(as posted in Jalansutra Mailinglist, msg #37895)Sudah jauh2 hari Peter Pramono (dari Marseilles, Perancis) memberitahukan rencana kunjungannya ke Belgia dan Belanda, dalam rangka perjalanan tugasnya. Peter bahkan sempat mengirimkan posting ke miils ini untuk meminta rekomendasi untuk tempat2 makan hidangan Indonesia yang mur-mer di Rotterdam (yang, sayangnya, tidak mendapat tanggapan yg cocok: kebanyakan respons malah mengusulkan tempat2 makan di kota2 lain). Namun karena satu dan lain hal, rencana ke Rotterdam akhirnya berganti menjadi ke Amsterdam. Saya langsung mengosongkan jadual akhir pekan itu untuk bertemu dengan Peter dan Vonny (juga anggota Jalansutra, tinggal di Aardenhout), yang tentu saja sama2 bersemangat untuk makan bareng.
TOKO MADJOE
Peter berencana tiba Sabtu pagi (28 Mei) di Amsterdam. Vonny langsung mengusulkan tempat makan siang hari itu: Toko Madjoe di Amstelveen. Toko Madjoe ini sebenarnya bukanlah rumah makan, namun sebuah warung makanan siap-saji, di mana orang datang untuk membeli makanan utk dikemas dan dibawa pulang. Mereka memang menyediakan tempat duduk, tapi hanya sejumlah dua meja kecil (terpisah), masing2 dilengkapi 3 bangku sederhana.
Saya dengan Dhanu (anak saya, berumur 4 th) menunggu di stasiun Amsterdam RAI, tempat Vonny berjanji menjemput, sementara Sybrand (suami saya) dan Lindri (adiknya Dhanu, umur 1,5 th) sudah berangkat dari rumah naik sepeda, langsung menuju Toko Madjoe. Ternyata Vonny gagal bertemu Peter sebelum menjemput saya, tapi ia sudah sempat memberi petunjuk pada Peter bagaimana naik kendaraan umum menuju Toko Madjoe. Setiba di Toko Madjoe, Sybrand dan Lindri sudah menunggu sambil berjalan2 di pelataran deretan toko. Setelah saling berkenalan (saya juga baru hari itu bertemu dan berkenalan dengan Vonny), kami mulai masuk toko.
Interior toko berkesan luas, bersih dan sejuk. Menempel pada dinding di sisi kiri, terdapat rak2 tempat memajang berbagai jenis bahan makanan asal Indonesia, dari bahan mentah, bumbu2 instan, hingga berbagai kerupuk yg sudah digoreng dan cemilan lain yang siap dimakan. Di sisi kanan terdapat etalase berisi berbagai jenis lauk dan makanan kecil (jajanan basah). Para staf toko terlihat sangat sibuk meladeni pelanggan, yang sudah membentuk antrian panjang (saat itu sekitar jam satu siang). Kami mengambil tempat duduk di salah satu meja. Sambil menunggu giliran, saya melihat2 isi etalase makanan, sementara Vonny sibuk bercakap2 dengan para staf toko yg sudah dikenalnya dengan baik.
Sesuai saran Vonny, kami memesan hidangan andalan Toko Madjoe: lontong cap go meh dan sate kambing. Saya juga pesan lemper dan ...? (lupa namanya, tapi bentuknya segitiga, berkulit risoles, berisi daging cincang & sayuran seperti isian pastel) untuk Dhanu dan Lindri. Peter yg sedang mencari jalan menuju toko menghubungi Vonny lagi, yang lalu berangkat menjemput Peter. Tak lama kemudian mereka tiba di toko. Wah senangnya, tak menyangka kami bisa bertemu lagi secepat ini sejak acara Kumpulsutra Strasbourg yang lalu! Peter segera memesan hidangan yang sama, dan kami bisa segera mulai makan.
Ternyata tepat sekali rekomendasi Vonny. Sate kambing yang per porsinya berjumlah 5 tusuk tebal, bergelimang bumbu kacang & kecap, memang terlihat sangat menggiurkan. Dagingnya bertekstur lembut dan terasa gurih, bumbunya terasa meresap ke dalam daging, sementara bumbu kacang bercampur kecap, bertabur irisan bawang merah, cabai hijau dan bawang goreng rasanya terpadu dengan tepat. Dhanu doyan sekali, dan tetap makan dengan tabah meskipun sempat satu-dua biji cabai tergigit.
Lontong cap go meh datang dalam porsi besar. Lontong di dasar piring tak terlihat karena tertimbun daging ayam, daging sapi, telur dan berbagai sayuran (tahu, rebung, pete, nangka muda, dan penggembira lain). Kuahnya berasa pedas-gurih menyegarkan. Saya yang biasanya nggak seneng pedes, kali ini luar biasa giat menghabiskan kuah tsb.
Si kecil Lindri ternyata juga doyan, meskipun jadinya sambil banyak minum juga, karena kepedesan.
Risoles isi daging pastel dilahap dengan lancar oleh Dhanu, sampai habis. Rasanya memang enak, tapi tidak terlalu istimewa. Demikian pula dengan lemper ayamnya. Pak Omar, pemilik Toko Madjoe yang sangat ramah, menyempatkan diri mengobrol dengan kami saat antrian pelanggan sudah sepi. Pujian akan masakan warungnya kami sampaikan, dengan niat untuk kembali lagi ke Toko Madjoe untuk mencoba hidangan yang lain. Suatu penemuan yang berharga! Terima kasih banyak ya Vonny, dan Pak Omar :)
Toko Madjoe
Amsterdamseweg 183
Amstelveen
T +31 (20) 647 6740
AMSTERDAMSE BOS, VENETIA
Setelah kenyang makan siang di Toko Madjoe, Sybrand pamit pulang bersama Lindri (yg sudah sangat mengantuk). Vonny, Peter, saya dan Dhanu berangkat juga, ke persinggahan berikutnya untuk ngobrol sambil minum-minum. Cuaca yang sangat cerah dan hangat sangat mendukung suasana ceria - kami bertiga tak henti2nya ngobrol seolah2 bertemu dengan teman lama saja.
Vonny lagi2 memilih tempat yang tepat: Amsterdamse Bos. Hutan buatan di pinggiran kota Amsterdam ini adalah hutan kota terbesar se-Belanda. Orang bebas masuk dan menikmati suasana alami, baik untuk bersantai maupun berolah-raga. Terdapat sebuah rumah makan/ cafe tak jauh dari jalan masuk, terletak di tepi danau di mana terlihat beberapa pendayung kayak sedang berlatih.
Karena matahari sedang cerah2nya, pada awalnya kami memilih untuk duduk di luar. Tapi ternyata anginnya kencang sekali, sampai ngobrolnya harus bicara keras-keras. Akhirnya kami pindah ke dalam, langsung terasa lebih tenang dan sejuk. Teman ngobrol kami hanya gelas2 berisi es teh, espresso dan teh panas, tapi topik obrolan tidak padam-padam. Sehingga setelah kami siap beranjak pergi, Vonny yang berencana segera pulang malah mengusulkan pindah tempat ngobrol lagi!
Ini benar2 setopan terakhir untuk acara makan siang hari ini. Vonny mengajak kami ke sebuah warung es krim bernama Venetia. Es krim yang saya pesan, rasa pistacchio dan vanilla, teksturnya lembut dengan selingan serpihan pistacchio dan butiran vanilla. Rasa pistacchio dan vanilla juga jelas terkecap di lidah, di sela2 segarnya dingin es di sore yang panas itu. Peter juga terlihat puas dengan es pilihannya, sedangkan Dhanu - nggak usah ditanya - asal es, pasti dia suka! Selesai makan es krim, Vonny mengantar saya, Peter dan Dhanu ke setopan tram terdekat, lalu ia berbalik pulang menuju Aardenhout.
Terima kasih sekali lagi ya Vonny, memang rasanya nggak rela memutuskan obrolan siang itu :)
ALBERT CUYP MARKT, TOKO RAMEE, SARI CITRA
Kami bertiga naik tram ke rumah, di mana Peter bisa menitipkan weekend-bag nya sebelum kami keluar rumah lagi untuk belanja. Kali ini kami (juga Dhanu, yang masih ingin ikut jalan2) berjalan kaki ke pasar Albert Cuyp di belakang rumah. Pasar Albert Cuyp tahun ini merayakan hari jadinya yang ke-100. Beberapa spanduk besar, bergambar foto hitam-putih suasana Albert Cuyp di masa lampau, terbentang setinggi tiang lampu di beberapa titik sepanjang jalan pasar. Sebagian besar kios memajang foto-foto (juga hitam putih) suasana pasar di jaman dulu, bahkan suasana tenda/kios masing2 semasa masih dikelola oleh ayah atau kakek mereka: para pedagang pertama di pasar Albert Cuyp.
Seperti biasa, di cuaca yang hangat dan cerah seperti hari itu, pasar penuh sekali dengan pengunjung, baik yang hendak benar2 berbelanja maupun wisatawan. Kami melewati berbagai kios.. kios kentang goreng, kios lumpia, kios stroopwaffel yang juga menjual stroopwaffel hangat ukuran raksasa (diameternya lebih lebar daripada kepingan CD), kios haring dan kios keju. Kios kacang2an, kios ayam, ikan, buah2an dan sayur2an, tenda baju, sepatu, dan mainan. Peter sempat 'terpaksa' menunggu saya membeli ayam dan menawar T-shirt polos sebelum kami sampai di ujung pasar, dan masuk ke Toko Ramee.
Sebenarnya Toko Ramee ini bukan pilihan termurah untuk belanja bahan makanan asia - setidaknya tidak semurah di supermarket yang berada di pecinan Amsterdam (Nieuwmarkt). Tapi Toko Ramee ini mengkhususkan diri ke Indonesia, jadi lebih banyak tersedia variasi bumbu dan bahan makanan yang sudah kita kenal baik.
Peter yang sudah berbekal daftar belanjaan dari Yulis segera melihat2 dan mengambil2 sana-sini, sementara Dhanu duduk di bangku2 teras toko sambil makan kerupuk pemberian pemilik toko. Saya ikutan belanja sedikit, menambak stok Teh Botol kotakan untuk di rumah, plus beli2 Fruit Tea sekedar untuk 'tombo kangen'.
Selesai belanja, kita jalan kaki lagi sedikit - selang 3-4 toko kemudian, di deretan yang sama, terdapat "Sari Citra". Sari Citra, yang telah mendapat ponten tinggi dari seorang kritikus makanan Belanda (8,5 dari 10 point), adalah warung makanan siap-saji, namun juga menyediakan beberapa meja dan kursi bagi pelanggan yang langsung ingin menikmati hidangan yg mereka beli. Warung ini adalah langganan saya bila sedang males masak (hanya tinggal buat nasi dan beli lauk dari sini). Jenis makanan yg mereka hidangkan sangat beragam, dan pedasnya pun pas. Kue2 kecilnya (lemper, pastel, dll) juga menjadi andalan warung ini. Kali ini kami mampir untuk mengicipi andalan mereka yang lain: cendol.
Kami bertiga duduk menunggu hingga cendol dihidangkan. Cendol datang dalam gelas tinggi langsing yang diameternya melebar ke atas (seperti trompet). Kadang saya merasa gelas ini terlalu tinggi untuk tempat cendol - apalagi melihat Dhanu agak susah mencapai dasar gelas dengan sendok panjangnya, karena dia sendiri sudah cukup 'tenggelam' di
bangkunya (mejanya terlalu tinggi untuk dia). Tapi segelas cendol dingin memang pilihan paling tepat setelah jalan2 belanja di siang hari terik. Rasa cendolnya segar (mereka buat sendiri), manisnya pun pas.
Sari Citra
Ferdinand Bolstraat 52
Amsterdam
T +31 (020) 675 4102
Setelah puas jalan-jalan dan makan-makan hari itu, Peter berpamitan untuk kembali ke hotel, beristirahat dan melanjutkan ekslporasinya di malam hari. Kami berjanji untuk bertemu lagi keesokan harinya.
(--lanjut ke bagian 2--)
Photos by Peter