Friday, March 16, 2007

"Kuitansi" adalah barang aneh di negeri kita


Jadi ceritanya begini. Di minggu2 pertama kami di Indonesia, hari2 kami penuh dengan kepengurusan surat2 kewarga-negaraan, kepegawaian, ijin tinggal/imigrasi, dsb.nya. Salah satunya adalah kepengurusan surat pelaporan nikah di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Jl. Seram, Bandung.


Kami menikah th. 1999, namun (due to my cluelessness) tidak dilaporkan ke RI dalam jangka waktu satu tahun setelah menikah. Sehingga pelaporan sekarang ini tentunya sudah terlambat 7 tahun. Karena terlambat, Dinas Kependudukan tidak bisa lagi mencatatkan, namun hanya bisa mengeluarkan Surat Penolakan (= menolak pelaporan karena terlambat), yg harus saya bawa ke Pengadilan Negeri. Pihak Pengadilan Negeri ini yg selanjutnya akan mengesahkan pernikahan kami.


Sudah saya penuhi semua persyaratan utk membuat Surat Penolakan. Pertama kali saya datang ke kantor Dinas Kependudukan adalah sekitar 2 minggu yg lalu. Seorang petugas di sana (Loket 13), Pak Rofiq, berkata akan menyelesaikan semua urusan, dalam waktu 1-2 hari kerja. Namun karena KTP Bandung saya belum jadi, dokumen baru bisa saya lengkapi keesokan harinya, setelah saya ambil KTP dari Kecamatan. Ketika fotokopi KTP sudah tiba di tangan Pak Rofiq, tentu saja saya harapkan Surat Penolakan tsb dapat keluar pada hari berikutnya, atau lusanya.


Maka ke sana lah saya keesokan harinya, di sela2 waktu mengajar dan menjemput anak2 dari sekolah. Kali pertama, Pak Rofiq dikabarkan sakit (= tidak masuk kantor), dan tidak meninggalkan berkas2 kerjanya di kantor. Tidak ada yg tahu ttg surat2 saya di kantor tsb, tidak ada lagi tempat bertanya.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Nomer2 yg diberikan kepada saya, supaya menghubungi sendiri ybs utk mencari tahu ttg kelanjutan kepengurusan dokumen2 saya. Nomer rumah? HP? Urusan kantor ya diselesaikan di kantor dong.. Yg saya pakai belakangan hanya nomer kantor ("Disduk").


Kali kedua, Pak Rofiq ada namun ibu pejabat yang berautoritas utk menanda-tangani surat2 tsb sedang sakit, sehingga surat tsb belum dapat dikeluarkan. Kali ketiga dan keempat, si ibu masih juga sakit (jadi total 4 hari beliau absen).


Kali kelima, saya coba telpon dulu ke kantor tsb sebelum berangkat ke sana. "Oh, ibu sudah masuk kantor lagi, silakan datang saja, pasti surat2nya sudah selesai ditanda-tangani", kata suara seorang perempuan yg mengangkat telpon. Setelah menelepon, saya langsung ke kantor tsb, naik ke lantai dua, Loket 13. "Tunggu sebentar, Pak Rofiqnya sedang sholat", kata seorang staf di sana. Oke, saya tunggu bersama bbrp orang lain yg juga berkepentingan dengan Pak Rofiq. Begitu beliau muncul, saya langsung menagih surat tsb, "Pak, ibunya sudah masuk lagi, berarti surat saya sudah ditanda-tangani dan bisa saya ambil ya?". Diambilnya sebuah map dari balik meja, sambil ditunjuk2, "Wah belum Bu, belum saya print ini formulirnya. Belum kelar. Nanti lah saya telpon kalau sudah siap diambil".


Saya dongkol, tapi bisa apa lagi, coba. Meskipun didatangi orang2 lain yg menunggunya, Pak Rofiq terus saja berjalan ke arah tangga, tidak menghiraukan orang2 ini (termasuk saya). Waktu itu adalah Senin siang, 12 Maret 2007.


Kamis 15 Maret, sekitar pk. 17:00, saya mendapat telpon dari Pak Rofiq, "Surat bisa diambil, Bu, ditunggu besok jam sembilan pagi". Wah, ya nggak apa2 deh, saya hanya harus memberitahu ITB bahwa saya akan terlambat dalam forum presentasi proposal thesis para mahasiswa S-2, yg dimulai pk. 09:00.


Hari ini, Jumat 16 Maret, setelah nge-drop anak2 di sekolah, saya langsung ke Kantor Imigrasi di Jl. Suci, utk melanjutkan kepengurusan ijin tinggal Syb dan anak2. Selesai dari sana sekitar pk. 09:15, saya langsung ke Kantor Kependudukan, naik ke Loket 13. "Pak Rofiqnya di bawah, di Loket 1" - saya turun lagi, dan beliau mengenali tampang saya. "Lama ya, Bu?" katanya tersenyum2. "Lumayan", saya bilang. "Silakan duduk dulu, saya ambil berkas2nya", lalu ia naik ke lantai dua. Saya duduk di bangku2 utk tamu di depan Loket 1. Kembali dengan map saya, ia menunjukkan surat2 yg selesai ditanda-tangan, memberitahu bahwa saya harus melengkapi fotokopi paspor saya. Lalu minta biaya administrasi.


Nah ini dia.


"Berapa?" tanya saya. "Tiga puluh ribu", ujarnya. "Oke", saya bilang, sambil ngeluarin dompet, "Tolong kuitansinya ya Pak". "Wah kita mah nggak punya kuitansi", katanya, sambil mengerutkan kening.


S: Masa nggak ada, bukti pembayaran deh kalo gitu


R: Wah, kita nggak pake gitu2an


S: Gimana saya tau harus bayar berapa, kalo nggak ada standarnya? Saya kan juga harus tanggung jawab ke yang punya uang? Tanda pembayaran biasa aja, deh.


R (bangkit dari bangku tamu, mondar manidr ke balik meja Loket 1. Looking more and more animated): Nggak ada kuitansi di sini mah, udah kasih aja uangnya, gampang.


S: Nggak bisa dong, gimana saya mau ngasih 15, 30, atau 50 ribu kalau nggak ada ketetapannya?


R (mulai tampak kesal, kembali berdiri di balik Loket 1): Ya udah, gini aja. Sana ke lantai dua, minta kuitansi ke Bu Siti. Kasih uangnya ke sana. Saya kan udah bantu Ibu, masa Ibu ngebantu saya gini aja nggak mau.


S: Lho, kalau memang ada biaya resmi tentu saya lunasi. Kalau soal membantu, ini kan memang sudah tugas Bapak?


R: Bukan! Tugas saya tuh ini (sambil menggerak2kan jarinya ke sekeliling mejanya, nggak jelas maksudnya apa), saya ini sudah mbantu Ibu ngurusin surat2 itu! Ya udah deh 25ribu aja, tuh, nggak pake harga ekstra!


S: Tau gitu saya ngurus ini lewat orang yang semestinya aja! (masih senyum2 tapi sambil jalan ke lantai dua)


Di lantai dua, saya minta Ibu Siti membuat tanda terima, ditulis tangan, dilengkapi cap Dinas Kependudukan. Saya beri 25ribu rupiah ke Bu Siti, bertukar dengan tanda terima tsb, lalu pergi meninggalkan Loket 13. Sampai di bawah, saya cari Pak Rofiq di loket 1, tidak ada. Keluar dari kantor tsb, saya lihat dia sedang berjalan ke dalam area parkir, dari arah luar (baru jajan, mungkin?). Saya sodorkan kuitansi dari Bu Siti, "Ini lho Pak, kan gampang!". Tampangnya terlihat masih sebal, "Ah ya udah! Paling ke sananya juga nggak pake gitu2an!" (sambil nuding ke kuitansi).

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Kuitansi heboh tsb.


Mungkin kelakuan saya yg aneh ya, ngotot minta tanda bukti pembayaran. Dan mungkin kuitansi itu benda aneh yg dianggap tidak normal dalam sebuah transaksi yg meilbatkan uang. Apa saya yg salah karena nggak go with the flow spt umumnya orang yg gampang ngasih pelicin sana sini? Naif? Mungkin saja.


Kalo kebetulan Pak Rofiq baca tulisan ini, atau ada yg baca ini dan kenal sama Pak Rofiq, titip pesen aja, "Jangan marah ya, Pak". Saya toh cuma warga biasa yg punya kewajiban mencatatkan dan melaporkan ini-itu. Tentu saja saya juga punya hak utk dilayani secara jelas, baik dan benar dalam menjalankan kewajiban tsb.





50 comments:

  1. hahahahahhahaaaa.. mantap Ta!!

    btw kuitansi (ato tanda terima) di beberapa tempat di China juga masih sulit didapat. Mereka malah bingung waktu gw tanya soal bukti pembayaran.

    ReplyDelete
  2. wuihhhhhh kelakuan aparat endonesa masihhhhhhh aja minus. Kapan negara mo maju.
    Kebayang deh Tita bakal terus terlibat dgn yg ginian. Bon courage !

    ReplyDelete
  3. karena ketiadaan tanda terima pembayaran adalah kesempatan buat menilep duit... Biasa itu maahhh....

    ReplyDelete
  4. aduuuh...mentalnya itu lhooo... minta-minta. terlalu.... ckckckckck....

    ReplyDelete
  5. eeeen doooooo neeee saaaaa .. ijo matakuuuuuu lihat duitmuuuuuu

    gaak ada duit gak kerja layaaaaaaaoooowww


    dibikin komik taaaaa

    ReplyDelete
  6. Gw setuju sama elu Ta, bagus begitu, kalau makin banyak orang yg put their foot down, mungkin suatu saat nanti org2 di Indonesia akan lebih menjalankan tugasnya & stop memeras rakyat & korupsi, who knows!

    ReplyDelete
  7. Kuitansi buat orang jujur adalah:
    tanda terima tertulis atas biaya yg udah kita keluarkan untuk sebuah keperluan

    Kuitansi buat "ngebantuin" orang yg jujur adalah:
    1. engga perlu, karena
    2. ngga bisa dilaporin;
    3. beli buku kuitansi berarti ngurangin pendapatan gelapnya Rp100/lembar yg dia keluarin;
    4. mana ada pungutan liar ama "hadiah2" yg pake kuitansi :P, kalo ada.. "

    pasti penjara penuh.. hehehheheheeeeee...

    Indonesia! dan udah waktunya banyak orang kaya Tita dan Ipih :D

    ReplyDelete
  8. *Super Big Grin*
    Sepertinya besok piknik akan menyenangkaaaan hehehehehehe ....

    ReplyDelete
  9. gak berubah yaa.. ternyata masih ada jg keroco2 gitu teh. Jadi inget wkt ngurusin kitas buat anak-anak di imigrasi bandung jg judulnya sih..biar lamaa nunggu dan menunggu mendingan tetap ikutan jalur normalnya... kalo bukan kita yg mulai siapa lagi coba?? pelicin2 pake setrikaan tangannya nanti he..he...he.. yups.. susah kalo mentalnya minta pelicin mulu.

    ReplyDelete
  10. Kalo gua sih sebetulnya dualisme.. sebetulnya gua males nyogok.. tapi gua suka gak masalah nyogok kalo emang gua buru2 (jujur nih)... tapi gua MARAH banget kalo nyogok itu jadi kewajiban.. kalo gak nyogok gua malah dipersulit. Sementara yang nyogok dipermudah.. jadi JALUR NORMAL gak ada.. Ini yang gua gak suka.. bisa gua obrak-abrik tuh hahahahah.. Bagi gua.. kalo mau minta "uang pengertian" ngomong aja, gak usah sok di official kan.. apalagi jadi seperti kewajiban (iuran).

    Nyebelinnya lagi, udah kita kasih 10 ribu.. eee dia bilang kurang.. MARAAAH laaah.. lha ini uang pengertian koq gak bisa pengertian? hahahahaha..

    ReplyDelete
  11. Tita, tiba-tiba gw keingetan ama peristiwa yang baru terjadi dengan keluarga deket gw belakangan ini.

    Mereka dapet musibah kebakaran, dan ternyata manggil mobil pemadam kebakaran itu membayar yah... minimal 2 juta/mobil/hari... Jadi klo ga bayar (ga ada jaminan), kebakaran itu tidak ditangani secepatnya...

    Yang lebih ngenes, setelah lewat beberapa jam setelah kebakaran, saat anggota keluarga masih ngenes liat puing-puing berwarna hitam di depan mata, para aparat keamanan dengan nada jauh dari sopan minta dibeliin makan secepatnya... dan 70 nasi bungkus diberikan lantaran mereka uda maksa banget...

    Gw cuma bisa ngenes banget denger cerita anggota keluarga yang ngalamin sendiri musibah ini. Di saat hati mereka masih hancur dan shock berat ngadepin musibah ini, fisik letih harus ke sana ke mari, mereka ngadepin perlakuan yang ga simpatik dari aparat, dan kudu nyediain konsumsi di tempat, saat itu juga...

    ReplyDelete
  12. Hebat Tita. Mungkin kita bisa menggalang para klien yang butuh surat ini-itu untuk bawa recorder kalau masuk kantor administrasi pemerintah, supaya semua percakapan bisa terrekam. Lalu laporkan saja semua rekaman itu beserta data oknum2nya ke direktorat. Beginilah isinya kantor mereka.
    Gw juga pusing cari-cari orang dan setelah lama nyari di kantornya, katanya sedang solat, ternyata yang dicari lagi enak2 tidur tertutup koran, nunggu jam pulang kerja, padahal baru jam 14.30.

    Kemarin baca berita di koran, ada razia polisi utk pengendara sepeda motor, salah satu yang tertangkap harus bayar denda, kemudian sang polisi menawarkan biaya damai 100 ribu, si pengendara karena gak punya uang, minta surat tilang resmi aja utk dibayar nanti di pengadilan. Polisinya marah, menodongkan pistolnya sambil maki-maki, buntut2nya memukul. Kasus ini dilaporkan ke Mapoltabes. Tita kalau berurusan sama yang bawa senjata, hati-hati ... banyak yang stress karena urusan rumah ... mungkin lebih baik kasih aja apa maunya kalau wajar, daripada dia kelepasan narik pelatuk ...

    Masak kayak gini negara kita???

    ReplyDelete
  13. Salut buat Tita, dengan begitu kita turut aktif buat ngeberantas korupsi..walau cuma minta kwitansi untuk urusan resmi.. ^_^
    Dulu ngurus ijin PT juga begitu ke kantor kelurahan, cuma lucu aja, walau uangnya jelas masuk ke oknum tapi kita diberi Kuitansi lengkap dengan tanda tangan doi...hehe (sedangkan oknum lain minta terusterang dan tetep masuk dompet sendiri..:)
    fyi: kalo urusan ama pilisi pake pistol hati2 aja, kmaren yang di semarang nembak pimpinannya sendiri...buntutnya mulai kamis semua polisi ber-pistol di beri tes kejiwaan ': I

    ReplyDelete
  14. Mb Titaaaaa... welcome to the new reality...! Jalan terussss, pelan tapi pasti... Menurut pengalaman, sebenernya bisa kok kita selalu ambil jalur lurus & bersih asal punya banyak waktu, tenaga & kesabaran :)

    ReplyDelete
  15. Tita, kalo gua sih lebih sebel pada lamanya waktu yg dibutuhkan utk ngurus surat2. Tobat dah gua. Belum lagi kalo dipingpong kesana kemari dan pake ada yg sakit sehingga surat2 tambah lama prosesnya. Asli bisa bikin naik darah....

    ReplyDelete
  16. Bener yah Sin. Kalo lagi punya waktu sih enak dijabanin. Yg serem kalo lagi musibah, mo gimana coba :(.

    Tita, hhihihihihihi :D. Bravo deh elo. Gue kebayang tampang elo yg kalem2 gak terpancing emosi, bikin bete si Bapak, huahahahah :)). Kalo gue kan manasin setrika "Jadi.... bapak mau pelicin??" :D.

    ReplyDelete
  17. mental seperti ini nggak cuma dimiliki oleh orang rendahan seperti pak rofiq.
    beberapa petinggi di perusahaan juga sering berlaku seperti ini. saben ada proyek, kita harus sisihin berapa persen untuk japrem kunyuk2 ini..
    ini yang bikin aku suka emosi sama negara ini..

    ReplyDelete
  18. Halo semuanya, terima kasih ya! Jadi semangat lagi, dan memang perlu, sebab saya masih harus balik lagi ke sana setelah urusan di Pengadilan Negeri selesai (hi hi hi hiks). Nantikan episode berikut: Balada Pelicin-II

    Roel: emang akan dikomikin, tapi cerita yg ini harus ngantri dulu, karena banyak cerita2 lain sejenis, yang tak kalah seru.. heheheh..

    Cin: hahaha! kita bisa bikin kumpulan cerpen kali ya, kalo besok berhasil jadi seru!

    Tulz: iya ya, gue aja masih ada waktu nunggu, dan emang udah niat sih nggak akan membiasakan (memanjakan) mereka dengan polesan2 uang. meskipun akhirnya gue kasih juga tu 25rebu - padahal gue tinggal aja juga bisa :P

    Sint: hwaduuhh.. iya ya, kalo gitu kasusnya kan parah banget. udah keilangan macem2 gitu, masih aja ada yg tega morotin :(

    ReplyDelete
  19. setelah baca punya mba chica dulu, dan postingan ini, jadi pelajaran berharga buat aku... dan bener2 buka mata banget...

    ReplyDelete
  20. Tita, sudah lama tinggal di Belanda, jadi sikap pun sudah spt Londo. :)
    Mungkin sudah lupa cara di rumah lama? :)
    Welcome home, 'Ta! Semua memang harus dimulai dari diri sendiri, semoga sikap lo tetap konsisten shgg bisa membawa angin segar di ibu pertiwi. :)

    Salut!

    ReplyDelete
  21. hahahaha, cucok bener Ven ...

    gue paling bingung kalo urusan2 beginian, krn gue tuh paling susah nanya2 urusan pelicin, kalo keliatan orangnya pingpong, sebenernya kan udah tanda2 minta uang pelicin supaya urusan kita cepet beres. rupanya skarang lbh terus terang ya, jelas-jelas minta. edan.

    ReplyDelete
  22. selamat datang di endonesah mbak ^--^
    buat aparat sejenis itu , kuitansi = barang bukti, jadi yahhh...begitulahj

    ReplyDelete
  23. hihi... kayak udah lupa sama indonesia ajaa.. :P

    ReplyDelete
  24. hmmm pak rofiq ngga ada bedanya sama orang-orang yang ngerem di jembatan penyebrangan

    ReplyDelete
  25. hebat hebat.... gue bahagia baca blog ini! pak Rofiq kaget kali ya seumur2 kagak pernah ngadepin cewe kayak gini :) hidup Tita! hidup kuitansi!

    ReplyDelete
  26. hebat. kira-kira barang haram di rumah pak rofiq udah berapa banyak ya? anak2nya jajan pake duit begitu...

    anyways, welcome home, tita!

    ReplyDelete
  27. thanks! you know, I was quite inspired by your entries as well (this and this), concerning this matter ;)

    ReplyDelete
  28. ngerem bukan berarti menghentikan kendaraan ya.... tapi ngerem=kalo ayam mau menetaskan telur... :D

    ReplyDelete
  29. Salut buat Tita. Semoga tetap konsisten dgn sikapnya. Sbenarnya, banyak sekali pak rofiq-pak rofiq lain di INA ini. Mereka melakukan itu krn gaji mereka memang tidak mencukupi. Sementara banyak pejabat di INA, yang hidup mewah dari uang rakyat. Well, this is a fact about Indonesia. Gak tau kapan berubahnya. Memang harus ada yg mulai, starting from urselves.

    ReplyDelete
  30. Ironis dan memalukan pisan kelakuan petugas pemerintah kita yg satu ini. Ya Aaalllloohhh... kapan mo maju nya neh bangsa???
    *cuman bisa ngurut dada*

    ReplyDelete
  31. Pak Rofiq kok gitu sih Ta? Sini lewat gue aja, cuman Rp.20.000,-!!!

    ReplyDelete
  32. whahaha.. ama elu mah gue tawar ceban, lumayan bisa dapet gorengan sekresek tuh yan..

    ReplyDelete
  33. ama elu bolehlah, tapi bonus jaket metal ya ;))

    ReplyDelete
  34. Ya ampun.. wong mau renovasi rumah aja mobil truk isi pasir kudu bayar preman juga.. Kalo nggak nggak boleh masuk kompleks bow.. Belum lagi mobil truk isi batu bata, isi kayu, isi semen.. Buseeeettttt..

    ReplyDelete
  35. jadi inget waktu gw ngurusin surat² buat nikah. di cat. sipil minta surat keterangan belom nikah, haduuhhh... dimintanya cukup gede. tapi gw pura² ga ngerti aja. trus gw minta kwintansi, pake dilama²in pula nyarinya. laki gw akhirnya masuk ke ruangan karena kelamaan. dia gw suruh tunggu, karena takutnya bawa binul malah dimahalin. eeehh pas gw mao jelasin kenapa lama, mereka yg salting gitu. dan langsung nulis kwitansi yg ternyata ada di laci si-petugas itu. jaim kali yaaaa ama bule... abis itu, gw "jinjing" dweh laki gw buat ngurus ke tahap berikutnya. malah jadi cepet n juga ga mahal. aahh endonesa. kapan sembuhnya seh mental petugas² itu? *sigh*

    ReplyDelete
  36. Naaaaaaaaaaaah, sikap begini niy yg membantu mengurangi korupsi di akar rumput.
    Sssssssssst, aku juga suka gini kok Mba, tahan banting aja pokoknya :-)

    ReplyDelete
  37. haha bagus! bener nih, musti tahan banting aja, dan banyak 'ramah pasar': senyum2 penuh makna ;))

    ReplyDelete
  38. nah yang model begini belom gue coba.. haha.. iya, takutnya bawa2 dia malah dimahalin. bagus deh kalo malah jadi jaim ;))

    ReplyDelete
  39. Sakit memang para PNS kita. Gak ada spirit melayaninya sama sekali hiks :(

    ReplyDelete
  40. Ya, reputasi PNS jadi jelek gara2 para oknum ini, yg 'kebetulan' kerjanya berhubungan langsung dengan kita (publik).

    ReplyDelete
  41. Hi mb Tita, salam kenal yahhh. Ceritanya seru banget...; Inget juga dulu waktu urusan surat sana-sini, mesti ujung2nya ada uang extra.

    ReplyDelete
  42. Seru juga, ya...
    Tapi, pencantuman nomor telepon HP-nya Pak Rofik nggak apa-apa tuh dicantumin di sini?
    Berikut nomor rumahnya looh....
    Jangan-jangan Pak Rofik kena "teror telepon" gara-gara posting-an ini?
    Hahaha

    ReplyDelete
  43. baru di sini kan? belom di buku terbitan berikutnya? :|

    ReplyDelete