Saturday, March 25, 2006

Makan-makan di Barcelona



As posted in Jalansutra mailing list, #48233



Minggu lalu, saya diundang untuk memberikan satu kuliah umum di
Universitat Polytecnica de Catalunya (UPC) di Barcelona, Spanyol. Saya
tiba pada hari Jumat siang di Barcelona, dan kembali terbang ke
Amsterdam pada hari Minggu. Dalam waktu yg sangat singkat itu, ternyata
cukup banyak makan-makan dan jalan-jalan yg saya alami, sehingga
artikel ini harus dibagi dua: utk makan-makan, dan utk jalan-jalan.




PIRING-PIRING KECIL

Jumat malam, setelah selesai memberikan kuliah, saya bersama nona
rumah, Miren, dan pacarnya, Gordi, berangkat dari kampus UPC menuju
Plaza Catalunya. Kami membuat janji utk bertemu dengan dua rekan lain,
Deepa dan Jinesh (yg berasal dari India) utk bertemu di depan Cafe
Zurich pk. 20:00, utk makan malam bersama.

Kami berdiri di depan cafe tua tsb., memandang ke arah La Rambla
(sebuah pedestrian strip yg membentang dari Plaza Catalunya hingga
garis pantai di bagian selatan kota Barcelona) dan ke arah dua-tiga
pintu keluar dari Metro, arah dari mana Deepa dan Jinisj diperkirakan
datang. Mendekati pk. 20:30, belum tampak juga dua orang yg kami tunggu
itu. Hari makin larut, namun jalanan makin penuh orang, tak peduli
dinginnya hembusan angin. Saya yg terbiasa makan malam pk. 18:00 sudah
sangat lapar, sementara perut terakhir terisi (dengan 2 tangkap roti)
sekitar jam dua siang, sebelum memberi kuliah.



Saya: Miren, apakah orang2 Spanyol makan malamnya memang telat sekali?

Miren (sambil meringis):
Iya! Biasanya restoran mulai ramai di atas pk. 21:30, apalagi weekend
begini, puncak ramainya pk. 22:00 hingga tengah malam.

Saya: Apa nggak kelaparan?

Miren: Nggak, karena sore2 biasanya kita makan makanan kecil yg disajikan dalam piring-piring kecil, atau "tapa" (= cover)
- yg sekarang umumnya dikenal sebagai "tapas". Asalnya adalah dari
daerah Andalusia, di mana piring kecil tsb digunakan utk menutup gelas
minuman supaya tidak dihinggapi lalat. Dalam piring2 kecil tsb
dihidangkan berbagai cemilan. Kebiasaan tsb berkembang hingga akhirnya
populer seperti sekarang ini.



Ah, rupanya itu asal mula tapas, yg mulai menjamur dan jadi gaya hidup
tersendiri di tempat saya tinggal sementara ini (Amsterdam). Pembahasan
tapas terpaksa berhenti, sebab Deepa dan Jinesh akhirnya terlihat
keluar dari salah satu kolong Metro. Kami segera beranjak mencari
tempat makan malam.





WARUNG KATALAN

Saat itu sudah lewat pk. 21:00, dan semua tempat makan sudah nyaris dipenuhi pelanggan. Bila tidak memesan tempat sebelumnya (and we didn't), adalah kecil kemungkinannya kita dapat tempat di restoran yg baik (= makanan enak, harga terjangkau).

Kami berjalan menelusuri La Rambla, dipandu oleh Gordi, yg mengumumkan,
"Karena semua tempat terbaik pastinya sudah penuh, yg kita tuju
sekarang ini adalah tempat 'teraman', artinya di mana kita pasti dapat
tempat duduk, dan dapat makanan enak". Tempat tersebut bernama L'Avia, sebuah kantin kecil yg menghidangkan makanan khas Katalan dan Amerika Latin.



Di sisi kiri ruangan, terdapat vitrine (meja display) yg berisi
berbagai jenis makanan yg mereka hidangkan dan dapur/ tempat menyiapkan
makanan. Di sisi kanan, deretan meja-kursi yg sudah dipenuhi orang. Di
tengah2nya, nyaris tak ada tempat utk berjalan, saking kecilnya kantin
ini. Gordi berbicara dengan pemilik kantin, meminta supaya kami boleh
duduk di lantai atas (yg saat itu belum dibuka). Setelah menunggu
beberapa menit, akhirnya kami dipersilakan naik.

Ruangan di atas ini mengingatkan pada restoran2 sederhana di Jawa
Tengah, dengan meja2 dan bangku2 plastik berwarna menor dan kipas angin
besar di langit2. Lukisan2 dan hiasan2 yg dipajang pun sangat khas,
berekspresi lugas, tanpa basa-basi, namun sangat bermain.



Tak lama setelah kami menempatkan diri di sebuah meja, ruangan itu pun
segera penuh terisi. Gordi memesankan makanan, dan menjelaskan bahwa
makanan tsb adalah utk dimakan bersama2. Tidak ada seorang pun dari
kami yg keberatan. Hidangan pun datang satu demi satu, beberapa hadir
dalam bak aluminium ukuran sedang, masing2 beralaskan piring keramik.



Terdapat dua piring yg masing2 berisi irisan kentang berbumbu (dengan
rasa terkuat dari tomat & paprika), ditemani berbagai daging
panggang (iga, susis hitam, dan sekerat daging babi). Satu bak berisi
irisan cumi-cumi dan kacang polong, bergelimang saus berwarna merah
(dengan rasa dominan tomat, namun agak pedas). Bak lain lagi berisi
ikan (cod) dan kentang dengan
saus serupa. Ada pula dua bak kerang (mussels) dengan saus yg rasanya
mirip, namun jauh lebih encer. Satu bak besar berisi seonggok
domba, bawang bombay dan kentang yg dipanggang bersama. Bak terakhir
berisi artichoke panggang, yg harus dimakan selapis demi selapis. Semua
lauk-pauk ini masih ditemani oleh beberapa potong roti berwarna
keputihan yg teksturnya agak padat dan berasa agak asin. Untuk menemani
makanan ini, Gordi memesankan anggur yg kualitasnya inferior (karena di
antara kami tidak ada peminum anggur sejati), yang hanya enak diminum
bila dicampur dulu dengan air soda.



Dari semua hidangan ini, yang tersisa hanya separuh dari susis hitam
(susis darah, tidak ada yg terlalu doyan) dan sebutir artichoke.
Sisanya licin tandas, termasuk roti asin yg kami gunakan utk menyapu
saus yg tersisa di piring. Sudah jelas saya senang ketemu makanan yg
bumbu2nya cukup 'nyambung' dengan lidah saya (demikian juga yg diaku
para rekan dari India). Satu jenis hidangan berharga sekitar 3-4 Euro,
jadi untuk 8 porsi yg kami pesan (dan dapat membuat kenyang 5 orang)
plus minuman, kira2 habis di bawah 40 Euro.



L'AVIA

Carrer La Cera 33

08001 Barcelona

T (93) 442 0097





RESTORAN TERSEMBUNYI

Sekitar jam dua siang keesokan harinya, saat kami berjalan menuju
tempat makan siang, Miren menjelaskan bahwa antara jam dua hingga jam
empat sore, toko2 tutup utk beristirahat, dan setelahnya buka kembali
hingga pk. 21:00 atau pk. 22:00. Jam2 istirahat itu dimanfaatkan utk
menikmati makan siang, bersantai dan (tentu saja) beristirahat.

Dari arah Plaza Catalunya, kami berjalan menuju ke arah
Cathedral. Ketika hampir tiba di lapangan depan katedral, Gordi membuka
pintu pada sebuah gedung tua di sisi kiri jalan. Terutama karena kaca2
gelapnya, gedung ini sama sekali tidak menarik dilihat dari luar. Di
dalam pun, ruangan berlantai keramik hitam-putih dan berdinding hijau
tua tsb. terlihat kosong. Yang paling menonjol adalah sebuah tangga
masif yg dicat putih, menuju ke lantai atas. Di ujung atas anak tangga
terdapat pintu kaca berbingkai kayu.



Saat memasuki pintu ini baru terasa bahwa ruangan ini adalah tempat
makan. Terdapat bar membentuk L di pojok kanan ruangan. Di tengah2
ruangan terdapat 'panggung' rendah berisi empat meja panjang yg maisng2
dikelilingi bangku2 kayu. 'Panggung' ini dikelilingi oleh pilar2 yg
menopang sebuah lengkungan pada langit2, di mana terdapat sebuah lampu
gantung (chandelier) di tengah2nya.



Pada dinding di sisi bar terdapat tumpukan kotak2 minuman dan sebuah
kotak pendingin. Dinding di sisi kiri juga dipenuhi berbagai kotak dan
kemasan bahan minuman dan makanan, yg ditumpuk di bawah sebuah lukisan
yg bingkainya memenuhi sisa permukaan dinding. Di sisi yg berseberangan
dengan bar, terdapat sederet lemari kayu berpintu kaca, yg
memperlihatkan isinya: berbagai barang 'rumahan' seperti koleksi buku,
piala dan plakat, berbagai jenis baju dan kain, dan cendera mata.




Saat kami masuk, baru ada satu meja yg terisi, sehingga dengan mudah
kami dapat memilih meja yg kami sukai. Gordi segera memesankan berbagai
jenis makanan utk bersama2, setelah kami masing2 memesan minuman.
Suasana tempat makan ini seperti rumahan, 'homey' sekali. Si bartender,
seorang pria setengah baya bertubuh besar dan berkumis-jenggot putih
terlihat berdiri santai di belakang bar, sedang mengobrol dengan
seorang pelanggan seumurannya (belakangan, mereka main kartu di meja
sebelah kami). Si pelayan, seorang muda yg ramah dan cekatan, menyapa
sana-sini sambil mondar-mandir membawa pesanan.



Pesanan kami sbb:

2 porsi cumi goreng tepung: irisan cumi berbentuk cincin diolah dengan
tepat; sehingga ketika digigit, sedikit melawan namun segera menjinak.
Tekstur tepung yg renyah sangat mengimbangi kekenyalan cumi.

1 porsi kentang goreng dengan saus sambal & mayonaise: kentang
dipotong2 persegi (dengan kulitnya), lalu digoreng. Di atasnya dituang
saus berwarna merah (agak pedas) dan mayonaise.

1 porsi kroket ikan: ragout ikan campur kentang tumbuk, dibentuk
bulat-lonjong, digulir tepung panir, lalu digoreng. Luarnya renyah,
dalamnya sangat lembut, rasanya cenderung agak asin.

1 porsi daging goreng (bite size): daging babi dipotong kotak2 lalu digoreng dengan bumbu khas.

1 porsi irisan baguette yg dioles tomat segar: salah satu hidangan khas daerah ini.

1 porsi yg terdiri dari irisan cured ham, kotak2 keju dan stick crackers: 'finger food' yg juga khas, terutama cured ham-nya
yg cukup enak, meskipun bukan dari kualitas terbaik (yg terbilang
mahal, belakangan saya cek harganya di pasar setempat, bisa mencapai 38
Euro/kg). Termasuk minuman, total kami habiskan 37,75 Euro. Lagi2 bukan
harga yg mahal, mengingat kami berlima ternyata cukup kenyang dengan
hidangan model 'cemilan' yg mantap ini.



Karena letaknya yg agak tersembunyi ini, jarang ada wisatawan yg dapat
menemukan tempat ini, meskipun letaknya di tengah2 kota. Miren pun
mengetahui tempat ini dari seorang temannya yg adalah seorang petualang
kuliner di Barcelona (yg sesekali ia telpon utk mengecek ulang, saat
kami berjalan mencari2 tempat makan), dan kami beruntung mendapatkan
pengalaman "go where the locals go".



HOGAR ESTREMENO

sekitar Plaza Nova (depan Cathedral)





UNTUNG DAPAT TEMPAT

Kami tidak juga memesan tempat utk makan malam ini, dan tadinya mengira
bila pergi awal (sekitar pk. 20:00), pasti akan ada tempat utk kami
berempat (Gordi tidak ikut). Ternyata dugaan kami salah: tempat2 makan
yg kami hampiri, yg terlihat sepi, ternyata sudah penuh dipesan. Ketika
hampir putus asa karena sepertinya dihadapkan pada dua pilihan: makan
enak (khas Spanyol/Katalan) tapi mahal, atau makan murah tapi hanya
semacam pizza dan shoarma, kami tiba di depan sebuah restoran. Miren
bilang ia belum pernah ke sini, tapi menilik dari daftar menu dan harga
yg dipajang di pintu, tempat ini cukup menjanjikan. Kami segera masuk
dan meminta meja utk 4 orang, dan siap2 mendengar penolakan utk
kesekian kalinya. Tapi ternyata, meskipun jawaban awalnya adalah, "Agak
susah", kami akhirnya dipersilakan masuk di ruangan belakang.



Miren memesankan makanan pembuka utk kami makan bersama, lalu kami
memilih hidangan utama dan hidangan penutup utk masing2. Kami beruntung
lagi, ternyata restoran ini menyediakan calzot, hidangan pembuka musiman (hanya tersedia di awal musim semi). Di samping calzot, kami juga memesan escalivada, yg juga tipikal daerah ini.

Calzot, yg disajikan di atas
lempengan genting (yg berprofil setengah lingkaran) ini, adalah daun
bawang yg dipanggang hingga lapisan luarnya menghitam, dan dalamnya
matang. Cara memakannya, pegang ujung atas (bagian hijau daun)nya, lalu
kupas lapisan kulit terluarnya seperti mengupas pisang, lalu singkirkan
(buang). Celup bagian yg putih pada saus khusus utk calzot
(rasanya mirip saus otak-otak, dengan bahan dasar kacang, cuka, tomat,
dan bumbu2 lain), lalu *hap!* langsung masuk ke mulut. Makan bagian yg
putih, dan sisakan bagian daun yg hijau (terlalu 'alot' utk ikut
ditelan begitu saja).

Escalivada, yg dihidangkan
dalam pinggan keramik, berupa irisan terong panggang, paprika panggang,
dan anchovies yg diberi dressing olive oil. Sederhana, namun rasanya
khas sekali. Kami juga memesan sangria
sekedar utk mengicipi buatan restoran ini. Tapi ternyata rasanya tidak
terlalu 'fruity', sebaliknya, lebih seperti 'watered-down wine'.



Saya dan Miren masing2 memilih iga panggang sebagai hidangan utama, Deepa memilih separuh ayam, dan Jinesh pork medallion.
Masing2 hidangan datang dengan separuh kentang yg dipanggang dalam
kulitnya, dan pada permukaannya ditabur berbagai bumbu segar, sedikit white beans,
dan sekeping roti panggang yg lumayan lebar, beserta separuh tomat
segar dan sesiung bawang putih. Miren segera menunjukkan cara unik
memakan roti "pa amb tomaquet" ini: belah bawang putih, dan gosokkan
pada permukaan roti sesuai selera. Lalu gosokkan tomat segar pada
permukaan yg sama, sebanyak mungkin hingga permukaan roti basah
memerah. Tuangkan olive oil dengan royal, lalu taburkan sedikit garam.
Roti siap dimakan.

Hidangan pendamping yg lain tak kalah enak; kentang panggangnya gurih, terutama karena kulit dan bumbu2 di atasnya, lembutnya white beans
pun berhasil mengimbangi rasa dan tekstur iga panggang. Penggunaan
bumbu2 di sini memang cenderung berani, benar2 terserap dalam bahan
makanan yg segar.



Sebagai hidangan penutup, saya pilih crema catalana, yg juga khas dari daerah ini. Crema catalana ini dihidangkan dalam bak keramik bundar, dalam keadaan dingin. Isinya adalah egg/cream custard yg sangat lembut (teksturnya spt vla), dengan selapis caramelized sugar menutupi permukaannya, yg 'pecah' saat sendok mulai beraksi.

Sebenarnya crema catalana ini mirip dengan creme brulee, hanya saja bedanya custard pada catalana ini tidak semanis pada creme brulee
(setidaknya yg pernah saya icipi selama ini). Namun tetap saja, ini
adalah hidangan penutup dengan rasa dan porsi yg sangat pantas.
Termasuk minuman dan kopi, kami berempat menghabiskan 57.19 Euro untuk
makan malam kali ini. Semua terlihat puas (terbukti dari kosongnya
piring2 yg disingkirkan), dan kami pun beranjak keluar sekitar pukul 11
malam, saat sebuah pesta di meja sebelah baru akan dimulai.



LA LLAR DE FOC

Ramon i Cajal, 13

T (93) 284 1025




Ada beberapa gambar di sini






16 comments:

  1. Hehehe, kalo ada gue tandas tuh semua :D . Seru ya Ta. Temen gue ada yg ke Barcelona juga komplen gitu... Masa restoran buka baru jam 21:00, akhirnya karena gak tahan mereka makan roti doang :)). Kasian amat ... Kebetulan mereka bukan tipe pemamah biak jadi ok2 aja makan roti :D. Gue baru tau lho asal usul tapas. Thanks yah :D

    ReplyDelete
  2. waduh.. laporannya bagus Ta!!! ayo bikin graphic novel kuliner

    ReplyDelete
  3. asik ngebacanya, kayak ikutan jalan bareng =)

    ReplyDelete
  4. aku bantu abm untuk mewujudkan idenya motul!!!
    hehehe

    ReplyDelete
  5. Tadinya gue kira ada gue juga bisa abis semua, tapi beneran perut udah mau meletus rasanya =)) (sayang banget artichoke-nya). Sepulang dari sana, yg rada repot adalah ngubah kebiasaan 'ngemil berat' dan 'makan kemaleman' :P

    ReplyDelete
  6. atuh kan udah ada cooking boy.. hahaha..

    ReplyDelete
  7. trims bay :)
    sayang euy foto2 kurang kumplit (ntar2 di-update lagi)

    ReplyDelete
  8. hus, itu kerjaannya motul diberesin dulu! ;))

    ReplyDelete
  9. iya itu cuma bisa dijalanin kalo kita makan siang nya bukan jam 11.00 - 13.00 gitu, melainkan agak sorean dikit. atau ada snack sore-sore.

    Tita, bravo catatannya komplet sekaleee, tengkiu... bisa jadi panduan yad

    ReplyDelete
  10. makasih jo..
    kurang satu tapinya nih, alamat lengkapnya hogar estremeno (si restoran tersembunyi)..

    ReplyDelete
  11. aaaah...asik asik asik...cerita makannya kumplit (pake 'u'). naik berapa kilo mbakyu ?

    ReplyDelete
  12. kalo aku ikut pasti sosis oinknya ikutan abis :D

    ReplyDelete
  13. Taaaa............ serasa baca 'lima sekawan' atawa 'little house in the prairie' ......

    ReplyDelete
  14. ternyata ada gunanya, kan, baca buku2nya enid blyton? heheheh

    ReplyDelete
  15. weh, kalo sosis oink, pasti udah aku embat juga! hahaha! ini sosis darah euy.. pait2 pekat gitu *gak doyan*

    ReplyDelete