Rabu, 1 Juli 2009 | 03:44 WIB
Cornelius Helmy
Kubah berdiameter 4 meter tampak mendominasi ruang pameran Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung beberapa waktu lalu.
Bangunan tersebut terbuat dari rangkaian bambu tipis didominasi bentuk segi lima dan segitiga banyak sudut (polyhedric
Warna dan serat material bambu yang tidak seragam justru menjadikannya tampak unik dan tidak kalah menarik.
Biasanya bambu yang digunakan adalah jenis Madake. Jenis ini batangnya bisa digunakan sebagai tiang, serutannya dianyam, dan seratnya menjadi tali. Konsep yang menonjolkan ciri khas bambu ini dinamakan wabi sabi. Artinya memanfaatkan ketidaksempurnaan alam menjadi estetika seni.
Material bambu dan bentuk kubah juga sangat lentur tetapi kuat. Buktinya, tidak ada retak pada lapisan tipis bambu yang memiliki ketebalan 2 milimeter ketika dibor dengan diameter lubang 3 milimeter.
Kubah ini hasil karya Takaaki Bando dari Musashino Art University (MAU). Pembuatannya terinspirasi kubah batang aluminium dengan teori synergetic karya Buckminster Fuller (1895-1983), arsitek dari Amerika Serikat.
Karya lain yang dipamerkan adalah desain kursi karya Ito Shinichi. Alas, tiang, hingga sandaran kursi semuanya memakai bahan baku bambu. Ini merupakan ciri khas desain karya bambu dari Jepang yang meninggikan kemurnian bambu.
Menurut Ito yang juga Asisten Profesor Departemen Industri, Interior, dan Desain Kerajinan MAU, pembuatan desain kursinya menggunakan teknik laminating. Lapisan bambu tipis ukuran 2 milimeter dipres sehingga menjadi satu bagian tebal sekitar 40 milimeter. Hasil pres bambu lantas dibentuk sesuai selera desainer.
”Hasil yang kami buat di Jepang kurang lebih sama dengan yang ada di Indonesia. Namun, dari sisi perawatan bahan bambu di Indonesia masih harus diperbaiki,” kata Ito.
Menurut Ito, hal itu berakibat pada usia karya yang dibuat. Tanpa perawatan yang baik, karya akan mudah rusak. Seperti menjadi lapuk atau mudah patah. Ito mengatakan, harus ada perlakuan khusus agar material bambu lentur, kuat, dan sesuai standar keamanan.
Di Jepang, konsep perawatan bambu dinamakan Ecology Diversity Energy (EDE). Konsep ini mirip dengan pemanfaatan kearifan lokal di Indonesia yang menggabungkan pengetahuan tradisi dan modern. Beberapa teknik yang digunakan antara lain pengasapan, pencelupan ke air panas, atau pemanasan menggunakan oven.
”Usia bambu bisa tidak terhingga. Kualitas bambu tidak kalah dengan kayu,” katanya.
Potensi pengembangan bambu yang ada di Jepang sebenarnya ada di Indonesia. Pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Dwinita Larasati, mengatakan, Indonesia diperkirakan memiliki 11 persen dari 1.250 spesies bambu dunia. Namun, dari 19 spesies bambu yang digunakan di dunia baru lima spesies yang ditemukan di Indonesia, di antaranya bambu tali dan betung.
Hal yang sama dikatakan pakar bambu dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia, Elizabeth Widjaja.
Saat ini di Indonesia terdapat 88 jenis bambu endemik yang belum seluruhnya dikembangkan, di antaranya bambu eul-eul dari Bandung, Jawa Barat; Fimbribambusa di Meru Betiri, Jawa Timur; dan Schizotachyum di Kalimantan Barat. Bambu itu berguna sebagai pengobatan, konstruksi bahan bangunan, hingga bahan kerajinan.
”Sebagian besar spesies bambu endemik di Indonesia justru terancam punah. Penyebabnya adalah alih tata guna lahan, pengambilan berlebihan, dan penyelundupan ke luar negeri,” katanya.
Teknik pengawetan sebenarnya juga sudah diketahui peneliti Indonesia, di antaranya teknik pengawetan yang diterapkan peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Departemen Pekerjaan Umum, Purwito.
Menurut dia, bambu juga bisa diawetkan menggunakan bahan kimia yang tidak merusak lingkungan. Pengawetan bisa dilakukan dengan menggunakan cairan borak dan asam borik dengan perbandingan 4:1. Campuran itu digunakan sebagai media utama untuk merendam bambu sebanyak 5-7 persen dari volume bambu.
Cara lain dilakukan Morisco, Kepala Laboratorium Teknik Struktur Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas
Dia melakukan pengawetan bambu menggunakan tabung yang dapat dioperasikan tanpa tenaga listrik sehingga cocok untuk daerah pedesaan. Bahan pengawet berupa larutan kimia yang dimasukkan dengan tekanan udara. Proses pemasukan larutan pada bambu diameter 8 sentimeter dan panjang 6 meter memakan waktu sekitar 20 menit.
Dengan semua potensi ini, menurut Morisco, banyak hal bisa diraih, di antaranya pengembangan arsitektur bernuansa bambu. Salah satu senjatanya adalah kekuatan tarik bambu lebih tinggi ketimbang baja.
Sebatang bambu dewasa berumur 3-5 tahun memiliki kekuatan tarik hingga 480 MPa (Mega Pascal—satuan tegangan tarik). Hasil itu lebih tinggi ketimbang baja yang hanya memiliki kekuatan tarik 370 MPa.
”Beberapa bangunan sudah menggunakan bambu sebagai komponen utama, seperti Green School di Bali dan rumah korban gempa di Yogyakarta,” katanya.
Potensi bambu juga harus diperkenalkan lebih mendalam kepada industri kreatif.
Menurut Kepala Divisi Desain Industri Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Dudy Wiyancoko, ketahanan dan kualitas material bambu olahan dari Jepang harus diakui lebih unggul. Bambu olahan dari Jepang lebih tahan lama dan tidak mudah lapuk. Berbeda dengan kebanyakan material bambu Indonesia yang selama ini sudah cukup puas dilapisi pelitur.
Hal ini harus ditularkan
Dudy mengatakan, perajin tradisional masih terpaku membuat produk konvensional sesuai kebiasaan. Hal baru biasanya keluar lewat proses meniru dari produk lain yang terbukti laku di pasar. Dari sisi ekonomi, perajin biasanya takut merugi bila hendak berinovasi. Mereka khawatir produk baru tidak akan laku di masyarakat.
”Di Jepang, saat ini konsep mono zukuni alias genius bekerja sendiri sudah tidak populer lagi. Yang banyak diterapkan masyarakatnya adalah konsep hito zukuni. Konsep ini meluhurkan kebiasaan bekerja sama dalam menjalankan semua pekerjaan,” ujar Dudy. Ini termasuk dalam pengolahan bambu tentunya.