Cerita Sampul
Tak Lagi Merantau di Alam Mati Suri
Komik lokal kembali bergairah setelah Benny & Mice meledak. Kini bentuk dan temanya lebih beragam, meninggalkan tren superhero dan silat.
Mata para pengunjung Cengkeh Restoran dan Galeri di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tertuju pada delapan perempuan yang mengenakan kebaya warna-warni. Mereka masing-masing memegang poster dengan gambar kartun yang tak kalah ramai nuansa warnanya dengan busana mereka.
Mereka memang sengaja memakai kebaya karena hari itu penerbit M&C, lewat lini penerbitan Koloni, tengah mengenalkan manga-manga (komik khas Jepang) terbaru hasil goresan komikus Indonesia. Tak tanggung-tangung, pada acara di awal Agustus lalu itu Koloni meluncurkan delapan judul sekaligus.
Tempo menelusuri beberapa toko buku dan menemukan manga Indonesia itu kini berdampingan dengan manga Jepang. Di antara nama komikus asal Negeri Matahari Terbit itu terdapat Ida Ariyanti dengan My Ghost Sister dan Is Yuniarto dengan Garudayana.
Delapan manga itu menjadi gelombang terkini dari komik lokal yang jumlahnya perlahan tapi pasti terus bertambah banyak. Memang, peningkatan itu tak kentara, lantaran komik lokal ini tak berformat mirip manga atau terserak tanpa pengelompokan yang jelas di toko buku. Berbeda sekali dengan manga, yang biasanya diberikan satu tempat khusus di rak toko.
Gelombang kegairahan itu tampak ketika hampir 30 judul komik lokal telah terbit sejak awal tahun ini. Sebagian besar komik-komik itu karya baru dan sebagian lagi karya lawas yang diterbitkan ulang, seperti Mahabharata dan Bharatayudha karya Teguh Santosa.
Salah satu dari komik yang baru muncul adalah Pamali, karya komikus dengan nama pena Norvan Pecandupagi. Komik yang sempat dibedah di panggung utama Pesta Buku Jakarta 2009 ini mengisahkan berbagai pamali atau larangan dan pantangan berdasarkan adat Sunda.
Setiap pamali itu ia kupas dengan jenaka dalam dua sampai tiga halaman. Norvan juga melengkapinya dengan catatan kecil berisi kalimat asli pamali itu dalam bahasa Sunda, terjemahan dalam bahasa Indonesia, serta komentar pribadinya.
Catatan itulah yang menjadi keunikan karya Norvan yang menunjukkan bahwa komikus ini tak sekadar mengandalkan kemampuan menggambar dan dialog dalam balon percakapan. Lewat komentar-komentar yang tak kalah kocak dengan goresan gambarnya, Norvan menunjukkan dirinya bukan sekadar piawai menggambar tapi juga mampu mengolah kata-kata menjadi jenaka tanpa bantuan visual.
Misalnya, saat membahas soal pamali "Tong ngagegelan kuku, bisi cilaka!" ("Jangan mengigiti kuku, nanti bisa celaka!"). Di panel gambar ia membuat pengendara motor yang karena tak percaya pamali lantas mengigiti kukunya dan motor yang tak terkendali itu pun jatuh ke jurang. Nah, pada sudut halaman terdapat komentarnya: "Sebetulnya akan lebih celaka lagi kalau kuku yang kita gigitin itu kuku macan atau kuku ABRI yang lagi melamun. Gak percaya? Tes Gih!"
Selama ini komikus lokal mengandalkan ajang seperti Pekan Komik Nasional demi unjuk diri. Belakangan ini muncul media yang lebih efektif bagi mereka untuk memamerkan karyanya, yakni di dunia maya lewat blog dan situs jejaring sosial.
Norvan adalah salah satu yang memperoleh berkah dari situs jejaring sosial Facebook, tempat salah seorang editor penerbit Gramedia Pustaka Utama menemukan draf komik Pamali tersebut. Editor Gramedia, Hetih Rusli, mengatakan, mereka langsung kepincut begitu melihat karya Norvan itu.
Menurut Hetih, Gramedia memang mengamati adanya gairah di ranah komik lokal dan tertarik menjajal genre ini lewat Pamali. "Kami berkaca dari komik Benny & Mice yang laris dan itu berarti pasarnya memang menjanjikan," katanya.
Komik Benny & Mice memang mencuat di tengah kelesuan komik lokal. Dalam catatan penerbit Nalar, komik karya duo kartunis Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad ini terjual rata-rata 40 ribu eksemplar untuk setiap judulnya.
Redaktur Penerbit Nalar, J.B. Kristanto, menuturkan, saat menerbitkan kumpulan komik strip Benny & Mice yang pernah dimuat di harian Kompas itu, mereka awalnya hanya berani mencetak tiga ribu kopi saja. Kala itu Kristanto pun harus siap rugi, karena sejarah mencatat komik lokal terbilang sepi peminat.
Tak disangka, belum mencapai dua bulan komik ini harus cetak ulang sebanyak dua kali akibat tingginya permintaan. "Ternyata komik itu meledak, kami benar-benar kaget," ujar Kristanto.
Nalar sendiri meminang dua komikus itu lantaran ingin mencoba menggarap pasar komik di pembaca dewasa yang selama ini tak tersentuh. Kristanto waktu itu memilih Benny & Mice karena sebelumnya komik Indonesia sudah terlalu identik dengan tema silat dan superhero yang peminatnya tak banyak, yang menurutnya akibat gayanya yang tak cocok dengan pembaca sekarang ini.
Sukses Benny & Mice dinilai Kristanto tak lepas dari efek pemuatan versi komik strip di surat kabar. Nalar lalu mendekati Radhar Panca Dahana, Widyartha Hastjarya, dan Diyan Bijac dan menerbitkan komik Mat Jagung karya ketiganya, yang sebelumnya dimuat seminggu sekali di Koran Tempo. "Ke depan kami akan terus menambah jumlah penerbitan komik," kata Kristanto.
Penerbit Cendana Art Media juga meneruskan tren pembukuan komik strip dari surat kabar tersebut dengan meluncurkan Lotif Versi Pasbook, yang juga pernah dimuat di Koran Tempo edisi Minggu. Berbeda dengan kumpulan komik strip lainnya, Lotif versi buku ini dipermak tampilannya oleh Beng Rahadian, sehingga berbeda dari versi di koran. Ia membuat perwajahan yang mirip halaman situs jejaring sosial Facebook, sehingga di bawah satu panel cerita terdapat komentar mengikuti bentuk komentar terhadap catatan atau status yang di situs Facebook.
Ragam komik lokal pun semakin bervariasi ketika penerbit yang dipayungi Grup Agromedia mengadaptasi buku laris mereka menjadi komik. GagasMedia membuat versi komik dari buku cerita-cerita jenaka Raditya Dika, Kambing Jantan, dan Gradien Mediatama menyulap buku Anak Kos Dodol menjadi Anak Kos Dodol Dikomikin.
Bagi Direktur Gradien, Ang Tek Khun, sebuah buku punya potensi divisualkan dalam bentuk film dan komik. Khun berpendapat, Anak Kos Dodol, yang berisi kumpulan kisah pengocok perut, bisa dibuat komik.
Menurut penerbit yang bermarkas di Yogyakarta ini, membuat versi komik itu menjadi lebih realistis ketika melihat produktifnya komunitas komik di Kota Gudeg tersebut. "Semua kembali ke komikusnya, karena ada yang bagus, ya jadi dibuat. Kalau tak ada yang bagus, ya batal," ujar Khun.
Komik berisi kisah keseharian anak-anak kos di Yogyakarta yang digambar oleh K. Jati itu kini sudah naik cetak tiga kali atau setara 15 ribu eksemplar. Tak dipungkiri oleh Khun bahwa popularitas komik tersebut sangat dipengaruhi oleh versi aslinya, yang punya angka penjualan jauh lebih tinggi. Melihat respons pasar tersebut, Khun berencana menerbitkan sekuel komik itu. Bahkan, ke depan Gradien memiliki beberapa naskah yang rencananya akan langsung diterbikan dalam bentuk komik.
Sementara itu, dari kota industri kreatif Bandung, penerbit CV Curhat Anak Bangsa meluncurkan komik-komik yang mereka namai graphic diary. Komik yang satu ini pada dasarnya berupa catatan harian yang dibuat dalam bentuk gambar. Salah satu buku pertamanya adalah Curhat Tita karya Tita Larasati. Dalam komik tersebut, dosen Institut Teknologi Bandung itu mengisahkan pengalamannya semasa studi di Eropa.
Tahun ini Curhat Anak Bangsa menelurkan Antologi 7, yang dikerjakan secara keroyokan oleh tujuh komikus, dan Cerita Si Lala karya Sheila Rooswitha Putri. Manajer Pemasaran Penyalur Buku Nalar, Leo Tigor Sidabutar, mengatakan, komik Sheila itulah yang penjualannya lumayan baik.
Penyalur Buku Nalar, yang menjadi distributor komik Curhat Anak Bangsa, mencatat bahwa komik Cerita Si Lala sudah laku 700 eksemplar sejak diterbitkan April lalu. "Kelihatannya memang sedikit, tapi sebenarnya angka itu terhitung lumayan bagus untuk komik yang tidak main stream," ujar Tigor.
Komik Sheila alias Lala ini memang berbeda karena atmosfer ceritanya adem dan tenang tanpa gambar hiperbolis atau pun canda dan aksi yang meledak-ledak. Lala secara wajar menuangkan pengalamannya saat mati-matian menurunkan berat badan yang melonjak setelah menikah atau masa-masanya menjadi pengantin baru, saat mengandung, dan tentang kedua ekor anjing kesayangannya.
Tigor menjelaskan bahwa cerita yang dimuat oleh ibu muda itu ternyata punya daya tarik sendiri bagi pembaca perempuan dan ibu muda yang selama ini tak menjadi pembaca komik. "Jadi, pembacanya memang segmen baru yang bukan pembaca komik yang fanatik," kata dia.
Tigor menyarankan kepada penerbit komik agar terus memperluas genre agar tak bertarung langsung dengan komik Jepang dan Amerika Serikat yang sudah lebih dulu populer. Yang jelas, Tigor meminta agar tak terus-terusan membuat komik silat, yang meski gambarnya sangat matang dan mendetil, tapi pasarnya sudah jenuh dan tak menarik bagi pembaca muda. Sementara itu, genre komik superhero yang mungkin lebih akrab dengan remaja ternyata harganya sering tak terjangkau oleh target pembacanya.
Tigor mengakui bahwa mengangkat tema dan gaya yang tak mengikuti arus memang bisa membuat kantong penerbit bobol. "Mau tak mau dua tahun pertama harus merugi, tapi harus terus terbit demi menciptakan segmen pembaca yang setia," kata dia.
waduuuh...
ReplyDeletemenarik banget..
mohon titip di-update yah, Ta..
duh bisa kalap nih gue kalo begini caranya :P
kalo ada klipping dan kabar baru, pasti di-post! :D
ReplyDelete