Wednesday, July 11, 2007

[Klipping] Satu Dekade Pergulatan Komikus Muda

Kompas 10 Juli 2007

http://kompas.com/kompas-cetak/0707/10/humaniora/3675739.htm


Satu Dekade Pergulatan Komikus Muda

Indira Permanasari

"Aku berjalan bukan tanpa tujuan, pikiranku sarat akan mimpi-mimpi dan hatiku penuh dengan harapan-harapan. Ladang kehidupan yang menjenuhkan...."

Seorang laki-laki kumal yang hanya mengenakan cawat digambarkan tengah berjalan dengan beban di pundaknya. Tiba-tiba sekelompok anak melemparinya dengan batu.

Dia pun bertanya seperti bergumam kepada dirinya sendiri. "Mengapa orang melihatku sebagai musuh? Apa salahku, apa ini karma atas perbuatanku di masa lalu.... Aku dicerca, digunjing, dianggap kotor bahkan.... Selama masaku, aku selalu tersudut, dalam ketakutan berkepanjangan. Jawab! Kenapa?"

Dikisahkan kemudian seorang berambut gondrong mengusir anak-anak itu dan menawarinya makanan. Cuplikan cerita dalam panil-panil komik yang sepertinya ingin bercerita tentang alam pikir seorang gila itu lalu ditutup dengan kata-kata, "Jadilah gila... dan katakan pada kami, apa yang tersembunyi di balik tirai ke-NORMALAN-mu."

Cerita itu terselip di antara lembar komik Red Army karya sejumlah pekomik muda asal Malang, Jawa Timur. Komunitas komik Red Army itu tergabung dalam kegiatan Festival Komik Indonesia Satu Dekade, akhir Juni lalu. Sebanyak 35 komunitas dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Solo, dan Surabaya terlibat dalam kegiatan tersebut. Mereka membuka gerai bambu dan memperkenalkan karya-karya mereka. Festival itu sendiri diadakan menjadi bagian dari acara tahunan Ancol Art Festival.

Di salah satu rumah panggung, dipamerkan perwakilan karya-karya komik yang telah diterbitkan selama 10 tahun terakhir atau satu dekade ini. Beberapa karya itu, antara lain, Zantoro karya komunitas Jagoan Komik dari Jakarta, Wind Rider karya Is Yuniarto dan John G Reinhart dari Surabaya.

Melihat cerita dan gambar yang ditampilkan komik fotokopian dengan sampul karton itu saja sudah jelas perbedaannya dengan komik-komik yang dijual di pasaran umumnya. Di sampul depannya bertengger lambang besar Red Army berikut slogan "Hanya Satu Kata, Lawan!!!" di lembar keduanya. Halaman terakhir diisi tulisan Local Comic Revolution.

Arnes dari Red Army mengatakan, komik yang mereka hasilkan ialah bagian dari perjuangan. Perjuangan menampilkan eksistensi mereka apa adanya di tengah dunia perkomikan yang lebih diwarnai oleh komik asing.

Buku komik Red Army itu sudah terbit enam kali. Saat ini distribusinya berdasarkan titipan lewat pertemanan ke Bali, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. Ada juga yang di-posting lewat internet, kemudian diperbanyak oleh jaringan mereka.

Mereka juga belum berhitung untung-rugi. "Yang penting memperkenalkan diri terlebih dahulu. Untuk satu judul terkadang kami cuma membuat 25-50 fotokopi untuk disebarkan ke distro atau toko buku kecil," ujar Arnes.

Komik fotokopian

Sebagian besar anggota komunitas itu awalnya merupakan mahasiswa Desain Komunikasi Visual, Universitas Negeri Malang. Tahun 2004, anggota komunitas itu hanya lima orang yang hobi membuat komik. Komunitas itu lalu berkembang jadi studio bernama Red Army.

Komunitas itu berupaya tetap mempertahankan tema perlawanan dan pembelaan atas kaum marjinal yang jadi karakter mereka. "Kami saat ini sedang membuat komik tentang misteri kematian Munir, tetapi belum terbit dan sekarang sedang mencari-cari lebih banyak data. Ada juga komik untuk menyambut Hari Buruh," ujar Arnes.

Akan tetapi, mereka juga tak menutup mata terhadap komik sebagai sebuah produk industri. Mereka menerima pesanan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat untuk kepentingan kampanye. Juga dari berbagai pihak lain. Akan tetapi, agar tak mengganggu citra dari komitmen mereka, komik pesanan itu diterbitkan dengan bendera lain.

Warga Tribe Studio juga memulai perjalanan mereka dari komik fotokopian, sampai kemudian mereka berhasil menerbitkan komik dalam bentuk buku. Anak-anak yang berbasis Universitas Parahyangan itu kini sudah berhasil menerbitkan sebagian komik-komik, biasanya lewat penerbit kecil.

Model pembuatan komik juga disadari sudah jauh berbeda dibandingkan dengan era 1950-an sampai 1980-an. Saat itu komik merupakan karya individu, tak ubanya karya seni. Sekarang, komik digarap atau dikerjakan berkelompok. Mereka sadar pembuatan komik tidak dapat lagi seperti di masa lalu saat seorang komikus membuat cerita, gambar, hingga mengisi warna. Bagaimanapun, komik sudah menjadi produk yang unsurnya dapat dipilah dan dikerjakan seperti hanya produk di atas ban berjalan.

Eric dari Tribe Comic Studio tidak menyangkal kalau gambar mereka disebut-sebut ada kemiripan dengan manga, komik khas Jepang yang mengisi ruang baca keluarga Indonesia sejak awal 1990-an. Setelah "masa tidurnya" komik Indonesia sejak akhir 1980-an, menurut Eric, generasi muda tidak mempunyai banyak referensi lagi terkait komik nasional. Komik-komik nasional menghilang dari display toko buku. Sebaliknya, komik asing, terutama dari Jepang, membanjiri pasar.

Mereka hidup di era komik Jepang yang menjadi referensi bagi sebagian besar dari mereka. Lagi pula, kata Eric, komik ala Negeri Sakura itu lebih mudah dipelajari: mulai dari tarikan garisnya, cahaya, hingga jalan ceritanya. Komik sendiri sesungguhnya merupakan media Barat yang dikenal di negeri ini sejak 1930-an melalui komik strip surat kabar. Pengaruh Barat dan China sudah lebih dahulu mewarnai karya-karya komikus di masa lampau.

Akan tetapi, kata Eric, Tribe Comic mencoba memberikan cerita yang khas kehidupan, karakter, dan setting alias rasa lokal. Dalam komik mereka yang berjudul Drop Shot Love, misalnya, topik memang masih seputar percintaan remaja, tetapi dengan latar belakang permainan bulu tangkis yang sudah menjadi bagian dari olahraga populer di Indonesia. Lokasi di Kota Bandung lengkap dengan Gelanggang Olahraga Padjadjaran dan sebuah supermal besar, termasuk jenis angkutan kota yang digunakan.

Apresiasi publik

Ketua Panitia Festival Komik Indonesia Satu Dekade, sekaligus komikus dari Akademi Samali, Beng Rahadian, mengatakan bahwa apresiasi masyarakat terhadap komik Indonesia terbilang rendah. "Masyarakat luas belum mengetahui bahwa selama satu dekade ini sesungguhnya ada karya-karya yang dihasilkan," ujarnya.

Banyak perubahan terjadi dalam penyajian komik. Komik tidak selalu dikerjakan perorangan, tetapi juga mengadaptasi pola kerja kelompok. Sebagian lainnya bergerak secara independen dengan menerbitkan komik mereka sendiri. Selebihnya memilih menggunakan medium seperti internet, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Menurut Surjorimba Suroto, penggemar sekaligus pengamat komik yang menjadi kurator pameran, karya yang dipamerkan merupakan karya yang telah diterbitkan. "Namun, sesungguhnya yang tidak diterbitkan lebih banyak lagi," kata Suroto.

Agar dapat bangkit, produksi komik harus ada di Tanah Air, dibaca, serta diapresiasi oleh masyarakat. Sejumlah komik anak bangsa sempat diterbitkan secara luas, tetapi terhenti di tengah-tengah. Komikus Toriq, misalnya, sempat memberikan angin segar dengan menciptakan komik jagoan berjudul Caroq. Caroq dikemas seperti komik Barat dengan rasa lokal. Namun, Caroq kemudian juga menghilang dari di toko buku. Beng sendiri sempat membuat komik bertajuk Selamat Pagi Urbas.

Komik saingan sudah tentu dari Jepang dengan kekuatan hiperbola, gaya penuturan membumi, serta dramaturgi yang baik. "Tantangan juga dari komik Barat yang pelestarian ceritanya sangat baik. Misalnya, dibuat variasi cerita di mana para superhero bertemu atau pemakaman bersama. Bahkan, ada cerita superhero menua dan menghadapi masalah identitas, seperti dalam cerita Identity Crisis," ujar Beng.

Beng mengatakan, komik-komik independen ada yang dalam hal gambar sudah baik, tetapi untuk penceritaan masih lemah. Terlepas dari kekurangan semacam itu, setidaknya semangat untuk membangkitkan komik lokal masih ada dan kebangkitannya bukan impian gila....

No comments:

Post a Comment