http://www.40075km-comics.net/?lang=en
Everyday we move from one place to another. Wether it is from our bedroom to the bathroom or from a country to another. 40075 km invites you to publish the stories behind these short or long trips.
This narration project is open to all of you graphic artists. It’s simple, free and easy.
Tuesday, November 29, 2005
Monday, November 28, 2005
Rampokan Exhibition in Yogya (articles)
Some clippings from local newspaper about Peter van Dongen's exhibition in Yogyakarta (thanks to Suryo from Komik Alternatif mailing list for the info).
The first article from Kedaulatan Rakyat contains an announcement about the exhibition, along with an interview with Anggi Minarni, the Director of Karta Pustaka Yogyakarta (where the exhibition is held). My nickname is not the only word that was misspelled in that article.
The second article from Kedaulatan Rakyat contains opinions from Hasmi, creator of the legendary Gundala Putra Petir, who opened the exhibition. His points are: in creating comics, great skills should be improved by creativity (which is the biggest challenge in this Internet era), artists should understand the overall background of their subjects (be resourceful! - and diligent).
Kedaulatan Rakyat 9 Nov 2005
Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik
YOGYA (KR) - Karta Pustaka bersama Erasmus Huis menyelenggarakan acara ‘Peter van Dongen, Kartunis dan Re-kan Pembuat Komik Indonesia: Motulz, Titi, Cahya dan Beng’ di Pendapa Karta Pustaka, Jl Bintaran Tengah 16, Jumat 11 November mendatang dibuka pukul 19.30. Pembukaan akan dilakukan komikus Yogya, Hasmi pencipta tokoh komik Gundala Putra Petir.
Direktur Karta Pustaka, Anggi Minarni mengatakan, kegiatan ‘Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik’ sebenarnya diilhami oleh perayaan di Indonesia sehubungan dengan 60 tahun Kemerdekaan. Erasmus Huis akan menggelar karya kartunis Belanda Peter van Dongen, kelahiran Amsterdam tahun 1966 bersama karya lain dari generasi baru kartunis Indonesia. “Kartunis Indonesa banyak dipengaruhi oleh gaya buku komik Eropa: Motulz, Titi, Cahya dan Beng,” katanya.
Setahu Anggi Minarni, Peter van Dongen mengawali karirnya sebagai penabuh drum dalam sebuah kelompok musik ska-reggae pada awal tahun 80-an. Setelah enam tahun dan sejumlah album singlenya, ia kemudian jatuh cinta pada komik. Sejak kecil, Peter van Dongen sudah mengagumi garis-garis jelas pada gaya kartunis Herge, Jacons dan kemudian Franquin dan Chaland. Ia berhasil melanjutkan studinya di jurusan gambar profesional di Sekolah Tinggi Grafis Amsterdam, namun sayangnya ia tidak berhasil masuk Reitveldas-cademie.
Namun demikian, Van Dongen tidak berhenti menggambar dan pada tahun 1990, ia melakukan debut dengan diterbitkannya Theatre of Mice (Casterman). Tahun 1991, karya Van Dongen memperoleh penghargaan Buku Komik Terbaik dari ‘Stripschappenning’, sebuah penghargaan dari komunitas kartunis Belanda. Pada tahun 1998, Van Dongen mengeluarkan buku baru berjudul ‘Rampokan: Java’ (Ong & Blik). Dongeng tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia yang merupakan tanah leluhur Van Dongen ini mendapatkan sambutan yang lebih baik daripada debutnya. Kembali Van Dongen memperoleh penghargaan ‘Stripschappening’ untuk karyanya ini sebagai Buku Komik Terbaik tahun 1999, serta penghargaan ‘Prix du Lion’ 1999 di Brusel. ‘Rampokan: Java’ turut diterbitkan oeh Joost Swarte. Pada tahun 1998, baik penulis maupun penerbit memperoleh penghargaan untuk Desain Buku Terbaik. Edisi kedua dan terakhir Rampokan berjudul ‘Rampokan” Celebes’ diterbitkan tahun 2004. (Jay)-o
Kedaulatan Rakyat 14 Nov 2005
KOMIKUS ‘GUNDALA PUTRA PETIR’ HASMI: Komik Indonesia Jangan Sekadar Meniru
YOGYA (KR) - Para komikus alias pembuat komik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Persoalannya, apakah mereka memiliki kreativitas yang tinggi sehingga tidak sekadar meniru ? Kreativitas dalam menggarap tema dan karakter yang benar-benar ‘Nge-Indonesia’. Komikus Indonesia jangan sekadar meniru dari negara maju seperti Jepang, perlu membuat komik khas Indonesia.
Demikian ditegaskan Hasmi, komikus dari Yogya yang terkenal dengan karyanya ‘Gundala Putra Petir’ saat membuka Pameran Komik ‘Peter Van Dongen dan Rekan Pembuat Komik Indonesia’ di Pendapa Karta Pustaka, Bintaran Tengah, Jumat (11/11) malam. Selain karya Peter Van Dongen ditampilkan pula karya Motulz, Tita, Cahya dan Beng. Pembukaan pameran tersebut diberi pengantar Direktur Karta Pustaka, Anggi Minarni.
Menurut Hasmi, tantangan membuat komik saat ini memang soal kreativitas. Masalahnya, media, teknologi komputer sudah menjadi bagian industri dari komik itu sendiri. “Persoalan bakat yang besar, adakah dibarengi kreativitas yang tinggi ?” tanya Hasmi. Ia hanya memberi ilustrasi, membuat komik itu sebenarnya harus memahami sosio-kultur dari materi yang akan diga-rap. Lihatlah karya Peter Van Dongen begitu ingin menghadirkan komik bercerita tentang Indonesia atau Asia, karakter orang-orang Indonesia atau Asia sangat kuat muncul dalam karya tersebut. Tak hanya itu, setting bangunan, cerita benar-benar digali dari sosio-kultur Indonesia. Pada prinsipnya, komikus sebelum menuangkan dalam karya sudah memiliki sejumlah referensi sosio-budaya, dipadukan dengan kemampuan imajinasi, akhirnya menjadi karya yang berkualitas dalam rentang waktu yang panjang. “Saya mengungkapkan hal ini sebenarnya bercermin dari diri sendiri. Saya membuat komik Gundala Putra Petir, justru memiliki bayangan tentang Eropa. Padahal saya sendiri tidak mengenal betul Eropa. Tapi, bagaimana lagi semua sudah kebacut alias telanjur,” ucapnya terus terang. Herannya, justru karya tersebut banyak yang memuji dan melekat betul dalam memori masyarakat.
Dalam pengamatan Hasmi, Yogyakarta dengan potensi seniman mudanya merupakan lahan sumber tumbuh-kembangnya komik. “Potensi yang besar memang harus digali dengan segala proses, ketekunan. Syukur komikus mampu membuat mashab, aliran sendiri, serta gaya tersendiri dalam karya yang dihasilkan,’ harapnya yang malam itu merasa berbahagia karena sepanjang hidup baru 2 kali membuka pameran komik. Meski dalam hal ilustrasi itu sendiri, atau komik tidak mengenal ‘mashab’, tetapi karakter karya dari goresan spontanitas bisa dilacak dari mana karya itu berasal. “Saya sendiri juga tidak setuju dengan Manga dari Jepang,” katanya tanpa memerinci, kenapa tidak setuju.
Hasmi juga berharap dari komikus muda, tetap saja muncul kreasi. Bahkan, siapa tahu dari kreasi ada penerbit yang mau berbaik hati menerbitkan, kemudian didistribusikan dan direspons pembaca. Sedangkan Anggi Minarni dalam pengantar antara lain mengatakan peristiwa pameran komik sekarang ini masih langka. “Kalau mendatangkan karya dari Belanda kemudian dipersandingkan dengan komikus Indonesia, harapannya bisa merangsang komikus Indonesia berkreasi.” tandasnya. (Jay)-o
Kompas 15 Okt 2005
Upaya Meraih Pasar dengan Format Baru
BI Purwantari
”Di komputer tertulis stoknya masih ada, kenapa saya dan Anda tidak bisa menemukan buku itu?” tanya seorang pembeli di sebuah toko buku besar di Jakarta dengan nada meninggi. Wajah si penjaga toko tampak bingung dan hanya bisa menjawab, ”Maaf, kami sedang membereskan stok buku.”
Setengah putus asa si pembeli menghampiri tumpukan ratusan komik, membolak-balik komik-komik tersebut. Karena yang dicari belum ditemukannya, ia beralih menuju rak bertuliskan cerita remaja. Satu persatu dibacanya judul tiap buku. Sekitar lima belas menit kemudian terdengar seruannya, ”Ah..ini dia..ketemu juga akhirnya!” Rupanya buku yang dicari tersebut terletak agak tersembunyi sehingga tidak mudah dilihat pembeli.
Buku yang dicari itu berjudul Selamat Pagi Urbaz, Sebuah Novel Grafis karya Beng Rahadian. Meskipun disebut novel grafis, tetapi formatnya tidak jauh berbeda dengan komik: menggunakan panel-panel gambar dengan balon untuk dialognya.
Di toko buku ini kita dapat menyaksikan tumpukan menggunung komik seperti Kung Fu Boy, Detektif Conan, Kapten Tsubasa, Yugi Oh, dan lainnya di antara rak-rak buku. Masih ditambah lagi komik-komik beraliran manga lainnya dipajang di rak dengan posisi yang mempermudah pembeli mencarinya. Sementara itu, karya Beng Rahadian tadi maupun buku novel grafis lainnya berjudul Split karya Bayu Indie hampir-hampir tak tampak di deretan rak buku yang ada.
Novel grafis, sebuah istilah yang dipopulerkan pertama kali oleh Will Eisner di Amerika Serikat pada paruh terakhir tahun 1970-an, merujuk pada sebuah bentuk komik yang mengambil tema-tema lebih serius dengan panjang cerita seperti halnya sebuah novel dan ditujukan bagi pembaca bukan anak-anak. Istilah ini sebenarnya dipakai oleh Eisner lebih untuk mencuri perhatian perusahaan penerbit tempat ia menyerahkan naskah komiknya di tengah-tengah dominasi pengertian komik sebagai bacaan murahan dan penguasaan pasar pada era itu.
Di Indonesia sendiri, istilah ini belum lama dipakai oleh komikus lokal yang melahirkan karya komik dengan alur cerita seperti halnya sebuah novel, seperti karya Beng Rahadian berjudul Selamat Pagi Urbaz ataupun Split hasil goresan Bayu Indie. Kedua komikus ini bersama-sama dengan penerbitnya, Terrant Comics, secara eksplisit menyebut di sampul depan bukunya sebagai karya novel grafis. Karya lain yang belum lama ini diluncurkan adalah Rampokan Jawa, versi terjemahan bahasa Indonesia dari Rampokan Java, buah karya Peter van Dongen, komikus keturunan Indonesia berkewarganegaraan Belanda.
Dari segi bentuk, kedua karya ini tidak jauh berbeda dengan bentuk komik umumnya. Bahkan dari aspek cerita pun sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dengan karya yang tidak disebut novel grafis. Di kedua karya ini elemen-elemen humor dan kekerasan juga tampil seperti halnya di dalam komik-komik umum. Selain itu, karya komik pada umumnya sebenarnya juga bukan konsumsi anak-anak saja. Banyak pembaca remaja hingga orang dewasa yang juga gandrung membaca komik.
Namun demikian, pihak penerbit memiliki alasan tersendiri untuk menyebutnya sebagai novel grafis. Pandu Ganesa dari Pustaka Primatama yang menerbitkan Rampokan Jawa menyebut, ”Gambarnya sangat indah dan ekspresif. Dari segi cerita juga mampu membuka mata pembaca tentang hal-hal yang selama ini tidak diketahui masyarakat.” Sedangkan Oktavia, General Manager Terrant Comics, menyatakan, ”Masih jarang komikus lokal membuat karya berbentuk cerita yang panjang seperti novel. Selama ini pasar dibanjiri oleh bentuk komik-komik Jepang.”
Apa pun alasan penerbit, karya novel grafis yang beredar di Indonesia mempunyai perbedaan dengan komik-komik yang saat ini mendominasi pasar: komik terjemahan, terutama dari Jepang. Meskipun harga jual novel grafis tidak jauh berbeda dengan komik terjemahan, yaitu sekitar Rp 12.000 hingga Rp 15.000, tetap ada perbedaan perlakuan pasar terhadap kedua produk tersebut. Ilustrasi di awal tulisan cukup memberi gambaran tentang hal ini. Perbedaan keduanya semakin jelas bila kita bandingkan jumlah copy yang dicetak untuk sebuah judul. Kedua karya Terrant Comics yang diterbitkan tahun 2004 dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Hingga Oktober 2005 jumlah yang terjual baru separuhnya. Demikian pula dengan Rampokan Jawa, hanya dicetak 3.000 eksemplar. Tahun 2001 Galang Press pernah menerbitkan karya Seno Gumira berjudul Jakarta 2039, yang oleh Hikmat Darmawan, pengamat komik, juga dikategorikan sebagai novel grafis, hingga kini hanya terjual 700 eksemplar dari 2.000 eksemplar yang dicetak.
Situasi yang sangat berbeda terjadi pada komik-komik terjemahan. Serial Detektif Conan misalnya, setiap judul seri komik terbitan Elex Media Komputindo ini diproduksi hingga 90.000 eksemplar. Sementara judul komik terjemahan lainnya bisa mencapai 10.000 eksemplar.
Situasi pasar yang tidak terlalu menyambut ini agaknya tidak membuat jeri para penerbit novel grafis. Seperti dinyatakan Oktavia, ”ini semacam proyek idealis kami, menerbitkan karya yang betul-betul karya orang Indonesia sendiri. Toh, kami juga punya lini lain di Terrant Books yang menerbitkan novel-novel remaja karya para penulis remaja Indonesia dan cukup diterima pasar.” Memang, Terrant Books yang memajang slogan Pelopor Kebangkitan Penulis Muda Indonesia di website-nya pernah meraup sukses cukup besar dari novel Eiffel I’m in Love, yang berhasil terjual 70.000 eksemplar dalam waktu enam bulan dan kemudian diangkat ke layar lebar serta menjadi film box office kedua setelah Ada Apa Dengan Cinta?.
Sementara itu, Pandu Ganesa mengakui bahwa kerja memasarkan Rampokan Jawa adalah kerja yang sangat berat. Selain karena harganya cukup mahal bagi kantong pribumi yaitu Rp 75.000, juga karena, ”Toko-toko buku di sini menganggap komik adalah produk untuk anak-anak dan sesuatu yang ’ringan’. Jadi dengan bentuk seperti ini tidak semua toko buku mau menerima.” Hal senada diungkap Hikmat Darmawan. Menurutnya, ”Yang jelas novel grafis karya komikus lokal ’ditaruh’ di rak novel oleh toko-toko buku di sini dan bukan di rak komik. Jadi, penerimaan terhadap novel grafis masih berada di tahap awal.”
Berbeda dengan novel grafis karya penulis lokal yang belum mendapat tempat di pasar dalam negeri, novel grafis karya komikus asing, terutama Amerika Serikat, yang didistribusikan ke Indonesia membentuk pasar sendiri di sini. Salah satu tempat para penggemar novel grafis asing bisa memuaskan hobi membacanya adalah toko buku Kinokuniya. Di Kinokuniya Plasa Senayan, novel grafis diberi rak khusus, terpisah dari rak komik, dengan jumlah rak yang cukup banyak.
Penempatan secara khusus seperti ini selain karena permintaan dari kantor pusat di Singapura, menurut Amanda Ayusya dari Kinokuniya, ”Karena turn over buku-buku novel grafis sangat tinggi yang menunjukkan peminatnya cukup banyak. Sering kali satu judul tertentu habis dalam waktu hanya sebulan.” Selain permintaan yang cukup tinggi, berdasarkan pengamatan, penempatan secara khusus ini disebabkan melimpahnya jumlah judul yang tersedia.
Pangsa pasar novel grafis karya komikus asing ini bukan hanya orang-orang asing yang tinggal di Indonesia, tetapi juga orang-orang Indonesia sendiri. Meskipun harganya relatif mahal, rata-rata di atas Rp 100.000, toh pembeli lokal tidak ragu membelanjakan uangnya untuk sebuah karya novel grafis berbahasa Inggris. Menurut Hikmat Darmawan, ”Mereka adalah orang-orang yang memang mengerti tentang novel grafis dan mencari format yang betul-betul novel grafis: karya tematik, alur cerita bukan sebatas tentang superhero, artinya yang tidak mainstream-lah.” Tema-tema di luar tema komik umumnya, seperti tentang persoalan masyarakat urban, psikologi, atau bahkan sosialisme, inilah yang, menurut Hikmat, disukai oleh pembeli yang sering menyambangi Kinokuniya.
Lantas, apakah format baru seperti novel grafis ini dapat membuka peluang baru juga untuk pasar novel grafis di dalam negeri? Beberapa pihak memberi indikasi terbukanya peluang tersebut. Peluang itu terbagi menjadi dua kutub, kutub karya terjemahan seperti Rampokan Jawa dan kutub karya asli komikus lokal. Di kutub pertama, menurut Hikmat, ”Bagus kalau memang ada yang mau menerbitkan terjemahan novel grafis asing. Ini akan mendidik komikus lokal untuk menghasilkan karya serupa. Contohnya komik Tintin yang diterjemahkan ke berbagai bahasa itu memberi inspirasi kepada Peter van Dongen untuk menghasilkan Rampokan Java.”
Di kutub kedua, Pandu Ganesa melihat bahwa ”Format novel grafis ini bisa menjadi jembatan bagi generasi muda Indonesia untuk mengenal kembali karya sastra yang lebih serius.” Dengan kata lain, contoh yang diberikan kutub pertama dapat mendorong komikus lokal menciptakan karya novel grafis untuk karya-karya sastra Indonesia. Nada optimistis serupa dilontarkan Rahayu Hidayat, pengamat komik. ”Format komik sebetulnya merupakan jembatan antarbudaya. Ia memberi peluang bagi karya-karya serius atau klasik untuk dipopulerkan dalam bentuk komik sehingga menjangkau lebih banyak pembaca,” ujar Wakil Dekan I, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia ini.
Karya-karya klasik yang dikomikkan pernah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU) dalam seri Album Cerita Ternama (ACT) pada era 1970-an sampai 1980-an. Menurut Listiana dari GPU, ACT dulu cukup laris dan bahkan permintaan pasar saat ini untuk menerbitkan kembali ACT cukup besar. Ini berarti, optimisme yang dilontarkan Pandu dan Rahayu bukan isapan jempol belaka. Namun demikian, peluang ini mesti dibarengi dengan kerja keras di kalangan komikus dan penerbit dalam negeri selain strategi distribusi yang tepat. Seperti dilontarkan Pandu Ganesa, ”Promosinya tidak boleh lagi model konvensional. Klub-klub pembaca atau buku harus aktif bergerak dan lebih banyak lagi membentuk klub-klub semacam ini.” Kalau memang komunitas komik tidak ingin didominasi terus-menerus oleh manga, tentunya optimisme ini tidak seharusnya berhenti sebagai lontaran ide saja. (umi/sat/wen/ Litbang Kompas)
From the same Kompas, still related to Novel Grafis (also mentioning a bit about Peter's Rampokan):
Mereka Menyebut Novel Grafis
Novel Grafis, Komik atau Sastra?
There is supposedly one more article from Kompas 15 Nov 2005, titled Menggugah Kebangkitan Komik Indonesia, which contains interviews with Anggi Minarni (about indie comics in Indonesia), Beng Rahadian and Anto Motulz, but I'm still looking for it..
Illustration: cover of Waarom Die Vlag Toch? by Peter van Dongen, published by Het Indisch Huis, Den Haag, which is used for promotional materials of Peter's exhibition in Indonesia.
Here are some photos of the opening day, along with a report from Motulz.
Saturday, November 26, 2005
Serayu 1997
Bandung - Serayu (Purwokerto)
These drawings were made in 1997, telling about the National Whitewater Rafting Competition at Serayu River, Central Java. No, I wasn't one of the athletes - I was there only for the fun of it (and to meet friends, of course). A full story about this event, here (in Indonesian)
Serayu 1997
Iseng2, sambil ngerjain tulisan, seperti biasa saya mampir2 ke situs KCM (euh.. kadang2 ke Multiply juga sih.. hehe). Eh, ada berita (dan foto2) baru, ttg Kejurnas Arung Jeram 2005, kali ini di Citarum, Kab. Bandung. Langsung membangkitkan kenangan lama! Cihuyy.. istirahat otak bentar, tinggalin draft disertasi sejenak, saya lanjut ngGoogle utk cari berita2 lain ttg kejurnas ini. Di situs Sinar Harapan dapet satu artikel yg kutipannya demikian: "...kejurnas yang baru digelar kembali sejak 1997 tersebut." Wah, jadi sejak yang dulu itu, memang baru diadakan lagi th 2005 ini? Pantesan, di antara tahun2 itu belom pernah saya denger kabar lagi ttg acara ini.
Dulu itu ceritanya gini.. Th 1997 itu saya baru lulus kuliah, dan kerjanya hanya ngasisteni aja, sambil bantu2 di Lab Desain Produk. Waktu itu juga sedang proses melamar jadi CPNS (kan ceritanya mau jadi dosen). Ada temen seangkatan di Produk, yg sekaligus juga rekan senasib-sepenanggungan waktu TA dan proses pelamaran CPNS, Ihsan, yg adalah jurig ulin (setan main). Jalan ama Ihsan berarti nembus hutan-gunung, main di kali, dan sebangsanya. Sehingga pernah saya dikenalin ke grup arung jeramnya, UCanRaft, yg anggotanya emang cuma segelintir. Biarin, yg penting senang, bisa main perahu di kali!
Nah, Ihsan dan temen2 UCanRaft ini ngajak saya ikutan ke Kejurnas Arung Jeram-nya Marinir yg waktu itu diadain di kali Serayu, Jawa Tengah. Waktu itu saya nggak bisa berangkat bareng mereka, hanya bisa nyusul belakangan. Gampang sih, tinggal beli tiket bis malem dan berangkat dari terminal Cicaheum, Bandung. Subuh2 nyampe di "persimpangan ke mana saja" (terminal Secang), terus naik angkutan umum ke arah Serayu. Di 'angkot' ini tinggal nanya ama keneknya, lokasi arung jeram, mereka langsung tau dan nurunin saya di depan kali Serayu (bukan di depan camp, sebab - waktu itu udah pagi terang - saya kira orang2 toh bakal turun ke kali sebentar lagi). Sambil nunggu, saya permisi sama orang2 setempat utk numpang duduk di gardu di sisi jalan setapak, tempat strategis di deket gapura. Jadilah, saya ngobrol2 dengan warga lokal, sambil pasang mata ke gapura, di mana satu persatu para peserta masuk lokasi arung jeram. Nggak banyak yg kenal, lha saya bukan atlit arung jeram kok.. hehe.. jadi seneng juga waktu liat tampang familiar: si Punjung tukang kayak, anak SR'93.
Akhirnya, Ihsan dan teman2 datang! Saya segera pamitan dengan bapak2 di gardu, terus ikut rombongan Ihsan ke deket lokasi start. Kita buka tenda kecil di sana, buat duduk2. Di spot tempat kita duduk ini lebih banyak batu kalinya ketimbang tanahnya, jadi enak, gak becek. Dan bisa ngeliat jelas ke arah garis start di depan mata, sementara di belakang ada jalan setapak tempat orang2 nggotong raft ke titik start.
Nggak berapa lama kemudian, saya ketemu temen2 lain, kontingen dari Sulawesi Utara: tim Waraney. Beberapa bulan sebelumnya, waktu menemani ibu ke Manado, saya memang sempet main sama mereka, ikutan rafting dan kemping segala. Di antaranya, ada Kengkang (Franky Kowaas), yg pagi itu berkeras ngusahain saya utk bisa salaman sama temennya, Adjie Massaid (duh, nggak penting banget deh) - tapi kejadian juga. Eh tapi beneran sempet heboh, waktu Adjie turun sendiri (pake kayak), banyak ibu2 muda dan anak2 sekolah pada lari ke kali, sampe ikutan nyebur demi bisa mendekatinya.
Acaranya sendiri seru. Di th 97 ini masih dipisahkan antara kelas2 Militer dan Sipil (di th 2005, semua juara digabung, nggak ada pemisahan antara tim2 militer dan sipil). UCanRaft ikutan nomor rescue segala, yg nyebur si Rina, satu2nya 'rescuee' cewek waktu itu. Pendayungnya ya itu2 aja, abis orangnya emang cuma segitu.. haha.. Saya dan Ira (sekarang istri Ihsan), ngikutin dari tepian sungai, sampai ke garis finish juga. Lalu nontonin juga tim2 amatiran yg dengan susah payah ngangkut raft rame2 melalui jalan setapak, turun ke sungai. Sementara tim Marinir? Empat orang, berjalan cepat, hup hup hup, beres!
Agak sorean, aktivitas dihentikan karena volume sungai naik cepat. Tim penyisir segera menelusuri sungai utk memastikan bahwa tidak ada yg masih main di air. Saya dan tim UCanRaft sempet keliling2 sebentar nyari tempat mandi. Tadinya sempet mampir2 ke warung2 pinggir jalan yg ada MCK umumnya, nyari2 yg rada bersih. Tapi ya, jadinya seadanya lah, yg penting kebutuhan inti sudah terlampiaskan :D Di camp, saya nebeng di tendanya tim UCanRaft, mereka banyak punya dipan sisa, jadi nggak masalah.
Nah sore2 begini, yg tadinya mau dipake istirahat, jadi dipake utk buru2. Tau2 ada orang ngelongok ke tenda kita, nyari Ihsan. Ternyata masih kerabatnya, yg bilang ada pesan urgent utk Ihsan, dan Ihsan harus cari wartel terdekat utk nelpon ke oom-nya yg tinggal deket situ. Naik kijangnya UCanRaft, Ihsan saya temani mencari kabar dadakan itu. Ternyata oh ternyata, kabar mendadak itu berlaku juga buat saya: bahwa besok paginya akan ada tes CPNS: wawancara dan tertulis dari fakultas, tak bisa dijadual ulang!
Kita langsung balik ke camp dan buru2 cerita ke tim, sebelum segera pamit lagi utk balik ke Bandung. Hari mulai gelap, saya dan Ihsan nyari angkutan umum ke terminal bis terdekat, beli tiket bis malem utk ke Bandung. Seinget saya, udah lewat tengah malam setibanya kami di Cicaheum. Saya ikut Ihsan naik angkot ke rumahnya (di daerah Dipati Ukur), lalu dari situ dia anter saya ke rumah (sekitar Kanayakan Dago). Sisa dini hari, sebisa mungkin, dipake tidur..
..Paginya, jam 7-an sudah langsung mandi dan dandan rapih-sopan. Nyampe sekolah lagi jam 8-an, Ihsan juga udah di sana, bareng teman2 para pelamar CPNS. Tes hari itu ternyata hanya omong2 sebentar dengan dekan, terus masing2 diberi pertanyaan tertulis yg harus diselesaikan sebelum jam dua siang. Saya dan Ihsan langsung buru2 ngerjain tugas itu di kantor Produk (gampang, intinya harus nulis motivasi: kenapa ingin jadi dosen), serahin tulisan jam 12 siang, terus kami langsung ganti baju dan berangkat ngebis, balik ke Serayu lagi!
Sampai Serayu waktu itu dini hari. Saya dan Ihsan meraba2 jalan menuju tenda, terus rebahan di dipan2 kosong tanpa mbangunin siapapun, tidur sampe matahari terbit. Hari ini acara berlangsung cukup seru. Sayang, Ihsan tumbeng setelah p-p Serayu-Bandung, jadi dia nggak bisa ikutan ngedayung hari itu. Siang itu juga saya banyakan ngobrol sama Kengkang, yg malam sebelumnya ternyata bertandang ke tenda UCanRaft (tapi nggak ketemu saya - mana tau dia kalau saya dan Ihsan dipanggil mendadak ke Bandung).
Saya sempet juga ngeliat2 T-shirt kenang2an yg dijual saat acara berlangsung. Haduh, bener2 nyesel, saya dan Ihsan nggak sempet bikin kaos buat dijual2in, sebab kami yakin hasilnya lebih bagus dan pasti laris! Hahahaha! Agak sorean, kejuaraan berakhir dan masing2 tim kembali bersiap di camp, utk menghadiri upacara penutupan di alun2. Saya dan tim UCanRaft berkijang, mampir ke rumah orang tuanya teman seorang member UCanRaft (nah lo, panjang kan?), apa lagi kalo bukan utk menumpang mandi. Ini rumah model tua di Jawa Tengah, yg kamar mandinya guede banget (dan sekaligus tempat cuci baju), yg cuma diterangi satu bola lampu, lantainya semen, dindingnya semen dan tegel, dan airnya duingiiinn. Lagi2, basuh2 seadanya aja.. hehe.. lagian nggabisa lama2, kan kamar mandi harus dipake bergantian.
Sekitar jam tujuh malam, kita berangkat ke alun2. Di tengah lapangan, keliatan barisan rapih (Marinir) dan tidak rapih (peserta kejurnas lain). Saya nggak ikutan baris dong ah, tapi cuma nongkrong di pinggir lapangan, bareng Ihsan dan penduduk setempat yg ikutan nonton upacara penutupan. Rame, euy, setelah selesai pidato2 dan penyerahan penghargaan ke para juara, ada kembang api segala. Setelah bubaran upacara, semua pergi makan malam ke balai kota (asik makaaan).
Setelah makan malam, tim UCanRaft berangkat balik ke Bandung dengan kijang mereka itu. Saya nggak ikutan, sebab besoknya toh harus ke Yogyakarta, ke kawinan sepupu. Jadilah malam itu saya nebeng tenda lain utk menumpang tidur: atas ijin Kengkang, di tenda anak2 Waraney. Anak2 UCanRaft berangkat langsung dari balai kota. Saya ikut kembali ke camp dengan para peserta kejurnas, rame2 naik truk. Sempet ada insiden nggak jelas di jalan, yg melibatkan penggebugan entah siapa oleh siapa :(
Malam itu di camp sebenernya masih ada acara lagi: api unggun, nyanyi2 dan dansa dansi (poco-poco, lho.. hehe). Tapi apa daya, udah ngantuk banget dan harus simpan tenaga buat ke Yogya besoknya. Saya segera pilih dipan yg kosong, utk ngegabruk tidur.
Pagi2 sekali, Kengkang nraktir teh panas, tempe dan pisang goreng di warung di depan kompleks perkemahan, terus kita siap2 berkemas utk bubar. Saya yg mestinya sudah tinggal angkat ransel dan berangkat, malah jadi ikutan duduk2 di tenda sambil ngobrol2 ngalor ngidul. Orang2 keliatan bener pada enggan berangkat, masih menikmati suasana, sampai pada akhirnya tim Marinir datang utk mberesin tenda. "Mas-mas, mbak-mbak, dimohon pengertiannya!", begitu ucap seorang komandan dengan tegas- (dan keras)nya ke arah kita. Dengan segera kami beringsut keluar tenda, yg segera dirubuhkan dengan terampil dan dikemas rapih dalam waktu singkat.
Sebelum bubaran, Kengkang memberikan kaos tim Waraney-nya ke saya. Untuk kenang2an, katanya. Saya tolak. Ini banyak yang mau lho, katanya. Masih saya tolak. Kamu nggak kasihan sama saya, sampe mengiba begini? Akhirnya saya terima :P (sekarang masih tersimpan rapih, somewhere di lemari rumah Bandung).
Dari tepian jalan, saya setop angkutan ke arah Secang, melambai ke Kengkang, langsung melanjutkan perjalanan ke Yogya. Setiba di Yogya, saya langsung ke hotel tempat keluarga menginap, menemukan kamar sedang kosong (krn semua sedang ke rumah sepupu yg nikahan itu), dan dengan senang hati ketemu kamar mandi berair hangat dan bed empuk!
Demikian cerita th 1997, delapan tahun yg lalu, yg tergali lagi gara2 baca berita. Heh.
Ttg Kejurnas di Serayu th 97 ini bisa dibaca di sini
Ttg Kejurnas th 2005 ini, beritanya antara lain ada di Sinar Harapan dan Kapanlagi.com
Lebih lengkap ttg Kejurnas 2005, ada di situs Federasi Arung Jeram Indonesia
Ilustrasi: detail dari diary-sketsa saat itu - lengkapnya bisa dilihat di sini.
Saturday, November 19, 2005
Rampokan: Interview at BBC Radio
http://www.bbc.co.uk/indonesian/
An interview about Peter van Dongen's Rampokan series at BBC Radio, Indonesian Section (Siaran 1300 GMT), for Kabar Buku program, Saturday Nov 19th, 2005. The interview starts at 22:17.
*edit to add*
The link works only for live broadcasts. The interview itself was filed here.
Friday, November 18, 2005
Anansi Boys
Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Literature & Fiction |
Author: | Neil Gaiman |
Pertama, ia menemukan bahwa ayahnya adalah Anansi, si dewa laba-laba pemintal cerita. Selanjutnya, Fat Charlie menemukan bahwa ia memiliki seorang saudara laki-laki, bernama Spider, yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya. Spider datang tidak hanya utk bertemu dengan Fat Charlie, namun ternyata juga mengambil alih seluruh kehidupannya: tempat tinggal, pekerjaan, dan bahkan tunangannya.
Dalam usahanya mengusir Spider utk memperoleh kembali kehidupannya, Fat Charlie dihadapkan pada peristiwa2 aneh, yang secara perlahan2 juga mengubah tabiat dan bawaan dirinya. Ia menemukan kembali sisi yang hilang dari dirinya, yaitu sisi yg ia warisi dari mendiang ayahnya. Namun, dalam usahanya ini ternyata ada rahasia di balik rahasia, yg membuat Fat Charlie terpaksa membereskan kembali semuanya. Dan ini tidaklah mudah.
Dalam kisah ini, kita bisa merasakan bahwa tokoh2 yang sepertinya tak berkaitan satu sama lain, lambat laun akan saling bertaut dalam jejaring cerita. Titik2 tokoh berangsur bergerak pada alur menuju satu titik pertemuan, di mana semuanya terjadi. Tidak berhenti sampai situ, kejadian2 pun berlangsung pararel dari satu alur ke alur yg lain. Gaiman telah menyusun ceritanya sedemikian rupa, sehingga hampir dapat dipercaya bahwa Anansi sendiri yg telah menitipkan ceritanya pada Gaiman - seluruhnya saling bertautan dan menuju satu arah, persis sebuah jaring laba-laba.
Kisah bertemakan dewa-dewa dan semesta lain tidaklah asing bagi Gaiman, yg telah menghasilkan karya2 spt Sandman, Stardust dan American Gods, yg menampilkan berbagai jenis dan tingkatan dewa2 dan berbagai makhluk mitos.
Selain karena American Gods (AG) adalah karyanya yg terakhir sebelum Anansi Boys (AB), kedua novel ini terbandingkan berkat kemunculan tokoh Anansi di dalam keduanya (meskipun, tentu saja, Anansi memegang peran lebih penting dalam AB). Bila AG menyajikan cukup banyak gambaran kekerasan dan seksual vulgar, AB menampilkannya dengan lebih halus (atau, tak sebanyak pada AG). Meskipun sama2 melibatkan banyak sekali dewa dengan komplikasi dan selera humor mereka masing2, pada AB cerita terasa berjalan lebih ringan, lebih menghibur. Lebih personal dengan sentuhan cerita pertalian antar anggota keluarga.
Saya suka tampilan edisi Anansi Boys yg baru saya baca ini. Selain karena jenisnya soft cover, desain sampulnya sederhana namun berkesan misterius, anggun dan menarik (bandingkan dengan versi ini). Sebagai tambahan, pada buku ini terdapat Exclusive Extra Material:
Anansi Boys deleted scene (bonus teks, yg kurang pas utk dimasukkan dalam cerita, namun terlalu bagus utk dibuang),
Extracts from Neil Gaiman's notebook (nikmati kopian tulisan tangan Neil, dalam prosesnya merangkai kata2 utk novel ini),
An Interview with Neil Gaiman (cukup ringkas, namun menarik - terutama perihal hubungannya dengan anak2nya),
Reading-group Discussion Questions (bahan diskusi, tapi siapa ya yg membuat pertanyaan2 yg spt ujian essay ini?)
Berikut ini cuplikan dari wawancara pada bagian ekstra tsb, yg kurang lebih menggambarkan isi buku ini (yg, menurut Neil, adalah "a magical-horror-thriller-ghost-romantic-comedy-family-epic").
What was your favourite moments of Anansi Boys?
...I had to stop at that point and figure out how a comedy worked. I knew that I wanted it to be a comic novel, and it needed to be a comedy, but also that there were places in there where I was skirting perilously close to horror.
...You start realising that in horror fiction people get what they deserve, whereas in comedies people get what they need. And I felt that at the end of Anansi Boys, everybody got what they needed.
Anansi Boys
Neil Gaiman
(C)Review, 2005
ISBN# 0-7553-0508-6
God is dead. Meet the kids.
Getting home from Delft to Amsterdam, yesterday, I was caught in the peak hours. To make things worse, trains got delayed, and even cancelled, from the Delft station - leaving the people at the platform fully packed, standing against the chilly autumn evening, and mostly grumpy. I didn't mind the situation so much because I got a good book to read: Anansi Boys, Neil Gaiman's newest novel (my sister found this soft cover version in Singapore.. yaay!).
When the train to Amsterdam finally came, I joined the crowd, squeezing myself into the already-jammed interior. There's no seat available, so I and some other people stood up at the aisle. I resumed reading my novel while trying to keep my balance. Somehow I felt somebody stole a glance at me, once in a while: a woman sitting next to where I stood.
At one stop after Delft, Den Haag HS, a lot of passenger got off, and those who stood and continued their journey were shuffling around the aisle to find seats. The easiest choice for me was the seat next to the woman, so I sat there, quite content, and resumed reading. Again, the woman stole a glance not only at me, but seems like she was trying to read my book, too. This time, more sternly.
She herself was holding a thin A5-sized folder-like publication on her left hand, while her right was busy underlining some words in her folder. Naturally, I also glanced at what she's been busy with. It turned out that the folder in her hand was a - sort of - religious folder. Complete with an illustration of Jesus, full of quotations of verses in the bible. Then I suddenly realized why she was so curious about Anansi Boys: the catching phrase of this novel is, "God is dead. Meet the kids", which is printed fairly big and flashy (blue-metallic color against black background) at the back cover of the book. No wonder she looked at me as if I'm a mild heathen.. hee hee.. (a review for Anansi Boys, coming up!)
Photo source: the website of MUM Puppet Theatre
========================================
ps [an old story]. People should lighten up. This reminds me of discussions in several mailing lists about The Da Vinci Code by Dan Brown: the truth (or un-truth) of it, the official declaration from the Catholic church, and all such fuss. I've posted my opinion (as a comment) at a friend's review, here goes:
Books labelled as "best sellers" usually don't match my taste, and that's clearly the case with The Da Vinci Code. Out of curiousity, I finally bought a copy from a 2nd-hand book stall in a marketplace (3 Eur only) not long ago and started reading, finished the next day and rightaway came to a conclusion that this book is overrated.
1. I've been an admirer of Da Vinci's works and have naturally been always interested in biographies & documentations concerning this great artist & all relevant subjects. So, things that are supposedly "big secrets" in this book hardly roused my excitement. These "surprises" might be interesting, mind you, had the author not exaggerate all the supporting elements towards these sub-climax. So, my first problem is perhaps the language style of the book, which sounds rather pompous.
2. I won't refer to myself as a religious person, so I don't really mind whatever subject a book contains. It's just that this book brings up a topic that I've read (or watch or hear) time and again. Just another form of a repeated news.
3. There's a difference between an amusing, great detective story and a plain mystery story where most what-happens-nexts are predictable. Sadly, this book falls into the later category. Plain words are perhaps adequate in telling an exciting mystery adventure, but plain words for not-so-mysterious happenings are boring. This book is clearly not a great literature material. And I could see rightaway why Hollywood wants it on big screen; everything is there: there's a hero and his pretty partner-heroine, villains, conspiracy, exclusive & fancy 'tours' across Europe, and the script is ready. There, you've got yourself a supossedly-succesful movie.
4. I am biased by the idea that the main character will be played by Tom Hanks. That's it, enough to ruin the whole book. I like how Tom Hanks presents his characters in most of his movies, but I don't think he suits this Langdon character.
However, I can respect the research done by the author to complete this book, and his ability to put words together so that people who don't usually read novels are able and willing to read this book until the end. For that, I give this book one star.
Thursday, November 17, 2005
Townscapes
Rating: | ★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Comics & Graphic Novels |
Author: | Pierre Christin & Enki Bilal |
Meskipun dibuat di awal2 karirnya, karya Bilal untuk album ini sudah sangat mengagumkan. Ia telah berhasil menggambarkan berbagai ekspresi dengan jitu, mengajukan visual berbagai detail dengan unik, dan menciptakan suasana sesuai dengan mood yg sesuai dengan cerita.
Pada intinya, album yang dibuat pada lebih dari 30 th yg silam ini mengajak berpikir: apakah pembangunan selalu berarti perbaikan kualitas hidup bagi kebanyakan orang? Apakah yang sebenarnya diinginkan manusia, demi kepuasan hidupnya? Sejauh mana lingkungan, budaya dan sejarah akan dikorbankan, atas nama "kemajuan" dan "peningkatan kesejahteraan"? Tiga setengah bintang untuk album ini, yg telah kembali membukakan benak pada pemikiran2 tsb.
Berikut ini adalah ringkasan kisah2 pada Townscapes.
And Thus Was A Legend Born… (1975) sebagai cerita awal mengisahkan ttg sebuah pertemuan rahasia sekelompok politikus, yg berlokasi di sebuah gedung tua yg dulunya adalah sebuah hotel mewah. Seorang pemuda bertubuh tinggi langsing dan berambut pirang keperakan, meskipun turut terlibat dalam pertemuan ini, tampak tidak menonjol – bahkan sebaliknya, cenderung misterius. Namun ternyata pemuda ini lah yg menghantar para politikus tsb, satu demi satu, terjerumus masuk ke dalam perut bumi dengan disambut makhluk2 aneh. Pertemuan berakhir dengan runtuhnya gedung tua tsb, melesak masuk ke dalam tanah, disaksikan oleh publik yg sama sekali tidak berkeberatan akan lenyapnya para politikus tsb. Si pemuda misterius tsb adalah tokoh yg akan terus muncul dalam kisah2 berikutnya. Meskipun berada di belakang adegan utama, ia memegang peranan penting di tiap kisah.
Dalam cerita awal ini, sekilas terdapat meta-narasi di mana Christin dan Bilal menampilkan diri mereka sendiri.
The Cruise of Lost Souls (1975) mengisahkan sebuah desa terpencil, di mana terletak sebuah pangkalan militer di dekatnya, yang kabarnya giat melakukan percobaan2 teknologi. Karena pangkalan militer ini lah kondisi di lingkungan sekitar desa itu berubah (danau menjadi dangkal, ladang menjadi kurang subur, dsb) sementara desa tsb terisolasi dari luar akibat tertutupnya akses umum oleh pangkalan militer tsb.
Suatu pagi, para warga desa tiba2 mendapati semua rumah dan bangunan desa terangkat, dan mengambang setinggi dua meter dari permukaan tanah. Pada hari yang sama, desa tersebut mendapat tamu sepasang orang muda, pria dan wanita, yg kemudian tinggal bersama mereka selama kejadian aneh tsb. Warga desa tidak keberatan, bahkan terlihat menikmati perubahan keadaan ini, yg mereka duga terjadi gara2 eksperimen di pangkalan militer tsb.
Di hari berikut, seluruh isi desa terangkat jauh lebih tinggi lagi, hingga terbawa angin keluar dari tengah hutan tempat mereka berada, menuju ke pesisir pantai, hingga mengambang di atas permukaan air laut lepas. Di sepanjang perjalanan desa tsb, para warga menjumpai penduduk2 lain yg mulai menyadari dan menonton fenomena “desa terbang” ini. Para penduduk ini pun menganggap bahwa kejadian ini adalah gara2 eksperimen di pangkalan militer tsb, sehingga turut ‘menitipkan’ protes ttg tergusurnya nelayan dan desa mereka gara2 pembangunan sebuah resort megah di dekat daerah mereka, atau daerah industri yg dibangun dekat desa mereka. Kalangan militer dan pemerintah sendiri akhirnya harus turun tangan utk menyelesaikan kasus ini, demi nama baik mereka.
Ship of Stone (1976) ber-setting di sebuah desa tua di pesisir Perancis, di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Pada puncak bukit di sisi desa tsb terdapat sebuah kastil kuno yang dipercaya sebagai tempat cikal bakal nenek moyang bangsa di daerah itu. Kehidupan sehari2 para penduduk desa terancam ketika sekelompok pemodal memutuskan utk membangun sebuah kompleks kondominium dan resort mewah di puncak bukit tsb, yg berarti harus menggusur kastil tua tsb. Desa di kaki bukit akan dijadikan sebuah obyek wisata, dengan mengubah beberapa tempat menjadi hotel dan café bergaya chic.
Para penduduk desa keberatan dengan hal ini, sehingga berusaha mencari cara utk menghalang2i maksud para pemodal tsb, dibantu oleh seorang pemuda pendatang, yg berpostur jangkung dan berambut pirang keperakan. Ditemani oleh seorang gadis lokal, pada suatu malam pemuda ini menghampiri kastil tua tsb, untuk menemui seorang kakek2 yang, menurut orang2 desa, telah tinggal di kastil tsb selama berabad2 lamanya. Malam itu juga si pemuda dan gadis tsb menyaksikan sesuatu yg luar biasa: kenyataan bahwa kastil tsb memang merupakan kediaman bagi nenek moyang bangsa mereka; bukan hanya dari abad atau zaman yang baru lalu, namun sejak masa pertama kalinya makhluk2 mulai menghuni planet ini. Dengan bantuan para nenek moyang dari kastil tsb, para penduduk desa melancarkan aksi mereka melawan rencana pembangunan daerah tsb, dengan cara yg mustahil diterima akal sehat.
The Town That Didn’t Exist (1977) berkisah ttg sebuah kota kecil yang suram, di mana para penduduknya, yg sebagian besar adalah buruh, sedang melakukan aksi mogok kerja dan protes kepada pemilik pabrik. Suatu ketika, si pemilik pabrik, yg juga adalah orang dan sumber dana paling berpengaruh bagi kota kecil tsb, meninggal dunia secara mendadak. Perusahaannya diteruskan pada ahli warisnya, yaitu putri tunggalnya, yg bertemankan seorang pemuda jangkung berambut putih keperakan. Putri tunggal ini menggunakan pengaruh dan modal yg ia miliki utk mengubah seisi kota, yg tadinya berkesan kelabu dan kuno, menjadi berwarna warni dan indah ceria. Orang2 berpakaian bagus, kehidupan ditanggung layak. Ada satu lagi perubahan besar: seluruh kota ini ditutup oleh pagar2 pembatas dan kubah2 raksasa yg memisahkan kota tsb dari lingkungan di luarnya.
Kesejahteraan hidup penduduk kota telah terjamin, suasana kota dibuat sedemikian indah dan menarik, tapi apakah benar 'perbaikan’ semacam ini merupakan hal yg diinginkan para penduduk kota tsb?
Townscapes
Pierre Christin & Enki Bilal
(C)Humanoids/DC Comics, 2004
ISBN 1-4012-0361-2
Rampokan at Karta Pustaka, Yogyakarta
Works of Peter van Dongen and Indonesian comic artists, that were exhibited at Erasmus Huis Jakarta and Semarang, are now being shown at Karta Pustaka, Yogyakarta, starting November 11th, 2005. The report (in Indonesian) and photographs here are courtesy of Motulz (thanks, Tul!).
Sekilas Laporan dari Jogja (extend exhibition Peter van Dongen)
Berangkat dari Cengkareng jam 10.45WIB. Kita tiba di Adi Sucipto pukul 11.45 langsung naik taxi hotel menuju Hotel Santika. Saya di kamar 360 (karena ada wi fi internet) dan Benk di kamar 364. Menunggu malam.. saya cuma istirahat di hotel sambil internet sementara Benk reuni dengan teman2 Jogjanya.
Malamnya kita ke lokasi pameran dengan motor (ala Jogja gitu deh) gue di bonceng Agung Komikaze (untung ada dia). Sesampainya di lokasi masih sepi dan langsung disambut Ibu Anggie. Dia masih ingat dan mengenal Benk dengan baik. Kami langsung bergabung dengan pengunjung yang datang kepagian. Baru ngobrol sebentar kita langsung dipanggil Ibu Anggie untuk dikenalkan kepada Pak Hasjmi. Beliau tidak terlalu tua dari yang saya bayangkan.. masih sehat.. dan masih ramah (maklum baru sekali ketemu beliau). Saya sama Benk mempertanyakan kondisi Gundala, beliau sangat ingin sekali memunculkan kembali Gundala, sayangnya saat ini belum bisa aja.
Acara langsung dibuka oleh Ibu Anggie lalu dilanjutkan oleh kata sambutan dari Pak Hasjmi. Pak Hasjmi mengulas tentang "gaya komik" Peter van Dongen yang terpengaruh oleh Herge. Baginya ini merupakan sebuah wacana baru bagi komikus Indonesia, baik yang tua maupun yang muda. Dulu, komik dengan gaya-gaya itu sering dikonotasikan dengan meniru, atau plagiator. Bagi Pak Hasmi ini merupakan sebuah langkah proses, tahap belajar yang sangat wajar dilakukan bagi semua orang termasuk pembuat komik.
Pak Hasmi pun mengakui bahwa saat dulu ia membuat komik pun meniru komik Amerika yang saat itu beredar. Hanya saja memang topik "meniru" ini sangat tabu dibahas. Nah bagi Pak Hasmi, keterbukaan Peter ini menjadikan sebuah pelajaran baru bagi komikus Indonesia. Selesai sambutan, Pak Hasmi langsung membuka pameran dan mempersilakan masuk. Pameran dihadiri banyak pemerhati komik. Saya ketemu Eko (Daging Tumbuh), Sam (Petak Umpet), Pak Haryanto? (dari Bening Animasi), lalu Ismail (Sukribo).
Ketika selesai pameran, kita akan pamit pulang (sekitar pukul 22.30) kita masih diajak makan malam oleh teman-teman komikus Jogja (sama Lulu (boemboe), Ismail (Sukribo, Ayam Majapahit), Ferry, Agung (Komikaze) dll). Selesai makan.. kita pulang ke hotel. Semalaman saya gak tidur.. cuma ngerjain kerjaan dan online hehehe.
Hari Sabtu, saya hanya beberes sementara Benk ada keperluan dengan teman Jogjanya. Pukul 13.00 kita check out, setengah jam kemudian diantar mobil hotel ke bandara lalu langsung check in dan boarding pukul 15.10. Tiba di Jakarta pukul 16.00... lelah rasanya :) lalu saya dan Benk berpisah.
Bagi saya.. pameran komik Belanda - Indonesia ini bisa jadi berbeda dengan pameran2 komik biasanya di Indonesia. Peter, yang hanya komikus baru dikenal di Indonesia ternyata bisa mendapatkan tempat yang SANGAT AKRAB dengan para penggemar, pemerhati, dan pekerja komik di Indonesia. Komik Peter seperti memberikan sebuah pandangan baru akan komik yang selama ini berkesan gak serius. Ada banyak pengunjung pameran yang sangat menyayangkan ketidak hadiran Peter dan ingin sekali bertemu dengan Peter. Sepertinya Peter memberi nafas baru bagi komik Indonesia, selain pula memberikan secercah harapan dan kesempatan untuk bangkitnya komik di Indonesia.
Wednesday, November 16, 2005
just passing by..
It was more than one week ago that I posted the following entry to Jalansutra mailing list (in Indonesian). Now I'm letting you know that my sister is already joining us in Amsterdam, still recovering but far healthier than when she was ill in Japan. Here's she with me, in front of Lambiek (thanks to Akil for the photo).
In short, the posting was about how my sister got terrible case of flu in Tokyo, and how a family who, eventhough they know her for only one week (then), really nursed her with great care and took care of everything (medicals, ticket, visa). At first I had a lot of doubt of posting this to the mailing list, since it is sort of a personal matter. But shortly, after an encouragement from the chief of the community, I did. But I mainly did it for other reasons: I want the world to know that kind and sincere people do exist, and I want to tell a story of hope and humanitiy, among the bad news that we received recently.
So, here goes..
===================================
From: Dwinita Larasati
Date: Sun Nov 6, 2005 9:00 pm
Subject: [o/t] untuk keluargaku: terima kasih!
Dear keluarga besar Jalansutra,
Ijinkan saya mengisahkan sedikit mengenai berkah yg kami peroleh
berkat pertemanan dalam komunitas (yang tidak hanya sekedar) jalan-
jalan dan makan-makan ini. Terima kasih sekali lagi utk Pak BW sang
kepala suku yg telah mengijinkan saya berbagi cerita ini melalui
milis :)
Terakhir kali saya & keluarga pulang ke Indonesia adalah th 2002, dan
sejak itu orang tua saya hanya sempat berkunjung 1x saat anak kedua
saya baru lahir (akhir 2003). Sekarang orang tua saya berkesempatan
mengunjungi kami di Amsterdam sekali lagi setelah sekian lama hanya
'bertatap muka' dengan cucu2 di sini melalui kiriman foto2. Mereka
sudah tiba sejak lebih dari dua minggu yang lalu, berbarengan dengan
acara rutin bapak menghadiri sebuah konferensi bi-annual di Köln,
Jerman. Adik saya, Tiyas, rencananya menyusul kemari setelah
perjalanannya di Jepang.
Saat tiba di Jepang, Tiyas menginap dulu di kediaman keluarga Lim Kim
Soan, seorang anggota Jalansutra yg tinggal di dekat Tokyo, selama 3
hari. Lalu ia mengunjungi sobat SMA-nya yg sedang kuliah dan bekerja
di Hokkaido, di belahan Utara Jepang yg cuacanya lebih dingin, selama
3 hari. Dari Hokkaido, Tiyas kembali ke Tokyo utk menginap semalam
lagi di rumah Kak Kim sebelum melanjutkan penerbangan ke Amsterdam.
Tapi ternyata, saat 'transit' di rumah Kak Kim tsb, Tiyas mengalami
demam tinggi, suhu tubuhnya mencapai 39,8 C. Kak Kim sampai menelpon
kami utk memberitahukan kejadian darurat tsb utk mengambil keputusan,
lalu dengan sigap membatalkan penerbangan Tiyas hari itu dan langsung
merawatnya dengan sangat telaten.
Tumben, biasanya bila demam, suhu badan Tiyas sudah akan membaik
dalam waktu 2-3 hari hanya dengan beristirahat. Kali ini lewat 5 hari
pun masih panas tinggi, bahkan disertai gejala2 parah seperti mual
dan sakit kepala. Kami berusaha berkomunikasi intensif dengan Kak Kim
untuk selalu ter-update dengan keadaan Tiyas, si putri bungsu yg
sedang berperjalanan sendiri, yg terpaksa terdampar di negri
orang dalam keadaan sakit, dan terpaksa tinggal di rumah orang yg
baru ia kenal.
Tiyas yg rencananya tiba di Amsterdam tgl 2 Nov lalu, hingga hari ini
(6 Nov) masih dalam perawatan Kak Kim sekeluarga. Urusan ke dokter,
pengubahan tiket, perpanjangan visa dan penalangan biaya, semua
diurus dengan cekatan oleh Kak Kim dan suaminya, bagai mengurus anak
sendiri. Orang tua saya yg sedang berada di sini dan tak dapat
berbuat banyak, tentu saja sangat berterima kasih pada Kak Kim &
keluarga, atas kebaikan dan ketulusan mereka.
Kemaren kami mendapat kabar bahwa keadaan Tiyas sudah membaik.
Meskipun sampai sempat mimisan, suhu tubuhnya sudah turun dan stabil
pada 37 C setelah (akhirnya) diinfus. Kak Kim pun bilang bahwa Tiyas
sudah bisa makan, meskipun sedikit. Walaupun begitu, waktu itu kami
masih harus melihat kondisinya, apakah masih memungkinkan utk terbang
ke Belanda atau langsung pulang saja ke Jakarta (Tiyas sih berniat
bisa, sebab dia belum pernah bertemu dengan keponakan perempuannya yg
baru berulang tahun yg ke-2).
Kami bener2 sempat dibuat deg2an dengan flu parah itu. Apalagi waktu
baca berita di Internet bbrp hari yg lalu ttg outbreak avian flu di
Vietnam, Cina dan Jepang. Syukurnya Tiyas tidak kena virus tsb. dan,
syukurnya lagi, Tiyas dirawat oleh tangan2 yg bertanggung jawab dan
tulus-kasih - sekali lagi, berkat pertemuan kami dalam komunitas
Jalansutra.
Betapa mengharukan, bukan saja uluran tangan yg diberikan keluarga
Kak Kim di Jepang, namun juga perhatian dari saudara dan teman2 JS
yang turut memantau keadaan Tiyas setiap kali 'bertemu' dengan saya
di program chatting.
Tadi siang (waktu Belanda, malam waktu Jepang) kami sempat mengontak
Tiyas lagi, kali ini lengkap melalui program Skype ('telepon'-
internet), messenger dan web-cam di rumah Kak Kim. Wah, betapa
leganya orang tua saya ketika bisa melihat Tiyas sudah bisa duduk
chatting dengan wajah sehat, bisa bercanda dan ketawa2 lagi. Betapa
senangnya mereka bisa 'bertemu muka' dengan Kak Kim dan suaminya
meskipun hanya melalui web-cam, sambil sempat bercakap2 sebentar.
Jarak jauh yg memisahkan, benar2 bukan penghalang pertalian
kekeluargaan kami. Kini hampir dapat dipastikan bahwa Tiyas akan
cukup sehat dan kuat untuk melakukan penerbangan jauh ke Amsterdam,
dan berkumpul bersama kami sesuai rencana semula.
Secara tidak langsung, kami juga telah dibantu oleh Pak Bondan dan
oleh semangat pertemanan keluarga Jalansutra, di mana pun berada.
Terima kasih!
Saturday, November 5, 2005
The Past Feeds The Future
10 tahun yang lalu, jurusan Applied Arts (seni terapan) mulai berdiri di Sandberg Instituut, Amsterdam. Malam ini adalah perayaan hari jadi ke-10 jurusan tsb, ditandai dengan pembukaan pameran karya2 para alumninya di Museum Amstelkring, Ons' Lieve Heer op Solder dengan tema "The Past Feeds The Future", berbarengan dengan berlangsungnya Museum Night di Amsterdam.
Museum ini, yg sebenarnya adalah sebuah gereja yg didirikan sekitar 350 th yang lalu, berlokasi di tengah2 daerah red light, berdekatan dengan De Oude Kerk. Kala didirikannya, orang2 pada masa itu tidak dianjurkan utk memperlihatkan kepercayaannya sbg umat Nasrani, sehingga gedung gereja ini terlihat seperti layaknya rumah2 di sekitarnya, dan interiornya pun tidak semegah katedral2 besar abad pertengahan pada umumnya. Hampir tak terlihat ornamen pada elemen interiornya, dan sebagian besar konstruksi dan perabotnya pun terbuat dari kayu dengan desain sederhana. Benda termegah pada gereja ini adalah ornamen yg terdapat di altar: sebuah bingkai dengan lukisan di dalamnya. Hiasan lain adalah lukisan2 yg terpajang di dinding ruang kebaktian dan beberapa patung yg semuanya bertemakan kisah2 dan tokoh2 pada kitab suci.
Seperti umumnya bangunan2 tua di Amsterdam, gereja ini tidak berlantai luas, namun meninggi ke atas dan memanjang ke belakang. Banyak terdapat anak tangga di berbagai sudut ruangan, dari basement hingga ke loteng. Tidak semua pintu terbuka utk publik, dan tidak semua ruangan terbuka. Rasanya seperti berada di dalam labirin bertingkat, bila tidak tahu jalan - hanya berorientasi pada ruang terbuka (ruang kebaktian utama) di pusat gedung.
Di berbagai ruang, terdapat kotak2 display dan kotak2 penyimpanan benda2 yg dipakai pada masa gereja tsb aktif berfungsi sebagai tempat ibadah. Kotak2 kaca terlihat menampilkan jubah pastur, cawan2 persembahan, tempat2 lilin, wadah2 air suci, dll.
Dalam rangka pameran ini, produk2 hasil alumni Applied Arts dari Sandberg Instituut dipamerkan berdampingan dengan produk2 masa lalu tersebut. Jadi misalkan, dalam kotak display yg berisi piring dan cawan kuno yg dipenuhi ornamen cantik, turut bersanding satu set piring dan mangkuk karya seorang mahasiswi yg sepenuhnya terbentuk dari ornamen. Dalam kotak display berisi tempat2 lilin, turut dipasang sebuah kalung bergaya etnik, dan sebuah jubah pastur bersanding dengan karya tekstil.
Sebuah salib kuno bersanding dengan sebuah benda berjudul "Bling Bling", yg dari kejauhan terlihat spt salib emas berornamen meriah, tapi ornamen2 tsb ternyata adalah lambang2 dari penyembahan masa kini (spt halnya logo Coca Cola, McDonald's, Gucci, dll). Pada bilik pengakuan dosa, terlihat seni instalasi deretan hewan2 kecil mengantri di muka, berbaris dengan manis hingga sampai ke bantal tempat berlutut. Di bagian dapur, pada perapian terdapat pampangan susunan ubin (tiles) dengan warna dan ornamen menarik - yg bila diamati ternyata merupakan sebuah pola yg terdiri dari cuplikan foto2, berjudul "Violence is the motif". Masih di dapur, pada wastafel kuno, terdapat tumpukan piring dan cangkir yg sepertinya kotor ternoda tumpahan kopi - tapi noda tsb ternyata terbuat dari lapisan emas.
Benda2 kuno dari ratusan tahun lalu, ternyata masih cocok bersanding dengan produk2 masa kini. Atau bahkan mungkin lebih dari itu: ternyata artefak2 tsb benar2 menjadi inspirasi dan dasar dari pembuatan karya2 modern tsb. Sebuah masa lalu yg memberi makanan, atau energi, bagi kreasi masa kini.
Setiap tamu yg datang malam itu ditawari cap pada punggung tangannya, terdiri dari pilihan sbb: Designer, Artist, Journalist, Non-Important, Groupie, dan Medewerker (= co-worker). Masing2 pengunjung bebas memilih cap, ingin jadi apa malam itu. Ada cerita di balik urusan cap ini, tapi nanti lah ceritanya, utk yg tertarik saja.
Acara pembukaannya sendiri diisi dengan beberapa ucapan penyambutan, yg disusul oleh sebuah prosesi: iring2an sejumlah mhs berkostum spt biarawan, yg masing2 membawa produk2 karya alumni, berjalan mengelilingi ruang utama. Setelah itu para hadirin dipersilakan melihat2 karya2 yg ditampilkan dalam museum, lalu langsung ke basement utk menikmati hidangan.
Ruang bawah tanah tsb dipenuhi pengunjung, yg sedang makan dan minum. Hidangan malam itu, karya Anton van Doremalen, seorang foodstylist/ foodjockey, terdiri dari satu porsi makanan yg ditata apik di atas piring (piring kertas berkualitas tinggi, dengan ornamen bernuansa biru pada pinggirannya). Kecap manis dituangkan pada pinggiran piring, sedemikian rupa sehingga membentuk format bundar yg terdiri dari 2 garis tipis. Garis2 tipis kecap ini lalu 'dikacau' dengan cara disentuh sedikit di sana-sini, sehingga membentuk bundaran2 noda di beberapa titik. Pada 'rel' garis kecap tsb, ditata 2 potong sushi maki (polos) dan 2 tumpuk (semacam) chutney berwarna kuning cerah, masing2 berhadapan satu dengan lainnya, sementara di tengah2 piring terdapat sejumput mie berwarna hitam. Di atas mie ini terdapat sebuah bola (spt baso goreng, tp rasanya manis) yg ditancapkan pada sebuah pipet plastik berisi cairan merah (cairan ini adalah saus utk bola tsb). Hidangan ini dimeriahkan dengan taburan kentang goreng berbentuk balok, yg sekepingnya hanya sebesar paruhan korek api.
Di meja sebelah terdapat wadah2 dalam berbagai bentuk (juga karya seorang alumni), yg berisi berbagai jenis saus utk menemani hidangan yg disajikan. Di meja lain lagi, terdapat 2 macam minuman, dengan pilihan mengandung alkohol atau tanpa alkohol. Minuman2 tsb ternyata dibuat berdasarkan resep campuran minuman pada abad pertengahan, terutama utk anggur merahnya, di mana terdapat unsur2 jahe, cardemom, kayu manis, dan bumbu2 lain (mungkin, bila disajikan hangat, rasanya mirip "bischopwijn"). Minuman versi tanpa alkohol terbuat dari campuran jahe, aloe vera, air mawar, cranberry juice, air mineral bersoda, dan beberapa bumbu lain.
Menyenangkan sekali acara malam itu. Selain menjadi ajang reuni bagi sebagian besar alumni, mahasiswa dan para staf pengajar, acara ini juga dapat dikatakan sebagai tonggak penanda prestasi yg pantas dibanggakan bagi jurusan Applied Arts Sandberg Instituut di usianya yg ke-10. Dan tak ada waktu yg lebih tepat lagi selain malam ini, yg berbarengan dengan Museum Night di Amsterdam, sehingga kemeriahan gabungan artefak2 kuno dengan kreasi modern masih dapat dinikmati banyak orang hingga lewat tengah malam. Pameran ini sendiri akan berlangsung selama satu bulan, sehingga masih ada waktu utk datang lagi ke sana dan menikmatinya dalam suasana yg lebih tenang.
Saya tutup jurnal kali ini dengan kutipan kata2 Lao Tzu yg saya temui di katalog pameran malam tsb, yg dipilih oleh Yu-Chun Chen (seorang alumni Sandberg), sebagai konsep karya2nya:
We join spokes in a wheel
but it is the center hole
that makes the wagon move
We shape clay into pot
but it is the emptiness inside
that holds whatever we want
We hammer wood for a house
but it is the inner space
that makes it livable
We work with being
but not-being is what we use
[Lao Tzu, 'Tao Te Ching', hoofdstuk 11, ca. 500v.Chr]
Foto: Bling Bling karya Frank Tjepkema
Subscribe to:
Posts (Atom)