
Ternyata, jadi perempuan WNI yg nikah dengan pria WNA itu jauh lebih banyak bermasalah dibandingkan jadi pria WNI yg nikah dengan perempuan WNA. Ini ada sebagian kecil masalah utama (dari daftar yg lebih panjang):
1. Perempuan WNI tidak dapat mensponsori suami maupun anak anaknya yang sudah dewasa untuk mengajukan ijin tinggal di indonesia. Pada situasi dimana suami kehilangan pekerjaan di Indonesia (ia otomatis tidak memiliki ITAS dari perusahaan) maka suami dan anak anak harus pindah keluar dari Indonesia. Bila keluarga ingin menetap di Indonesia mereka hanya dapat memperoleh visa turis atau visa kunjungan sosial budaya yang masa berlakunya hanya dua bulan.
==> Karena saya 'hanyalah istri', meskipun punya pekerjaan, nggak boleh mensponsori suami WNA dan anak2 (WNA - meskipun anak2 kandung). Beda kalau si suami yg WNI, ia boleh mensponsori istri WNA-nya (anak2nya semua WNI).
2. Hak asuh bagi anak WNA. Seorang ibu WNI memerlukan ijin dari kementrian terkait untuk mendapatkan hak asuh bagi anak anaknya (WNA) yang dibawah umur. Setelah ijin keluar visa ijin tinggal harus diambil di KBRI di luar negeri
==> Mau marah nggak sih. Anak2ku yg masih pada balita itu, adalah anak2 yg aku lahirkan sendiri, hasil meregang nyawa sendiri. Masak utk mengasuh & membesarkan mereka, harus minta ijin dari kementrian bla bla?! Dan utk bisa tinggal denganku di Bandung nanti, anak2 harus minta visa dari KBRI di Den Haag?! Edan tenan.
Belom lagi soal si suami WNA dan anak2 (yg juga otomatis jadi WNA itu) harus minta ijin tinggal tiap taun! Ini pasti sumber income utama Dirjen Imigrasi ya.. jangankan jumlah setoran yg resmi, jumlah pelicin (yg lumrah di Indonesia) pasti bikin mereka kaya raya juga tuh.. *keluh*
3. Perempuan WNI kehilangan hak untuk dapat bekerja di instansi/ pemerintah RI, tidak dapat berpolitik praktis, dan tidak dapat menjadi anggota DPR-MPR.
==> Gimana nih.. berarti beneran, nggak jadi PNS. Emang statusku udah CPNS kasus sih... hehe.. Dan, jangankan jadi gubernur atau presiden, jadi rektor ITB aja nggak boleh nih ya :P
4. Suami dan anak anak (WNA) tidak dapat menjadi WNI tampa melepas kewarganegaraan suami/ bapak (walaupun negara suami/bapak memperbolehkan dwi-kewarganegaraan).
==> Nyebelin banget. Terus terang, lebih enak pegang ke-WN-an mereka (suami & anak2) sendiri sekarang ini. Sekarang mereka masih berhak dapat tunjangan2 dan asuransi2 kesehatan, dan segala perhatian yg manusiawi dari negaranya ini. Kalau jadi WNI SAJA, bukan hanya mereka akan kehilangan semua hak itu, tapi juga bakal dapat perlakuan diskriminatif dari "bangsa sendiri"/ sesama WNI di negara Indonesia.
..Dan masih banyak lagi peraturan yg bisa mengurungkan niat saya untuk pulang ke Indonesia. Untuk kembali mengajar dan bekerja di Bandung (cita2 punya usaha sendiri nih.. hehe..) dan membesarkan anak2 di dekat keluarga besar.
Tapi, untuk menuju kemauan, pasti selalu ada jalan. Saya masih bertekad untuk pulang, meskipun dukungan dari pihak peraturan dan hukum di Indonesia akan sangat memberatkan moral dan (jelas!) kantong. Jangan menyerah, sebelum mencoba..
Sekian curhat malam ini. Oh iya, peraturan2 itu saya kutip dari sini: http://www.aliansipab.com/Problem.htm [I'm just glad that mixed couples in Indonesia has an association that fights for their rights. For a balanced family life. I'll surely contact this association for future references]