Saturday, October 1, 2005

Just keeping track.. [10] (Kompas, Republika)



Kompas online today (Saturday 1 Oct 2005) features Rampokan Jawa in one of the main articles in the main page. Here goes:

POLITIKA
"Rampokan Uang Negara"
Budiarto Shambazy

Belum lama ini beredar sebuah novel grafis atau komik berjudul Rampokan Jawa. Komik terbitan Penerbit Pustaka Primata/Komunitas Komik Alternatif ini ditulis dan digambar oleh Peter van Dongen yang asal Belanda.

Rampokan akan mengingatkan Anda yang gemar membaca komik-komik Tintin, tokoh wartawan karangan Georges ”Hergé” Rémi yang berasal Belgia. Karya Van Dongen masuk ke dalam kategori ”komik Eropa” karena negara mereka memang ada di benua tua itu.

Komik Eropa telah lama menginternasional dan jarang yang menceritakan kisah jagoan-jagoan hebat. Komik-komik kita pada dekade 1960-1970, misalnya, banyak menokohkan jagoan seperti Si Buta dari Gua Hantu, Pangeran Mlaar, atau Wiro Si Anak Rimba.

Upacara ”rampokan” diadakan di alun-alun Blitar tiap akhir Ramadhan. ”Ada delapan peti mati berisi harimau dan macan kumbang. Orang-orang berdiri menunggu dengan tombak-tombak khusus berbau kemenyan,” tulis Van Dongen.

Setiap peti mati dibuka, harimau dan macan kumbang dilepas. Benteng orang di sekeliling alun-alun sulit ditembus karena semua mengacungkan tombak masing-masing, membuat harimau dan macan kumbang tak berkutik.

Upacara ”rampokan” itu merupakan sebuah metafora. Jika delapan harimau dan macan kumbang lepas dari hadangan benteng tombak, itu artinya Belanda akhirnya hengkang.

Van Dongen memang berkisah mengenai situasi di sekitar Jakarta dan Bandung hampir satu setengah tahun setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Belanda belum rela pergi, pasukan Jepang ditawan, dan Gurkha dari Inggris menguasai Jakarta.

Van Dongen mengaku, ia menggambar karena terpengaruh oleh Hergé. Oleh para kritikus ia dianggap cukup pas menggambarkan suasana di sekitar bioskop Rex di Jakarta, Pasar Atom di Bandung, atau suasan di kaki-kaki lima.

Gambar truk militer Belanda, becak menunggu penumpang, atau tukang sate berdagang juga nyaris persis. Anda masih dapat menyaksikan suasana kuno tersebut di kota-kota di Indonesia—tentu minus ”hutan spanduk” atau ”pasar tumpah” yang merusak pemandangan banyak kota di Pulau Jawa.

Cerita Rampokan berkisar pada tokoh Johan Kneivel, putra seorang pegawai di Hindia Belanda. Ia pulang ke Belanda untuk belajar sebelum Perang Dunia kedua, tetapi memutuskan kembali ke Indonesia.

Indonesia sebuah ”surga tropis” yang membuat dia bahagia ketika masih bocah. Johan si yatim piatu sejak kecil diasuh pembantu rumah tangga bernama Ninih yang bersikap seperti ibunya sendiri.

Di atas kapal menuju ke Tanjung Priok Johan secara tak sengaja melemparkan Erik Verhagen ke laut. Selama luntang lantung di Jawa bersama temannya, Fritz de Zwart, Johan memakai name tag (kalung identitas personel militer) milik Verhagen sang desertir komunis.

Fritz belakangan ketahuan terlibat kejahatan penggelapan BBM bersama seorang pemilik toko kelontong di Bandung bernama Ong dan Bennie Riebeek, yang mengaku sebagai wartawan. Johan secara tak sengaja terjebak kejahatan itu dan dikejar-kejar pasukan Belanda.

Ia kabur bersama Lisa, perempuan keturunan Ambon-Tionghoa yang bekerja di tangsi Belanda. Sementara toko kelontong milik Ong dibakar dan dijarah massa yang mengamuk.

Dalam pelarian Johan menjadi korban banjir sehingga kalung identitas militer Verhagen hilang. Bagaimana nasib dia selanjutnya, Van Dongen meneruskannya ke komik Rampokan Celebes yang belum disadur ke bahasa Indonesia.

Meskipun orang Indonesia dilukis kurang mirip, komik Van Dongen nyaris sempurna menggambarkan kehidupan saat itu. Itu terlihat, misalnya, dari lanskap Jawa Barat yang indah atau dari detail prosesi upacara penguburan dengan cara Islam.

Van Dongen (kakeknya serdadu KNIL yang dihukum pancung oleh Jepang) sepanjang kisah komiknya sedikit banyak menyajikan struktur sosial masa kemerdekaan. Rakyat Jakarta dan Jawa Barat digambarkan sebagai teroris, miskin, dan dicaci-maki tentara Belanda.

Kelas sosial tertinggi tentu orang-orang Belanda yang kala itu masih bebas berkeliaran dan hidup berdampingan dengan damai dengan pasukan Inggris. Tuan Ong, sang pemilik toko kelontong, adalah kelas pedagang yang berkonspirasi dengan (kalau perlu menipu) penguasa.

Di tahun 1970-an ada satu film bagus hasil buatan orang Indonesia dan Belanda, Saija dan Adinda. Film ini dilarang putar pada masa Orde Baru karena menggambarkan penindasan kejam terhadap rakyat Banten oleh bupatinya sendiri, yang memeras rakyat dan menerapkan praktik politik dan ekonomi ala simbiosis mutualisme dengan kompeni.

Kita juga memiliki komikus-komikus yang menempatkan politik dan ekonomi dalam karya-karyanya pada masa lalu. Cerita bergambar Put On karya Kho Wan Gie tahun 1930 di harian Sin Po, misalnya, menceritakan sosok gendut bermata sipit yang melindungi rakyat kecil dan mencintai Indonesia sebagai tanah kelahiranya.

Walaupun bobot sejarah politiknya terbatas, komikus Ganes TH menelurkan Tuan Tanah Kedaung atau Si Djampang. Pada masa jayanya, Kedaung bisa terjual laku sampai 30.000 kopi.

Komik bisa subur dan menjamur karena Indonesia merupakan sebuah happening art yang tak kunjung usai. Indonesia bagaikan sebuah pantun yang takkan pernah berhenti berbalas atau ibarat sinetron yang menghina logika kita.

Setelah 60 tahun berlalu, Rampokan masih relevan karena rampok-rampok beneran masih berkeliaran dan mengintai hidup kita. Jika ada yang berminat, buatlah sebuah komik yang mampu menyaingi karya Van Dongen, dengan judul Rampokan Uang Negara. (e-mail: bas2806@kompas.com )


By the way, the exhibition at The Erasmus Huis Jakarta was closed yesterday (30 Sept 2005), but there's a plan to bring it over to Semarang and perhaps other cities.



This article is from Republika 2 Oct 2005:

Sebelum membuat komik ini, Peter van Dongen belum pernah ke Indonesia. Tapi, ia bisa menggambarkan secara detail beberapa hal tentang Jawa pada era kemerdekaan di dalam Rampokan Jawa, komik yang dibuatnya itu. Lihat saja, ketika sang tokoh utama komik itu, Johan Knevel, tiba di Glodok, Jakarta, dilukiskannya suasana pertokoan bergaya arsitektur Cina sampai aktivitas tukang cukur di bawah pohon rindang di tepi jalan. Kostum orang Indonesia tempo doeloe pun, seperti pria dengan sarung atau perempuan dengan kain dan kebaya, ada di komiknya.

Knevel --dikisahkan sebagai seorang Belanda yang lahir di Indonesia dan sedang mencari perempuan bernama Ninih yang pernah mengasuhnya ketika kecil-- dilahirkan di Celebes ketika masa penjajahan Belanda. Dalam pencariannya itu, ia sempat singgah di Bandung. Di sini, von Dongen pun mampu mendeskripsikan suasana Kota Kembang masa kemerdekaan itu. Tak luput, beberapa gedung yang kini menjadi peninggalan bersejarah ia gambarkan, termasuk Hotel Savoy Homann yang masih berdiri megah di Jl Asia Afrika.

Perjalanan Knevel yang begitu merindukan tanah kelahirannya cukup berliku. Ia membunuh rekan Belandanya secara tak sengaja. Demi menghindari kejaran tentara Belanda, Knevel akhirnya 'berlari' dari satu ke kota lain. Ia pun melihat berbagai kebiasaan penduduk setempat yang tampak unik di matanya.

Van Dongen, lahir Amsterdam tahun 1966, mengenal Hindia Belanda (Indonesia) dari cerita ibunya yang berdarah Cina-Hindia. Sang ibu mengaku begitu traumatis atas peristiwa pemboman di kota Pelabuhan Makassar.

Ia sendiri mengawali kariernya tidak sebagai komikus. Bersama tiga saudaranya, termasuk kembarannya, van Dongen sempat membentuk grup band. Namun karena keinginan melukisnya menggebu-gebu, akhirnya memutuskan menjadi komikus. Awalnya ia membuat komik berjudul Muizentheater (Mice Theater) pada 1990. Komik ini berhasil mendapatkan penghargaan Stripschappening dari komunitas kartunis Belanda.

Beberapa saat setelah diterbitkan di Jakarta, komik ini termasuk laris manis. Di sejumlah milis pegiat perbukuan, banyak posting yang menceritakan sudah ludesnya Rampokan Jawa di Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda di Jakarta yang mengundang van Dongen datang ke Jakarta dan menceritakan seputar komiknya pekan lalu. Di sejumlah toko buku besar pun komik itu dilaporkan sulit didapat.

Keistimewaan komik itu, selain mampu menggambarkan beberapa hal secara detail, juga alur ceritanya yang unik dan variatif. Pada beberapa bagian, komik ini bisa membuat senyum mengembang pembacanya. ''Meski ini fiksi, tapi ia mampu melihat negeri ini dari sisi yang lebih dalam: penderitaan rakyat Indonesia semasa penjajahan,'' tulis seorang penggemar komik.

Sebagai sebuah komik sejarah fiksi, ini mungkin original. Tapi sebagai sebuah komik, karya van Dongen tidak original. Karakter tokoh, pemilihan warna, dan gaya melukis van Dongen mirip dengan karya Herge dalam petuangan wartawan muda Tintin bersama anjingnya, Snowy. Van Dongen mengaku sangat ngefans dengan komik Tintin dan itu memberinya inspirasi pada karya yang diciptakannya itu. Mestinya, sebagai seniman dan kartunis, ia mampu menampilkan karakter yang dimilikinya, bukan karakter orang lain yang memang sudah sangat terkenal sejak lama. Terlalu naif juga kalau dikatakan ide kartunnya menjiplak dari Herge. `'Ia seperti tak percaya diri untuk menampilkan kemampuan aslinya,'' kata seorang rekan wartawan yang kebetulan berkesempatan bertemu dengan van Dongen.

Terlepas dari itu, sebagai sebuah cerita sejarah, Rampokan Jawa cukup menarik. Apalagi, proses pembuatan komik ini cukup panjang dan makan waktu. Setting cerita dan kehidupan yang mendetil, diakui Peter, didapatkannya dari riset tujuh tahun di museum dan perpustakaan di Negeri Kincir Angin. Foto-foto dan dokumentasi tentang Indonesia yang banyak tersedia di Belanda, ikut sangat membantu proses penafsirannya atas Indonesia yang sangat terbatas.

Sementara pemilihan Jawa sebagai lokasi cerita, diakuinya karena merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda saat itu, di samping banyaknya bangunan bersejarah yang indah. Namun dalam sekuel karyanya bertajuk Rampokan Celebes yang segera terbit dalam versi Bahasa Indonesia, Peter juga memasukkaan alam kota di Sulawesi yang merupakan kampung halaman ibundanya.

(Elba Damhuri )

3 comments:

  1. Gimana, mba Tita, ngga berminat buat komik dgn topik di atas?

    ReplyDelete
  2. Hehe.. komikus handal di Indonesia sebenarnya sudah banyak (art-wise). Yang kita kekurangan itu scriptwriter komik. Gimana, tertarik utk bikin naskahnya? :)

    ReplyDelete
  3. sekarang sebisanja dan sebanjaknja gambar -gambar dari Si Put On ditampilken lagi di http://hoedjien74.multiply.com/tag/put_on sini

    ReplyDelete