Saturday, December 11, 2010

[klipping] Ayo "Ngomik" dengan Gambar, Gambar dan Gambar

Ayo "Ngomik" dengan Gambar, Gambar, dan Gambar
Sabtu, 11 Desember 2010 | 03:22 WIB

OLEH DWI BAYU RADIUS

Sekembalinya dari studi di Belanda, Tita Larasati (37) sekeluarga mengalami gegar budaya. Pekan pertama, dua anak Tita dengan gembira menyantap nasi, makanan yang tidak selalu disajikan di Belanda. Namun, setelah itu, mereka bosan. ”Bueeh...,” ujar mereka seraya menyingkirkan sepiring nasi.

Di Bandung, Tita juga harus menghadapi masalah transportasi, hewan menggelikan seperti cicak, kecoak, tikus, dan tentu saja birokrasi yang menyebalkan. Cuplikan kisah tentang keseharian Tita dituangkan dalam berlembar-lembar naskah dan sketsa komik dalam pameran Bandung Indie Comic Now di Institut Teknologi Bandung (ITB) awal Desember ini.

Tita, yang belajar ke Belanda untuk menyelesaikan jenjang S-2, saat ini bekerja sebagai Dosen Jurusan Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Ke mana pun ia pergi, buku gambar tidak pernah tertinggal di tasnya sebagai media untuk membuat komik tentang aktivitas Tita.

Sementara itu, komik After Dark karya Azisa Noor (23) mengisahkan dua orang asing secara terpisah yang berjalan kaki di Bandung pada malam hari. Ada peristiwa aneh yang mereka temui seperti mendengar suara tangisan ketika melewati Babakan Siliwangi, melihat badak di Jalan Badaksinga, dan bertemu perempuan Belanda dengan iring-iringan rombongan putri kerajaan.

”Komik itu memang terinspirasi dari cerita teman-teman saya yang mengalami kejadian serupa,” ujar Azisa yang saat ini fokus mengerjakan komik.

Erick Sulaiman (30) yang berprofesi sebagai artis tekstur menggambarkan gambar satir tentang rutinitas Jakarta yang kerap dilanda banjir. Dikisahkan, aktor tenar Kevin Costner datang ke Jakarta pada tahun 2012 untuk pengambilan gambar sekuel film Water World. Busway diganti dengan boatway; penggemar sepeda menggenjot perahu kayuh; dan pengemis mengenakan peralatan selam.

Motivasi

Ketua Panitia Bandung Indie Comic Now Fahriza Luzan menuturkan, awal sebuah komik bisa berasal dari naskah atau gambar. Sangat mungkin ide itu didapat dari aktivitas sehari-hari. Faktor terpenting, tuangkan saja ide itu bila sudah ditemukan jika akan diekspresikan dalam bentuk komik.

”Ayo ngomik. Kalau dapat inspirasi, gambar saja. Ketemu pengamen, gambar. Lihat kebakaran, gambar. Ada tabrakan, gambar. Gambar, gambar, gambar saja...,” ujar Fahriza.

Bagi Tita, faktor paling menarik dari pembuat komik adalah motivasinya. Meski alasan mereka bisa berbeda-beda, terdapat kesamaan bahwa semua punya pesan yang ingin disampaikan. Pembuat komik juga membutuhkan saluran untuk mengeksplorasi gaya komik masing-masing.

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Manajemen Desain Komunikasi, Institut Manajemen Telkom, Imansyah Lubis, menjelaskan, meski semakin banyak generasi muda yang tertarik membuat komik, profesi komikus di Indonesia perlu lebih dihargai.

”Komikus yang diapresiasi dengan baik biasanya malah membuat komik untuk perusahaan di luar negeri. Masalah itu butuh dukungan dari publik lokal juga,” katanya.

Komikus Sweta Kartika menjelaskan, banyak rekan komikus yang mencoba memamerkan dan menyebarluaskan komik buatan mereka melalui jalur independen atau indie. Promosi komik yang diterbitkan major label pun masih dikerjakan komikus sendiri.

”Komikus masih harus bergerilya dan bekerja bakti memasarkan karyanya,” katanya.

Komik Jepang dan Amerika masih mendominasi rak toko buku. Selain itu, komik juga belum sepopuler buku bacaan lain, seperti novel dan nonfiksi. Pemerintah, selaku pelaksana program membaca, pun belum terlalu melihat komik sebagai bacaan yang penting.

”Saat ini kebanyakan pengembang komik lokal adalah pihak swasta. Itu pun lebih terkonsentrasi pada bisnis, bukan idealisme,” katanya.

No comments:

Post a Comment