Sunday, January 23, 2005

Kata-kata Kartini





Sejak SD, buku Habis Gelap Terbitlah Terang selalu disebut2 guru2 di sekolah sebagai inspirasi emansipasi wanita di Indonesia, yg dipelopori R.A. Kartini. Tapi buku itu sendiri belum pernah saya pegang sama sekali, apalagi baca, hingga baru2 ini! Saya dapat buku ini sebagai hadiah ulang tahun dari Sybrand akhir Desember 2004 lalu, cetakan kedua (th 1949, lebih dari dua puluh tahun sejak cetakan pertama diterbitkan), masih dengan gaya bahasa dan ejaan masa itu. Bukunya sendiri agak fragile, sayang kalo dibawa2 utk baca di kereta, di cafe dll - makanya hanya sempet baca menjelang tidur, waktu malam. Duh, menyesal kenapa baru baca sekarang! Seharusnya sejak dulu-dulu, sebab isinya inspirasional sekali. Jarang2 ada buku yg bisa jadi makanan otak, sekaligus juga makanan hati nurani.

Buku ini merupakan kumpulan dari surat2 R.A. Kartini ke sahabat2nya. Semua surat tsb berbahasa Belanda, dan utk keperluan penerbitan buku ini, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Armijn Pane. Seorang sastrawan unggul, yang dipercaya dapat menjaga ekspresi Kartini pada surat2nya, yang menggambarkan semangatnya, kesedihannya, dan pemikirannya yang menggebu-gebu.

Meskipun ditulis lebih dari seratus tahun yang lampau, beberapa pemikiran Kartini masih berlaku di masa kini. Antara lain saya kutip di bawah ini.
Mengenai agama; bahwa agama itu adalah alat di tangan manusia yg menjalankannya, dan yg sayangnya sering disalah-gunakan.
Hlm 47: "Agama harus mendjaga kita dari pada berbuat dosa, akan tetapi berapa banjaknja dosa diperbuat orang atas nama agama itu!"
Hlm 186: "Apa pedulinja, agama mana jang dipeluk orang dan bangsa mana dia, djiwa jang mulia tetap djuga djiwa jang mulia, dan orang jang budiman tetap djuga orang jang budiman. Hamba Allah ada ditiap-tiap agama, ditengah-tengah tiap-tiap bangsa".
Hlm 165: "[...] karena banjak kami lihat orang memakai topeng agama berkelakuan jang tidak menaruh kasihan. Lambat-laun barulah kami tahu, bukanlah agama itu jang tiada menaruh kasihan, melainkan manusia djugalah jang memperburuk segala sesuatu jang semulanja bagus sutji itu".

Mengenai budaya buruk orang Jawa: gengsi dan suka pamer. Masih banyak memang sekarang, orang2 yang merasa 'priyayi' tapi kelakuannya sama sekali nggak cocok, orang2 yg sombong tapi kosong; hanya ingin dipuja bagai 'ndoro' tanpa dirinya sendiri melakukan hal2 yg pantas membuatnya dianggap lebih bangsawan dari orang lain.
Hlm 54: "Salah satu sipat orang Djawa itiu jang tiada baik, jang harus dibasmi, ialah sipat gila ketjongkakan; hal itu akan banjak membantu memakmurkan pulau Djawa. Sipat jang tiada baik itu hanja dengan mendidik budi boleh dilenjapkan."

Mengenai peran ibu; bahwa seorang ibu menanggung tugas berat dalam mendidik anak2nya, terutama memberi budi pekerti sejak anak2 berusia sangat muda. Hal ini berarti bahwa si ibu harus cukup dibekali pengetahuan supaya dapat membimbing anak2nya, para pelaku dan penentu masa depan, dengan cakap.
Hlm 84: "Dari perempuanlah pertama-tamanja manusia itu menerima didikannya - diharibaannjalah anak itu beladjar merasa dan berpikir, berkata-kata; dan makin lama makin tahulah saja, bahwa didikan jang mula-mula itu bukan tidak besar pengaruhnja bagi kehidupan manusia dikemudian harinja. Dan betapakah ibu Bumiputera itu sanggup mendidik anaknja, bila mereka itu sendiri tiada berpendidikan?"
Hlm 155: "Ibulah jang djadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggungkan kewadjiban pendidikan anak-anak jang berat itu: jaitu bagian pendidikan jang membentuk budinja. Berilah anak-anak gadis itu pendidikan jang sempurna, djagalah supaja ia tjakap kelak memikul kewadjibannya jang berat itu".

Mengenai peran ibu; bahwa seorang wanita dapatlah juga menjadi 'ibu' bagi orang lain (selain anak2 kandungnya) selama ia dapat mencurahkan perhatian dan mendidik dengan segenap kemampuannya dengan ikhlas dan penuh kasih.
Hlm 152-153: "Tetapi, mestikah perempuan itu beranak dahulu, maka boleh mendjadi "ibu", menurut arti perkataan itu jang seharusnja, jakni machluk jang semata-mata berhati kasih dan tahu berkurban? [...] Seorang perempuan jang mengurbankan diri untuk orang lain, dengan segala rasa tjinta jang ada dalam hatinja, dengan segala asjik jang ada padanja, perempuan itu "ibu"-lah dalam hati sanubarinja.
Bagi kami lebih tinggi ibu jang djadi ibu karena hati sanubarinja itu darip ada ibu jang telah djadi ibu karena badannja.
Harapan dan doa kami dengan sangat, bila dikemudian hari boleh kiranja tjita-tjita kami berwujud, kami mengadjar didalam sekolah, anak-anak kami djanganlah sadja menjebut kami "ibu" dimulut sadja, melainkan djuga "ibu" dimulut dan dihati".

Mengenai peran istri; bahwa laki2 akan berbahagia bila pendampingnya adalah perempuan yg setara tingkat intelegensinya, sehingga dapat pula menjadi teman sejati.
Hlm 154: "Alangkah berbahagianja laki-laki, bila perempuannja bukan sadja mendjadi pengurus rumah tangganja, ibu anak-anaknja sadja, melainkan djuga djadi sahabatnja, jang menaruh minat akan pekerdjaannja, turut merasakan pekerdjaannja itu. Hal jang sedemikian itu tentulah berharga benar bagi kaum laki-laki, jaitu bila dia bukan orang jang pitjik pemandangannja dan angkuh".

Mengenai metoda pendidikan yg 'baru'; bahwa mendidik (perempuan) bangsa Indonesia dengan 'cara Belanda' bukanlah berarti bertujuan 'membelandakan' anak2 bangsa; bukanlah berarti hendak mengubah anak2 bangsa menjadi orang2 asing. Namun hendak membuka wawasan dan menambahkan pengetahuan kepada anak2 bangsa yg hendaknya dapat menyeimbangkannya dengan norma2 bangsa Indonesia.
Hlm 100: "Dengan pendidikan jang bebas itu, bukanlah sekali-kali maksud kami akan mendjadikan orang Djawa itu orang Djawa Belanda, melainkan tjita-tjita kami ialah memberikan kepada mereka djua, sipat-sipat jang bagus, jang ada pada bangsa-bangsa lain, akan djadi penambah sipat-sipat jang sudah ada padanja, bukanlah akan menghilangkan sipat-sipatnja sendiri itu, melainkan akan memperbaiki dan memperbagusnja!"
Hlm 123-124: "Kami sekali-kali tiada hendak mendjadikan murid-murid kami djadi setengah orang Eropah, atau orang Djawa kebelanda-belandaan. Maksud kami dengan mendidik bebas, ialah terutama sekali akan mendjadikan orang Djawa itu, orang Djawa jang sedjati, orang Djawa jang berdjiwa karena tjinta dan gembira akan tanah air dan bangsanja, jang senang dan gembira melihat kebagusan, bangsa dan tanah airnja, dan .... kesukarannja!"


Buku ini sudah beredar luas, dicetak oleh Gramedia (seharga Rp. 22.000,- per buku). Sangat patut dibaca oleh kaum muda, supaya tidak sekedar berbaju daerah setiap tgl 21 April, namun juga untuk lebih mengenal citra dan semangat Kartini.
Ada review mengenai buku ini di: KOMPAS





17 comments:

  1. menarik sekali cara pandangnya
    tapi bukunya fragile yah? =/

    ReplyDelete
  2. Gileeee... Ini Kartini!
    Mau coba cari, ah...
    Thanks, Ta!

    ReplyDelete
  3. buku yg saya punya, iya fragile.. pinggir2nya udah terserpih2 gitu, jd nggak tega mbacanya berulang2. beli yg versi baru juga aah.. :)

    ReplyDelete
  4. Iya Chok, seru lho, kalo baca semuanya. Memang surat2nya dipilah2 dan disusun supaya mirip novel. Masih banyak lagi point2 yg penting tapi kepanjangan utk dikutip di sini. Happy hunting..

    ReplyDelete
  5. wah aku dari dulu tau ibu Kartini, tapi baru kali ini mengerti kenapa dia begitu disanjung :) thx review nya..
    nanti aku juga mau cari buku nya ahh :D

    ReplyDelete
  6. Titaaaaa maaf sedikit mengkritik, tapi buku itu terbitannya banyak bgt di Jkt dr berbagai penerbit, aduh bagaimana sih Ibu ini kok nunggu bacanya di Neerlandais, aye aje yg cowok bacanye entah udah taon kapan..:) mmmmm buat pelengkap, "panggil aku Kartini saja" nya Pram juga bagus...

    ReplyDelete
  7. Iyaaa makanya nih nyesel baru baca sekarang! Yg aku punya ini terbitan Djakarta juga kok.. hehe.. (namanya juga kado, jd dikasih yg kuno beneran). Ntar2 mau cari yg baru, biar tega mbacanya berulang2.
    Thanks ttg buku Pram itu, nanti aku cari pas mudik (duh kapan deeh..)

    ReplyDelete
  8. bener2 inspirational deh... hmmm mau donk pinjem kalo ada.. ato klo ada temen balik indo nitip dunnsss...hehehhe...

    ReplyDelete
  9. punyaku, udah ta' simpen rapih, takut mbrodol (habis, bayangin, buku itu terbit pas ibuku masih balita!). nanti ta' kasih tau kalau sudah dapat versi terbitan baru :)
    (ngertiyo nitip pakdhe wingi yo.. hahaha..)

    ReplyDelete
  10. Aku nemu versi cetakan amerika dengan intro dari elanor rosevelt, judulnya 'letters from a javanese princess'.
    Jadi pengen belajar bhs belanda supaya bisa baca yg asli.

    ReplyDelete
  11. Benar yah... gue gak pernah lho baca surat2nya. Sempet mempertanyakan apa hebatnya dia, ternyata emang maju banget untuk jamannya! Gue suka banget yg ini:

    mestikah perempuan itu beranak dahulu, maka boleh mendjadi "ibu" >>> mantap!

    ..., jaitu bila dia bukan orang jang pitjik pemandangannja dan angkuh >>> udah mengerti kalo cowok ada aja yg picik, jadi apapun yg dilakukan cewek bakal gak bener.

    "Agama harus mendjaga kita dari pada berbuat dosa, akan tetapi berapa banjaknja dosa diperbuat orang atas nama agama itu!" >>> what a quotation!!

    ReplyDelete
  12. tk: berarti udah baca versi inggrisnya? aku belom. dan belum baca panggil aku kartini saja-nya PAT (sasaran berikut di toko buku)

    ven: iya, dulu waktu SD/SMP kan cuma denger gembar gembornya aja, tanpa bener2 ngerti. padaha para guru wkt itu juga pada bertentangan pendapat mengenai kartini. akhirnya gue ngerti pas baca sendiri surat2nya.

    ReplyDelete
  13. Mampirrrrrrrrrrrrrr :-p

    Jadi seger lagi deh memoriku sama buku ini :-D
    Thanks for the link Mba sayang :-)

    ReplyDelete
  14. monggooooo

    you're very welcome! *hugs*

    ReplyDelete
  15. saya jadi baca lagi. makasih ya sudah diingatkan, dari tadi cari2x tulisan ttg kartini yang bagus :)

    ReplyDelete