Cerita Sampul
Komik Lokal: Semangat yang Harus Jadi Bisnis
Sekilas lihat, tahun 2009 ini seperti ada “second wind” bagi penerbitan komik Indonesia. Banyak penerbit baru. Tapi, “tanda-tanda kebangkitan” macam begini sudah beberapa kali tiba.
Ibarat ledakan bisnis dotcom di Amerika pada akhir 1990-an, sebermula banyak janji dan harapan di udara. Banyak dari janji itu terpenuhi, tapi lebih banyak yang kandas. Sejak bangkitnya Web 2.0 beberapa tahun belakangan, janji bisnis Internet mencuat lagi, tapi para pelakunya lebih dewasa, lebih mawas, lebih hati-hati. Begitulah juga, mestinya, para pelaku bisnis komik lokal saat ini. Lebih dewasa, lebih mawas, lebih hati-hati.
Janji-janji
Saya termasuk yang percaya pada janji-janji kebangkitan komik Indonesia sejak 1998 (dengan membaca gerakan komik indie pada pertengahan 1990-an), dan kemudian pada pertengahan 2000-an. Pada pertengahan 2000-an itu, saya meramalkan bahwa tanda-tanda kebangkitan komik Indonesia sudah tiba.
Tanda-tanda itu, kurang lebih, adalah: (1) maraknya gairah menerbitkan komik-komik lokal; (2) tumbuhnya kesadaran potensi industrial dan estetis ”novel grafis”. (Ramalan saya itu tercatat, antara lain, dalam buku saya, Dari Gatotkaca Hingga Batman, Orakel, 2005). Tapi, sejak semula, saya menekankan bahwa itu baru “tanda-tanda”. Kebangkitan komik lokal itu sendiri baru mewujud ketika memenuhi syarat-syarat lain.
Saya segarkan sedikit kenapa dua hal di atas menjadi tanda-tanda kebangkitan komik lokal. Tentu saja, gairah yang marak untuk menerbitkan komik lokal memberi harapan karena begitulah semua industri komik yang besar bermula di Jepang, Amerika, atau Eropa. Gairah penerbitan komik lokal pada waktu itu seperti kelanjutan logis dari gairah membuat komik lokal secara gerilya, indie, pada pertengahan hingga akhir 1990-an.
Pada pertengahan 2000-an itu muncul penerbitan bermodal kecil yang berani mencetak komik lokal --beberapa adalah yang tadinya beredar secara fotokopian pada 1990-an, seperti Selamat Pagi Urbaz (Beng Rahardian). Media massa pun seperti menyambut, baik dengan berita yang cukup intens tentang komik lokal, atau (seperti Koran Tempo) membuka pintu bagi komik lokal dengan bermitra dengan komunitas komik yang ada.
Di sisi lain, mulai muncul minat baru terhadap ”novel grafis”. Walau secara akademis istilah ini bermasalah, secara umum para pegiat komik dan sebagian pasar konsumen komik di Indonesia mulai banyak membicarakan novel grafis. Istilah ini menjadi ”seksi” karena, pertama, di Amerika pada 2000, ia telah tumbuh jadi industri baru yang bagai palu godam di industri buku, tampak terus merangsek maju, membuka jalan ke arusutama (mainstream) industri perbukuan di sana.
Kedua, novel grafis menjadi ranah persemaian banyak inovasi estetik komik, yang membuat komik muncul menjadi sebuah seni mandiri yang mengejutkan. Kapasitas sastrawi dan seni rupa komik mencuat kebanyakan melalui jalur ”novel grafis” itu. Dari gengsi, balik lagi ke industri: Hollywood pun lantas banyak tertarik mengadaptasi novel-novel grafis laris ke dalam film seperti From Hell, V For Vendetta, Road To Perdition, History of Violence, dan American Splendor.
Optimisme industri dan estetika novel grafis itu pun mampir ke Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Apalagi, seperti saya catat dulu, format novel grafis sesungguhnya sangat karib bagi kita: komik-komik wayang, silat, dongeng, hingga superhero ndagelan yang jaya pada 1960-an hingga 1980-an, hakikatnya berformat fisik novel grafis dengan tebal hingga ribuan halaman. Persis manga, sebetulnya.
Kebangkitan estetis dan industri
Maka, jika kita hendak beranjak lebih jauh dalam membicarakan ”kebangkitan komik Indonesia”, kita perlu bertanya lebih dulu: kebangkitan apanya? Hemat saya, kebangkitan komik lokal bermakna dua: kebangkitan estetis dan kebangkitan industrial.
Kebangkitan estetis memiliki syarat-syarat yang terkait dengan lembaga-lembaga seni rupa yang ada di Indonesia. Di dalam jenis kebangkitan ini, komik harus menjadi cukup berharga untuk bisa dibicarakan secara diskursif di arena lembaga-lembaga seni seperti kritik seni/sastra, ruang-ruang pameran, hingga jurnal-jurnal seni atau medan penerbitan serupa.
Komik-komik lokal pernah mencicipi kesempatan itu. Masuk pameran CP Bienalle, Jakarta. Menjadi salah satu agenda pameran DKJ di TIM. Diulas oleh beberapa majalah seni terhormat di Indonesia. Diapropriasi oleh para perupa angkatan baru dari Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta. Pameran-pameran yang saya maksud bukan sekadar pameran komik yang bersifat festival, yang meniru ajang Comic Con di Amerika, yang lebih bersifat bursa produk dan sekadar ingin berjualan. Pameran-pameran yang saya maksud adalah seperti pameran komik di MoMA, New York.
Jika ”dimainkan” dengan benar, kebangkitan estetis komik lokal bisa merentang terus ke lembaga-lembaga seni internasional, dan pada akhirnya bisa juga menarik perhatian penerbitan-penerbitan seni komik yang khusus dan bersifat alternatif, di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, dan Jepang.
Dari segi industri, saya melihat ada kenaifan yang belum juga usai dari kebanyakan pegiat komik lokal. Kenaifan yang berhubungan dengan kekurangpahaman akan sifat-sifat industri perbukuan di Indonesia. Tentu, banyak yang sangat paham soal harga kertas, biaya percetakan, sampai kepada harga pasar untuk penulis, pembuat sketsa pensil, peninta, penata huruf, dan pewarna.
Tapi, jarang yang paham bahwa pekerjaan utama industri penerbitan bukanlah sekadar menerbitkan. Berpikir industrial berarti memikirkan infrastruktur penerbitan buku/komik serta masalah-masalahnya. Sementara, banyak pegiat dan produsen komik kita pada pertengahan 2000-an itu masih dengan lugunya berfokus pada produk. Fokus sempit pada produk saja adalah bermasalah, apalagi dengan lugu.
Contoh keluguan itu adalah ungkapan seperti: ”pokoknya, menerbitkan komik standar Marvel” --yang berarti: kisah superhero, diterbitkan berwarna, modus kerja ”ban berjalan” (ada penulis, pemensil, peninta, pewarna, penataletak), kalau perlu dengan kertas glossy. Pendekatan ini sama sekali belum bervisi industrial, karena kemudian mengabaikan daya beli masyarakat, minat masyarakat, masalah distribusi, juga kapasitas mencetak (yang berkaitan dengan strategi pengelolaan modal).
Memilih fokus
Jika kita ingin mendorong terciptanya kebangkitan (kembali) industri komik lokal, fokus terhadap produk yang agak bersifat ”asyik sendiri” itu mesti digeser pada fokus terhadap aspek-aspek bisnis dan industri penerbitan buku. Kesadaran pertama dan utama yang harus dimunculkan adalah kesadaran bahwa industri komik lokal bagaimanapun terkait sepenuhnya dengan keadaan industri perbukuan lokal pada umumnya. Jika industri buku kita busuk, busuklah pula industri komik kita.
Maka, para pegiat dan produsen komik lokal mesti mempelajari sungguh-sungguh berbagai masalah dunia penerbitan kita, khususnya soal pasar dan infrastrukturnya. Mengapa, misalnya, industri perbukuan kita masih gagal mengatasi ”kutukan 3000” (yakni standar umum penerbitan 3.000 eksemplar, padahal penduduk kita 200 juta orang lebih)? Tahukah para produsen komik lokal itu bahwa sekarang standar 3.000 itu malah makin turun jadi 2.000, 1.500, bahkan 1.000? Kenapa? Apa logikanya? Apa strategi mengatasinya?
Apakah arti ”pemasaran buku” sesungguhnya? Apakah hanya berarti promosi, ataukah mencakup definisi pasar, strategi produk dan strategi distribusi yang konprehensif dan jitu? Kalaupun sudah punya pengetahuan teoritis tentang itu, sudah benarkah penerapannya? Sudah akuratkah pemahaman lapangan para produsen komik itu tentang ”pasar”?
Saya memandang penuh harap pada para penerbit komik lokal yang baru-baru ini marak: Cendana Art Media (Understanding Love, Brastaseta, dan Lotif Versi Pasbook), Rumah Penerbit Cleo (Sawung Kampret dan Warok Surobongsang karya Dwi Koen), Orange Publishing Merdeka (Di Bukit Selarong oleh Kostkomik), Penerbit Nalar (Mat Jagung: Kabut Manusia dan Benny & Mice: Hape), Banana Publishing (Ekspedisi Kapal Borobudur Jalur Kayu Manis dan Eendaagsche Exprestreinen), Sleepless Selene Studio (Setengah Dua), Cergam Centre (Sibuk Fesbuk), de Britz (15 Kesalahan Dalam Branding), Curhat Anak Bangsa (Seri Curhat Tita, Cerita Si Lala, Antologi 7). Juga penerbit komunitas Komik Indonesia (Andi Wijaya, dkk.) yang menerbitkan ulang komik-komik lawas. Dan penerbit besar M & C! (grup Gramedia) yang menerbitkan lini komik lokal Koloni.
Saya tak punya cukup ruang untuk membahas mereka satu per satu di sini. Saya dengar sebagian dari mereka mulai berpikir untuk patungan membuat rak khusus komik/novel grafis lokal di toko-toko buku. Baguslah. Berarti, mereka ada perhatian pada aspek nonproduk.
Asik nih mbak :)
ReplyDeletemas hikmat tea'.. ;)
ReplyDelete