Saturday, December 2, 2006

Taste of Culture [Kopdar Mini di Amsterdam - 2]











[sambungan dari bagian-1]

Dari Leidseplein, kami masuk ke sebuah jalan kecil (Korte Leidsedwarstraat) yang kanan-kirinya dipenuhi tempat makan. Mulai dari ujung (dari arah Leidseplein) terdapat Häagen-Dasz dan Burger King di sisi kiri, serta Bulldog Coffeeshop dan Sports Café di sisi kanan. Makin masuk ke dalam, kami serasa mengelilingi dunia: terdapat restoran2 Italia, Argentina, Yunani, Meksiko, Cina, Turki, dan sebagainya. Setelah mencapai perempatan, sedikit jalan lagi di sisi kiri akan ditemukan sebuah restoran bernama Taste of Culture.

Pintu masuknya sederhana, tidak seperti entrance restoran2 lain di jalan itu, sampai2 terlewat oleh saya (mungkin juga saya yg berjalan terlalu cepat karena sudah lapar). Dari luar pintu memang sudah bisa terlihat bagian dalam restoran yg berkesan ringkas tapi nyaman. Begitu masuk, memang benar suasananya terasa 'rumahan' - baik elemen interiornya maupun aroma yg tercium dari dapur, yg terletak dengan pintu terbuka di ruang sebelah. Meja penerima tamu di bagian depan dilengkapi dengan pengukus bambu berdiameter sebesar tampah, berisi nasi hangat. Dinding2 restoran dipenuhi lembaran2 karton bertuliskan aksara cina (yg saya duga sebagai daftar menu); selain itu hampir tidak ada dekorasi lain.

Kami dipersilakan duduk di meja utk 4 orang, di mana saya bisa melihat ke arah lemari dapur yg penuh berisi bumbu2 dan bahan makanan. Saat itu pengunjung restoran (termasuk kami) telah memenuhi sekitar 80% dari semua meja yg ada. Kita tentu ingat pedoman, "Jika sebuah restoran dipenuhi pengunjung yg aslinya berasal dari daerah khas restoran tsb, hampir bisa dipastikan bahwa tempat ini menghidangkan masakan otentik yang enak". Nah, demografi pengunjung Taste of Culture pada malam itu pun terlihat demikian, sehingga tentu saja kami memiliki harapan tinggi terhadap hidangan restoran ini.

Photobucket - Video and Image Hosting

Vonny yang pernah dua kali ke sini berpesan supaya kami tidak memesan supnya. Kami langsung memesan hidangan utama berupa kombinasi panggang2an (pecking duck, crispy pork dan panggang merah), belut goreng saus madu, dan mixed dim sum sebagai pembukanya. Baru saja kami selesai memesan, Vonny melirik ke sebuah hidangan yg baru diantarkan ke meja sebelah: satu porsi sayuran hijau yg tampak segar. Kami panggil seorang pelayannya, seorang gadis muda yg ramah, utk menanyakan hidangan tersebut. Ternyata memang tidak tertera di menu, dan si pelayan bergegas masuk dapur utk kembali lagi membawa petikan mentah sayur tsb. Karena penasaran, kami memesan juga masakan ini - yang belakangan (thanks to Venny) baru saya tahu bahwa namanya dou miao (snow pea shoots).

Dim sum datang pertama kali: sebuah piring berisi 2 prawn dumplings, 2 siomay, 1 lumpia mini dan 2 pangsit goreng yg ditata di atas suwiran lettuce. Rasanya cukup pantas, tapi tidak istimewa. Belut goreng segera menyusul. Ternyata ini adalah menu juara malam ini! Potongan2 belut besar tsb berlapis tepung yg sangat renyah dan tasty, digoreng kering hingga melengkung membentuk 'gelang'. Dihidangkan di atas piring panjang dengan siraman saus yang madunya terasa samar, sekaligus gurih-manis dengan aroma daun ketumbar dan stone leeks (semacam daun bawang) yg ditata di atasnya. Kombinasi dari belut goreng yg renyah dan saus yang wangi dan agak pedas (karena taburan irisan cabai merah) benar2 berpesta dalam mulut sejak suapan pertama hingga sapuan terakhir hidangan ini dari piringnya. Kami tak sungkan terus2an memuji sang juru masak, baik melalui si pelayan maupun langsung kepada si koki yang beberapa kali berjalan mondar-mandir antara dapur, storage dan ruang makan.

Photobucket - Video and Image Hosting

Ternyata belut itu bukan kejutan terakhir. Saya yang belum pernah makan dou miao (tertulis tau miu pada bon) langsung jatuh cinta pada sayuran ini di kecapan pertama. Dedaunan yg hanya ditumis dengan bawang putih ini nampak hijau segar, dengan irisan kasar bawang putih bertebaran di sela2nya. Teksturnya yang pas - tidak selemas bayam, tidak sealot kangkung - benar2 memanjakan lidah. Seratnya terlihat menawarkan tantangan, namun segera menurut ketika digigit.
Kombinasi panggang2an dihidangkan dalam wadah semacam hot pot, sehingga tingkat kelembabannya melebihi hidangan serupa di restoran2 lain yg menyajikannya dalam piring ceper. Namun begitu irisan2 dagingnya masih berhasil mempertahankan bagian2 crispy mereka. Bumbu meresap dengan baik pada daging; sayuran (sawi hijau) dan kuah yg mengendap di dasar wadah ini rasanya lembut (delicate), namun cukup tasty.
Nasi putih pun dihidangkan dalam wadah hot pot serupa. Saya yang tadinya berniat tidak makan terlalu banyak nasi putih 'terpaksa' mengambil secukupnya untuk menyapu saus belut goreng - yang rasanya sayang betul bila disisakan. Namun tetap saja kami bertiga tidak sanggup menghabiskan semuanya. Saya kebagian membawa pulang sisa dou miao dan kombinasi panggang2an.

Photobucket - Video and Image Hosting

Ketika kami meninggalkan restoran (lewat pk. 22:00), ruang makan sudah agak sepi. Staf restoran dan jurumasak terlihat mulai makan malam di salah satu meja, sehingga kami berkesempatan untuk berterima kasih sekali lagi pada mereka. "Kami akan kembali lagi lho!" kata Vonny, yg juga sudah kepincut dengan belut gorengnya. Makan bertiga, puas dan kenyang dengan 4 macam hidangan tsb, menghabiskan 52,75 Euro.

Kami berjalan2 sebentar sepanjang Leidsestraat - yang masih hingar bingar meskipun sudah mendekati pukul sebelas malam - untuk melancarkan jalannya pencernaan. Tapi sebelum benar2 beranjak pulang, kami menyempatkan mampir di Häagen-Dazs utk menikmati es krimnya sebagai pencuci mulut. Terima kasih sekali lagi utk Vonny dan Herry, yg telah menjadi teman2 yg menyenangkan dalam berburu makan enak malam itu!

Taste of Culture
Korte Leidsedwarsstraat 139
1017 PZ Amsterdam
Tel +31 (20) 4271136
kitchen open 05.00pm-01.00am, Fri-Sat till 03.00am
reviews at iens.nl

Photobucket - Video and Image Hosting











16 comments:

  1. taaa...kalo kamu pulang kita makan lindung cah fumak !
    ajak heri juga *soalnya dia yang tau jalannya..hehehe*

    ReplyDelete
  2. mawuuuuuu! (eh ini apa sih? taunya bagian lindung-nya aja hihihi)

    ReplyDelete
  3. resto baru kah? kok aku ga pernah liat ya?

    ReplyDelete
  4. kata vonny sih memang baru, tp entah sejak kapan (bbrp bulan lalu?)

    ReplyDelete
  5. ooohh.. belut goreng...... oooohhh.....

    ReplyDelete
  6. Titttttaaaa..... explanation nya bener2 detail, ampe liur gua udh bececeran kemana2 padahal tadi sore kita barusan makan makanan Thai.

    ReplyDelete
  7. Fumak tuh sejenis sayuran Cina. Yg suka mengkonsumsi Fumak, setau gue, itu org2 Hakka. Sayurannya alot (pinjem istilah elo :D), berserat, rasanya agak2 pahit, warnanya ijo dengan gurat2 merah. Jadi biasa di masak dengan sisa beras untuk buat rice wine (apalah namanya, gue lupa) yg mirip tape: pink dan manis. *GLEKKKKK*

    Wkt gue cerita ke Jesse soal lindung, dia juga bilang gitu, coba deh kalo ke Jkt makan Lindung cah fumak buat perbandingan :D.

    BTW Jeng, tulisannya dou miao.

    ReplyDelete
  8. seperti biasa, komikmu selalu asik buat di lihat dan dibaca >:D<

    ReplyDelete
  9. Wah, Tita, enaaaaaaaaaaak bener kayaknya... Mau ah, kalau lain kali ke Amsterdam. :)

    ReplyDelete
  10. Aah Jesse, sepikiran sama gue..
    Salam moyang selalu *toss*

    ReplyDelete
  11. wakkss.. makasih! langsung gue edit barusan :D pantesan waktu gue cari di google, dao miao itu mengacunya bukan ke makanan, tapi ke senjata (dagger)!

    thanks juga atas penjelasan fumak-nya. hayuuuk chic dan herb (*makin penasaran*)

    ReplyDelete
  12. kucing: 'penyakit' gue dari dulu emang suka belut, apalagi yg digoreng kering dan jadi keripik itu lho, semuka2nya gue kremus di mulut. sampe nggak ada kucing yg kebagian (heheheh).

    elis: hahaha sengaja ngabibita lis :P

    chic: terimakasiiih >:D<

    pet: silakan, silakan.. inget aja kata vonny, jangan pesen supnya. dim sum nya juga nggak usah. mending nyoba yg lain.

    ReplyDelete
  13. Sapa Bilang Lindung cah Fumak di restoran Angke lebih enak (sambil kacak pinggang)

    huahahahahhaah

    Ta, kalau nggak mudeng ntar aku jelasin di YM hahahahahha

    ReplyDelete
  14. emh.. sepertinya aku bisa menduga deh.. khikhikhik... (sampai jumpa di YM :D)

    ReplyDelete
  15. Halo Ta!
    Lucunya ilustrasinya pake komik bikinan sendiri.
    Gue seneng deh liat komik atau pilem kartun yang tentang makanan kaya komik jepang itu.
    Sayang disini susah nyarinya.

    ReplyDelete
  16. halo, makasih :D
    dulu wkt masih di bandung gue pernah ngikutin seri kartun jepang di tv, yg "yoichi ajioshi: anak cita rasa". sayang di sini nggak ada kartun itu. komik yg ttg makanan juga jarang. jadi makanan benerannya aja deh.. hehe..

    ReplyDelete