Monday, May 23, 2011

Kecil-Kecil Punya.. Mimpi?

Karena satu dan lain hal, belakangan ini saya membaca buku-buku seri Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK). Tentu saja beberapa tahun lalu - berkat berita-berita dari Internet - KKPK ini sempat akrab di telinga saya, ketika para penulis cilik berbakat, seangkatan Faiz, muncul. Tapi saya belum pernah benar-benar membaca seri ini sampai hari ini, ketika membawa pulang beberapa judul seri KKPK yang Best Seller.   

Ternyata yang pertama saya putuskan begitu menyelesaikan membaca buku-buku ini adalah agar buku-buku ini jangan sampai dibaca oleh anak-anak saya. Kenapa? Karena sangat mirip dengan sinetron, hanya saja dalam versi anak-anak.

Contohnya, nama-nama para tokohnya yang biasanya kebarat-baratan. Memang referensi para penulisnya yang asing semua, atau supaya keren? Memanggil orang yang lebih tua pun sering dengan Mrs atau Mr, memanggil orang tua dengan Mom atau Dad. Apakah anak-anak usia SD-SMP sekarang (penulis dan pembaca KKPK) memang seperti itu? Mungkin saja setting-nya di luar negri, tapi ini biasanya ketahuan setelah cerita berlangsung sekitar separuhnya.

Contoh lain lagi adalah kurangnya logika dalam bercerita. Ceritanya anak miskin, tapi ketika ia cerita ttg masa lalu, elemen2nya (jenis makanan, dsb) adalah yg termasuk mewah. Ceritanya panti asuhan, tapi mudah makan-makan di restoran.
Seorang anak yatim-piatu bisa berlaku kasar pada pelayan restoran. Hanya dengan melambaikan uang ratusan ribu, si pelayan 'tunduk' padanya. Apakah etika anak sekarang seperti itu?

Kisah-kisah ini juga banyak menggunakan Bahasa Inggris, terutama dalam percakapannya. Mestinya tidak apa-apa mengingat referensi anak-anak sekarang yang kebanyakan memang keinggris-inggrisan. Tapi, tolong disunting lagi, supaya penggunaannya baik dan benar. Jangan salah sehingga memalukan.

==========

Kekuatiran.
Sebagai orang tua yang punya anak-anak usia SD, tentu saja saya punya kekuatiran. Bukan hanya tentang anak2 sendiri, tapi tentang anak2 seusia mereka.
Mengingat nilai-nilai yang dibawa dalam tulisan2 di KKPK, saya kuatir anak-anak (pembacanya) tidak akan memiliki rasa penghargaan terhadap nilai uang dan barang. Anak-anak akan kesulitan membangun rasa empati terhadap sesamanya, terutama terhadap mereka yang kurang beruntung, dan menganggap semuanya mudah dicapai.

Anak-anak hanya akan mengerti dunia sebatas sekolah mewah, dinding-dinding mal, dan (bayangan) nikmatnya hidup di luar negri. Yang paling fatal adalah bila anak-anak menganggap bahwa inilah jenis 'kebahagiaan' yang harus diraih.

Tidak, Nak, masih banyak mimpi-mimpi lain, yang lebih tulus, lebih membumi.

==========

Tentu saja saya tidak memukul rata dengan beranggapan bahwa seluruh KKPK itu tidak layak baca bagi anak, tapi sejauh ini yang seperti itulah yang saya temukan. Orang tua harus menyeleksi dulu bahan bacaan sebelum memberikan ke anak-anak mereka.

Tentu saja saya juga tidak langsung menyalahkan adik-adik penulis yang telah berkarya dengan mengagumkan ini. Menulis kumpulan cerita pendek ini tentu tidak mudah, bahkan luar biasa untuk anak-anak seusia mereka. Tapi tentunya, sebelum diterbitkan, tulisan2 mereka melalui proses penyuntingan, bukan? Dan yang menyunting bukan anak-anak, tapi orang dewasa, kan, yang seharusnya bisa lebih mengerti kebutuhan (bacaan) anak? Kalau dibiarkan 'lepas' seperti ini terus, dampaknya adalah dapat 'menyetir' selera, cara pikir serta perilaku para calon pengisi bangsa ini.

Mungkin akan sangat baik jika dilakukan pelatihan penulisan yang benar, tanpa harus mengkompromikan daya imajinasi dan kreativitas si anak. Kalau ada sanggar lukis, sanggar tari dan sebagainya, tidak ada salahnya kan bila ada sanggar menulis, khusus untuk anak-anak?

Mari perbaiki bersama, cintai Bahasa Indonesia, hargai bacaan anak, dan tularkan semangat literasi pada generasi penerus kita nanti!


p.s. judul diambil dari komentar RFM di twitter :)

24 comments:

  1. thx for writing this, i should start sorting what cadets read :)

    ReplyDelete
  2. terimakasih Ta untuk ulasan-nya. saya sempat tebak2 manggis soal ini... apa KKPK ini benar2 bagus untuk anak2 (pembaca dan penulis).
    secara umum, banyak inisiatif yang menyegarkan dan menjanjikan di indonesia, spt kkpk untuk anak2 dan jaringan2 penulis (u/ remaja dan dewasa). sayangnya soal penyeleksian dan penyuntingan sangat lemah.... setiap pulang indonesia saya ke toko buku untuk membeli setumpuk buku dan menghabiskan berjam2 untuk mengamati. saya agak kuatir dengan "the rise of mediocrity' (maaf berbahasa inggris).

    ReplyDelete
  3. padahal kuncinya di sini juga ya.
    mau nggak mau, buku2 yg benar2 'best seller' dan terjual ribuan itu akan menyetir selera juga. masa produsen terus-menerus memenuhi selera pasar belaka, demi laris saja? seharusnya produsen yg terhitung 'raksasa' bisa lebih berhati-hati menjaga mutu produk2nya, bahkan bisa menghasilkan karya2 yg lebih 'idealis'...

    hihiy nggapapa lah berbahasa inggris, spy istilahnya tepat :)

    ReplyDelete
  4. iya Ta.... pasar melulu yang menang. apa kita bikin indy publisher aja? dgn agenda menyiprati publik dengan karya2 super bermutu dan beride alternatif? (siga buku komik mu pan alternat).

    ReplyDelete
  5. atau tepatnya bikin jaringan indy publisher (pan udah ada skrg juga yg kecil2).

    ReplyDelete
  6. eh eh kita kan udah sempet meletupkan ide2 kecil itu duluuu :) lanjuuut! bareng akonlabs jg bisa pasti *lirik CG, tkmaia, robym...

    ReplyDelete
  7. yang meprihatinkan juga kenapa label penerbit yang tadinya punya jaminan mutu (terutama buat kalangan muslim) kok ya jadi nerbitin yang kualitasnya di bawah standar mereka sebelumnya...

    ReplyDelete
  8. wooo gitu ya mbak.
    anak gw sih sampai sekarang, umur 5 tahun, kecil-kecil karyanya nggambar terus. tadinya sempat pengen bikin dia jadi Faiz, tapi buat apa sih bapak ibunya memaksakan kehendak. jadi ya biarkan mengalir saja. diikutkan les cuma les gambar saja. lainnya biar dia seneng baca komik, main game, main ke sawah, main thomas, dsb.
    btw, gw pernah baca kalau banyak anak-anak yg IQ tinggi dan juara pada saat kecil, kemudian jadi orang biasa-biasa saja. buku best seller NY TImes, lupa judunya apa.
    ini hasil studi di AS selama puluhan tahun. anak yg berhasil adalah anak yg ketika sekolahnya biasa saja, menikmati hidup, IQ cukup, dan yg penting kreatif. anak-anak IQ tinggi, disuruh menulis apa guna batu bata, cuma menjawab: buat bikin bangunan.
    anak IQ cukup tapi kreatif, akan menjawab: buat bikin bangunan, menimpuk anjing, buat ganjelan pintu, buat ini itu, dsb.

    ReplyDelete
  9. ini adalah dilema 'user generated content',
    maksudnya inisiatif user diperbesar, kontrol diperkecil,
    sehingga aspirasi aslinya keluar apa-adanya
    dan lebih mewakili impian kolektif sasaran

    dari sini sebetulnya kita bisa lihat, apa yg diekspresikan anak2 itu
    adalah apa yg dilihat di sekelilingnya, jadinya begitu

    kalau sepenuhnya dikontrol berarti fungsinya sbg kanal atau fasilitator
    tidak lagi berjalan, jadi spt konsep buku umumnya yg full edited.

    saya di penerbit lain, juga mengalami hal serupa
    yg bisa dilakukan adalah memberi tema yg relatif lebih aman
    sambil memberi kriteria do & don'ts di awal
    biasanya lewat event on the spot jd bisa dilakukan dg pendekatan yg lbh soft
    kalau kriteria diberikan scr tekstual tidak efektif juga ternyata

    kalau anakku jg baca sih, dan sedikit banyak ngaruh jg
    bisa diliat dr gambar & tulisan yg dia buat sebelum dan setelah baca
    tp aku selalu ngajak ngobrol, krn rasanya ga mungkin jg nge-cut dia baca
    klopun ga mau beliin, dia bisa tukeran sama temen2nya
    dan malah lebih gawat lg spt komik saduran yg rada aneh2
    jd the best way is siapin landasan di kepala si anak
    shg apapun yg dia baca, tonton & temui udah ga mempan

    spt anak gw malah 'menasehati' teman2nya ketika ditawari
    makanan manis dan kudapan MSG, atau liat om2 yg ngerokok :)

    ReplyDelete
  10. ah itu benar sekali :) terharu
    yang jelas menurut saya mah bacaan buatan anak ya belum tentu baik untuk anak. eforia penulisan anak memang bagus deh, untuk memberi jalan anak-anak yang ingin berkarya juga.. tetapi ya tetep buat dibaca anak, hmm nanti dulu

    ReplyDelete
  11. lha bukannya banyak toh yang dibawah standar (ups)

    ReplyDelete
  12. cerita komik hampir sama kayak cerita sinetron?
    pasti ada yg salah nih...

    ReplyDelete
  13. istilahnya pas :D

    @bu tita : tengkyu jadi tau KKPK *tadi nanya di statusnya harley ga ada yg jawab*.
    Saya udah lama ga baca buku2 indonesia, tapi melihat banyaknya buku antologi buatan temen-temen, yang saya baca (tapi nggak tega komen) dan sering bikin saya mikir "yang begini jadi buku?", dan katanya banyak sekali buku seperti ini, saya jadi kebayang istilah 'the rise of mediocrity" di atas...

    ReplyDelete
  14. SEPAKATTT!

    Mbak, ini boleh ku-cc ke salah satu editor di grup Mizan gak?
    Biar para editor KKPK baca kritikan membangun ini :-)

    ReplyDelete
  15. terima kasih semua atas tanggapannya :)

    qy: bukan komik, novel anak

    mb'ima: silakan :D

    ReplyDelete
  16. iya Ta , ada beberapa KKPK awal penerbitan yg bagus, nanti aku liat punya si A, lupa judulnya. Tetapi KKPK yg terakhir (5thn belakangan) banyak yg belum layak baca utk anak-anak
    sampai anak lulus SD, tiap beli buku aku sensor dulu, dibaca habis, kalo ga bagus ya jangan dibeli :)

    ReplyDelete
  17. berarti harus cari yg nggak disegel (cling-wrapped) ya di toko :)

    ReplyDelete
  18. iya Ta, biasanya aku ijin, mau dibaca dulu buku anak-nya :)

    ReplyDelete
  19. satu lagi yang merajalela di dunia penerbitan di Indonesia secara umum dan juga tercermin di buku2 KKPK adalah "unoriginality". bahkan buku2 best seller saja kelihatan sekali menganut gaya, tema, setting dan jalan cerita yang mirip2... jarang yang menjejak bumi.

    ini teh kayaknya produk dari gaya "euphoric empowerment" -- mau cepat.. yang penting kan anak2/orang2 menulis... jumlah produksi buku meningkat... jumlah baca meningkat...
    padahal perubahan yang mengakar itu harus disertai proses2 yang tidak instant... perlu waktu & kerja keras.

    nu penting mah mengasah imajinasi, kreatifitas sehingga ekspresi menjadi asli (genuine maksudnya), bukan gaya ikut2an (ala sinetron etc.)

    jadi, marilah kita Ta! :)

    ReplyDelete
  20. setuju :)

    btw, horeee akhirnya Tita posting lagiiii ^___________^

    ReplyDelete
  21. saya setuju harus ada siklus yang harus dibuat untuk meningkatkan kualitas. kalau pada awalnya niatnya adalah untuk mendorong anak2x supaya menulis dan membaca, walau hasilnya masih kurang baik, gak apa2x. tapi setelah itu harus ada proses perbaikan. kalau dari sisi orangtua, bisa dimulai dengan mendidik anak2x untuk membaca karya2x yang baik dan menghasilkan karya2x yang baik juga. jadi jangan terjebak di lingkaran "asal banyak dan asal laku". yuk kita mulai sama2x :)

    ReplyDelete
  22. saya setuju harus ada siklus yang harus dibuat untuk meningkatkan kualitas. kalau pada awalnya niatnya adalah untuk mendorong anak2x supaya menulis dan membaca, walau hasilnya masih kurang baik, gak apa2x. tapi setelah itu harus ada proses perbaikan. kalau dari sisi orangtua, bisa dimulai dengan mendidik anak2x untuk membaca karya2x yang baik dan menghasilkan karya2x yang baik juga. jadi jangan terjebak di lingkaran "asal banyak dan asal laku". yuk kita mulai sama2x :)

    ReplyDelete