Tulisan ini sebenarnya saya buat utk catatan sendiri, sekaligus bagi2 cerita ke rekan2 pelajar Indonesia di Belanda yg tidak sempat hadir pada acara tsb (melalui milis PPI Amsterdam, msg #2265). Saya pasang di MP ini hanya sebagai arsip.Berikut ini adalah ringkasan dari acara dialog dengan Menristek dan Irjen Diknas pada Minggu malam, 17 September 2006 yang lalu di Wisma Duta, Wassenaar. Meskipun baru membaca undangan pada Minggu paginya, saya berniat datang, sebab kabarnya undangan ini diutamakan bagi mereka yg berstatus PNS. Status saya sendiri "CPNS bermasalah", jadi nggak ada salahnya datang - siapa tahu bisa menemukan solusi utk masalah tsb.
Malam itu hadir sekitar 30 mahasiswa/i dari berbagai kota, sebagian besar adalah mereka yg baru tiba di Belanda. Berhubung tulisan ini baru diselesaikan hampir 2 minggu setelah acara tsb berlangsung, mohon maklum bila ada bagian2 yg terlupa. Mudah2an ada teman2 yg bisa menambahkan atau mengoreksi isi tulisan 'iseng2' ini (sebab saya memang bukan notulen acara tsb).
====================================================
"There is no such thing as 'brain drain'. There is only 'brain circulation'!" - demikian ujar Menristek Kusmayanto Kadiman dalam acara dialog dengan para pelajar Indonesia di Belanda, berlokasi di Wisma Duta, Wassenaar. Ucapan tersebut adalah kalimat pertama jawaban beliau ke pertanyaan seorang mahasiswa mengenai cara mengatasi persoalan 'brain drain' yg selama ini sering disebut2 sebagai persoalan minimnya SDM berkualitas di tanah air. Pada intinya, Menristek tidak merisaukan para sarjana Indonesia yang seharusnya segera kembali ke Indonesia setelah selesainya masa studi mereka. Beliau lalu mencontohkan India, yg seperti halnya Indonesia, mengirimkan para pelajarnya ke luar negri pada th 60-70an. Banyak di antara para pelajar India tsb tidak kembali, sementara yg berasal dari Indonesia pulang ke tanah air. Namun para "orang India yg tidak kembali" tsb menjadi pembuka jalan bagi generasi2 berikutnya utk berkarya di negri keduanya tsb. Kesimpulannya, Menristek mengungkapkan bahwa tidak perlu meragukan rasa nasionalisme bila memilih utk menetap di luar negri.
Pertanyaan lain utk Menristek berkenaan dengan kebijakan mengenai akses mudah dan murah bagi masyarakat tidak mampu ke (contoh dari penanya) medical technology, termasuk obat2an, terutama yg bersifat lisensi dan harganya termasuk mahal. Sebab Indonesia bukan produser, melainkan hanya 'tukang' membuat obat, sementara hak cipta dan formulanya dipegang pihak luar. Entah bagaimana, fokus pembicaraan bergeser dari masalah "pasal" ke masalah "lisensi", "paten", dan "transfer teknologi". Sehingga jawaban Menristek pun hampir tidak bersentuhan dengan masalah "pasal pada UU" tsb. Ujar beliau, "Transfer teknologi itu bahasa politik, jangan harap benar2 terjadi. Mereka akan simpan formula teknologi mereka baik2. Yang harus kita lakukan adalah merebutnya!". Lanjutnya, "Utk bisa merebut teknologi itu, ada tiga caranya: be rich, be strong, be smart! Kaya, jelas kita enggak.. kita juga belum sekuat Amerika, misalkan.. jadi, jalan satu2nya adalah, kita harus cerdas! Ya lewat Anda-anda ini, yg harus pintar-pintar 'merampok' teknologi maju utk diterapkan di Indonesia!"
Pertanyaan lain, dari saya, adalah juga utk pihak Belanda yg juga hadir malam itu (kl tidak salah, dari KNAW), yg menjalin kerja sama dengan Indonesia dengan (antara lain) memberikan beasiswa: mengapa hampir tidak ada perguruan tinggi desain di Belanda yg tertera dalam daftar sekolah yg kebagian program beasiswa.
Jawaban dari pihak Belanda jelas, bahwa tentunya mereka tidak bisa memasukkan semua disiplin ilmu ke dalam program mereka. Program pendidikan dan penelitian yang terseleksi adalah yg termasuk dalam agenda strategi pembangunan kedua belah pihak (Belanda dan Indonesia). Menristek menambahkan, mungkin dalam melamar beasiswa utk bidang industrial design, ajukan bahwa proposal penelitian ini mencakup hal2 berikut: menggali dan memberdayakan potensi lokal (mis. budaya dan SDM), meningkatkan ekonomi pada tingkat masyarakat menengah ke bawah (mis. home industry). Dengan menitik-beratkan pada hal2 tsb, peluang utk mendapatkan beasiswa ke perguruan tinggi yg diinginkan di Belanda.
Ada satu lagi pertanyaan, berkenaan dengan kontrak kerja PNS yg bekerja sebagai dosen (dengan syarat, begitu kembali, harus memenuhi masa kerja selama [2n+1] di perguruan tinggi tempatnya mengajar) dan hubungannya dengan pendapat Menristek sebelumnya bahwa "tidak apa2 utk menetap di luar negri". Intinya, bagaimana mengatasi hal tsb, sebab SDM perguruan tinggi di Indonesia masih sangat diperlukan di kampusnya. Hal ini biasanya karena si PNS ditarik menjadi staf di perguruan tinggi di luar negri atau bekerja di perusahaan (asing) yg mensponsori studinya.
Menristek mengusulkan utk membuat MoU antar rektor perguruan2 tinggi terkait (pihak Indonesia dan luar negri), juga (bila ada) dengan perusahaan yg mensponsori masa studi PNS ybs. Isi MoU antara lain, misalkan, menyatakan bahwa ybs dipersilakan meneliti atau bekerja paruh waktu di universitas atau perusahaan terkait, sambil tetap mempertahankan statusnya sbg dosen dan tetap mengajar di perguruan tingginya di Indonesia. Sehingga, bila ybs benar2 tidak pulang, yg bertanggung jawab adalah sang rektor. Demikian yg dilakukan Menristek kala masih menjabat sebagai rektor di ITB.
Setelah sesi tanya-jawab dengan Menristek usai, para hadirin dipersilakan makan malam. Selanjutnya, terdapat acara tanya-jawab dengan Irjen Diknas. Sebelum berlangsung acara tanya-jawab, Irjen pada intinya menghimbau agar PNS yang studi ke luar negri sebagai masa tugas segera kembali ke Indonesia segera setelah masa tugas tsb berakhir. Kaitannya adalah dengan Badan Keuangan yg terus memantau pengeluaran mereka utk Diknas, terutama soal gaji dasar yg tetap dibayarkan ke para PNS yg sedang melaksanakan tugas belajar di luar Indonesia.
Pertanyaan pertama berhubungan dengan himbauan Irjen: bahwa terdapat masalah ketika kontrak beasiswa hanya diberikan sepanjang 3 tahun, sedangkan masa studi itu sendiri (utk tingkat doktoral) biasanya hingga 4 tahun. Yang terjadi adalah, banyak PNS yg terpaksa kembali ke Indonesia sebelum berhasil mendapat gelar Doktor; bukan karena tidak mampu secara intelektual, tapi karena kehabisan biaya hidup di luar negri. Konsekuensinya, seharusnya, PNS yg kembali tanpa gelar atau perguruan tingginya mengembalikan pengeluaran BK selama masa studi tsb. Untuk mengatasi hal ini, antara lain adalah dengan menaikkan jumlah beasiswa (meskipun kemungkinan ini sangat kecil), atau memperpanjang masa pemberian beasiswa (yg, menurut Irjen, sebenarnya sedang diproses oleh Diknas).
Pertanyaan selanjutnya adalah kasus saya (yg juga dialami bbrp CPNS lain, menurut data yg dipegang oleh Atdikbud). Sebelum berangkat studi, saya mengikuti tes2 PNS. Ternyata tak lama kemudian saya mendapat beasiswa dan diterima di sebuah perguruan tinggi di luar negri, sehingga surat pengangkatan sebagai CPNS keluar ketika saya telah tiba di Belanda. Ada syarat bahwa dalam jangka waktu 2 th CPNS harus mengikuti masa Pra Jabatan (Prajab) utk menjadi PNS. Bila dalam jangka waktu 4 th(?) belum juga mengikuti Prajab, maka status CPNS tsb dianggap gugur.
Padahal, semasa studi di Belanda, saya tidak mungkin pulang hanya demi mengikuti Prajab (tidak pernah cocok dengan jadual studi, di samping tidak ada budget utk p-p begitu saja). Bagaimana dengan status saya sekarang, yg sejak diangkat jadi CPNS (1998) belum juga ikut Prajab hingga th 2006 ini (sebab setelah selesai S-2 ternyata dapat langsung melanjutkan ke S-3)?
Menurut Irjen, selama terdapat pernyataan jelas bahwa ketidak-hadiran CPNS ybs ketika terdapat panggilan Prajab adalah karena sedang dalam masa tugas belajar, ijin utk menunda masa Prajab dapat keluar tanpa masalah. Sehingga komunikasi CPNS di luar negri dengan institusinya di Indonesia sangatlah penting. Dengan demikian, CPNS ybs tetap akan didaftarkan pada masa Prajab sesegera mungkin setelah ybs kembali ke Indonesia. Atau, bila kasusnya adalah di ITB yg sudah berstatus BHMN, setelah memperoleh gelar Doktor, CPNS ybs dapat mendaftar kembali sebagai staf pengajar non-PNS.
Bahasan berikut berhubungan dengan kepengurusan masalah kepegawaian. Dosen2 PNS dari luar kota Jakarta, bahkan luar pulau Jawa, sering mengalami kesulitan dalam kepengurusan ini. Seharusnya semuanya dapat dilakukan secara online (melalui Internet) atau per pos, tapi mereka selalu 'dianjurkan' utk datang sendiri ke kantor di Senayan, Jakarta, utk mengurus surat2 mereka sendiri. Si penanya lalu menyebutkan, bahwa ternyata 'anjuran' ini adalah supaya ybs bisa memberikan 'pelicin' pada para pegawai di Senayan agar surat2 tsb dapat cepat selesai diurus. Hal ini - di samping membuang2 waktu - jelas memberatkan ongkos, tidak hanya utk biaya transportasi p-p ke Jakarta, tapi juga uang pelicin tersebut. Irjen mengakui adanya praktek2 demikian, dan memang sangat sulit utk dihindari. Hal ini juga telah menjadi perhatian dan keprihatinan beliau, yang bertekad utk menghilangkan kebiasaan yg memalukan ini.
Perbincangan dengan Irjen dihentikan hingga kurang lebih pk. 22:00, mengingat banyak di antara mhs yg harus mencegat bis dan kereta utk pulang ke kota masing2. Di luar hal2 di atas, tentu ada bahasan2 sampingan lain, yg pada umumnya dibincangkan secara informal antar mahasiswa dengan bapak-bapak Atdikbud, Irjen, Menristek, dll., yg tidak dapat saya simak dan ceritakan seluruhnya. Demikian kurang lebih inti pembicaraan malam itu.