Thursday, February 17, 2005

Budaya orang Indonesia: Sombong tapi Kosong?




Hari Selasa (15 Feb) yang lalu saya hadir di sebuah mini-symposium di Eemnes (dekat Hilversum), di mana disajikan dua presentasi bertema "Desain untuk pengguna multi kultural". Yang saya tulis di sini adalah mengenai presentasi pertama, yg dibawakan oleh Johanna, lulusan Teknik Industri ITB (angkatan 96) yg mengajar di Unpar, dan sekarang sedang menyelesaikan S2 di Hogeschool Utrecht.
Penelitian Johanna adalah mengenai perbedaan usabilitly (penggunaan) produk oleh pengguna dengan latar belakang budaya yg berbeda; dalam hal ini Belanda dan Indonesia. Motivasi penelitian ini adalah banyaknya produk (terutama consumer goods) yg didesain dan diproduksi oleh Eropa dipasarkan ke Asia. Apakah produk2 tsb dapat dengan baik diterima oleh para penggunanya, dan dapat berfungsi seperti yg rancangannya? Untuk meneliti hal ini, Johanna mengadakan eksperimen dengan beberapa responden (wanita asal Belanda dan Indonesia) dengan food processor merk Braun (dari Jerman).
Johanna berkesimpulan bahwa memang dibutuhkan pengertian akan budaya setempat bila hendak memasarkan suatu produk ke masyarakat yang dituju. Banyak diskusi yg bisa keluar dari topik ini, yg salah satu point-nya saya ajukan di bawah ini.

Penjelasan mengenai eksperimen dan kesimpulannya memang sangat menarik. Terutama karena dari hasil eksperimen ini berbagai hal dapat diteliti lebih lanjut. Salah satu hal yg paling menarik adalah kesimpulan bahwa orang Indonesia banyak yg ragu menggunakan food processor tsb, sebab mereka tidak terbiasa membaca manual dan memecahkan masalah sendiri (independently); sementara pengguna Belanda sangat percaya diri dalam mengoperasikan produk tsb. Namun, dari hasil kuesioner, diketahui bahwa pengguna Indonesia lebih suka memiliki produk yang canggih, terlihat profesional dan rumit/ kompleks.
Nah, hal ini bertentangan, kan? Kalau disodori produk sederhana saja sudah bingung (karena nggak ngerti baca manual), gimana kalau diberi produk yg benar2 canggih dan rumit? Ternyata motivasi memilih produk canggih ini adalah "to impress people" atau hanya untuk pamer; hanya karena "appearance" dan bukan karena "performance" produk. Kalau menuruti pengguna yg seperti ini, bisa2 Indonesia dibanjiri produk2 dengan tombol2 palsu dan penuh dekorasi yg tidak fungsional dan hanya tempelan semata.
Apakah salah? Ya, kalau pada proses pembuatan dan akhir masa pakai benda2 tersebut hanya menambah sampah di muka bumi. Ya, kalau pengadaan produk tsb hanya utk memuaskan rasa gengsi orang2 materialistik.

Jadi solusinya apa? Pertama, mungkin, mengubah attitude bangsa kita yg suka pamer ini. Gaya hidup "sombong tapi kosong" ini, menurut saya, adalah sumber korupsi yg utama. Nggak mudah, tapi bukannya nggak mungkin. Hidup sederhana dan secukupnya, sambil tetap produktif dan maju dalam berpikir (jadi bukan berarti 'nrimo' atau cepat puas).
Kedua, kalaupun berencana mendesain produk yg cocok dengan selera masyarakat lokal yg dituju, hendaknya jangan berupa tempelan pada produk. Kreativitas memang ditantang di sini, di samping pengetahuan mendalam ttg kebutuhan dan gaya hidup masyarakat lokal yg dituju sebagai pengguna.



13 comments:

  1. menarik, ..dan memang susah untuk merubah attitude. ini contoh kecil dari sekian banyak. dan untuk mengharapkan suatu pola yang tidak dimiliki di Indonesia sekarang dengan realita orang 'londo' yang fighting, sebenernya balik lagi dari culture, alam yang meninabobokan kita, lempar umbi bisa makan, gelar tikar bisa tidur. kalo diluar kayak gitu mati deh pas musim dingin. semua harus aktif dan bergerak. orang Indonesia keluar negeri, pake dasi, orang bule ke indonesia pake celana pendek. orang indonesia di perancis musti belepotan buka kamus perancis, di spanyol semua cinema basa spanyol, mereka menghargai bahasa mereka.di indonesia dengan orang bule ,angguk2 ramah sedang ama bangsa sendiri buang muka..bengong lihat teknology , tapi usaha nil. banyak komentar dan merasa benar tapi miskin tindakan.
    ...kita emang masih 'bodoh' Ta..dan keinginan baca aja masih sedikit.
    emang enakan duduk di bale2 sedot kopi panas sambil nikmatin angin sepoi2..wong itu yang dijual mahal di hotel2 bintang lima dan dapet dinikmati cuma2 dg kebanyakan orang kita.
    jadi..emang susah merubah attitude.setuju.
    btw, ada peraturan baru di jakarta , ngerokok engga boleh ditempat umum dan bakal didenda . menarik.we'll see..

    ReplyDelete
  2. "lempar umbi bisa makan, gelar tikar bisa tidur. kalo diluar kayak gitu mati deh pas musim dingin. " Asyikkk.. akhirnya ada yg setuju dgn saya. Ini analogy yg selalu saya pakai untuk menjelaskan ke teman2 kenapa Indonesia bisa tumbuh seperti sekarang karena hidup terlalu mudah di negara yg begitu subur dan nyaman.

    Kemaren baru saja saya tonton di BBC bahwa Indonesia adalah market ke 2 ato ke 3 untuk BMW worldwide. Padahal, nyetir BMW di Jkt 1/2 mati karena berat dan besar dan boros (BMW bisa seirit Honda kalo dipakai jarak jauh dan tidak rem tarik, rem tarik melulu sementara Jkt kan macet). Lagi2 konfirmasi untuk masalah attitude sombong tapi kosong.

    Yg gawat, jarang orang sadar bahwa perubahan attitude diperlukan dan cara kita (apakah ketimuran, apakah seniority, apakah gengsi dan pamer, tolong-menolong yang kebablasan jadi ketergantungan, etc) belum tentu selalu benar. Makanya, ada org yang pergi ke KL dan minta dibacakan 'manual'nya gimana cara keliling KL dgn nyaman. Ya, gak jalan lah. Baca n cari sendiri dong ;).

    Gimana merubahnya? Ini yg kadang bikin cape. Segelintir kecil org saja yg sadar akan penyebab dan kebanyakan orang lebih suka untuk menutup mata dan malah tersinggung tanpa mau memandang dari sisi lain.

    Gimana donk?

    Moga2 gak terlalu radikal ;)

    ReplyDelete
  3. hehe kritik lagi Ta... studinya sih menarik banget, cuman Indonesia itu kan luas katanya from London to Baghdad, udah gitu disamping kultur etniknya heterogen, juga kultur urban dan rural yg beda, trus kesenjangan sosial tinggi, perbedaan tingkat pendidikan, kesempatan perolehan informasi, dll.... Sementara Belanda tuh bulenya homogen, negaranya kecil.... Nah jadi yg dipake sama si Mbak itu sbg responden tuh rakyat Indonesia yg mana? jangan2 yg gak bisa baca manual beda orangnya sama yg suka alat2 canggih? walaupun gue gak memungkiri bahwa banyak orang Indo yg emang begitu, tapi itu kan terbatas lingkungan yg gue kenal.. kriteria "banyak" gue pun relatif...

    ReplyDelete
  4. yah perancis, spanyol, negara maju lah Mbak, mereka gak bhs inggrisan pun gak apa2... riset mereka maju, lha kita? lagian mereka juga mulai berbhs inggris kok sebetulnya... soal bengong teknologi sih kayaknya banyak juga orang2 eropa yg bengong teknologi... kalo dibanding orang Indonesianya tuh anak2 ITB, belum tentu menang juga mereka hehe, yg gak bisa pake komputer di sorbonne pun banyak kok.. so sekali lagi, Indonesia yg mana?

    Kalo soal duduk di bale2, sebetulnya itu salah satu indikator dari individual welfare hehe, jadi selama ini WB salah kalo cuman make ukuran per capita GNP, atau indikator HDI nya kurang, jadi harusnya level ind welfare Indonesia lebih tinggi dari yg seharusnya :)

    ReplyDelete
  5. "Nah jadi yg dipake sama si Mbak itu sbg responden tuh rakyat Indonesia yg mana?" --> Iya bener ini faktor yg sangat menentukan. Ia berusaha memperoleh responden dengan latar belakang pendidikan yg setara (min. S1) dan semuanya adalah working mothers.
    Jumlah responden, saya lihat juga belum dapat mewakili semua rakyat Indonesia - jangankan yg hanya 10 - 20 orang, sampai 100 orang pun masih relatif dibandingkan rakyat yg 200 juta. Tapi ya dipilihlah responden yg benar2 mewakili sasaran ke mana suatu produk akan dipasarkan.
    Makanya saya lihat yg menarik adalah juga karena studi ini sangat men-trigger studi2 lebih lanjut dan komprehensif. Mungkin lain kali percobaannya bisa dengan 'mesin dapur' yg biasa kita (orang Indonesia) pakai dan mereka (responden asing) nggak biasa punya: rice cooker. Pasti menarik juga mengamati perilaku para bule ini terhadap rice cooker.. :)

    ReplyDelete
  6. Ini diskusi yg menarik Ta, hal ini menurut gue banyak terjadi juga seperti utk handphone, banyak temen gue beli HP mahal dan canggih tapi gak ngerti cara make feature2nya.. atau paling enggak mereka sebetulnya gak butuh feature2 itu, mereka beli cuman buat gengsi... akhirnya yg terjadi HP canggih cuman buat nge-sms doang soalnya gak mampu beli pulsa akibat duit habis buat nyicil HP...:) semoga yg membaca ini ikut terhimbau utk tidak konsumtif :)

    ReplyDelete
  7. iya seh, kalo dilihat dimata kita yang memang "tidak buta" melihatnya sih semua memang seperti itu.kenyataannya untuk kebanyakan masyarakat kita toh tidak..berapa sih jumlah penduduk kita dan berapa universitas yang berkualitas , dan berapa persen yang mengerti kayak abang eko sendiri...??...semua pendapat saya keluar dan mengalir karena realita terlalu mendominasi dan direalitanya pula mereka benar2 menghargai bahasa mereka, dan merambah sampe ke tukang sapu walau pun mereka tidak lebih pintar dari kita, memang. untuk yang satu ini jelas angkat topi dengan sikap "proud' nya dengan diri mereka sendiri.

    ReplyDelete
  8. ya mnrt gw sih tita bener, orang indonesia kebanyakan emang gitu, sombong n kosong.. sorry ya, kebanyakan suka kulit luarnya aja.. nggak usah dibelain, emang harus dihadapi realitanya.. wong memang gitu kok.. dibela2in pake mobil mewah tp ndak makan dirumah alias ngirit, bela2in nongkrong di cafe tapi keluarganya keteteran, dibela2in pake gadget ini itu bukan krn fungsinya tp gara2 pengen dibilang trendy, kaya ato sebangsanya! HUH *hahahahah es moni, bukan es duren*, dulu wkt gw sekolah di LN, buanyaaak banget deh orang Indo yg kerjanya nongkrong di student hall cuman buat pamer HP bukan belajar kayak orang2 bule!

    Intinya, ya seperti kata jeng tita dan mei-mei ventong, kita musti BERUBAH! tapi, ya susah juga sih, wong didikanne udah gitu dari ketjil.. dan parahnya anak2 para abdi negara tu banyak yg nganggep korupsi itu biasaaaa... *punya temen anak pejabat, cita2nya jd pegawai BC karena "tempatnya basah gitu loh mbak".. gubrak gak seeh??*

    *hmm bingung deh mo komen apa heheheheh*

    ReplyDelete
  9. Yah mungkin karena itu kita masih dijajah sampai sekarang...

    ReplyDelete
  10. Mbak...aku suka banget tulisan ini..:-)

    ReplyDelete
  11. Aku sie setuju dengan tulisan ini dimana orang Indonesia tidak disiapkan untuk bersaing, dan untuk merubahnya bukan gak mungkin. Pasti bisa...

    ReplyDelete
  12. harus dibiasakan dari kecil, utk dapet attitude yg pas! :D

    ReplyDelete