Sunday, May 21, 2006
Debut Pertama Anto Garang di Belanda
Pada Jumat malam (19 Mei 2006) yang lalu, di Galerie Lambiek terjadi berbagai peristiwa: peluncuran buku kedua Lamelos (sebuah grup komikus yg tahun ini mendapat giliran menggarap semua materi publikasi resmi Stripdagen Haarlem 2006), pembukaan pameran karya2 Lamelos di Galerie Lambiek, dan peluncuran sebuah buku yg dibagikan secara cuma-cuma kepada orang yg membelanjakan sejumlah 12,12 Euro (atau lebih) untuk komik di 400 toko di Belanda yg berpartisipasi dalam prorgam Stripboek Geschenk ini. Buku tersebut tak lain adalah STORM: De Kronieken van 30 Jaar Storm.
Sketsa awal karakter Storm dan Rambut Merah
Buku setebal 48 halaman (soft cover) ini memuat sejarah ringkas tentang lahirnya seri Storm dan proses kelanjutannya, yg melibatkan nama2 besar Don Lawrence, Martin Lodewijk, dan Dick Matena. Di antara kisah perkembangan seri tsb, diselipkan pula beberapa lembar komik karya Don Lawrence, seperti komik lepas berjudul The Son of the Hunter dan World on Wheels (keduanya dari th 1974), dan cuplikan seri Storm dari episode The Last Warrior, yg diduga telah menginspirasi film Indiana Jones and The last Crusade (penulis film tsb, Menno Meyjes, seorang Belanda yg pasti pernah membaca seri tsb di masa mudanya!).
Tak kalah menarik, adalah tampilan sketsa awal Don Lawrence kala membuat konsep visual karakter2 utamanya, Storm dan Rambut Merah (yg kala itu dinamainya Carrots), berbagai sketsa dan karya yg dibuat utk berbagai terbitan khusus, poster2 pameran atau peluncuran buku Don Lawrence, dan foto2 tim pembuat Storm dari masa ke masa.
Storm baru versi Liam, digambar berdasarkan sketsa pensil Don Lawrence
Storm versi Romano
Namun yang paling mengejutkan adalah bab terakhir, berjudul Storm Tanpa Don Lawrence?, yg menampilkan sketsa dan ilustrasi dari para komikus (calon) penerus seri Storm, di antaranya, seperti bocoran yg pernah kita dengar, adalah Anto Garang! Anto adalah satu-satunya nama komikus yg disebut di bab ini selain Liam Sharp, seorang komikus Inggris berusia 38 th, yg semasa remajanya pernah bekerja magang pada Don Lawrence (namun kemudian memilih utk membuat karyanya sendiri) dan Romano Molenaar, komikus Belanda berusia 35 th yg telah dipastikan akan meneruskan episode Storm berikutnya, The Ring of Fire.
Fragmen utk seri Storm karya Anto
Terdapat tiga Ilustrasi karya Anto di sini, disertai keterangan sbb, "Fragmen dari karya komikus Indonesia, Anto", yang menggambarkan Storm, Rambut Merah dan Nomad(?) sedang duduk mengelilingi api unggun, close-up Rambut Merah, dan Rambut Merah & Storm dalam posisi siap tempur. Selamat untuk Anto, yang sejak Jumat lalu karyanya telah diperkenalkan kepada publik pembaca & pecinta komik di Eropa Barat, khususnya Belanda!
Tita, Amsterdam, 21 Mei 2006
Bacaan tambahan:
- Portfolio Anto Garang di Deviantart
- Wawancara dengan Anto Garang di | r e k a m a t r a |
Gambar depan: sampul dari De Kronieken van 30 Jaar Storm
Gambar di bawah: Sketsa pensil karya Romano Molenaar
Tuesday, May 16, 2006
Luapan Semangat dan Enerji dari Kerkstraat, Amsterdam
Kerkstraat adalah sebuah jalan kecil yang memotong Leidsestraat, jalan besar menuju Leidseplein yang merupakan salah satu tempat tujuan para wisatawan di Amsterdam, di mana terdapat gedung-gedung teater, ratusan bar, café dan restoran. Di sekujur Kerkstraat pun terdapat beberapa restoran, galeri seni, hotel, tempat penyewaan sepeda, dan berbagai tempat menarik lainnya. Di jalan kecil inilah sebuah toko komik kecil bernama Lambiek mulai berdiri dan kemudian berkembang hingga memperoleh reputasi sebagai salah satu toko komik yang terlengkap di Belanda. Tak sekedar menjual komik, Lambiek pun memiliki ruang galeri dan juga mengoleksi memorabilia antik (yang berhubungan dengan komik/strip) dan karya-karya asli para komikus tenar.
Suasana Leidsestraat yg selalu dipenuhi wisatawan
Para profesional, penggemar dan pemerhati di bidang komik dan cergam, terutama yang telah mengenal Lambiek, pasti selalu mengasosiasikan toko tersebut dengan seorang Kees Kousemaker (63). Kees adalah sosok di balik seluruh kesuksesan Lambiek, bahkan dapat dikatakan merupakan personifikasi, bentuk jiwa-raga dari Lambiek dan seluruh aktivitas seputar Lambiek. Kees muda yang sebelumnya berprofesi sebagai guru gambar di Haarlem, kemudian melanjutkan studinya ke bidang Bahasa Belanda di Utrecht, memang senang berburu dan mengumpulkan berbagai komik dan cergam, baik baru maupun bekas. Setelah melewati masa wajib militernya, pada tahun 1968 Kees membuka toko Lambiek bermodalkan uang tabungannya sendiri. Tabungan Kees saat itu, sejumlah 2000 Gulden, masih dapat melunasi biaya sewa ruang (sebesar 129 Gulden/bulan - yang termasuk murah, bahkan untuk masa itu) dan biaya pembuatan rak dan perabot lain-lainnya, yang dibuat sendiri dari kayu bekas dengan bantuan teman-temannya. Kees memilih nama “Lambiek” untuk tokonya, yang berasal dari salah satu tokoh pada cergam seri Suske & Wiske dari Belgia (yang bisa dibilang merupakan satu-satunya seri ‘baru’ yang populer kala itu). Kees mengambil tokoh Lambiek karena asosiasi tokoh tersebut dengan bir dan perangainya yang agak ceroboh, yang dianggapnya mirip dengan dirinya (Kees) sendiri – terutama dalam hal ‘kenekatan’nya mendirikan toko komiknya tersebut. Di samping itu, pada masa itu orang senang menyebut toko mereka dengan istilah boutique (misalkan brood boutique untuk bakery, atau toko roti), jadi nama Lambiek pun pas bersajak dengan kata “boutique”. Salah satu motivasi terkuat Kees untuk mendirikan Lambiek adalah tidak adanya toko yang mengkhususkan ke komik/ cergam pada masa itu. Toko-toko buku besar sangat jarang menampilkan komik, sementara kios-kios rokok dan koran hanya menyediakan sedikit jenis majalah komik dan cergam.
Kees muda saat memasang papan nama toko di lokasi pertama Lambiek, Kerkstraat 104
Saat pembukaan Galerie Lambiek: (ki-ka) Evelien Kousemaker, Kees Kousemaker, Willy Vandersteen, pencipta seri Suske & Wiske
Meskipun tak pernah secara khusus memasang iklan, Lambiek sering mendapat publikasi gratis, baik dari mulut ke mulut maupun melalui media massa yang jumlah dan variasinya masih sangat terbatas. Antara lain adalah ketika acara peresmian Lambiek yang dihadiri oleh Willy Vandersteen (pencipta seri Suske & Wiske yang berasal dari Belgia) pada tanggal 8 November 1968 yang diliput oleh stasiun televisi Belanda. Kala itu hanya ada tiga saluran untuk seluruh negeri Belanda, sehingga dengan mudah kabar mengenai Lambiek, toko komik pertama di Belanda, tersebar ke seluruh pemirsa televisi di Belanda. Lambiek memang merupakan pelopor di bidangnya, sebab setelah didirikan, dengan segera bermunculan banyak toko di Belanda dan Eropa yang juga mengkhususkan diri di bidang komik/ cergam, memorabilia dan pernak-pernik komik lain.
Dalam sebuah seri Agen 327, Ijzerbroot digambarkan lewat di depan Lambiek
Pada awal masa berdirinya, Lambiek hanya menampilkan koleksi pribadi milik Kees. Para penggemar komik yang sering mengunjungi Lambiek, menjadikan Lambiek tempat berkumpul dan bergaul. Kees pun sering berinisiatif untuk mengadakan acara semacam sesi tanda tangan para komikus, atau perayaan penerbitan (ulang) suatu album komik; kegiatan yang masih berlangsung hingga kini. Peminat komik makin besar, sejalan dengan bertambahnya jumlah dan variasi komik di pasaran, dan koleksi Lambiek pun bertambah. Sehingga pada tahun 1980, toko pertama Lambiek di Kerkstraat nomer 104, yang hanya berupa sebuah ruang bawah tanah, pindah ke lokasi barunya ke nomer 78, ke sebuah ruang yang lebih besar di jalan yang sama. Saat itu dunia komik sedang mencapai masa jayanya, terus berkembang dan memiliki banyak penggemar setia, sehingga aktivitas pada Lambiek pun tak pernah mereda. Toko di lokasi yang baru ini diresmikan dengan nama Galerie Lambiek.
Sebuah gimmick reklame milik Lambiek yg mengundang banyak masalah (berkenaan dengan aturan tata kota) karena ditempatkan di tikungan antara Leidsestraat dan Kerkstraat. Kini gimmick tsb. ditempatkan tepat di depan toko.
Sehubungan dengan galerinya ini, yang mulai dibuka pada tahun 1986, Kees tidak ingin mengecilkan istilah “galeri” dengan sekedar memasang hasil cetakan silkscreen dan gambar-gambar komik pada dinding. Salah satu tujuan galeri ini adalah mengeksplorasi wilayah yang tak terdefinisi antara komik/ strip dan lukisan seni murni. Hal ini dibuktikan dengan pameran perdana saat pembukaan galeri, di mana ditampilkan berbagai karya dari para kontributor majalah Raw. Pers dan masyarakat umum dikejutkan oleh karya-karya yang ditampilkan, dan Eropa pun mulai menemukan seni komik/strip eksperimental. Ironisnya, Galerie Lambiek meraih reputasi lebih besar di luar Belanda, bukan di Belanda sendiri dengan dunia seninya yang konservatif. Semenjak itu, pameran-pameran di Galerie Lambiek berlanjut dengan berbagai jalur eksperimental, antara lain menampilkan Peter Pontiac (pencipta novel grafis Kraut) yang memamerkan lukisan-lukisan unik yang dibuatnya di lembaran-lembaran kardus berukuran besar, Pascal Doury dan Bruno Richard (para pencipta majalah Elles sont de sortie; Doury sendiri adalah seniman underground/comix yang tenar dengan karyanya Pornographie Catholiqie di majalah Raw) yang menggarap karya-karya mereka langsung pada saat pameran, dan André Franquin (pencipta tokoh-tokoh komik terkenal Marsupilami dan Gaston) yang menggunakan foto-foto untuk memperbesar sketsa pensilnya menjadi lukisan abstrak selebar dinding, dengan warna-warna mengejutkan.
Suasana interior Lambiek di Kerkstraat 78, karya Peter Pontiac, yg menampilkan beberapa tokoh komik terkenal. Kees terlihat sedang duduk membaca, sementara Klaas berdiri melayani seorang pelanggan. Para 'pelanggan' adalah tokoh2 komik terkenal di Belanda.
Sementara itu, Galerie Lambiek juga tetap mengoleksi berbagai sketsa dan lay-out asli (pre-produksi sebuah album cergam) hasil kerja para komikus tenar. Kees menganggap sketsa dan lay-out tersebut adalah bagian dari suatu proses produksi, yang sebagian besar dibuat untuk memenuhi target tenggat waktu dan permintaan klien maupun pasar. Sketsa dan lay-out untuk album cergam bukanlah curahan emosi, intuisi, dorongan bereksperimen atau penuangan kreativitas sepenuhnya, sehingga jarang yang dapat disebut sebagai karya seni, meskipun tampilannya tak kalah menarik. Karya-karya asli yang merupakan proses komik jarang dapat terjual, meskipun harganya tidak terlalu mahal. Sebagai gambaran, harga sebuah sketsa pensil dari Will Eisner (pencipta seri Spirit dan perintis novel grafis dengan karyanya A Contract with God) ‘hanya’ berkisar antara 300 hingga 400 Euro, sementara sebuah lukisan dapat mencapai harga ribuan Euro.
'Poster' Lambiek karya beberapa komikus
Sketsa Will Eisner untuk Lambiek
Galerie Lambiek telah banyak dikunjungi para komikus terkemuka di dunia. Mereka datang untuk berbagai acara, seperti sesi tanda tangan, peluncuran (ulang) album baru, atau hanya sekedar mampir di waktu senggang. Sebuah buku tamu tebal yang selalu tersedia telah terisi oleh coret-coretan gambar dan komentar dari para pengunjung, yang dengan sendirinya merupakan koleksi yang sangat berharga. Pertemanan Kees dengan para tokoh komikus ini, ditambah pula dengan Galerie Lambiek-nya yang telah melegenda, berakibat pada pengabadian lokasi Lambiek di Kerkstraat 78 dan Kees Kousemaker sendiri sebagai elemen dan tokoh pada beberapa komik/ cergam, poster, dan sebagainya, antara lain oleh Peter Pontiac dan Martin Lodewijk (pencipta Agent 327).
Tim Lambiek
Para pengunjung baru Lambiek dapat dengan tenang mengeksplorasi isi toko, begitu banyak koleksi yang dapat dilihat. Para pengunjung tetap pun tak akan bosan, karena setiap kali datang, pasti akan ada hal baru yang menarik. Klaas Knol, seorang personel senior Lambiek, selalu jeli melihat dan dapat merekomendasikan dengan tepat pilihan album komik/ cergam pada para pelanggan. Koleksi Lambiek memang melingkupi banyak aliran pada komik/ cergam, mulai dari keluaran penerbit besar hingga karya-karya underground maupun indie/ independent (patut dicatat bahwa Lambiek adalah toko komik pertama yang mendukung dan bersedia menjual komik-komik underground dan independent baik yang berasal dari Belanda maupun luar Belanda). Di Lambiek tak jarang pula dijumpai album-album cergam ternama dalam berbagai bahasa, yang menjadi sasaran para kolektor. Koneksi Lambiek yang tersebar begitu luas sempat juga menjadi berkah bagi sekelompok komikus Indonesia, yang melalui kontak dengan Lambiek telah membuahkan hasil konkret, berupa partisipasi dalam Stripdagen Haarlem (sebuah ajang komik/cergam terbesar di Belanda yang diadakan di Haarlem setiap dua tahun), dengan menampilkan pameran komik Indonesia bertajuk Madjoe! pada tahun 2002. Lambiek bahkan meminjamkan koleksi berharganya untuk disertakan dalam pameran “Madjoe!” tersebut: beberapa eksemplar koran tua yang penuh berisi komik/strip, yang diterbitkan di Hindia-Belanda pada tahun 30-an.
Interior Lambiek di Kerkstraat 78
Beberapa koleksi memorabilia komik milik Lambiek
Lambiek membebaskan para pengunjungnya menikmati koleksi mereka (buku/album yang disegel hanyalah yang masuk kategori antik), bahkan menyilakan para pelanggan tetap untuk membawa pulang (setelah membayar) komik baru yang mereka pilih untuk dibaca di rumah, dan boleh segera dikembalikan ke Lambiek bila ternyata tidak suka. Hubungan semacam ini memang membuat Lambiek lebih dari sekedar sebuah toko dan galeri, dan menciptakan pengalaman berinteraksi lebih dari sekedar hubungan pembeli dan penjual. Mereka dapat membuat semua pelanggan merasa nyaman dan diterima dengan baik sebagai kawan. Mungkin ini lah salah satu faktor yang membuat orang-orang selalu menyempatkan diri untuk mampir, walaupun hanya untuk sekedar bertukar sapa dengan para personel Lambiek.
Interior Lambiek di Kerkstraat 119 - toko perpindahan sementara yg memang sangat sempit - sebelum akhirnya mereka pindah di lokasinya yg sekarang, Kerkstraat 132
Sangat disayangkan, gedung tua yang ditempati Lambiek di Kerkstraat 78 mulai menampakkan kerapuhannya, sehingga mengakibatkan kerusakan pada banyak komik koleksi Lambiek. Sebagian besar komik baru yang terkena sedikit kerusakan karena kelembaban terpaksa dijual dalam kotak khusus bertuliskan vocht schade (= humidity damage), dengan harga yang sangat miring. Menjelang akhir tahun 2003, Lambiek dihadapkan pada dua pilihan: untuk pindah ke tempat baru, yang berarti memerlukan banyak sekali biaya, atau menutup bisnisnya sama sekali, yang berarti merupakan kehilangan besar bagi dunia komik internasional.
Setelah berdiri sebagai toko komik tertua di Belanda, bahkan Eropa, selama puluhan tahun dan tetap bertahan, sangat disayangkan bahwa Lambiek tidak mendapat dukungan apapun dari pemerintah Belanda. Titik lokasi Lambiek di Amsterdam yang telah seringkali dikunjungi oleh ribuan pelanggan setianya, baik dari dalam maupun luar Belanda, ternyata tidak layak dianggap sebagai landmark kota Amsterdam. Sehingga, bila ingin terus bertahan, Lambiek harus mengandalkan usaha dan tenaga sendiri. Dan memang itulah yang dilakukan Kees, Klaas dan teman-temannya untuk terus mempertahankan eksistensi Lambiek.
Kabar baik terdengar melalui De Reporter, jurnal online yang dikeluarkan Lambiek melalui situs Internetnya, bahwa toko Lambiek memang akan ditutup di lokasi Kerkstraat 78, namun akan dibuka kembali di Kerkstraat 119 - sebuah ruang kecil yang letaknya nyaris berseberangan dengan lokasi sebelumnya. Pada masa perpindahan ini, Lambiek mengumumkan berbagai korting dari koleksinya pada situs Lambiek di Internet. Foto-foto dari berbagai sudut toko legendaris ini segera diabadikan, termasuk sebuah dinding penuh coretan para tamu yang akan juga dihancurkan bila interior gedung tua ini benar-benar dibongkar untuk direnovasi.
Sekitar April 2004, Lambiek dibuka kembali di Kerkstraat 119. Ruang di lokasi ini jauh lebih kecil dari sebelumnya; hanya berupa lorong panjang di mana terdapat rak-rak buku, kotak etalase dan berbagai poster dalam pigura menutupi seluruh bagian dinding. Namun hal ini tidak berlangsung terlalu lama. Kabar baik terdengar lagi melalui De Reporter edisi Desember 2004, bahwa Lambiek akhirnya akan pindah ke lokasi yang lebih luas: Kerkstraat 132. Lokasi baru ini masih di jalan yang sama, nyaris berseberangan dengan lokasi sempit di nomer 119. Kabar lain menyatakan bahwa Bas van der Zee, seorang anak muda, telah menjadi pengurus baru dari Lambiek, sementara Kees Kousemaker masih akan terus memegang pengawasan Lambiek.
Bas, berpose di tengah2 proses renovasi ruang cikal bakal galeri Lambiek
Tanggal 28 Januari 2005 merupakan hari pembukaan Lambiek di lokasi terbarunya, di mana perayaan dan sekaligus penyambutan tahun baru dilangsungkan. Para teman-teman lama dan pengunjung setia Lambiek sangat senang ketika menemukan bahwa di lokasi ini terdapat ruang yang luas, di mana terdapat ruang untuk sebagian besar buku, dan terdapat pula ruang bawah tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai galeri, dengan sebuah ruang kecil di sebelahnya sebagai kantor. Aktivitas kembali berlangsung di Galerie Lambiek. Namun perjuangan untuk tetap bertahan menjadi makin sulit di era digital ini. Sebagian besar generasi muda lebih terbiasa bermain game pada komputer, menonton DVD, dan sibuk saling berkirim teks pada ponsel, dibandingkan dengan membaca album komik/ cergam. Media komik dan cergam tidaklah sepopuler dulu lagi; adalah tidak mudah bagi komik untuk bersaing dengan media hiburan lain, dan Kees pun menyadari hal tersebut.
Sehingga, seiring dengan perkembangan jaman, Kees memilih untuk berkonsentrasi pada database komikus pada situs Lambiek, yang dinamai Comiclopedia. Comiclopedia ini adalah prestasi Lambiek yang paling menonjol saat ini. Pada database itu terdapat lebih dari tujuh ribu nama komikus dari seluruh dunia, dilengkapi dengan data pribadi ringkas dan beberapa contoh karya masing-masing, dan Lambiek masih terus menerima masukan baru setiap harinya. Rencana Kees dalam waktu dekat adalah membuat bagian khusus untuk komikus Belanda pada situsnya. Situs Lambiek, yang dirintis sejak tahun 1994, kini dikunjungi sekitar 20.000 pengguna Internet per harinya. Dengan tingkat aktivitas sedemikian tinggi, mestinya mudah bagi Lambiek untuk memperoleh sponsor pada situsnya..Namun Kees kurang menyukai tambahan banner iklan pada situs ini, sehingga masih terus mempertimbangkan kemungkinan ini. Pada satu sisi, Kees ingin agar tampilan situsnya tetap sederhana dan bersih, bebas dari banner iklan. Namun pada sisi lain, situs Lambiek butuh pemasukan finansial terutama untuk membiayai hosting data yang makin membludak, di samping juga tentunya untuk membiayai Galerie Lambiek.
Ruang dalam Lambiek, memandang ke arah pintu. Di balik rak roket Tintin, terdapat anak2 tangga menuju ke lantai galeri dan kantor di lantai bawah.
Interior Lambiek di lokasinya sekarang, Kerkstraat 132. Ruang galeri dan kantor terdapat di lantai bawah.
Galerie Lambiek kini memegang peranan penting dalam dunia komik dan cergam di Belanda, bahkan di Eropa dan dunia. Situs Lambiek telah disewa untuk ditampilkan di Nederlands Stripmuseum (museum komik/strip Belanda) di Groningen, di mana Kees Kousemaker sendiri menduduki posisi sebagai salah seorang dewan penasehat. Kees mengakui bahwa sangatlah berat untuk menjaga reputasi Galerie Lambiek, tak hanya sebagai toko dan galeri, namun juga bahkan sebagai sentra budaya komik dan cergam di Eropa. Galerie Lambiek, dalam perjuangannya mencapai reputasi tersebut, akan selalu menjadi teladan bagi para pecinta dan profesional media komik dan cergam, di mana pun mereka berada.
Tita, Amsterdam, 19 Juni 2005
Kru Lambiek, saat hendak memindahkan papan nama dari Kerkstraat 78
Lambiek
Galerie, Stripwinkel & Antiquariaat
Kerkstraat 132
1017 GP Amsterdam
Tel +31 (20) 626 7543
Fax +31 (20) 620 6372
E-mail lambiek@lambiek.net
Website http://www.lambiek.net
Sumber teks dan foto:
- Wawancara dengan Kees Kousemaker
- Situs Lambiek http://www.lambiek.net
- Lambiek’s Almanac 1968 – 1993
Friday, May 12, 2006
Stripdagen Haarlem
Start: | Jun 3, '06 |
End: | Jun 4, '06 |
Location: | Haarlem, The Netherlands |
Info selengkapnya (berbahasa Belanda): stripdagenhaarlem.nl
Thursday, May 11, 2006
Tentang 'Graphic Novel' (Eddie Campbell's revised manifesto)
Tgl 19 Sept 2005 yg lalu, dari jurnal Neil Gaiman, ada link ke wawancara dengan Eddie Campbell (yg bersama Alan Moore membuat From Hell). Salah satu hal yang menarik dari wawancara tsb adalah definisi Campbell terhadap istilah graphic novel, yg kesepuluh manifestonya dijabarkan di situs yang sama (saya kopi di bawah ini).
Membaca
point2 pada manifesto itu benar2 mengingatkan pada beberapa posting di
sebuah milis komunitas komik. Salah satunya, seseorang berujar, "Saya
sedang membuat komik nih. Harus berapa halaman ya supaya bisa jadi graphic novel?"
Ah. Apakah benar panjang-pendeknya sebuah kisah bergambar menentukan 'pangkat'nya sebagai graphic novel atau bukan? Bagaimana bila dipaksa2 menjadi panjang, tapi cerita jadi bertele2, hingga membosankan? Lihat A Contract with God-nya Will Eisner,
toh itu kumpulan cerita2 pendek? Atau dipaksa2 dipepet2 seirit mungkin,
hingga banyak penggalan cerita yang hilang? Andaikan seri Sandman-nya Neil Gaiman dipaksakan hanya jadi 5 buku, apakah bisa dinikmati?
Jumlah halaman tidak bisa dijadikan patokan. Menurut point kedua, hal ini dapat mengakibatkan orang berpikir bahwa graphic novel
hanyalah bentuk ilustrasi dari literatur biasa, padahal para pembuatnya
memiliki cita2 lebih, yaitu membentuk karya rupa yg tidak terikat baik
oleh aturan2 yang sudah ada, maupun yang baru.
Graphic novel
mengambil bentuk dasar dari komik (yang dianggap memalukan), dan
mengangkatnya ke tingkat yang lebih berambisi dan bermakna. Hal ini
mengakibatkan berubahnya dimensi fisik si buku, hingga mungkin hasil
akhirnya tidak lagi menyerupai 'buku komik'. Hal ini tidak menjadi
soal. Yang patut dipertanyakan hanyalah, apakah hasil akhirnya
menyumbangkan sesuatu ke pemikiran2 manusiawi.
Hal ini mengingatkan
saya akan kata2 Will Eisner mengenai membuat komik, "Yang penting
adalah, ada sesuatu yang hendak kau sampaikan". 'Sesuatu yg hendak
disampaikan' di sini tidak hanya terbatas sebagai 'pesan moral' seperti
yg kita dapat di akhir dongeng anak2, namun apa pun curahan hati, ide
dan pikiran si pembuat komik. Ya, tanpa itu, komiknya hanya akan
'kosong' saja, tak berisi apa2 selain urutan gambar2 dan adegan2 aksi.
Will Eisner di meja kerjanya
Salah satu point Campbell juga menyatakan bahwa para pembuat graphic novel tidak akan menyebut karya mereka sendiri sebagai "graphic novel"
di antara rekan2nya. Istilah tersebut hanyalah dipakai utk, misalkan,
mendefinisikan penempatan buku2 tsb pada rak di toko-toko buku yang
belum akrab dengan bentuk/isi buku tsb. Membaca bagian ini, sempat
membuat saya tersenyum sendiri, terutama pada kalimat penutupnya: "Furthermore,
graphic novelists are well aware that the next wave of cartoonists will
choose to work in the smallest possible forms and will ridicule us all
for our pomposity".
Benar, bahwa kita mestinya harus kritis terhadap karya sendiri dan tidak cepat puas dengan menyebutnya "graphic novel"
dengan berbangga hati. Biarlah para pembaca yang menilai, mengapresiasi
dan menentukan hal tersebut. Memberi label pada karya sendiri sering
berakibat pembatasan diri, atau penentuan (tingginya) standar yang
bisa2 menghalang proses berkreasi. Sekali lagi, menurut saya, berkarya
dan berkaryalah terus - bahwa karya2 tsb diterima sebagai bentuk seni
berkualitas atau bukan, akan dibuktikan oleh apresiasi masyarakat.
Sebagai penutup entry kali ini, saya kutipkan salah satu kutipan dari wawancara tsb, mengenai konsep "komik":
"I
have felt that the concept of what comics is gets narrower as we go
along. Each writer on the subject who defines comics wants to exclude
something. McCloud excludes the single panel so Family Circus and Far Side are out. Blackbeard says there must be word balloons so Prince Valiant
is out. Harvey says there has to be a visual-verbal balance. Somebody
else says there must be no redundancy of information with words and
pictures repeating each other. This is crap. Pictures have illustrated
words and words have explained pictures since the beginning of time.
Somebody reads a dull comic and extrapolates rules from it. Who do they
think they are? There are all these people trying to be the rule-makers
and the end result is bad for the art of Comics. Fuck 'em all, that's
what I say."
Karya Campbell dalam buku BioGraphics
Berikut ini adalah kopian dari manifesto Campbell, dan link menuju ke situs wawancara selengkapnya: excerpt from In Depth: the Eddie Campbell Interview by Milo George from Graphic Novel Review Issue 1
Eddie Campbell's (Revised) Graphic Novel Manifesto
There
is so much disagreement (among ourselves) and misunderstanding (on the
part of the public) around the subject of the graphic novel that it's
high time a set of principles were laid down.
1. "Graphic novel" is a disagreeable term, but we will use it anyway on the understanding that graphic does not mean anything to do with graphics and that novel
does not mean anything to do with novels. (In the same way that
"Impressionism" is not really an applicable term; in fact it was first
used as an insult and then adopted in a spirit of defiance.)
2.
Since we are not in any way referring to the traditional literary
novel, we do not hold that the graphic novel should be of the supposed
same dimensions or physical weight. Thus subsidiary terms such as
"novella" and "novelette" are of no use here and will only serve to
confuse onlookers as to our goal (see below), causing them to think we
are creating an illustrated version of standard literature when in fact
we have bigger fish to fry; that is, we are forging a whole new art
which will not be bound by the arbitrary rules of an old one.
3.
"Graphic novel" signifies a movement rather than a form. Thus we may
refer to "antecedents" of the graphic novel, such as Lynd Ward's
woodcut novels but we are not interested in applying the name
retroactively.
4. While the graphic novelist regards his various
antecedents as geniuses and prophets without whose work he could not
have envisioned his own, he does not want to be obliged to stand in
line behind William Hogarth's Rake's Progress every time he obtains a piece of publicity for himself or the art in general.
5.
Since the term signifies a movement, or an ongoing event, rather than a
form, there is nothing to be gained by defining it or "measuring" it.
It is approximately thirty years old, though the concept and name had
been bandied about for at least ten years earlier. As it is still
growing it will in all probability have changed its nature by this time
next year.
6. The goal of the graphic novelist is to take the
form of the comic book, which has become an embarrassment, and raise it
to a more ambitious and meaningful level. This normally involves
expanding its size, but we should avoid getting into arguments about
permissible size. If an artist offers a set of short stories as his new
graphic novel, (as Eisner did with A Contract with God)
we should not descend to quibbling. We should only ask whether his new
graphic novel is a good or bad set of short stories. If he or she uses
characters that appear in another place, such as Jimmy Corrigan's
various appearances outside of the core book, or Gilbert Hernandez'
etc. or even characters that we do not want to allow into our "secret
society," we shall not dismiss them on this account. If his book no
longer looks anything like comic books we should not quibble as to that
either. We should only ask whether it increases the sum total of human
wisdom.
7. The term graphic novel shall not be taken to indicate
a trade format (such as "trade paperback" or "hardcover" or "prestige
format"). It can be in unpublished manuscript form, or serialized in
parts. The important thing is the intent, even if the intent arrives
after the original publication.
8. The graphic novelists'
subject is all of existence, including their own life. He or she
disdains "genre fiction" and all its ugly clichés, though they try to
keep an open mind. They are particularly resentful of the notion, still
prevalent in many places, and not without reason, that the comic book
is a sub-genre of science fiction or heroic fantasy.
9. Graphic
novelists would never think of using the term graphic novel when
speaking among their fellows. They would normally just refer to their
"latest book" or their "work in progress" or "that old potboiler" or
even "comic" etc. The term is to be used as an emblem or an old flag
that is brought out for the call to battle or when mumbling an enquiry
as to the location of a certain section in an unfamiliar bookstore.
Publishers may use the term over and over until it means even less than
the nothing it means already.
Furthermore, graphic novelists
are well aware that the next wave of cartoonists will choose to work in
the smallest possible forms and will ridicule us all for our pomposity.
10. The graphic novelist reserves the right to deny any or all of the above if it means a quick sale.
Illustration: Detail from The Fate of The Artist (C)2004 Eddie Campbell
Tita, 19 Sept 2005
[Komon News] Komik Strip ditambahkan
Mulai sekarang telah ada fasilitas 'tambahan' di Komik Online yaitu berupa Komik Strip yang akan kami update terus. Komik Strip ini bisa dilihat di bagian Welcome. Silahkan di- enjoy.. :) dan tunggu terus komik terbarunya.
- ivan (www5)
Wednesday, May 10, 2006
Komik Online
http://komik.multiply.com
"Komik online, selamat menikmati.. anda suka beritahu teman.. anda kecewa beritahu kami"
Agent 327 (dossier 18): Het Oor Van Gogh
Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Comics & Graphic Novels |
Author: | Martin Lodewijk |
Penyelidikan dimulai dengan kunjungan IJzerbroot dan koleganya, Olga Lawina, ke Museum Van Gogh di Amsterdam, di mana mereka memperoleh keterangan antara lain mengenai proses meneliti keaslian sebuah lukisan. Di museum ini juga mereka mengetahui bahwa ada properti museum tsb yang hilang dan belum kembali hingga kini: sebuah toples berisi irisan daun telinga dalam cairan pengawet. Ini adalah daun telinga Van Gogh yang dipotongnya sendiri kala ia sedang sangat kecewa dan baru berseteru dengan rekannya Gauguin, seorang seniman Perancis.
Sementara di tempat lain di Amsterdam, sineas Theo Van Gogh (yang masih sedarah dengan Vincent Van Gogh) sempat diculik sebentar untuk diambil sampel DNA-nya, kemudian para penculik meninggalkan Theo di pinggir jalan bebas hambatan menuju Schiphol. IJzerbroot dan Olga menonton berita mengenai penculikan tsb di TV, dan melanjutkan penelitian dari hal ini dan kejadian2 terkait lainnya.
Lokasi pelacakan berikutnya adalah Saint Remy (Perancis Selatan) di mana Van Gogh sempat tinggal untuk melukis. IJzerbroot dan Olga juga mengunjungi Saint Paul de Mausole yg berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki dari Saint Remy, di mana Van Gogh dirawat setelah ia memotong daun telinganya sendiri. Di sinilah Olga terpisah dengan IJzerbroot, yg disergap dan diculik oleh sekelompok orang yang telah menguntitnya sejak di Amsterdam, dan membawanya ke markas otak pelaku di balik lukisan misterius tsb.
Ketika IJzerbroot siuman, ia menemukan dirinya dalam sebuah ruang, terbaring dalam sebuah bak mandi, dengan papan kayu yang menutupi permukaan bak sehingga kepalanya saja yang terlihat tersembul keluar dari bak mandi tsb. Dan di depan matanya, dilihatnya Vincent Van Gogh sendiri, sedang melukis dan menyapanya dengan ramah! Ketika IJzerbroot mengira ia sudah kehilangan akal, masuklah ke ruangan tersebut seorang musuh bebuyutannya, Paul Poendrop.
Kisah ini berlanjut dengan pemaparan Poendrop mengenai perbuatannya menciptakan clone Vincent Van Gogh dari irisan telinga yang ia miliki (dan harus rutin memeriksa hasilnya, oleh sebab itu ia harus mendapatkan sampel DNA dari keturunan Vincent Van Gogh, yaitu Theo), menciptakan replika Arles dan Saint Remy dan seisinya persis seperti saat Van Gogh hidup di abad lampau, dan rencana2nya melelang lukisan2 dan karya2 seni termasyur. Setelah itu tentu saja ia harus memusnahkan Agen 327 yg dapat menghalang2i tujuannya.
Bagaimana IJzerbroot dapat menyelamatkan diri dari Poendrop? Bagaimana dengan Olga, apakah ia berhasil melacak keberadaan IJzerbroot, dan apa yang terjadi dengan clone Van Gogh tersebut? Kisah ini sangat seru dinikmati hingga akhir!
===============
Seri Agen 327 ciptaan Martin Lodewijk ini dapat disebut sebagai salah satu komik Belanda terbaik. Bukan hanya konsistensi jalan ceritanya yang selalu menggelitik dan sangat menarik, namun juga kejeliannya menangkap dan menampilkan monumen2 kota dan detail elemen2 pendukung (seperti kendaraan, street furniture, dll) dengan tepat. Dari satu panel gambar, pembaca dapat langsung mengerti bahwa setting-nya adalah Amsterdam, atau Rotterdam, atau bahkan Brussels dan Antwerp.
Pada album ke-18 ini, di awal kisah Agen 327 diperlihatkan sedang menyamar sebagai "patung pantomim" di depan Amsterdam Central Station, di mana jelas terlihat gedung stasiun dan ramainya wisatawan. Olga mengemudikan sebuah Smartcar di jalan2 kecil Amsterdam, di mana jelas terlihat batasan kanal2, rumah-perahu, dan banyaknya jalan satu arah yang membingungkan. Di jalan2 kota Amsterdam terlihat pamflet dan tempelan poster2 kampanye partai terbaru, sehingga pembaca pun memperoleh sense of timing, bahwa petualangan IJzerbroot dan Olga ini berlangsung belum lama ini.
Eksterior dan interior Museum Van Gogh pun tergambarkan dengan sangat baik. Dalam perjalanan menuju Saint Remy, Olga mengemudikan sebuah Carver yg berjasa hingga kasus berakhir. Elemen2 mutakhir seperti ini seperti meyakinkan pembaca bahwa kisah ini benar2 terjadi akhir2 ini.
Dalam album ini pun terdapat selingan2 menarik yaitu collage dari lukisan2 terkenal yang tampil dalam bingkai komik. Tidak hanya itu, dalam mengisahkan terpotongnya daun telinga Van Gogh, Martin Lodewijk menampilkan sebagian dari karya Dick Matena yg berjudul Gauguin en Van Gogh, sebanyak dua halaman.
Oh, dan jangan heran, bila Van Gogh hasil clone ini dikisahkan sebagai penggemar komik Tintin - dan beberapa halaman dari Tintin pun disertakan dalam format kecil, dalam sebuah album yg sedang dipegang oleh Van Gogh.
Secara keseluruhan, album ini wajib dimiliki oleh penggemar seri Agen 327, yang sekaligus juga penggemar karya2 Van Gogh. Benar2 sebuah suvenir unik dari Belanda. Namun patut diingat, bahwa komik ini termasuk konsumsi dewasa, sebab di dalamnya cukup banyak gambar wanita2 berbusana sangat-sangat minim.
===============
Beberapa minggu yang lalu, di Museum Van Gogh berlangsung pameran dari karya2 asli Martin Lodewijk sehubungan dengan album Het Oor Van Gogh ini. Sebenarnya pameran ini direncanakan berlangsung berbulan2 sebelumnya, namun berkenaan dengan terbunuhnya Theo Van Gogh (sineas yg sempat tergambarkan dalam album Agen 327 ini), maka pameran tsb terpaksa diundur.
Het Oor Van Gogh
Martin Lodewijk
(C)2003, Martin Lodewijk c/o Uitgeverij M, Amsterdam
ISBN# 90 290 3658 0
Tita, 2 Oktober 2005
Sejarah Indonesia di Mata Komikus Belanda
Dari ketinggian langit, terlihat beberapa peti kayu besar berjajar
di tanah. Masing-masing peti berisi seekor harimau yang menunggu
kelanjutan jalan hidupnya melalui upacara Rampokan (= perburuan
harimau). Satu persatu peti-peti tersebut terdobrak terbuka, melepaskan
masing-masing penghuninya – sementara sebuah narasi menyebutkan nama
demi nama yg menokohi kisah ini – untuk memulai jalannya cerita.
Pandangan beralih dari lapangan tempat peti-peti tersebut berada,
menyapu ke arah pegunungan dan hutan di sekitarnya. Kala itu tahun
1946, ketika Hindia-Belanda baru saja mengubah statusnya menjadi
Indonesia; ketika terjadi banyaknya pergolakan militer dan aksi-aksi
perjuangan untuk menegaskan kedaulatan Indonesia. Di jalan pada sisi
gunung terlihat iring-iringan jip militer dan truk yang mengangkut
warga sipil Belanda dan Indonesia, termasuk wanita dan anak-anak. Di
suatu kelokan jalan, seutas tali ranjau telah menunggu.. dan jip
pertama terjebak dalam ledakannya!
Cuplikan dari Rampokan Celebes
Inilah awal dari sebuah
kisah berjudul “Rampokan Java” (1998), sebuah novel dalam gambar karya
Peter van Dongen, kelahiran Amsterdam th 1966. Kisah ini beranjut dan
berakhir pada seri kedua yang berjudul “Rampokan Celebes” (2004).
Selisih sekitar enam tahun antara seri pertama dengan seri kedua ini
benar-benar diperlukan Peter untuk mengumpulkan dan meneliti lebih
banyak data, baik dalam bentuk dokumen tertulis maupun foto, termasuk
juga perjalanan ke Indonesia, untuk melengkapi kisahnya. Dalam
pembuatan seri pertama pun, Peter membutuhkan setidaknya tujuh tahun
sebelum menyelesaikan karyanya. Namun kerja keras selama 13 tahun ini
tidaklah sia-sia. Meskipun mendapat banyak kritik, terutama dari para
sejarawan dan veteran yang mengalami sendiri masa pergolakan di
Hindia-Belanda antara th 1946 – 1950, “Rampokan Java” telah memperoleh
berbagai penghargaan tertinggi dalam bidang roman bergambar (graphic
novel) di Belanda dan Belgia. Peter van Dongen pun kerap memamerkan
karya yang digarapnya selama proses menyelesaikan kedua seri “Rampokan”
tersebut (seperti sketsa, desain tata letak, poster promosi, halaman
contoh, dan sebagainya), baik di Belanda sendiri maupun di Belgia dan
Perancis. Pameran karyanya tidak terbatas pada acara-acara komik
internasional, namun juga di berbagai galeri dan museum. Tidak hanya
berhenti di sini, “Rampokan Java” telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Perancis dan sedang dalam penyelesaian untuk versi bahasa Italia,
karena tingginya animo para pembaca di negara-negara tetangga Belanda
tersebut. Dengan sendirinya, “Rampokan Celebes” pun mendapat sambutan
serupa dan sangat dinanti-nanti oleh pembaca seri sebelumnya. Secara
tidak langsung, Peter van Dongen telah memperkenalkan (sejarah)
Indonesia di Eropa Barat dengan cara yang unik: melalui sebuah novel
bergambar.
Sampul majalah MYX yg memuat edisi khusus (berwarna) Rampokan Celebes. Beberapa lembar isinya bisa dilihat di sini.
Apakah yang dikisahkan dalam seri “Rampokan”?
Seorang
pemuda Belanda yang dilahirkan dan dibesarkan di Makasar, bernama Johan
Knevel, sempat dikirim kembali ke Belanda pada saat Jepang masuk dan
menduduki Hindia-Belanda. Kisah “Rampokan” dimulai saat Johan kembali
ke Indonesia sebagai tentara sukarelawan, dengan misi rahasianya:
mencari wanita yang mengasuhnya kala ia kecil dulu, bernama Ninih.
Selanjutnya dan hingga akhir, adalah petualangan Johan dalam usahanya
mencari Ninih. Dalam seri pertama, lokasi cerita adalah pulau Jawa dan
dalam seri kedua pulau Sulawesi.
Apakah arti judul “Rampokan”?
Istilah
“Rampokan” mempunyai dua makna; “perburuan harimau” dan “menyita benda
secara paksa”. Saya sengaja memilih judul tersebut sebab makna tersebut
dengan tepat menganalogikan makna yang lain dalam kisah ini.
Apakah kisah ini dikarang sendiri oleh Peter, dan apa yang memotivasinya?
Seluruh
kisah “Rampokan” adalah karangan Peter sendirim yang dibantu oleh
seorang teman dalam menyusun dialog dan mengedit teks. Motivasi Peter
membuat seri “Rampokan” adalah cerita-cerita dari ibunya. Waktu Peter
dan saudara2nya masih kecil dulu, ibu mereka sering bercerita tentang
tanah kelahirannya dan situasi di sana saat beliau tinggal di sana
semasa perang dan setelahnya.
[Ibu Peter lahir di Manado th 1941,
lalu dengan keluarganya pindah ke pegunungan semasa kependudukan Jepang
(sementara ayah dari ibunya tinggal di camp Jepang). Setelah masa
kependudukan Jepang berakhir, keluarga Peter kembali ke Ternate, lalu
tinggal di Makassar. Th 1951 keluarga Peter pindah ke Belanda.]
Cerita
sang ibu yang paling berkesan adalah ketika pada tahun 1950an beliau
harus mencari perlindungan di dalam rumah, karena serangan bom di
Makassar. Ibu bersembunyi di bawah meja, sangat ketakutan sambil
mendengarkan dentuman meriam, tanpa tahu ke mana peluru sebenarnya
disasarkan (dan ternyata salah satu bom jatuh di rumah tetangga!).
Terlahir
dan dibesarkan di Amsterdam, Belanda, Peter tidak pernah mendapat info
menyeluruh di sekolah mengenai Indonesia pada masa pendudukan Belanda.
Sehingga, waktu kecil Peter tidak pernah mendapat penjelasan mengenai
alasan atau kejadian pemboman yang dialami ibunya di Makassar. Baru
ketika menginjak usia 20 tahun, Peter memikirkan kembali mengenai tanah
kelahiran ibunya dan ingin mengetahui lebih banyak. Pada saat itu Peter
baru menyelesaikan cerita bergambar (cergam) berjudul “Muizen Theater”
dan hendak memulai dengan cergam yang lain. Masa lalu dan cerita-cerita
ibunya menjadi inspirasi utama bagi Peter untuk menggarap kisah
“Rampokan Java”.
Makassar, cetak saring karya Peter
Bagaimana Peter menghadapi berbagai kritik tajam yang menanggapi kisah “Rampokan”?
Berbagai
kritik adalah wajar bagi Peter, karena setting waktu yang ia pilih
dalam kisah ini adalah masa sensitif di Indonesia kala itu, di mana
status Indonesia sebagai negara berdaulat sedang diuji. Melalui riset
yang mendalam dan menyeluruh, Peter mengambil detail sebanyak mungkin
berdasarkan fakta pada masa itu – terutama jenis kendaraan, pakaian,
berbagai elemen dalam kota atau desa atau hutan, dan, yang paling
menarik bagi Peter, gedung dan arsitektur pada masa itu. Sejarah hanya
saya pakai sebagai latar belakang cerita fiksi yang saya karang dan tak
lebih sebagai pendukung proses kreatif, yang hasilnya tak berbeda dari
novel, hanya saja berbentuk gambar dan dialog bersekuel.
Gaya gambar Peter sangat meningatkan pada seri Tintin karya Hergé.
Peter
sangat mengagumi karya-karya Hergé dan dengan sendirinya mengadaptasi
gaya gambarnya ke dalam karya-karya saya sendiri. Seri Tintin menjadi
sukses juga karena perhatian dan detail yang dicurahkan Hergé ke dalam
gambarnya; ia juga melakukan riset yang mendalam untuk setiap seri
Tintin yang dibuatnya. Hal ini, dan juga ketekunannya, sangat menjadi
inspirasi bagi Peter.
Secara teknis, bagian mana yang paling sulit dalam pembuatan seri “Rampokan”?
Untuk
“Rampokan Java”, seluruhnya dibuat secara manual oleh Peter. Dari
sketsa, kotak-kotak pembatas, hingga pewarnaan (dual tone). Peter harus
memotong sendiri kertas film dengan cutter, satu persatu, untuk membuat
separasi warna. Ia menghabiskan dua bulan penuh hanya untuk menggarap
pewarnaan seri pertama ini. Untuk “Rampokan Celebes”, seluruh pewarnaan
menggunakan komputer. Selain karena adanya tenggat waktu, juga karena
warna-warna pada seri ini adalah datar dan tak bertekstur, maka
pewarnaan dengan menggunakan komputer dapat mencapai hasil serupa
dengan pewarnaan manual.
Setelah seri “Rampokan” ini selesai, apakah ada rencana untuk novel bergambar selanjutnya?
Peter
memastikan akan membuat karya berikut, hanya belum memastikan topiknya,
meskipun sudah banyak ide terkumpul di benaknya. Yang jelas, karya
berikutnya masih akan bernafaskan masa Hindia-Belanda. Sebab tema ini
yang akan selalu ada dalam hatinya, dan masih akan terus menarik
baginya, yang juga ia akui sebagai akar/ latar belakangnya. Ini
penting, sebab seseorang harus selalu berkarya dari lubuk hatinya,
dengan jujur dan penuh dedikasi.
Sampul Rampokan Celebes
“Rampokan” mendapat sambutan
positif dari pembaca berbahasa Perancis dan Italia. Apakah ada rencana
ke arah penerbitan “Rampokan” dalam bahasa Indonesia?
Pada salah
satu pameran karya-karya Peter di sebuah galeri di Amsterdam, direktur
Erasmus Huis Jakarta datang berkunjung dan menyatakan berminat untuk
menggelar pameran ini di Jakarta. Rencana ini tentunya disambut dengan
baik oleh Peter. Selama ini Peter sudah menerima berbagai reaksi
positif dan antusiasme dari anak-anak muda Indonesia yang sangat
beminat untuk menikmati seri “Rampokan” secara menyeluruh. Jadi menurut
Peter, pameran di Jakarta akan menjadi pemicu yang sangat baik untuk
memperkenalkan seri “Rampokan” ke masyarakat Indonesia.
Berdasarkan pengalaman berkarya selama ini, adakah yang hendak disampaikan kepada para komikus muda?
Percayalah
pada tingkat kemampuanmu sendiri. Di masa kini, semua gambar memang
dapat dikomputerisasi, namun hal ini dapat dilatih dan siapapun dapat
mengerjakannya. Yang terpenting adalah orang di belakang komputer
tersebut. Jadi adalah sangat penting untuk mempelajari berbagai teknik
manual dan mengembangkan gayamu sendiri, tetap tekun dan terus berusaha
menghasilkan yang terbaik.
Ilustrasi yg dijadikan lembar2 promosi pada pameran Peter van Dongen di Jakarta dan Yogyakarta
Tita, 19 April 2005
PS: Seri Rampokan Jawa telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada bulan September 2005, peluncurannya berbarengan dengan pameran Peter van Dongen dan Rekan2 Komikus Indonesia di Erasmus Huis Jakarta.
Peran Gambar dalam Buku Dongeng Anak
Peran Gambar dalam Buku Dongeng Anak: Kisah Thé Tjong-Khing (Purworejo, 1933), seorang ilustrator buku cerita anak-anak yang kondang di Belanda
Kala kita kecil dulu orang tua kita sering memberikan buku-buku cerita anak-anak yang isi halamannya tipis, tulisannya sedikit, sederhana dan mudah dimengerti oleh anak-anak. Hal terpenting selain itu semua adalah gambar-gambarnya yang menarik dan memancing imajinasi, sehingga anak-anak terpancing untuk membaca dan mengetahui isi bukunya. Orang tua kita dulu juga punya kebiasaan menceritakan dongeng sebelum kita tidur. Saat itu khayalan anak-anak terbang menjulang menembus batas-batas logika orang dewasa. Imajinasi anak-anak memang seringkali membumbung tinggi dan orang dewasa hanya bisa tersenyum dan berkomentar, “dasar anak-anak”. Lain ceritanya jika ada orang dewasa yang nekad terjun ke dunia anak-anak, melalui dongeng. Khing, sapaan akrab Thé Tjong-Khing, mungkin tidak dikenal anak-anak Indonesia. Kiprah beliau sebagai seorang pembuat ilustrasi buku cerita anak-anak berada jauh di Belanda. Gaya menggambarnya sangat digemari anak-anak di Belanda. Lantas seberapa jauh Khing mendalami dunia buku anak-anak ini?
Salah satu halaman pada Waar is de Taart?
Woutertje Pieterse Prijs, penghargaan tertinggi untuk buku cerita anak-anak (children literature) di Belanda, tahun 2005 ini dianugerahkan kepada buku berjudul “Waar is de Taart?” karya Thé Tjong-Khing. Penganugerahan penghargaan Woutertje Pieterse kali ini benar-benar mengejutkan, karena penghargaan yang biasa diberikan pada buku cerita baru pertama kali ini diberikan kepada sebuah buku yang hanya berisikan gambar-gambar, sama sekali tanpa kata-kata. Terlebih lagi, penghargaan yang biasanya diberikan kepada penulis, pertama kalinya diberikan kepada seorang ilustrator. Thé Tjong-Khing, yang memang sudah kondang sebagai ilustrator buku cerita anak-anak di Belanda, juga patut berbangga, sebab “Waar is de Taart?” adalah buku pertama yang ia garap sendiri, mulai dari ide, skenario, hingga pelaksanaannya. Yang menarik lagi bagi kita adalah latar belakang Thé Tjong-Khing, yang ternyata kelahiran Purworejo dan sempat mengecap pendidikan di akademi senirupa di Bandung (kini Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB), di mana kawan-kawan masa studinya banyak yang kita kenal sekarang, antara lain “Pak Raden” Soejadi, Prof. Sudjoko, dan (alm.) But Muchtar. Berikut adalah sekelumit kisah perjalanan karir Thé Tjong-Khing, yang akrab dengan panggilan Khing, sejak meninggalkan Indonesia dan mulai menetap di Belanda, hingga sekarang.
Khing (ketiga dari kiri, mengenakan topi) bersama teman2 kuliahnya dI Bandung. Paling kanan adalah 'Pak Raden' Soejadi
Khing (kanan depan) bersama teman2 kuliahnya di Bandung
Di usianya yang menjelang 72 tahun, Khing tampak masih enerjik dan penuh semangat, perilakunya yang ramah dan periang, dan rasa humor yang tinggi pastilah turut membuatnya awet muda. Sehari-harinya dihabiskan untuk bekerja di studionya, yang adalah juga rumah kediamannya di Haarlem. Sementara, di waktu senggangnya, Khing mengunjungi dan terkadang juga mengasuh keempat cucu balitanya, para buah hati dari kedua putranya yang tinggal di Amsterdam. Ketika dijumpai sore itu di kediamannya, Pak Khing tengah menggarap buku berikutnya, “Waar is de Taart?” seri kedua, dan ia dengan senang hati menunjukkan lembaran-lembaran gambar yang telah diselesaikannya. Sambil menikmati ‘jajanan pasar’ yang dihidangkan, Khing mulai menceritakan masa lalunya.
Thé Tjong-Khing, duduk santai di kediamannya
Si Khing kecil, pada usia sekitar 12 tahun, sudah berketetapan untuk mengisi hidupnya dengan menggambar. Pada awalnya, ia banyak meniru tokoh kartun Walt Disney, terutama Mickey Mouse dan Donald Duck, dan hasilnya sangat baik, hingga pernah suatu kali seorang pamannya mempertontonkan kemampuannya di depan banyak orang. Menginjak usia remaja, ia mulai menggambar bintang-bintang film masa itu, seperti Marilyn Monroe dan Sophia Loren, untuk diberikan kepada teman-temannya para pengagum para bintang film tsb. Kala itu Khing juga gemar membaca dan meniru cerita bergambar (cergam) “Flash Gordon” karya Alex Raymond. Mengingat kegemarannya menggambar, tidaklah heran ketika Khing memilih untuk melanjutkan studi di akademi senirupa di Bandung. Namun, karena Khing merasa tidak puas dengan apa yang diperolehnya di Bandung, ia pergi ke Belanda pada tahun 1956, dengan tekad untuk mencoba peruntungannya di sana. Ternyata pilihannya ini tidak keliru, sebab keberuntungan benar-benar datang kepadanya, di setiap saat ia memerlukannya.
Salah satu halaman pada seri Arman & Ilva
Setiba di Belanda, Khing memulai studinya di jurusan periklanan di Kunstnijverheidsschool (kini Rietveld Academie) di Amsterdam. Namun di sini pun ia tidak betah dan keluar sebelum menyelesaikan studinya. Ia melamar kerja di Marten Toonder Studio, yang pada masa itu termasuk studio komik terbesar di Belanda (cergam Toonder yang paling terkenal berjudul “Tom Poes en Heer Bommel”), dengan menunjukkan portfolio hasil karyanya selama ia belajar di Bandung. Meskipun lamarannya ditolak, Khing tetap memohon pada Marten Toonder agar diperbolehkan tinggal di studionya, hanya dengan satu meja dan kursi, untuk bekerja apapun, tanpa bayaran. Di sini keberuntungan pertama Khing datang: studio Toonder mengabulkan permohonannya ini, dan bukan hanya meja-kursi yang mereka sediakan, namun mereka juga membayar Khing sejumlah 60 Gulden per minggu, yang pada masa itu adalah jumlah yang cukup besar untuk seorang pemagang.
Khing banyak belajar sambil membantu para karyawan gambar (draftsmen) di studio Toonder. Ia melihat bahwa seorang karyawan gambar di studio Toonder, yang bekerja membuat cergam bersambung untuk sebuah harian, selalu terpaksa membawa pulang pekerjaannya. Khing tahu bahwa istri si karyawan tersebut sebenarnya keberatan dengan kebiasaannya ini, namun mereka tak punya pilihan lain. Khing pun menawarkan jasanya untuk membantu koleganya ini sehingga ia dapat berakhir-pekan dengan keluarganya tanpa dibebani pekerjaan. Lama kelamaan, si kolega ini tak mau kehilangan Khing sebagai asistennya. Inilah yang sebenarnya direncanakan oleh Khing, untuk memperoleh cara agar dapat tetap tinggal di Belanda setelah masa ijin tinggalnya habis. Sehingga ketika polisi imigrasi Belanda hendak menggiring Khing ke pelabuhan untuk dipulangkan ke Indonesia, studio Toonder berhasil mencegah kepergian Khing dengan menyatakan pada polisi imigrasi bahwa Khing adalah pegawai mereka, tanggung jawab mereka. Sejak itu resmilah Khing menjadi pegawai di Toonder Studio.
Setelah beberapa lama bekerja untuk Toonder Studio, Khing memutuskan untuk keluar dan membuat komiknya sendiri. Ini adalah masa ketika ia memulai cergam fiksi-fantasi berserinya, bersama penulis bernama Lo Hartog van Banda, untuk dimuat dalam surat kabar. Seri fiksi-fantasi berjudul “Arman & Ilva” ini kemudian diterbitkan sebagai album cergam, dan memperoleh penghargaan SFAN (Vereniging voor Science Fiction & Fantasy) pada tahun 1971. Di tengah-tengah penggarapan cergam ini, Khing berpikir untuk mengerjakan hal lain, seperti ilustrasi. Di sinilah keberuntungan datang lagi padanya. Ia bertemu seseorang di sebuah pesta: Ton Schelling, seorang penulis buku cerita anak-anak. Kebetulan penulis ini berdarah campuran Indonesia-Belanda, dan dikenal sebagai orang yang sangat impulsif. Ia begitu senang bertemu dengan seorang yang juga berasal dari Indonesia dan pandai menggambar, sehingga dengan segera ia menawarkan Khing untuk menjadi ilustrator buku-bukunya. Khing segera menerima tawarannya dan mereka mulai bekerja sama. Tulisan-tulisan Schelling merupakan seri petualangan untuk anak muda, dan gaya gambar Khing pada buku-buku Schelling merupakan transisi dari gaya cergam fiksi-fantasi menjadi gaya ilustrasi untuk buku cerita. Sementara bekerja dengan Schelling, Khing masih menyelesaikan seri "Arman & Ilva“, namun baginya pembuatan cergam dirasanya terlalu banyak memakan waktu dan terlalu monoton. Sehingga Khing memutuskan untuk meninggalkan komik untuk beralih ke ilustrasi, menghadapi tantangan baru.
Salah satu halaman pada seri Arman & Ilva
Tepat pada saatnya, Khing menemukan keberuntungannya yang berikut, yang membawanya ke gaya gambar yang merupakan ciri khasnya hingga kini. Ia dihubungi oleh seorang penulis buku anak-anak yang hendak mengubah anggapan bahwa cergam atau komik hanyalah membuat anak-anak bodoh. Untuk mengubah anggapan ini, si penulis berencana mengambil ilustrator yang adalah juga komikus, dan pilihannya jatuh pada Khing. Semua keberuntungan ini, dilihat Khing juga dibantu oleh fakta bahwa pada masa itu belum banyak orang yang sepenuhnya bekerja sebagai praktisi ilustrator atau komikus profesional, dan gaya dan teknik menggambar pun masih terbatas, sehingga mempermudah Khing memperoleh berbagai kesempatan tersebut. Sejak beralih dari komik ke ilustrasi, hingga kini Khing tetap menekuni profesi sebagai ilustrator dan belum membuat komik lagi. Namun namanya tetap diaku sebagai salah seorang tokoh penting dalam sejarah komik Belanda.
Khing telah mendapat beberapa penghargaan tertinggi untuk ilustrasi, antara lain Gouden Penseel yang diperolehnya sebanyak tiga kali: pada th 1978 (untuk buku berjudul "Wiele Wiele Stap“), 1985 ("Kleine Sofie en Lange Wapper“) dan 2003 ("Het woordenboek van Vos en Haas“), Jonge Uil pada sekitar th 1999 untuk "Vos en Haas“ dan puncaknya adalah Wouterje Pieterse Prijs untuk "Waar is de Taart?“ pada tahun 2005. Khing mengakui bahwa "Waar is de Taart?“ merupakan karyanya yang paling memuaskan dan adalah prestasinya yang tertinggi, namun ia juga sangat menyukai karyanya pada buku "Het Grote Avontuur van God en Mens“ (2004), yang berisi kisah-kisah dari alkitab untuk anak-anak.
Dari sekian banyak karya Khing, hanya satu yang menghubungkannya kembali ke Indonesia. Khing pernah bekerja sama dengan Fair Trade untuk membuat buku anak-anak berjudul "Komkommermeisje“ (2003) yang merupakan adaptasi dari kisah "Timun Mas“. Buku ini diterbitkan oleh Fair Trade dalam rangka mempromosikan produk kerajinan dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Khing dengan sendirinya terpilih untuk menggarap buku ini karena reputasi sekaligus latar belakangnya. Impresi hutan yang rimbun dan pohon beringin raksasa Khing dapatkan dari pengalamannya kala masih bocah dulu, di rumah orang tuanya di Cirebon.
Beringin raksasa pada buku Komkommermeisje (Timun Mas)
Di samping menggambar komik dan ilustrasi, Khing sempat mencoba mengerjakan hal-hal lain. Pada sekitar tahun 1980an, Khing sempat diminta untuk mengajar di jurusan ilustrasi pada Rietveld Academie di Amsterdam. Ia mencoba mengajar selama beberapa saat, namun segera mengundurkan diri karena menyadari bahwa ia tidak memiliki ketrampilan untuk mengajar dan merasa tak bisa menjadi guru yang baik. Sejak itu ia memutuskan untuk terus memproduksi gambar saja, dan tidak lagi hendak mengajar.
Setelah menggarap ilustrasi untuk sekian banyak buku dan skenario, Khing sempat tergoda untuk menulis cerita sendiri. Terutama saat ia menerima sebuah transkrip dari salah satu penerbitnya untuk dibuatkan ilustrasi, yang dianggapnya sangat buruk, sehingga makin memotivasinya untuk membuat transkrip yang lebih menarik dari yang satu ini. Khing menulis selama beberapa bulan dan setelah selesai, ia merasa puas akan tulisannya. Namun ketika ia baca kembali teksnya setelah sekian lama, ia menyadari bahwa tulisannya jauh lebih buruk dari transkrip yang pernah ia terima dari penerbitnya. Khing pernah mencoba menulis sekali lagi, namun tetap saja gagal. Hal ini juga yang memotivasinya untuk membuat buku tanpa kata-kata; inilah awal dari ide pembuatan buku "Waar is de Taart?“.
Hal yang paling menantang dari pembuatan buku tanpa kata-kata adalah kejelasan gambar dalam menceritakan sebab-akibat dan kesinambungan. Khing telah berhasil mewujudkan hal ini, mengingat pendapat juri Woutertje Pieterse Prijs bahwa buku ini telah dapat menceritakan semuanya dengan baik, tanpa kehilangan satu kata pun. Dengan buku "Waar is de Taart?“, Khing juga hendak membuat pembacanya membolak-balik halaman, dari belakang ke depan, dan sebaliknya, dan seterusnya, untuk menemukan sekian banyak sekuel cerita yang disampaikannya melalui gambar. Hal ini pun telah tercapai dengan baik, melihat begitu banyaknya detail menarik yang dapat dilacak dari tiap halaman dalam bukunya ini.
Tokoh2 pada buku Vos en Haas, yg telah banyak dikenal anak2 Belanda
Hingga kini, Khing masih terlihat selalu cekatan dan bersemangat dalam menggarap karya-karyanya, dan mewujudkan rencana-rencananya. Kecintaannya pada pekerjaan dan sikap positifnya dapat menjadi contoh yang berharga bagi para penerusnya. Berbagai penghargaan yang diterimanya tidak membuatnya besar kepala, bahkan sebaliknya, makin memacunya untuk terus menghasilkan yang terbaik.
Khing mengakui bahwa dalam usianya kini, produktivitasnya menurun. Ia tak dapat lagi begadang menyelesaikan gambar, atau bekerja hingga larut malam, dan ia hanya dapat bekerja dengan baik dengan cahaya natural, bukan cahaya lampu. Namun demikian, bila ditanya apa yang membuatnya terus produktif hingga kini, Khing hanya tertawa dan menjawab "Sebab saya tidak tahu berbuat apa lagi selain menggambar. Mungkin saya hanya akan duduk berdiam diri di pojok sana, sebab tak tahu mau berbuat apa lagi. Jadi selama masih bisa menggambar, saya akan tetap melakukan itu“.
Menara Babel
Kita bisa belajar banyak dari kisah perjalanan karir Khing. Semangat dan ketekunannya dapat menjadi inspirasi bagi banyak ilustrator muda, tidak hanya di Belanda, namun juga kita di Indonesia. Terutama untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas buku cerita anak-anak produksi dalam negri, yang perkembangannya tidak terlalu pesat – apalagi bila dibandingkan dengan limpahan seri komik impor atau computer game terbaru.
Sikap Khing yang pantang menyerah juga patut menjadi contoh. Di kala terbentur masalah, atau berniat menghadapi tantangan baru, Khing selalu bertekad mencari jalan keluar dengan mengandalkan segenap kemampuannya. Usaha Khing ini juga tidak sia-sia, mengingat besarnya perhatian dan dukungan dari berbagai pihak untuk mengadakan wacana bagi anak-anak: orang tua, pemerintah, penerbit, berbagai institusi, dan yang terpenting, anak-anak sendiri.
Mengagumkan, memang, bahwa di negara maju seperti Belanda, di mana berbagai macam media dapat diakses dengan bebas, buku cerita anak-anak masih mendapat tempat khusus. Salah satu hasilnya adalah fakta bahwa anak-anak Belanda menduduki peringkat kedua di dunia (setelah Swedia) sebagai anak-anak yang paling 'melek huruf’ (literate). Anak-anak yang suka dan pandai membaca tentulah cikal bakal orang dewasa yang cerdas dan berkualitas; tentu hal ini lah yang juga kita inginkan dari generasi penerus kita.
Tita, September 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)