Thursday, November 30, 2006
No-bake Lemon Cheesecake
Description:
Here's a recipe for people who are clumsy at baking (and are lack of access to a decent oven), like me. I forgot where I got this recipe from and the cake seems to be different everytime I make it, but it never fails to entertain anyone who tastes it :D
Suggestions for improvements are welcome!
Ingredients:
For the base:
1 pack digestive cookies (I like the volkoren variation)
1 pack butter (250 gr?)
1-2 tablespoons of brown sugar, if wished
For the cake:
grated peel from 1 lemon
juice from 3 lemons
2 tablespoons (vanilla) sugar
6 sheets gelatine (I usually use Dr. Oetker's), immersed for a few minutes in warm water until tender
4 x 100 gr-pack cream cheese (I usually use Mon Chou), at room temperature
Filling and/or topping, if you wish. I usually add canned mandarine pieces inside the cake and peach pieces for the topping. But if it's the right season, I like using berries as well.
Directions:
1. Make the base
- Melt the butter and crush the cookies, while adding the sugar
- Mix the melted butter into the cookie crumbs evenly
- Press the mix at the bottom (and sides) of a dish
- Leave in the fridge to cool for (at least) two hours
2. Make the cake
- Heat the lemon juice and grated peel, adding the sugar and the 'weakened' gelatine sheets, mix thoroughly
- Whip the cream cheese in a big bowl
- Add the warm gelatine-juice into the bowl bit by bit, enough only until it forms a thick mass
- Add any filling if you wish. I usually add the mandarine pieces to add texture and taste
3. Complete the whole thing
- Take the cooled base out of the fridge
- Pour the cream cheese mix into the dish
- Arrange any topping, if any, and pour over the leftover gelatine-juice, if there's some left
- Put the dish back into the fridge and wait until the gelatine is set (I usually leave it overnight)
- Done!
Photo: no-bake cheesecake from http://sunnypie.bloggerism.net/ - mine is usually messy and doesn't look this neat, but the texture seems similar.
Sunday, November 26, 2006
Penerbitan Kembali Seri Arman & Ilva
Lambiek, Kamis 16 Nov 2006
Kamis sore itu, setiba dari Delft, saya tidak langsung pulang seperti biasanya, tapi naik tram menuju Lambiek, utk memenuhi undangan peluncuran ulang album seri Arman & Ilva. Album ini terkenal di awal 70an, sejak berupa komik strip untuk surat kabar (1 baris berisi 3 panel) hingga diterbitkan dalam bentuk album. Penulis seri ini adalah Lo Hartog van Banda, dan digambar oleh Thé Tjong-Khing. Saya tiba terlalu awal di Lambiek (setengah jam sebelum acara dimulai), jadi ada waktu untuk bercakap2 dengan Pak Khing (kami terakhir kali bertemu bulan Juni lalu, saat Stripdagen Haarlem) - sambil membantunya memasuk2kan paket album baru + signed artprints (edisi terbatas) ke dalam kantung2 plastik transparan. Di usianya yg ke-74, Pak Khing masih terlihat sangat sehat, bugar dan gembira. Sambil menanda-tangani lembaran2 artworks tsb, ia dengan riang menyapa dan bersenda-gurau dengan teman2 dan kenalan2nya yg berdatangan satu demi satu.
Dengan Dhanu dan Pak Khing, Haarlem, 3 Juni 2006
Dinding galeri Lambiek masih dipenuhi dengan bingkai2 dari pameran2 sebelumnya. Satu dinding disisihkan utk memajang original artworks Pak Khing utk komik Arman & Ilva. Pada dinding ini pula terbentang sebuah spanduk vertikal, bergambar berbagai ekspresi Ilva, dalam rangka menyambut peluncuran kembali album ini. Dua meja rendah (yg adalah juga 'lemari' tempat penyimpan lembaran2 gambar) di tengah ruang galeri juga jadi tempat memajang original artworks yg disusun di permukaan meja, yg dilindungi oleh lapisan kaca di atasnya.
Galeri terlihat makin penuh saat jam menunjukkan pukul tujuh. Sebagian besar tamu adalah para tokoh cergam di Belanda, baik penggambar, penulis maupun penerbit, dan teman2 lama yg tertarik di bidang ini. Nama Thé Tjong-Khing dan Lo Hartog van Banda memang cukup terkenal sebagai tokoh2 klasik di dunia perkomikan Belanda. Khing yg dulunya pemagang di Studio Toonder membuat Arman & Ilva sebagai seri komiknya yg terakhir. Setelah itu ia beralih menjadi ilustrator utk buku anak2 dan berhasil mendapat berbagai penghargaan tertinggi di Belanda untuk bidang tsb. Sementara Lo Hartog van Banda, yg juga pernah bekerja di Studio Toonder, adalah penulis naskah komik handal; karya2nya yg dikenal di Indonesia antara lain adalah seri Arad & Maya (yg digambar oleh Jan Steeman, yg juga menggarap seri Roel Dijkstra) dan tiga episode Lucky Luke (sepeninggalan Goscinny, yg digambar oleh Morris). Namun pada usia 89 th, Februari 2006 Lo Hartog meninggal dunia sehingga tidak dapat menyaksikan peluncuran kembali album Arman & Ilva ini. Malam ini seorang menantu perempuannya datang utk mewakili dirinya.
Khing muda
Arman & Ilva sendiri adalah cergam bertema science fiction, digarap dalam format hitam-putih utk keperluan penerbitan di surat kabar. Meskipun naskahnya dituliskan oleh Lo Hartog, Khing berhasil memasukkan gaya dan keunikannya sendiri melalui kontribusinya dalam seri ini. Dengan pengaruh kuat dari sudut pandang film2 layar lebar lawas, Khing banyak menggunakan close up - namun ini juga adalah kelebihannya: ia mampu dengan lihai membuat berbagai macam ekspresi wajah (terutama wajah Ilva, si gadis muda tokoh utama seri ini). Khing pun sering mengambil aktris/aktor ternama sebagai model dalam gambarnya; misalkan Angela Lansbury dalam episode Het spoor dat verdween (= Jejak yang menghilang). Proporsi wajah dan berbagai model karakter pada seri ini, yg digambar dengan garis2 halus-bersih dan diimbangi blocking bayangan tegas, mengingatkan pada gaya komik jenis roman dari Amerika yg juga populer di th 60-an. Namun di luar itu, tema dan setting ceritanya sama sekali berbeda. Khing terlihat sangat menikmati eksplorasinya membuat setting fiksi-ilmiah, melalui bentuk2 bangunan dan peralatan yg melatar-belakangi cerita. Di salah satu episode, Khing bahkan berhasil menciptakan adegan mencekam dengan menggambarkan transformasi seorang gadis kecil menjadi monster. Perubahan dari sosok imut menjadi mengerikan semacam ini adalah sebuah konsep yang belum umum pada masa itu.
Edisi terbitan ulang Arman & Ilva yang diluncurkan pada malam itu merupakan dua episode yg berjudul De perfecte kringloop (= Jalur lingkaran sempurna) dan Het spoor dat verdween, masing2 disertai kata pengantar dari Hanco Kolk dan Joost Swarte, dua cergamis dan grafikus kenamaan yg masa remajanya dilewatkan dengan membaca Arman & Ilva, beserta halaman2 ekstra yg memuat sketsa dan berbagai catatan dari proses pembuatan seri tsb.
Khing, kini
Acara malam itu dimulai dengan sambutan dari pihak penerbit, dilanjutkan dengan ucapan ringkas dari Pak Khing, yang secara simbolik menyerahkan satu set kopi Arman & Ilva kepada menantu Lo Hartog. Suasana peluncuran ini sangat informal, seperti halnya acara2 sejenis yg diadakan di Lambiek. Para hadirin yg sebagian besar telah mengenal satu sama lain segera berbaur, sambil menikmati minuman ringan dan kudapan yang disediakan.
Saya sendiri berkenalan dan mengobrol dengan satu dari dua putra Pak Khing yang bersama istri dan kedua anaknya hadir malam itu, juga dengan Peter van Dongen yang baru pindah rumah dan dengan Maaike Hartjes yang beberapa bulan lalu berpartisipasi dalam program ASEF di Singapura (Alfi, dapat salam!). Sayang tak banyak teman2 dan komikus muda lain yg hadir, karena malam itu bertepatan dengan malam perdana pertunjukan teater Gutsman, yg diangkat dari seri komik bisu berjudul serupa karya Erik Kriek. Erik sendiri akan naik panggung dan berpentas memerankan dirinya sendiri (seperti halnya kemunculannya di seri Gutsman), sehingga dengan sendirinya teman2nya sesama komikus hendak menyaksikan aksi panggungnya.
Dari De perfecte kringloop
Rencana penerbitan ulang seri ini memang telah diajukan bertahun2 sebelumnya, tapi orang yg mengenal Pak Khing pasti mengerti banyaknya pertimbangan yg harus dipikirkannya, sebab ia memang terkenal sangat cermat dalam menjaga kualitas karya2nya. Tentu saja ia banyak mengritisi karyanya sendiri, terutama yg dibuatnya sekitar 30 tahun lalu. Namun kini Pak Khing terlihat puas melihat penampilan edisi baru seri Arman & Ilva ini. Pada peluncuran malam ini baru dua episode yg selesai diterbitkan. Akan ada beberapa episode lagi yg direncanakan utk terbit dalam bulan2 mendatang dan sudah bisa dipesan sejak sekarang.
Makin larut malam, hujan makin deras merata dan anak2 di rumah pasti sudah menunggu, sehingga saya harus berpamitan. Sebelum pulang, Pak Khing sempat menuliskan pesan di dua terbitan Arman & Ilva terbaru untuk saya, masing2 untuk Dhanu ("voor Dhanu, verleer je het Nederlands niet?") dan Lindri ("voor Lindri, dimmen!"), ditanda-tangani atas nama "Opa Lamp" (panggilan Dhanu untuknya). Terima kasih, Pak Khing, dan sekali lagi selamat atas penerbitan ulang seri ini!
Mengenai Thé Tjong-Khing
Situs pribadi http://www.thetjongkhing.nl/
Visiting Pak Khing - 1 http://esduren.multiply.com/journal/item/34
Visiting Pak Khing - 2 http://esduren.multiply.com/journal/item/35
Peran Gambar dalam Buku Dongeng Anak http://komik.multiply.com/journal/item/2
Mengenai Lambiek
Luapan Semangat dan Enerji dari Kerkstraat, Amsterdam http://komik.multiply.com/journal/item/6
This creeps me out, a bit..
You are the World
Completion, Good Reward.
The World is the final card of the Major Arcana, and as such represents saturnian energies, time, and completion.
The World card pictures a dancer in a Yoni (sometimes made of laurel leaves). The Yoni symbolizes the great Mother, the cervix through which everything is born, and also the doorway to the next life after death. It is indicative of a complete circle. Everything is finally coming together, successfully and at last. You will get that Ph.D. you've been working for years to complete, graduate at long last, marry after a long engagement, or finish that huge project. This card is not for little ends, but for big ones, important ones, ones that come with well earned cheers and acknowledgements. Your hard work, knowledge, wisdom, patience, etc, will absolutely pay-off; you've done everything right.
What Tarot Card are You?
Take the Test to Find Out.
p.s. this journal was brought to you by ganes' post
Saturday, November 25, 2006
Fettucine with Courgette Cream Sauce
Description:
Another recipe without exact measurements (you're free to modify), because I've been cooking this by heart since the first time I found the recipe in my mother-in-law's kitchen pantry.
Ingredients:
fettucine or tagliattele (other forms of pasta are applicable as well, but these are my favourites for this dish)
1 clove garlic, minced
4 small shallots, finely chopped
2 average sized courgettes (or zucchinis), sliced into blocks
1 pack MonChou Pan & Oven (cream cheese for warm dishes) - perhaps cooking cream is also applicable
1 block chicken stock, dilluted in 150 ml water
dash of dried Italian herbs
salt and freshly milled pepper to taste
You will also need a kitchen processor, or - even more practical - a hand processor (staafmixer).
Directions:
1. Prepare pasta according to the directions at the package
2. Heat oil or butter and glaze the chopped shallots and garlic in a deep pan, then put in the courgette blocks. Stir evenly, put the lid on the pan and leave for about 5 minutes.
3. Pour in the dilluted chicken stock and herbs, cook until the courgette becomes tender.
4. Lift the pan from the heat, purée the cooked courgette mix in the pan with a staafmixer until it becomes an even mass.
5. Put the pan back to the heat, then mix in the MonChou and stir until it dissolves evenly into the courgette mass. The sauce should be rather thick. Season with salt and pepper.
6. Serve immediately with the warm pasta. For a more filling meal, serve with grilled chicken fillet.
(Image: from pirkka.fi)
Friday, November 24, 2006
Krabby Patty
Description:
Here's an 'official' Krabby Patty recipe from Nick.com.
(Thanks, Mand!)
Ingredients:
2 tbsp. finely chopped onion
2 tbsp. finely chopped celery
4-6 tbsp. vegetable oil
1 tsp. thyme
1 lb. frozen imitation crabmeat, (defrosted and finely chopped in a food processor)
3/4 cup seasoned bread crumbs
1 tbsp. Dijon mustard
2 tbsp. mayonnaise (plus 1 cup for dipping sauce)
2 eggs, lightly beaten
Salt and pepper (to taste)
3 tbsp. ketchup (for dipping sauce)
Directions:
Step 1 - Sauté the onions and celery in 1 tablespoon of vegetable oil. Add the thyme, lower the heat, and cook until the onions are translucent.
Step 2 - In a large bowl combine the crabmeat, sautéed onions and celery, bread crumbs, Dijon mustard, mayonnaise, egg, salt and pepper to taste. Stir to combine.
Step 3 - Shape into rounds by using a small ice cream scoop, then gently pat flat.
Step 4 - Heat 3 tablespoons of vegetable oil in a large skillet. Working in batches (2 to 3 crab cakes at a time) place the crab cakes in a skillet and cook until golden brown, about 2 minutes per side. You may need to add more oil for the second and third batches.
Step 5 - Preheat the oven to 400°F. Transfer the crab cakes to the baking pan and bake for 10 minutes. The crab cakes can be kept in a warm oven for approximately 30 minutes, or they may be reheated at serving time. Serve with a kid-friendly dipping sauce. Mix 1 cup of mayonnaise with 3 tablespoons of ketchup.
Not-So-Fishy Krabby Patty
Description:
The other day, Dhanu made a request for dinner, "I wanna eat Krabby Patty!" (or Krabburger, in Dutch version). That's what you get from watching too much SpongeBob Squarepants. Anyway, I thought I'd just make a normal cheese (beef)burger. But then a friend sent us a *real* Krabby Patty recipe (I'll post that later), which, to my surprise, is made of crab meat instead of beef (*duh*). And the next day, while doing a Google search, I found this one. I'm keeping the recipe here for later use.
Ingredients:
2 x 170 g (6oz) cod or coley fillets, fresh or defrosted, skinned and finely cubed
340 g (12oz) potatoes, cooked and mashed
4 spring onions, finely chopped
2 x 5ml (2 teaspoons) fresh chopped parsley
flour, for dusting
115 g (4oz) garlic and herb soft cheese or Cheddar cheese
1 egg, beaten
115 g (4oz) breadcrumbs
2 x 15 ml spoon (2 tablespoons) sunflower oil
Directions:
1. In a large bowl mix the fish, potatoes, onions and parsley together.
2. Divide the mixture into 12 portions. Dust hands well with flour and shape the portions into rounds and then flatten into a burger shape.
3. Place a spoonful of cheese in the middle of 6 of the burgers, top with another burger, shape and mould both burgers to form one burger.
4. Coat the fish burgers in the egg and breadcrumb mixture.
5. Cook under a moderate heat for 15-20 minutes, turning once, basting lightly with the oil.
6. Garnish and serve with pita bread or buns. SpongeBob likes his Krabby Patties with peanut butter, but sounds yucky to me.
Recipe and photo source: Mommyguide.com
Wednesday, November 22, 2006
[klipping] Kewarganegaraan Ganda utk Anak2 Pasangan Campur
Berhubung sudah hampir pindahan, hampir tiap hari saya browsing soal ini. Ternyata hari Selasa kemarin ini (21 Nov) telah diserahkan SK WN ganda ke anak2 pasangan campuran. Baru ketemu sedikit media yg mewartakan berita tsb:
JawaPos: Menkum HAM Serahkan SK untuk Paspor Ganda (artikel
Detik.com: Penyerahan SK Kewarganegaraan (laporan foto)
Langsung balik lagi ke situsnya Departemen Kehakiman dan HAM utk cari tahu ttg detail dan (mungkin ada) Newsflash-nya.. lho kok nggak bisa diakses ("server not found")
Positive thinking: mungkin mereka sedang memutakhirkan isi situs, atau mungkin karena adanya berita tsb situs mereka kebanjiran pengunjung, jadi server-nya jebol.
Di entry ini saya berniat mengumpulkan klipping ttg kepengurusan kewarganegaraan anak2 hasil perkawinan campuran. Jadi kalau ada yg nemu sumber lain, tolong kasih tau ya. Trims!
Di bawah ini kopian artikel dari Jakarta Post: First children made dual citizens
First children made dual citizens
The Jakarta Post, Jakarta
A
group of 13 children of transnational marriages with foreign fathers,
obtained Indonesian citizenship Tuesday, the first children to do so
following the passage of the citizenship law in July.
Before the new law was enacted, children of transnational marriages
automatically had to follow their fathers' citizenship. Children with
Indonesian fathers are still denied dual citizenship. Currently there are some 300 to 400 other children are waiting for dual citizenship applications to be processed.
Justice and Human Rights Minister Hamid Awaluddin handed over Indonesian passports to the 13 children at a ceremony here.
Hamid said the children, aged between one and 14 years and currently
holding only foreign passports, were given Indonesian citizenship less
than 28 days after they made their official applications. The children were exempted from paying any fees for the passports
because of a transitional administration period, said Melati
Transnational Marriage Community (KPC Melati) head Enggi Holt, who
attended the event.
Hamid said the process of obtaining dual citizenship takes at least 28 days. The immigration office needs 14 days to process the required documents
before handing them over to the Justice and Human Rights Ministry,
which will take up to another 14 days to grant local citizenship, the
minister added.
The newly-enacted citizenship law gives children of transnational
marriages with Indonesian mothers the right to dual citizenship until
they are 18 years old. At 18, they can choose whether to stay Indonesian citizens or follow
their foreign fathers' citizenship. They will be then given three more
years to decide on which nationality to choose. If they are married before the age of 18, their dual citizenship will be revoked. Before the passage of the law, transnational parents had to pay up to
Rp 12 million for a temporary living permit for each of their children
every year.
"Those wishing for their children to have Indonesian citizenship must
register at local justice offices. We have been sending registration
forms to our provincial offices," Hamid said.
He said that the immigration office was not charging any administration fees for the time being. "Please report any unscrupulous officials to KPC Melati and they will forward the complaints to us," the minister said. However, he said, applicants will have to pay an administration fee after he and the finance minister agree on an amount.
In response to the plan, Enggi said her association urged the
government to charge a fair amount, arguing that in reality officials
often collected extra levies.
Dual citizenship applicants must provide four copies of each of the
required documents, all to be certified by the relevant authorities. The documents include a birth certificate, a marriage certificate, the
mother's identity card, the mother's family identification card and a
photo of the child. A letter stating that the child in question is not married is also
required for the application. The applicant must also fill in the
registration form. The KPC Melati said the certification process would be a burdensome,
particularly for transnational children living outside Indonesia.
Monday, November 20, 2006
Stuffed Paprika
Description:
A recipe from Keurslager (a chain butcher in The Netherlands) that has been a success ever since I made it for the first time. Easy, quick and - most importantly - loved by my kids. If served with (white) rice; pour and mix a bit from the cooking juice into the rice for a thorough taste. Fresh green salad is also a good companiment.
Ingredients:
2 big paprika (1 red and 1 yellow)
1 tablespoon vegetable oil
250 g minced beef
75 g feta cheese
1/2 pack of minced meat spice*
salt and freshly milled pepper
8 slices bacon
*) I usually use the readily-mixed one from Silvo, which is made of nutmeg, curry, paprika powder, coriander seed, cayenne pepper, etc.
Materials:
Oven dish
Bowl
Directions:
1. Halve the paprika in length and remove the seeds and their threads. Smear the outer side of the paprika with oil. Smear a flat oven dish, that fits all the halved paprika, with oil. Warm the oven up to 200 Centigrade.
2. Put together in a bowl: the minced beef with crumbled feta, the spice and some salt and pepper in a bowl and mix well. Distribute the minced meat into the halved paprika and put them in the oven dish. Lay 2 slices of bacon on top of each stuffed paprika.
3. Set the dish for 30 minutes in the preheated oven and cover with a layer of aluminium foil when the bacon is coloured too fast. Serve warm with mashed potatoes, french fries, rice, pasta or bread. Salad is a perfect side dish.
Notes:
I don't have a real oven, so what I do is usually cook the whole dish (without the bacon strips) in microwave, to make sure the center part of the minced meat is also well-cooked. Then I put the dish, this time topped with bacon strips, under my old oven grill to get the crunchiness out of the bacon.
Sunday, November 19, 2006
Jurnalisme Komik?
Kopian (edited) dari posting di milis Komik Indonesia, Msg #6217 - tanggapan dari Tita utk diskusi yg di antaranya menyebutkan bahwa comics-diary-nya termasuk jurnalisme (dalam bentuk) komik.
Dear rekan2 se-milis,
Berhubung disebut2 di posting sebelumnya, saya jadi tergerak utk ikut mencari tahu apa sebenarnya comic journalism itu (apa lagi modalnya kalau bukan Google :D). Dari beberapa artikel yg saya temui, kurang lebih bisa saya tarik beberapa point berikut ini:
1. SCOPE: Sejak pertengahan 1980an, komik telah dimanfaatkan sebagai media utk menyampaikan kisah2 non-fiksi yg bertemakan berbagai peristiwa mutakhir. Tema yg diangkat pun sangat beragam: resensi musik dan wawancara dengan anggota band, reportase ttg pengadilan penjahat perang, lapiran ttg hukuman mati, penggambaran sebuah festival, pengalaman keikut-sertaan dalam lari marathon, dsb.
2. STRENGTH: Kekuatan utama comic journalism adalah pada kemampuannya menampilkan hal2 realistik dan hal2 simbolik secara silih berganti. Di sini tentu saja si reporter menyampaikan kisahnya dari sudut pandangnya - dengan demikian memosisikan para pembaca ke dalam situasi yg dilaporkannya tsb. Tidak jarang ia memasukkan pandangan moralnya dalam situasi tsb, karena keterlibatannya yg sangat mendalam pada peristiwa yg dikisahkannya.
Kebebasan dalam menempatkan kata2 dan gambar memungkinkan penuturan peristiwa baik secara subyektif maupun obyektif. Penekanan antara verbal dan visual dapat digunakan utk menitik-beratkan keberpihakan, kerancuan, dan ironi, yang jarang ditampilkan (bahkan sengaja diabaikan) oleh media lain.
3. PERBANDINGAN DENGAN MEDIA (JURNALISTIK) LAIN: Comic-journalists menghadapi kesulitan yg serupa dengan mereka yg bekerja di media lain: pertanyaan mengenai keberpihakan, sumber2 (tak) terpercaya, halangan bahasa dan dilema etika.
Mirip dengan photo-journalism dan video atau film, comic-journalism juga memakai images (gambar2) sebagai penyampaian beritanya. Perbedaannya adalah, gambar2 pada komik tidak berdiri sendiri, tapi seperti ingin menyampaikan keseluruhan kisah sekaligus dalam satu momentum, dan komik memungkinkan tampilnya keseluruhan seri secara bersamaan.
Contoh2 komik yg dikategorikan sebagai comic journalism, yg paling terkenal adalah karya2 Joe Sacco ttg Palestina dan Art Spiegelman (In the Shadow of No Towers - meskipun banyak juga perbedaan pendapat soal ini). Yang terbaru adalah album berjudul Cargo: Comic Journalism Israel-Germany (terbit Oktober 2005). Cargo merupakan kumpulan karya hasil sebuah tim yg terdiri dari 3 komikus Jerman dan 3 komikus Israel, yang, dalam rangka proyek ini, masing2 menuangkan pengalamannya selama tinggal di negara 'lawan'nya tsb (buku ini merupakan salah satu proyek utk memperingati 40 th hubungan diplomatik antara Israel dan Jerman).
Salah seorang komikus dalam tim tsb berujar, "Kami tahu bahwa kami akan membuat sebuah gaya jurnalisme, tapi pertanyaannya adalah ke mana masing2 akan membawanya. Seperti halnya ada banyak macam wartawan - reporter, analis, publicist, kolumnis, dsb - masing2 dari kami akan membuat komiknya dalam arah yg berbeda2". Bentuk jurnalisme semacam ini tidak bermaksud obyektif, dan memang disebut sebagai jalan utk menuangkan lebih banyak perasaan dan emosi terhadap suatu tema, dibandingkan jurnalisme foto atau tulisan.
Back to my own works.
Gambar2 yg saya buat sebagian besar bersifat liputan atau laporan kejadian. Seperti yg disebut Mas Rieza, saya telah membuat beberapa graphic review (= resensi visual?) utk konser atau pertunjukan yg saya tonton. misalkan:
- konser Duran Duran: http://esduren.multiply.com/photos/album/26
- konser Madness: http://esduren.multiply.com/photos/album/34
- konser Strips in Stereo: http://esduren.multiply.com/photos/album/40
- film MirrorMask: http://esduren.multiply.com/photos/album/41
Sebagian besar gambar saya juga merupakan catatan perjalanan, misalkan:
- Barcelona (Spanyol): http://esduren.multiply.com/photos/album/39
- Strasbourg & around (Perancis): http://esduren.multiply.com/photos/album/23
- Brugge (Belgia): http://esduren.multiply.com/photos/album/3
- Finland: http://esduren.multiply.com/photos/album/2
Sisanya, liputan2 kecil dan sentilan hidup sehari2. Comic journalism kah? Dipertimbangkan dari point2 di atas, mungkin termasuk. Seperti kata komikus di tim Cargo tsb, jurnalisme tampil dalam berbagai bentuk: sehingga bila ingin dimasukkan ke comic journalism, gambar2 saya mungkin baru sampai tahap "kolom" atau "yang ringan dan yang lucu" - bukan "berita utama" atau "liputan khusus".
Berikut ini beberapa link yg menarik utk dibaca, berkenaan dengan topik comic journalism:
1. The Case for Comics Journalism: Artist-reporters leap tall conventions in a single bound (by Kristian Williams)
--> Membahas comic journalism secara cukup menyeluruh, dilengkapi dengan contoh2
http://www.cjr.org/issues/2005/2/ideas-essay-williams.asp
2. Adam Rosenblatt on Comics Journalism in CJR - posted March 16, 2005
--> Tanggapan utk artikel di atas (No. 1), yg menyayangkan kurangnya hal penting dalam artikel tsb: bahwa artikel tsb tidak benar2 mendefinisikan APA yg membuat sebuah komik dapat disebut sebagai "jurnalisme"
http://www.comicsreporter.com/index.php/briefings/letters/1222/
3. Comic book journalism: Israeli, German artists team up to create a comic book illustrating their personal perceptions of Tel Aviv and Berlin (by Ashley Perry, EJP)
--> Mengenai proyek "Cargo"
http://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-3193303,00.html
4. Cargo: Comic Journalism Israel-Germany - posted February 24, 2006
--> Resensi "Cargo", disertai beberapa gambar
http://www.comicsreporter.com/index.php/briefings/eurocomics/4339/
Salam,
Tita
Mei 2006
Ngejar-ngejar Sinterklaas
Tadi siang kita keluar rumah bawa anak2 ke jembatan sungai Amstel utk menyambut Sinterklaas. Berangkat sekitar jam sebelas dari rumah naik sepeda, parkir di jembatan Mauritskade yg sudah rame dengan orang tua, anak2, dan Piet Hitam yg mondar mandir ngasih salam ke anak2. Bagian tengah pagar jembatan yg menghadap ke arah Selatan sungai Amstel (dari mana rombongan Sinterklaas bakal muncul) udah penuh manusia, jadi kita bisanya nempel ke pager jembatan yg agak pinggir. Sungai Amstel itu lebar sekali, jadi dari sudut mana pun pasti keliatan.
Pas kita dateng, ternyata rombongan pertama mulai keliatan. Kapal berisi Piet Hitam melaju ke arah kolong jembatan, sementara para penumpangnya melambai2 ke arah orang2 di atas jembatan. Makin lama jumlah kapal makin banyak, sampai menuh2in sungai. Banyak kapal berpenumpang Piet Hitam, ada yg berhias balon2, main musik, nyanyi2, dsb. Cuaca yg dingin-lembab nggak pengaruh ke keriaan anak2 dan para Piet Hitam yg joget2 terus. Selain kapal2 Piet Hitam, ada kapal2 dan sekoci2 yg lebih kecil, isinya keluarga dan anak2 yg ikut meramaikan pelayaran sepanjang sungai Amstel ini.
Kapal uap Sinterklaas datang! Di kejauhan terlihat jembatan Nieuwe Amstel terbuka, rombongan kapal di sungai makin padat. Ada kapal polisi mendahului, disusul kapal2 polisi yg lebih kecil, lalu kapal2 Piet Hitam lagi.. lalu kapal uap besar! Mendekati jembatan, si kapal uap memamerkan suaranya sambil mengepulkan uap putih.. TOOOOOAAAAT..
Jembatan tempat kita berdiri pun siap2 dibuka supaya kapal uap itu bisa lewat. Orang2 menyingkir ke pinggir jembatan sambil terus melambai2 ke arah Sinterklaas dan para Piet Hitam. Ini yg pertama kalinya buat Lindri, jadi dia excited banget melambai2 terus sambil senyum2. Dhanu ekspresinya lebih serius dan dia lebih suka cari2 detail (Piet yg itu punya terompet! Ada Sinterklaas kecil!). Iya, banyak anak2 kecil yg ikutan nunggu Sinterklaas itu pada pakai kostum Piet Hitam atau Sinterklaas, lengkap setopi2nya.
Rombongan kapal lewat jembatan Mauritskade, sambil sekali lagi membunyikan peluit dan menyembur uap, sementara jembatan setelah Mauritskade (Hoge Sluis) mulai terbuka utk memberi jalan lanjutan buat konvoi air ini. Kita langsung ke sepeda, mbuka kunci2nya lalu naikin anak2 lagi sambil nunggu jembatan Mauritskade nutup lagi. Terus kebut sepeda ke arah Nieuwe Herengracht, di mana kita bisa menghadang rombongan itu lagi. Banyak orang lain berencana spt kita, jadi para orang tua yg naikin anak2nya ke sepeda atau bakfiets (sepeda-becak) juga pada buru2 ke arah situ. Sampai di Nieuwe Herengracht, sudah banyak juga orang di sepanjang kanal itu, tapi rombongan Sinterklaas belum lewat.
Segera parkir sepeda, lalu kita bergabung dengan orang2 di pinggir kanal. Kanal ini tentunya lebih sempit dari sungai Amstel, makanya kapal2 yg tadi mendahului kapal uap Sinterklaas harus satu persatu melewati jembatan mungil. Dari dekat begini, anak2 bisa lebih jelas melihat isi kapal2 yg tadi lewat sungai Amstel. Satu kapal penuh Piet Hitam yg main musik, satu kapal sekeluarga sambil piknik, satu kapal polisi, dua kapal Piet Hitam pura2 tabrakan, dst.
Ketika musik makin rame dan nyanyian mulai kenceng, berarti kapal uap makin mendekat. Jembatan mungil mulai terbuka, lalu kapal polisi besar tadi lewat lagi. Kapal2 polisi yg lebih kecil sibuk mengatur jalannya kapal2 kecil lain. Kapal Piet Hitam lagi, lalu si kapal uap! Lindri dan Dhanu masih aja terkesima, sampe lupa melambai2kan tangan. Tapi tampangnya pada penuh kekaguman semua. Pandangan mata mengikuti iring2an kapal2 dari jembatan mungil, terus mengikuti kanal menuju arah Timur (lewat Hortus Botanicus) menuju Scheepvaartmuseum (Museum Maritim) Amsterdam. Di sana Sinterklaas akan turun dari kapal, disambut oleh walikota Amsterdam, sebelum melanjutkan perjalanan keliling kota dengan kuda. Habis melambai di Nieuwe Herengracht kita nyepeda pulang; waktu itu sekitar jam 1 siang.
Sampai rumah, semua lapar, apalagi habis nyepeda dan berdingin2 di luar. Aku bikin lentilsoup (tapi terus diambil Dhanu jadi bikin pumpkin soup juga), makan roti pakai paté, lalu ngomputer sebentar. Lindri mestinya tidur, tp dia nggak mau.. akhirnya dia sama Dhanu nonton TV aja sehabis makan siang. Syb bilang, jam 3 sore Sinterklaas bakal tiba di Leidseplein, jadi bisa kita hadang di Wetering Plantsoen sekitar jam setengah tiga. Ini deket banget dari rumah, bunderan di antara Ferdinand Bolstraat dan Vijzelstraat yg kelihatan dari Heineken Museum (cuma keclek satu kanal, Singel gracht).
Sekitar jam 2 siang, anak2 dibungkus2 lagi pakai jaket, scarf dan boots. Kali ini pakai sarung tangan juga, sebab cuaca mendingin. Malah sebelum kita keluar, sempet gerimis rata sebentar. Untungnya segera berhenti dan matahari malah mulai bersinar pas kita keluar rumah, naik sepeda. Kita nyepeda ke arah Stadhouderskade, terus nyebrang Singel gracht, sampai di bunderan Wetering Plantsoen dan parkir di situ. Jalan2 tram dan mobil sudah di-blok supaya orang2 dan pejalan kaki bisa bebas berkeliaran. Daerah di dekat halte tram sudah penuh orang, jadi kita jalan kaki ke arah Vijzelstraat, cari tempat yg agak kosong.
Lumayan rame juga, banyak anak2 main2 di jalur tram sambil nunggu Sinterklaas. Ada beberapa polisi berjaga2, dan Piet Hitam yg berkeliaran - ada juga gabungan keduanya: Piet Hitam yg bertugas jadi polisi pengaman (atau sebaliknya, polisi yg pake baju Piet Hitam), pakai kostum Piet Hitam dengan rompi polisi tp tulisannya "Pietzie", bukan "Politzie".
Mendekati jam setengah tiga, rombongan pertama datang. Orang2 dan anak2 mulai tertib jejer lagi mepet pagar. Awal2 ada grup marching band, main musik dan berkonfigurasi sepanjang jalan; kostumnya belang2 item-putih. Diikuti beberapa marching band lain, yg semua anggotanya berdandan spt Piet Hitam. Dari awal sampai akhir ini banyak sekali Piet Hitam berjalan kaki, bagi2 pepernoot & snoep ke anak2 di pinggir jalan. Juga bagi2 balon dan bendera. Mereka suka iseng juga, jadi tudung jaket Dhanu diem2 terisi banyak pepernoot, saku celana Lindri juga tau2 penuh pepernoot. Abis kalo ditawarin, anak2 ini ngambilnya dikit, Lindri cuma ngambil satu butir pepernoot saben disodorin segenggam, dan Dhanu selalu malu2 nadahin tangannya. Padahal anak2 kecil lain di sekitar kita pada bawa tas plastik besar, standar buat belanja di Dirk atau Albert Heijn! Hahaha..
Habis marching band, banyak lagi mobil2 yg lewat, terutama mobil2 hias. Ada yg bertema jaman batu dengan mammoth, kaisar Roma, mobil musik. meriam raksasa (yg menembakkan permen), dll. Ada badut, Piet Hitam yg naik unicycle, otopet, dll. Akhirnya rombongan Sinterklaas mendekat. Diawali dengan konvoi Piet Hitam berkuda. Kudanya macem2, tapi semuanya bersih dan gagah, meskipun jenis yg kecil. Rombongan kuda ini sempet berhenti sebentar di depan kita, sebab belakangnya (kuda Sinterklaas) masih ketahan. Pas depan kita kuda Flemmish plough horse, yg rambutnya lebat sampe kaki2nya spt pake boots tebal berbulu2. Sayang film di kameraku udah abis (huhhh).
Setelah rombongan kuda2 ramah ini, kuda putih yg ditunggangi Sinterklaas lewat, Sinterklaas sibuk melambai2 dan kadang2 menyalami anak2 di pinggir jalan. Setelah Sinterklaas lewat, rombongan Piet HItam yg menunggangi kuda tinggi hitam (Frisian horse yg gagahnya minta ampun) menutup seluruh iring2an.
Selewatnya mereka, kita (dan orang2 lain) mulai bubaran. Lindri mulai ngantuk tapi masih senyum2 sendiri sambil bawa bendera. Dhanu sibuk menghitung perolehan sore itu (pepernoot dan snoep dari tudung jaket, dari topinya yg ditadahin, dan dari sakunya Syb) Waktu kita jalan menuju tempat sepeda2 diparkir, ada temen Dhanu, Govert, lewat dibonceng ibunya. Kita ngobrol2 sebentar sambil nontonin Sinterklaas dari kejauhan yg masih sibuk melambai2 ke penonton di sekitar Wetering Plantsoen, sebelum belok sepanjang Weteringschans utk menuju Leidseplein. Di situ kita ketemu temen Dhanu satu lagi, Nan, dengan orang tuanya.
Dari situ kita bubaran pulang; Govert ikut kita ke rumah sebab dia mau main dengan Dhanu. Sampe rumah, Lindri langsung minta tidur (sambil tetep menggenggam benderanya). Pas aku ngetik ini, Govert dan Dhanu sedang sibuk membangun2 Duplo sambil narok2 binatang2 mini di atasnya, kompleks rumah2an kayu, rel kereta, dsb (semua mainan itu dicampur, jadi satu koloni). Sekian cerita penghadangan Sinterklaas hari ini. Foto2 yg diambil sendiri akan menyusul (sebab harus cuci-cetak-scan dulu sebelum bisa upload.. :D)
Foto2: ngambil dari Wikipedia dan situs Sint in Amsterdam 2005
Creamy Broccoli Soup with Tomatoes
Description:
Another recipe from the newest AllerHande that I keep for cold rainy days.
Ingredients:
3 tablespoon oil
2 onions, finely sliced
1 clove garlic, minced
1 pack broccoli rosettes (300 g)
200 g potatoes, in cubes
3 tablespoon crème fraîche
1 liter vegetable stock (from instant stock block)
2 tomatoes
1 spring onion, sliced in rings
50 g hazelnuts, crushed
4 slices of thick bread (self sliced)
Materials
kitchen processor or staafmixer (hand mixer/processor?)
Directions:
- Heat half of the oil and let the onion and garlic turn golden brown in a soup pan.
- Stir in the broccoli and the potato cubes, cook for 1 minute.
- Pour in the créme fraïche and the stock, leave until boiled.
- Put the lid on the pan and let the soup cook in average heat for 15-20 minutes.
- Slice the tomatoes in small blocks (let the liquid and seeds cook in the soup, to give extra flavour).
- Purée the soup with the staafmixer or food processor and season with salt and pepper.
- Spread the tomatoes, spring onion and hazelnuts in the soup. Distribute the soup into four plates and serve with self-sliced bread.
Saturday, November 18, 2006
Seratus Tahun Hergé
Minggu lalu, waktu sedang membayar American Born Chinese di Lambiek, mata yg gak tahan kelayapan di toko ini tertumbuk ke salah satu majalah (Stripgids) dengan judul2 artikel yg menarik (dan tulisan GRATIS di sudut kanan atas! hahaha). Salah satunya judul artikelnya adalah ttg peringatan 100 th Hergé; lumayan utk menambah semangat belajar bahasa Belanda! Berikut rangkuman bebas dari artikel tsb, yg berjudul Het Kuifje van Gwyneth Paltrow: Hergé en zijn nalatenschap (Tintin-nya Gwyneth Paltrow: Hergé dan warisannya), oleh Toon Horsten.
Tahun 2007 nanti, Hergé akan berusia 100 tahun. Sehubungan dengan itu, Stripgids dalam artikel ini mempertanyakan warisan Hergé: Jadi atau tidak museum yg pernah diumumkan dulu? Gimana ceritanya dengan film Tintin-nya Spielberg? Kenapa lama sekali menembus Amerika? Dan apakah akan diteruskan?
Tanpa meninggalkan seorang anak pun, ketika meninggal di th 1983 (diduga karena virus HIV yg belum dikenal, melalui transfusi darah), Hergé (Georges Remi) meninggalkan seluruh warisannya kepada istri keduanya, Fanny Vlaminck. Tak lama setelah itu, Fanny Vlaminck mendirikan Foundation Hergé. Ia menjadi presiden yayasan tsb., namun mempercayakan seluruh aktivitasnya pada para personel yayasan tsb. Menurutnya, suaminya yg sekarang (Nick Rodwell), dengan sepenuh hati menjalankan bisnis ini.
Foundation Hergé berdiri pada tahun 1986 dan terlihat sangat sibuk mengurusi peninggalan Hergé, dengan sister company Moulinsart yg mengurus hal2 komersil. Dengan segera terdengar keputusan mereka. Bob De Moor, pemagang utama Hergé, dilarang melanjutkan Kuifje en de Alfakunst. Sehingga Kuifje en de Picaros tetap akan menjadi album terakhir Tintin.
Fanny Roddel-Flamminck, istri kedua Hergé (foto Bart Van der Moeren)
Kontrol
Kontrol dan pembatasan2 yg dikeluarkan oleh Moulinsart dan Foundation sangat membuat marah para penggemar, atau Tintinofilia. Mereka dengan ketat mengawasi kreasi Hergé, dan ini bukan hanya omong kosong. Misalkan, ketika Gazet van Antwerpen menampilkan resensi biografi Hergé oleh Pierre Assouline dengan ilustrasi beberapa gambar dari album Tintin, koran tsb segera menerima tagihan sebesar 200.000 frank (5.000 Euro).
Tahun 1999, ketika peringatan Tintin ke-70, seorang wartawan RTBF, Hugues Dayez, membuka semuanya dalam bukunya Tintin et les héritiers. Chronique de l'aprés-Hergé. Kesimpulan Dayes pada buku tsb adalah: sejak meninggalnya Hergé, para pewarisnya terus menumpuk masalah dan tidak membuat kenangan yg baik terhadap Hergé. Koran mingguan Kuifje dan rekannya yg berbahasa Perancis Tintin lenyap; merchandising terlalu mahal; pertengkaran dan perbedaan pendapat dengan teman2 Hergé dan Tintin makin tajam; ... Gambaran yg diajukan Dayes hanya sedikit yg positif, sebuah harga yg harus dibayar oleh Nick Rodwell, suami kedua Fanny Vlaminck yg adalah delegasi pelaksana dari Foundation Hergé dan Moulinsart.
Sejak itu, Foundation melonggarkan cengkeramannya. Kerjasama dengan koran dan majalah dalam dan luar negri makin melebar (Gazet van Antwerpen dan koran saudaranya Het Belang van Limburg bahkan kini dapat memenuhi koran2 mereka dengan ilustrasi dari album2 Tintin tanpa sama sekali dipungut bayaran), komunikasi mereka dalam beberapa tahun belakangan ini lebih terbuka dan lebih konstruktif dari sebelumnya.
Pusat perhatian
Salah satu lanjutan yg ditunggu2 dari peninggalan Hergé adalah pembukaan museum Tintin. Telah bertahun2 direncakanan dan dirancang di Brussels, tapi pembicaraan berkepanjangan tidak menghasilkan tanda2 baru. Akhirnya Foundation mengumumkan bahwa proses penyelesaian museum yg berlokasi di kota pelajar Louvain-La-Neuve, area Ottignies, akan dipercepat. Rencananya pembukaan museum ini akan dipaskan dengan peringatan seabadnya Hergé, namun baru akan selesai th 2009. Realisasi proyek ini bernilai 2 juta Euro, yg 80%-nya ditanggung oleh pemerintah daerah Waal.
Sepertinya museum ini benar2 akan diwujudkan. Pada bulan Mei lalu telah berlangsung pertemuan pertama dengan para pengembangnya; menteri turisme Waal, Benoit Lutgen menyatakan semua yg berkaitan dgn museum tsb sedang dipercepat. "ini adalah proyek yg penting utk kami", katanya, Museum ini akan menjadi pusat perhatian bagi area Ottignies, penting utk Wallonia, untuk Belgia dan juga utk Eropa. Sehingga saya secara pribadi turun tangan demi kelancaran administratif proyek ini".
Klasifikasi pertama utk museum ini sedang disusun oleh Philippe Goddin dari Foundation Hergé, Thierry Groensteen mantan direktur museum komik di Angouleme, dan seniman Clear Line dari Belanda Joost Swarte. Desain yg dibuat Swarte utk de Toneelschuur di Haarlem (Belanda) sangat mengagumkan, sehingga teknisnya dilanjutkan dan direalisasikan oleh para arsitek dan insinyur menurut gambarnya tsb. Mungkin berkat gabungan karya antara komik-arsitektur ini lah Foundation Hergé mengajak Swarte dalam tim pengembang. Arsitek utk museum Tintin adalah Christian de Portzamparc.
Hergé ketika mengunjungi museum lilin Grévin di Paris pada th 1960 (copyright Hergé/Moulinsart/Michel Roi 2006)
Amerika
Penjualan album Tintin di Amerika selalu berskala kecil2an. Meskipun tidak pasti, ada berbagai penjelasan dari penyebab situasi ini. Memang ada pengaruh Hergé pada komikus Amerika, namun tidak terlalu nyata. "Saya selalu kaget akan sakralnya kekaguman pada Tintin di Eropa," kata Daniel Clowes, pencipta Ghost World. "Saya pecinta buku, dan mengagumi karya Hergé, tapi karena di masa remaja saya tidak pernah punya album Tintin, saya juga tidak memelihara budaya populer, nostalgia mendalam yg berpengaruh pada karya."
"Tintin pada dasarnya terlalu aseksual untuk meraih sukses di Amerika", ujar Chris Ware yg terkenal dengan Jimmy Corrigan. "Dalam kisah2 Hergé hampir tidak ada perempuan, dan didominasi oleh rasa tanggung jawab dan penghargaan yang terkait dengan karakter Amerika; atau paling tidak demikian anggapan seorang anak laki2 9 tahun yg sedang tumbuh dan maunya membakar2 barang dan dibesarkan oleh banyak cerita2 bertema kekerasan. Saya sendiri tidak pernah yakin apakah ada tokoh yg mirip Tintin dalam budaya Amerika. Saya pernah membaca beberapa fragmen dari Tintin dalam majalah yg dilangganankan oleh ibu saya ketika saya masih kecil, dan saya anggap kisah itu sangat, sangat aneh; saya sama sekali tidak suka. Dapat segera kita lihat bahwa kisah itu 'aman', dan ini langsung membuat saya menolaknya, karena sepertinya tidak ada hubungannya dengan dunia orang dewasa, di mana kekuatan super dan pemberantasan kejahatan terjadi sehari2. (Sekarang ini tentu saja saya sangat suka Tintin.)"
"Mungkin ini ada hubungannya dengan karakter bangsa", demikian Seth, komikus Kanada. "Amerika dan Perancis atau Belgia adalah tempat yg berbeda dan saya kira media populer dari dua budaya yg berbeda ini mencerminkan karakter kedua negri ini. Amerika (pada akhirnya) mengambil pahlawan super sebagai idola (role model), yg sepertinya memainkan peran serupa dengan Tintin di dunia. Perbedaan antara Tintin dan Superman ternyata menampilkan persamaan2 yg menarik, dan saya kira hal ini menampilkan dengan jelas bagaimana orang Amerika dan orang Eropa memandang dirinya masing2. Saya kira adalah bukan kebetulan bahwa dua icon ini sangat populer di tahun 30an dan selama Perang Dunia II. Saya tidak akan merepotkanmu dengan sebuah essay ttg apa yg dibela oleh dua tokoh ini. Hal itu sudah cukup jelas, menurut saya".
E.T.
Gebrakan ke pasar Amerika mungkin dapat terlaksana bila film Tintin oleh Steven Spielberg benar2 terwujud. Spielberg mengenal Tintin sejak th 80an melalui Melissa Matheson, pembuat skenario E.T. yg saat itu masih bersuamikan Harrison Ford. Spielberg langsung tertarik pada tokoh utama dan karakter2 pendukungnya. Dreamworks, rumah produksi Spielberg, telah mengurus hak pembuatan filmnya dengan Hergé. Spielberg merencanakan sebuah trilogi, di mana pada awalnya tersebut nama Francois Truffaut sebagai sutradaranya. Belakangan posisi tsb jatuh ke Roman Polanski, yg telah menggarap naskah dari album Tintin Tongkat Raja Ottokar selama bbrp bulan.
Namun dengan meninggalnya Hergé, proyek ini terpaksa tertunda. Spielberg telah mengantungi hak pembuatan film ini sejak 1987, tapi membiarkannya terbengkalai selama ini sehingga sepertinya tak akan terwujud. Akhirnya pada th 2002 yg lalu, skenario diperbarui dan Moulinsart dan Dreamworks menanda-tangani perjanjian kerjasama. Bulan Februari 2003, Le Soir bahkan mengumumkan bahwa para pemeran telah mulai dipilih. Spielberg mempertimbangkan Gwyneth Partlow utk memerankan si wartawan berjambul. Utk Kapten Haddock: Richard Gere, diva opera Bianca Castafiore: Courtney Love. Demikian menurut Le Soir. Namun sejak itu tidak ada lagi kabar dari pihak Spielberg.
Nick Rodwell hingga sekarang masih sangat berharap bahwa Spielberg tetap akan membuat film Tintin. Mungkin tidak sebagai sutradara, namun sebagai produser. "Ini adalah proyek yg tertidur selama 25 tahun", katanya ketika ditanya. "Sementara ini sinopsis dan versi pertama dari skenarionya telah disetujui. Kami harap Desember ini membawa beberapa keputusan. Saya bertekad memastikan apakah proyek ini akan dilanjutkan atau tidak".
Ilustrasi: Ulf K., copyright Ulf K., 2006
Selanjutnya, artikel ini meliput ttg karya Hergé sebagai seniman (di luar album Tintin), dan festival2 dan pameran2 yg berkenaan dengan Hergé dan Tintin. Kutipan dari Chris Ware, Daniel Clowes dan Seth diambil dari seri wawancara yg mendahului peluncuran Tintin et Moi di Amerika. Di sisi artikel terdapat sebuah boks berisi daftar buku2 ttg Hergé dan rekomendasinya masing2 (dalam jumlah bintang), demikian:
HARUS DIBACA
Hergé. Biografie - Pierre Assouline, Meulenhoff-Kritak (***)
Tintin et les héritiers: Chronique de l'aprés-Hergé - Hugues Dayes, Luc Pire (***)
Hergé: Chronologie d'une oeuvre - Phillipe Goddin, Moulinsart (lima dari tujuh seri telah terbit) (****)
De Wereld van Hergé - Benoit Peeters, Casterman (****)
Hergé. Zoon van Kuifje - Benoit Peeters, Atlas (*****)
Tintin et moi - Numa Sadoul, Flammarion (****)
De avonturen van Hergé - Stanislas-Bocquet-Fromental, Oog & Blik/De Harmonie (biografi berbentuk komik) (***)
Essay RG - Huib van Opstal, Delange (****)
JANGAN DIBACA
Hergé Autrement - Stéphane Steeman, Luc Pire (o)
Dhanu Bikin Paspor Baru
Sudah sejak beberapa bulan lalu tanggal berlakunya paspor Dhanu lewat. Berarti dia harus bikin yg baru, sebab sebentar lagi bakal sangat diperlukan. Sebelumnya dia perlu bikin pasfoto dulu. Biasanya utk foto identitas begini, kita perlu pakai jasa tukang foto, tapi sekarang tidak lagi. Sudah ada mesin foto otomatis di cityhall yg khusus utk membuat pasfoto ini (beda dengan mesin2 foto yg di stasiun2) - tapi sayangnya Dhanu takut sama mesin ini.
Waktu percobaan pertama ke cityhall (di mana dia harus bikin foto), saya nggak ikut. Hari Senin, Dhanu pergi langsung ke sana sepulang sekolah (dia bubar jam 3 sore) dengan bapaknya; saya hanya perlu menanda-tangani surat pernyataan bahwa sebagai ibu saya setuju Dhanu apply paspor sendiri. Menurut cerita Syb, susah sekali bikin Dhanu masuk ke boks mesin foto itu. Alesannya macem2, hampir semuanya adalah fantasi dia, seperti pijaran lampunya akan membawa dia ke dimensi lain, bakal ada tangan2 robot keluar dari dinding2 boks, ada monster ngintip, dsb. Sepertinya dia memang takut berada di ruang sempit sendirian, meskipun hanya beberapa detik saja.
Akhirnya setelah omelan2 ketus dari Dhanu dan satu sesi bujukan, pasfoto berhasil dibuat. Tentu saja tampangnya jadi cemberut. Tapi akibat terlalu lama bikin pasfotonya, kita nggak bisa ngurus paspor hari itu, karena batas pelayanannya sampai jam 4 sore. Yah, pokoknya pasfoto sudah dibuat dan lain hari saja ke sini lagi utk ngurus paspor.
Pasfoto Dhanu terbaru, tampangnya marah.
Percobaan kedua, direncanakan hari Rabu siang (tiap Rabu sekolah Dhanu bubar pk. 12:30). Kami ada pertemuan dengan guru Dhanu pk. 14:00 (ada tatap muka rutin utk membicarakan perkembangan anak) dan setelah itu rencananya kita akan bawa Dhanu langsung ke cityhall. Ternyata hari ini gagal lagi, sebab sepulang sekolah Dhanu langsung main ke rumah temennya. Ya sudah, lain hari saja.
(p.s. Sebenernya ada percobaan kesatu-setengah, yaitu Rabu pagi - tapi ternyata petugas cityhall bilang bahwa Dhanu juga harus hadir sendiri dalam pembuatan paspornya. Heh, bener juga. Makanya kita niat balik siangnya}
Percobaan ketiga, hari Jumat pagi. Seluruh keluarga ikut, Dhanu sebagai yg punya paspor, bapak dan ibunya sebagai orang tua pemberi ijin, dan Lindri sebagai penggembira (lha kalo ditinggal sendiri di rumah siapa yg jaga). Setelah heboh mendandani anak2 dengan jaket lengkap dan sepatu, naikin mereka ke sepeda dan mengayuh sampai di cityhall, Syb nyadar bahwa ada yg kelupaan: pasfoto! Terpaksa dia balik lagi, sementara aku dan anak2 nunggu di cityhall.
Cityhall regional ini nggak pernah penuh orang. Begitu masuk, di meja resepsi kita bilang keperluannya apa, terus mereka yg kasih nomer tertentu. Lalu kita bisa langsung duduk di bangku2 ruang tunggu yg menghadap ke meja2 pelayanan. Ada mesin kopi dan air putih di dekat resepsionis, dan ada boks mesin foto ('mesin waktu'-nya Dhanu) di pojokan lain. Ada satu rak yg isinya berbagai folder dan selebaran informasi urusan cityhall (judul2nya spt, "Anda ingin jadi warga Belanda?", "Wajib bawa bukti identitas, apakah itu?", "Jadual kolam renang Amsterdam Selatan", "Aktivitas komunitas di distrik Pijp", dsb.). Ada juga tumpukan majalah gratisan yg isinya informasi berbagai hal di kota (tempat makan, pertunjukan, dsb).
Sementara nunggu Syb ngambil pasfoto di rumah, Dhanu dan Lindri main2 di ruang tunggu itu. Nyelip2 di antara bangku2, ngambli setumpuk brosur terus disebar2 seolah2 nganter pos ke orang2 yg nunggu (nggak banyak, cuma saya dan 2-3 orang lain yg cepat dipanggil ke meja layanan dan urusannya segera selesai), pokoknya anak dua ini sibuk sekali. Biar agak tenang, saya suruh baca2 majalah informasi kota saja, dan ternyata ada satu halaman yg bikin Dhanu tercengang kagum: foto seorang kolektor Lego, di depan Legonya yg disusun jadi roller coaster. Pas Dhanu sedang mangap2 wooow cooool gitu, Syb dateng *fiuh*..
Foto dari majalah info-kota, ttg koleksi (yg ini koleksi Lego; di artikel yg sama ada juga ttg koleksi Donal Bebek dan koleksi T-shirt)
Nggak lama kemudian nomer kita dipanggil, semua maju ke meja. Saya dan Syb masing2 tanda tangan di dua formulir, petugas memeriksa foto dan komentar ke Dhanu, kok nggak ada senyumnya? Dhanu mesem2 aja. Terus Dhanu, si empunya paspor, harus tanda tangan di paspornya. Si petugas bilang ke Dhanu, "Kamu sudah besar kan ya? Bisa tulis nama sendiri di kotak ini. Tapi jangan keluar garis, ya!". Dhanu ambil formulir dan spidol dari petugas itu, terus ndeprok di lantai utk nulis namanya. Begitu selesai, formulir itu diserahkan sendiri sama Dhanu dengan bangga, "Lihat, saya bisa, bagus dan rapih!". Di dalam kotak tanda tangan tertulis DHANU; dan nanti akan tercetak di paspornya!
Setelah bayar, urusan kita selesai, dan paspor bisa diambil minggu depannya. Dhanu tetep harus ikut, tapi orang tua boleh salah satu saja, nggak harus lengkap. Gampang sekali ngurus paspor dan dokumen2 lain di cityhall ini, tempat nyaman, layanan ramah dan jelas dan prosesnya cepat. Paspor ini cuma awal dari urusan kita selanjutnya. Habis ini urusan kita bakal banyak ke birokrasi a la Indonesia - terutama dengan KBRI dan bea cukai. Brace yourself!
Foto paling atas: paspor Dhanu yg lawas, fotonya waktu dia baru berumur 5 bulan. Kalau paspor baru udah jadi, nanti saya scan juga.. terutama tanda tangannya! hehe..
Wednesday, November 15, 2006
Orange Cake
Description:
I saw the recipe today in the new AllerHande (a free magazine from Albert Heijn supermarket) and was tempted to try it out one day. When I have a proper oven :D In the meantime, I'm giving a chance for people with better baking skills, experience and facilities to try this recipe first *winking at Chica*
p.s. The recipe is freely translated from Dutch. Please forgive my mistakes - especially on baking terms (corrections are welcome!)
Ingredients:
2 oranges, cleanly scrubbed
200 g flour, sieved
50 g cacao
200 g cold butter, in blocks
200 g white sugar
6 eggs
1 lemon
Materials
food processor, plastic foil, baking paper, cake form (diameter about 24 cm), filling (i.e. dried pods)
Directions:
- Grate finely the skin (peel) of 1 orange.
- Mix in the food processor: flour, cacao and grated orange peel with 125 gr butter, 100 gr sugar and 1 egg until becoming a (sticky) dough. Pack in the plastic foil and leave in the fridge for 30 minutes.
- Heat the oven for 200 ºC.
- Roll out the dough with flour
- Cover the greased cake form with the dough. Spread baking paper over the dough and pour over the filling (to prevent the base of the cake from raising).
- Bake the cake base until lightbrown for 25 minutes.
- Squeeze out 1 orange and the lemon.
- Slice the grated orange into six pieces, halve and throw away the peel and seeds.
- Melt the rest of the butter in a pan.
- Whip in the food processor: 5 eggs and the citrus juice with 100 gr sugar and 1 knifepoint salt until frothy. Pour in the melted butter while the machine is turning.
- Take the cake form out of the oven, toss away the filling and baking paper. Pour the egg mix in the cake form and arrange the orange pieces over the mix.
- Bake the cake for 25-30 minutes until done.
Sunday, November 12, 2006
SBS Holland sketch & scrap
Friday, November 10, 2006
I Wanna be Totoro's Neighbour!
And I want to ride the Cat Bus!
Well, who doesn't?!
Dhanu has watched Totoro once, when he was much younger. It's only recently (starting about a couple of weeks ago) that he watches the movie again, along with Lindri. These kids have special expressions on their faces everytime they watch Totoro; like an amazement, mixed with wonder and excitement. They are really absorbed by the characters and the story; how everything sounds and moves.
Knowing Dhanu, he would draw what he likes and he did, for Totoro. Yesterday, coming back from Delft, I found him waving a piece of paper at me: his drawing of Totoro holding an umbrella while laughing (because the rain water drops and makes loud noise on the umbrella). - a scene he likes a lot. Sybrand said he did the drawing in five minutes, really concentrating, and here's the result:
I can be a bragging mother once in a while, can't I? hee hee..
Image: from Totoro.org - The Champor Tree
Wednesday, November 1, 2006
Neil Gaiman's Hallowe'en Piece for the NY Times
Allright - I thought I'm over with being scared by mere texts of ghost stories. Not!
The last time I got goosebumps from reading was by Bram Stoker's Dracula, a book that is perfect for dark stormy days, a thick blanket and a pot of steaming tea, several years ago. Afterwards, I read Stephen King's short story collections, which amused me in a giggly way, but not really gave me any fright.
Then came the day (yesterday) when I opened Neil Gaiman's journal and clicked the link to his Op-Ed piece for the New York Times. It was morning, the day was quite sunny (alternated by occassional rains), but I was alone in the house. Hungry for Neil's writing (yup - I haven't had the chance to buy me Fragile Things), I rightaway devoured the article.. seems like a childhood memoir, I thought.. but then..
Well I'm not going to tell you everything. Go ahead, read and treat yourself some chills, here: Ghosts in the Machines - New York Times
PS. I'm tempted to copy a part of the article that chilled my spine (pasted below). However, I suggest you to read the whole article for a real treat, no trick!
*
Now I write fictions, and sometimes those stories stray into the
shadows, and then I find I have to explain myself to my loved ones and
my friends.
Why do you write ghost stories? Is there any place for ghost stories in the 21st century?
As
Alice said, there’s plenty of room. Technology does nothing to dispel
the shadows at the edge of things. The ghost-story world still hovers
at the limits of vision, making things stranger, darker, more magical,
just as it always has ....
There’s a blog I don’t think anyone
else reads. I ran across it searching for something else, and something
about it, the tone of voice perhaps, so flat and bleak and hopeless,
caught my attention. I bookmarked it.
If the girl who kept it
knew that anyone was reading it, anybody cared, perhaps she would not
have taken her own life. She even wrote about what she was going to do,
the pills, the Nembutal and Seconal and the rest, that she had stolen a
few at a time over the months from her stepfather’s bathroom, the
plastic bag, the loneliness, and wrote about it in a flat, pragmatic
way, explaining that while she knew that suicide attempts were cries
for help, this really wasn’t, she just didn’t want to live any longer.
She
counted down to the big day, and I kept reading, uncertain what to do,
if anything. There was not enough identifying information on the Web
page even to tell me which continent she lived on. No e-mail address.
No way to leave comments. The last message said simply, “Tonight.”
I
wondered whom I should tell, if anyone, and then I shrugged, and, best
as I could, I swallowed the feeling that I had let the world down.
And then she started to post again. She says she’s cold and she’s lonely.
I think she knows I’m still reading ....
*