupa, ia kerap mencatat kejadian atau inspirasi yang hinggap itu di jurnal pribadinya. Tita juga biasa menggambar cepat dan sering tanpa dihapus. Itu dilakukan Tita ketika ingin santai sejenak di tengah kesibukan pengerjaan tugas kuliahnya.

Tita mencatat romantika, tragedi, maupun komedi dunia hariannya. Ada yang menceritakan keikutsertaannya dalam senam hamil, bagaimana keluarga mereka setelah pindah ke Bandung, aktivitas Tita saat di rumah dan mengurus anak, pengalamannya mengajar, hingga anaknya yang mempertanyakan perbedaan warna kulitnya yang putih --dibandingkan dengan teman-teman sekolahnya.

Budayawan Yasraf Amir Piliang, yang juga memberi pengantar dalam buku ini, menyebutkan bahwa karya Tita mengangkat kembali nilai keseharian, yang mungkin dianggap remeh, tapi dapat terasa signifikan ketika tertuang dalam bentuk cerita gambar.

Ulah Danu dan Lindri yang kerap "ajaib" khas kebandelan anak kecil juga mewarnai Curhat Tita, dan membuat kisahnya jadi lebih hidup. "Keluarga, khususnya anak, memang sumber inspirasi saya. Kalau mereka sudah besar, saya akan tunjukkan kepada mereka, begini lho, kenakalanmu dulu," ungkap Tita seraya tertawa.

Tidak semua gambar Tita memiliki balon teks. Ada juga yang hanya gambar, namun ternyata sudah cukup bercerita. Gambar Tita juga seolah tak banyak mempertimbangkan segi layout dan estetis. Itu terlihat dari tidak adanya panel yang mengurung gambar dalam kotak. Di buku sketsanya, halaman kiri dibiarkan kosong untuk tempat menempel bon, tiket, karcis, bungkus permen, dsb. Pewarnaan pun tidak ada, tapi memakai teknik arsir untuk membedakan gelap terang.

Namun demikian, sambutan positif datang dari kartunis Priyanto, yang menyebutkan betapa mengalirnya cerita gambar karya Tita. Ia bahkan berpesan kepadanya untuk tidak repot memikirkan apakah karya ini sebagai komik atau bukan. Cerita bergambar yang dibuat tanpa menghiraukan kaidah pembuatan komik, misalnya, berpanel-panel, berkewajiban memperkenalkan tokoh-tokohnya, dsb., justru makin menghidupkan "kenakalan" dan kebebasan gambar. Yang terpenting di atas semuanya adalah gambar itu tetap harus bernilai komunikatif. Tita sendiri seolah sudah menemukan gaya "orisinal"-nya, yang ia adopsi dari beragam komikus favoritnya, sembari tak lupa terus mengasah karakter pribadinya. "Memang harus mencari sendiri, makin sering menggambar bakal makin ketemu," katanya.

Tita juga sempat beberapa kali didatangi pertanyaan semacam ini, "Kalau begitu, ini bukan diary kamu lagi dong?". Tita kemudian menjawab, "Nggak juga, ini tetap diary saya. Misalnya, kamu melihat martabak di gambar ini. Tapi cerita apa lagi di balik martabak ini, kan hanya saya yang tahu," kata Tita.

Soal keterbukaan, Tita mengaku memang belum sevulgar beberapa komikus di luar negeri. "Sebenarnya semua sudah terceritakan, sampai waktu saya tengsin juga diceritain. Tapi se-open-open-nya saya, nggak akan sampai mengeluarkan kata-kata kasar, misalnya," kata Tita.

Sewaktu tinggal di Belanda, kegemarannya pada komik membawanya terlibat dalam beragam acara, antara lain pameran dan workshop Madjoe! di Stripdagen Haarlem (2002) dan Royal Ethnology Museum (Leiden, 2002), pameran Homesick di galeri De Schone Kunsten (Haarlem, 2004), dan partisipasi di 24 Hour Comics Day di Lambiek (Amsterdam, 2006). Di Indonesia, karya-karyanya ikut dalam pameran Fellow Indonesian Comic Artists di Erasmus Huis (Jakarta, 2005) dan Karta Pustaka (Yogyakarta, 2005), pameran DIY di Taman Ismail Marzuki (Jakarta, 2007), dan pameran tunggal Curhat Tita di Space 59 (Bandung , 2007).

Soal dunia komik, Tita melihat Indonesia masih lemah dalam positioning. Daripada sekadar menjadi kuli gambar industri asing, menurut dia, orang Indonesia tak salah kalau mencoba membuat karya sendiri. Ia percaya skill komikus Indonesia bagus, dan dengan dukungan semakin banyaknya kompetisi dan workshop tentang komik, ke depan industrinya bisa dibangun. Yang disayangkan, justru komunitas komik sering kali memelihara sikap "tersegmentasi". "Ini manga banget, ogah ah, itu Marvel banget, males ah, dsb., padahal perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan tapi dirayakan saja," katanya.

Setelah Curhat Tita, berikutnya Tita berencana membuat kisah spesifik yang tematis. Selain itu, ia ingin pula mengaplikasikannya dalam dunia pendidikan. Misalnya, menyosialisasikan pembuatan gambar komikal untuk berbagai riset, sebagai panduan tambahan. Pada akhirnya, cergam semacam Curhat Tita ini ternyata bukan sekadar kumpulan pengalaman individu, namun juga dapat merepresentasikan latar belakang budaya di mana orang tersebut berada. Itulah yang menarik. "Teruslah mencatat. Sebab dari kebiasaan itu suatu hari bisa berguna untuk kita sebagai bahan refleksi, atau juga pelajaran untuk orang lain di kemudian hari," katanya. ***

dewi irma
kampus_pr@yahoo.com


27 comments:

  1. pertamaaaa!! hidup mbak es dureeeeennn!!

    ReplyDelete
  2. aihhh tita, kemunculan di media massa nya jadi semakin sering =)
    congrats yaa!

    ReplyDelete
  3. I'm truly overwhelmed :P
    makaseeeh

    ReplyDelete
  4. Uuuuuuuuuuuh, aku bangga banget sama Mba Titaaaaaaaaaaaaa............
    Kagum bangettttttttttttttttt :-) Apa yg Mba bilang benar adanya. Memperlihatkan kalo Mba Tita 'powerful' dan tau apa yg sedang dilakukan...!

    *mudahan aku juga gak patah semangat meraih 'mimpi2ku', segudang soalnya, huehehehe* :-)

    ReplyDelete
  5. tentu saja tidak boleh patah! *cheer-leading for Ima*

    ReplyDelete
  6. great coverage, Tita.... this one is so far the best... (but i'm not sure i read all)...
    congrats!

    ReplyDelete
  7. at least the most comprehensive. thank youuu :)

    ReplyDelete
  8. Baru aja mo bilang ini tadi, tapi udah diduluin ma Teh Mer, sehati emang :-p

    Aku ngerasa, review yg satu ini sangat 'personal', jadi enak dibacanya :-)

    ReplyDelete
  9. mba..si korannya gede benar...setengah halaman sendiri..

    akhirnya pegal2 + capek2 bisa keobati

    ReplyDelete
  10. iya nih.. yang masang backdrop dan angkut2 kardus..

    ReplyDelete
  11. mungkin karena wawancaranya di rumah(?).. pengaruh kali ya.. :D
    (di foto itu, di belakangku sedang ada dhanu dan lindri, nonton tv sambil main dan lunjak-lunjak)

    ReplyDelete
  12. Yang ini dibukukan juga dong Ta. Bikin penasaran. Hehehe

    ReplyDelete
  13. another celebrity from desain produk.....

    ReplyDelete
  14. ..among the predecessors is you :)

    time to move on: to fields other than comics!

    ReplyDelete
  15. nah ini yang agak rumit, sebab formatnya A4, jadi kalo mau dibuat buku yang compact (ukuran B5 atau A5 - supaya enak dibaca), harus banyak melalui proses editing. ini yang bakal bikin luamaa bangettt.

    ReplyDelete
  16. Bikin model A Taste of Tita ajah. Lumayan eye catching kan buku segede itu? *nyengir*

    ReplyDelete
  17. nah, itu B5. sekarang bayangin kalo tebelnya 100 halaman.. heheh..

    ReplyDelete
  18. kalo yg dari A4 itu sptnya harus dikerjain bareng aku juga.. sebab sptnya susah tau potongan2/urut2annya :D

    ReplyDelete

  19. kalo pusing dengan yang lama, ya bikin baru aja ... :-)
    tapi udah dirancang dari awal, temanya apa, dan ukurannya, trus diwarna.

    ReplyDelete
  20. teteupp :)) *lirik2 adik: psst, mau ngewarnain?*

    ReplyDelete
  21. Oooooooooooh, pantes! Makanyaaaaaaaaaaaaaa :-)

    Pantesan aku liat, kok ada tangan anak2, huehehe :-p

    ReplyDelete
  22. "Teruslah mencatat. Sebab dari kebiasaan itu suatu hari bisa berguna untuk kita sebagai bahan refleksi, atau juga pelajaran untuk orang lain di kemudian hari," katanya. ***

    "Oh. Iya"

    ReplyDelete