MENCURAHKAN isi hati (curhat) lewat kata-kata mungkin sudah biasa, namun Dwinita Larasati atau yang lebih dikenal dengan nama
Tita Larasati, doktor lulusan Universitas Teknologi Delft, Amsterdam, ini lebih suka mencatat pengalaman sehari-harinya lewat gambar. Maka, setiap hari ada saja kejadian menarik yang ia tuangkan dalam jurnal pribadinya.
Kebiasaan bercerita lewat gambar, intens ditekuninya sejak menuntut ilmu di Negeri Kincir Angin, Belanda. Melalui media itulah ia berkomunikasi dan bercerita dengan sanak saudara di Indonesia mengenai keadaan serta pengamannya tinggal di negeri orang. Maklum ketika itu fasilitas internet belum selancar sekarang.
Tak disangka, jurnal tersebut yang awalnya hanya untuk konsumsi pribadi itu menarik minat banyak orang. Lantas, ketika pulang ke Tanah Air, datang "lamaran" untuk menerbitkan jurnal pribadi tersebut menjadi sebuah catatan harian grafis. Setelah berpikir panjang, akhirnya tawaran itu ia terima dan lahirlah tiga catatan harian grafis berjudul Curhat Tita (2008), Transition (2008), dan Curhat Tita Back to Bandung (2009).
Catatan harian grafis merupakan sesuatu yang baru di Indonesia dan bisa dibilang Tita merupakan salah satu pelopornya. Berikut obrolan Tita dengan Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.
1. Sejak kapan Anda menulis catatan harian berupa gambar?
Sejak kecil saya sudah senang menggambar. Mungkin karena terpengaruh oleh ayah dan ibu saya yang berprofesi sebagai arsitek. Mereka selalu mendukung untuk mengembangkan bakat saya dengan mendaftarkan ke sanggar atau mengikuti lomba gambar. Ayah pula yang mengajarkan saya untuk selalu membawa kertas dan pulpen sehingga saya bisa menggambar di mana saja.
Sejak masih berada di Indonesia sebenarnya saya sudah sering membuat catatan harian berupa gambar. Hanya saja ketika itu belum terdokumentasi dengan baik sehingga banyak yang hilang. Kemudian saat melanjutkan pendidikan ke Belanda kebiasaan menulis catatan harian itu saya lakukan lagi. Pada tahun 1995, saya mendapat kesempatan magang selama 10 bulan di sebuah biro desain di Jerman. Di sana saya tinggal di sebuah desa kecil yang sepi dari hiburan, bahkan ketika itu televisi pun saya tidak punya. Kondisi tersebut membuat saya semakin rutin membuat catatan harian berupa grafis.
Selain untuk membunuh waktu, catatan harian itu saya gunakan sebagai sarana komunikasi dengan orang tua saya di Jakarta. Karena waktu itu belum ada internet, maka catatan itu saya kirim lewat faksimili. Ternyata oleh ibu lembar faks itu difotokopi, diperbanyak, dan disebar ke saudara-saudara. Saya sempat heran, kok ada ya orang yang mau baca catatan harian saya.
2. Kesulitan apa saja yang Anda hadapi saat mengerjakan catatan harian grafis ini?
Saya rasa tidak ada, kecuali masalah waktu. Saat ini saya merasa agak kesulitan untuk menggambar banyak karena harus membagi waktu dengan pekerjaan pokok saya sebagai dosen, di mana saya dituntut menyediakan waktu untuk laporan riset atau menyiapkan bahan ajar.
Soal inspirasi, saya tidak pernah bermasalah karena cerita yang saya gambarkan berupa kejadian sehari-hari. Biasanya saya memilih kejadian yang menjadi highlight setiap hari untuk digambar. Supaya tidak lupa, saya mencatat kejadian atau inspirasi yang hinggap itu di jurnal pribadinya. Itu tidak sulit karena saya biasa menggambar cepat dan sering tanpa dihapus.
3. Apa yang memotivasi Anda untuk menerbitkannya?
Awalnya catatan harian itu saya peruntukan untuk konsumsi pribadi. Sampai kemudian waktu teman-teman komikus Indonesia diundang pameran di Harlem, Belanda. Ketika itu saya yang membantu mengurusi surat-suratnya. Usai mengurusi surat-menyurat, direktur pameran itu bertanya apa saya juga menggambar. Saya jawab iya, tetapi gambar saya berupa catatan harian. Lalu dia minta izin lihat dan dia bilang gambar saya harus ikut pameran. Pada mulanya saya sempat merasa minder, tetapi melihat respons pengunjung yang cukup antusias perlahan percaya diri saya pun naik.
Sejak itu saya mulai rajin ikut pameran, di antaranya bersama komikus Belgia. Waktu itu mereka mengundang para komikus seluruh dunia untuk meng-up-load karyanya yang bertema travelling. Karena banyak karya saya yang bertema jalan-jalan, maka saya pun ikut meng-up-load. Dari sana saya juga banyak mendapatkan respons mengenai karya-karya saya.
Pulang ke Indonesia saya diajak oleh teman-teman komikus untuk pameran di TIM. Karena belum punya buku, maka karya yang saya pamerkan berupa fotokopi dari catatan harian grafis. Saat itu ada penerbit yang menawarkan untuk dibukukan. Karena merasa nyaman dengan kesepakatan yang dibuat dan saya juga tidak merasa dieksploitasi seperti komoditi, maka tawaran itu saya terima.
4. Apa ada tokoh khusus yang menjadi panutan Anda ketika membuat catatan harian grafis ini?
Awalnya niat saya hanya ingin membuat catatan harian. Itu pun hanya untuk konsumsi pribadi sehingga gambar-gambarnya seringkali hanya saya yang mengerti. Kemudian karena banyak orang yang suka, perlahan saya pun mulai membuat gambar yang mudah dimengerti oleh orang banyak, ketimbang saya harus menjelaskan berkali-kali.
Seiring dengan bertambahnya wawasan, saya jadi tahu ternyata karya berupa buku kumpulan sketsa atau catatan harian bergambar berbasiskan kehidupan nyata, sudah menjamur di Eropa dan Amerika. Saya pun membaca dan menjadikan mereka inspirasi untuk mengembangkan diri. Beberapa novel grafis yang saya suka antara lain Eddie Campbell (Skotlandia), Marjane Satrapi (Iran), Peter Pontiac (Belanda), Joulie Doucet (Prancis), dan Chris Ware (Amerika Serikat). Setelah melihat karya mereka, saya semakin yakin kalau ada tempat untuk saya.
5. Apakah Anda salah satu pelopor catatan harian grafis di Indonesia?
Catatan harian grafis memang belum terlalu populer di Indonesia. Pada awalnya niat saya hanya ingin memberikan pilihan bagi para pembaca cerita gambar. Jika kemudian banyak yang suka atau ikut membuat catatan harian grafis, itu saya anggap sebagai bonus.
Kalau yang diangkat langsung dan sama dengan catatan harian, sepertinya saya memang yang pertama. Saya membuat catatan bergambar itu secara spontan, langsung, tanpa rancangan dengan pensil terlebih dulu. Isinya asli, plek (sama persis) dengan diary yang saya buat. Kalau ada tulisan salah, ya dibiarkan salah, tidak dihapus.
6. Bagaimana respons masyarakat terhadap catatan harian grafis Anda ini?
Cukup baik. Pasarnya sudah mulai jelas dan terlihat siapa pembacanya. Mereka yang tak suka atau tak bisa baca komik juga sudah mulai nyambung. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pada dasarnya saya hanya ingin ada nuansa baru di komik Indonesia.
7. Apa perbedaan antara catatan harian grafis yang Anda buat dengan novel grafis lain seperti karya Marjane Satrapi?
Catatan harian grafis saya benar-benar dikopi dari catatan harian saya yang asli. Sehingga, kejadian didalamnya lepas dan tanpa plot, sebab saya tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Sementara Satrapi sejak awal memang sudah berniat untuk membuat sebuah memoar autobiografinya secara grafis.
8. Apa Anda berminat mengembangkan catatan harian grafis ini menjadi sebuah film grafis seperti Persepolish?
Saya suka film itu, keren banget! Satrapi berhasil mengutarakan substansi yang ingin ia sampaikan pada penonton. Ia menyampaikan sesuatu yang kompleks dengan sederhana dan berhasil merebut perhatian orang. Sementara cerita saya sporadic, masih belum layak menjadi kesatuan sebuah film panjang. Kalau pun dikemudian hari saya akan membuat animasi atau grafis motion pasti bentuknya bukan film panjang seperti Satrapi tetapi videoklip.
9. Kapan Anda akan meluncurkan karya berikutnya?
Rencananya pada ulang tahun penerbit, saya akan meluncurkan antologi yang berisi catatan harian saya dan beberapa komikus lainnya. Kalau punya waktu agak luang saya juga ingin menggambar agak serius dengan disket terlebih dahulu dan diberi warna.