http://kompas.com/kompas-cetak/0707/11/humaniora/3677558.htm
Komik Indonesia (2)
Kisah Para Empu Komik
Indira Permanasari
Rumah mungil di belakang mushala kecil itu begitu ramai. Suara video game berdesingan diselingi "kicau" kanak-kanak. Rupanya, bagian depan rumah itu dipakai untuk tempat penyewaan video game.
Dari dalam rumah yang terjepit di permukiman padat penuh gang tikus di kawasan Matraman Dalam itu, Djair Warni dengan rambutnya yang keputih-putihan muncul menyungging senyum dan mempersilakan masuk. Ini dia pencipta Jaka Sembung, tokoh komik pendekar dan jagoan itu.
Sekalipun Jaka Sembung sudah lama tidak keluar dan mejeng di display-display toko buku, sesungguhnya Djair tidak sepenuhnya berhenti berkarya. Pria jebolan STM bidang perkapalan di Cirebon itu dengan semangat empat lima menunjukkan berkas-berkas yang tengah dikerjakannya.
Tampak goresan-goresan yang penuh keyakinan dan sebagian sudah ditimpa spidol. Panel-panel itu bagian adegan dari komik Jaka Sembung Pendekar Metropolitan yang sedang dikerjakannya. Ya, bagi yang sempat besar bersama Jaka Sembung, tentu ceritanya sudah jauh berbeda.
"Yang ini ceritanya ada pemuda kerasukan arwah Jaka Sembung, terus mendadak menjadi pendekar," ujarnya. Tentu saja Jaka Sembung yang satu ini tidak melawan kompeni atau tuan tanah jahat. Musuhnya, para koruptor dan bandar narkoba! Masalah alot yang dialami generasi sekarang.
Ide itu muncul ketika suatu kali Djair mendengar cerita dari seorang pemuda yang mengaku bertemu Jaka Sembung saat sedang naik gunung. Ada juga beberapa orang lain yang sampai bertapa untuk meminta kebajikan Jaka Sembung. Padahal, menurut Djair, tokoh Jaka Sembung itu benar-benar lahir dari alam khayalnya alias fiksi belaka.
Djair terus menggambar komik untuk tetap melatih diri walaupun kemudian hanya dinikmati sendiri. Sewaktu-waktu dia membuat skenario untuk sinetron Jaka Sembung, Si Tolol, atau Jaka Geledek. Karyanya yang banyak terbit pada era tahun 1960-an hingga 1970-an itu selama ini tidak mendapatkan royalti dan biasanya dijual putus.
Di kawasan Legoso, Ciputat, Mansyur Daman alias Man juga tak mau kalah kembali berkomik. Dia sedang membuat kisah Bunuh Mandala serta sebuah karya kolaborasi Neraka di Borneo. Man yang sudah berkarya sejak awal tahun 1960-an itu terkenal dengan komiknya serial Mandala, Borok Setan, dan Istana Hantu.
"Ini Neraka Borneo, saya yang membuat gambar, narasinya dari orang lain. Ya, sekarang kan zamannya kolaborasi," ujarnya. Gambarnya masih terlihat indah seperti lukisan.
Gerdi Wiratakusuma atau Gerdi WK, pencipta tokoh jagoan perempuan, Gina, bahkan sudah lebih dahulu menerbitkan kembali karyanya, Gina. "Sebetulnya, Gina aslinya ber-setting Timur Tengah. Karena niatannya untuk mengangkat komik Indonesia, jadi sekarang saya modernkan supaya bisa nyambung dengan alam pikiran anak-anak sekarang," ujar Gerdi WK. Gerdi WK juga ikut menghidupkan kembali Si Kabayan tahun 1999.
Komik seakan sudah menjadi bagian dari tarikan napas mereka. Karya-karya terbaru yang tengah atau telah diterbitkan belakangan ini sebagian dari upaya keras menghidupkan komik Indonesia. Karya-karya baik individual atau kolaborasi para empu komik diterbitkan dengan bantuan sejumlah lembaga, toko buku, penerbit, dan masyarakat pencinta komik yang rindu kehadiran kembali komik nasional. Sekaligus, mengejar kevakuman perkomikan nasional sejak tahun 1980-an.
Bagian dari kejayaan
Para komikus tersebut menjadi bagian dari sejarah kejayaan komik nasional sebagai tuan rumah. Djair di kenal dengan karyanya, seperti Jaka Sembung, dan membuat komik mulai pertengahan tahun 1960-an. Begitu pula dengan MAN dan Gerdi WK.
Gerdi WK mengatakan, komik Indonesia sempat menjadi tuan rumah. Namun, pertengahan tahun 1974 mulai menurun sampai matinya tahun 1990-an. Gerdi sendiri membuat komik untuk penerbitan di koran sejak tahun 1965. "Sekarang boleh dibilang nganggur, menggambar cuma untuk melatih tangan. Dulu sih bisa hidup dari komik. Sekarang tidak bisa," ujarnya.
Gerdi memberi gambaran, di masa silam satu jilid sebanyak 64 halaman dia mendapatkan Rp 100.000. Saat itu harga emas satu gram Rp 250 perak, jadi satu jilid bisa untuk membeli 400 gram atau sekitar setengah kilogram emas. Gerdi malah sempat mendapatkan honor tetap.
Raden Ahmad Kosasih, komikus gaek yang terkenal lewat komik perwayangan, sempat bercerita tentang zaman kejayaan itu ketika ditemui di kediamannya di kawasan Rempoa.
RA Kosasih pertama kali dikenal lewat karyanya, Sri Asih, yang diterbitkan oleh Penerbit Melodie di Bandung tahun 1954. Setelah itu, RA Kosasih populer dengan karya seperti Mahabharata, Ramayana, dan Siti Gahara.
Penghargaan terhadap komik terbilang lumayan, kata Kosasih. "Imbalan komik itu sampai lima kali lipat gaji saya di pertanian (sekarang Lembaga Penelitian Hama Tanaman). Waktu itu gaji saya Rp 350 tahun 1950-an. Beras masih seperak setengah seliter. Kalau tidak salah, dari membuat komik, saya dapat sekitar lima kali lipatnya. Itu mula-mula, setelah itu dinaikkan sampai dapat Rp 4.000 satu bulan. Sama dengan gaji menteri. Apalagi saya sebetulnya membuat komik karena senang bukan sekadar uangnya," ujar RA Kosasih yang kemudian memilih berhenti dari pekerjaan tetapnya dan hidup dari komik.
Saat itu komik lebih merupakan karya individu. Djair mengibaratkannya dengan pekerjaan yang keempuan. Garis, gambar, pewarnaan, karakter tokoh, dan cerita dapat dirunut dengan mudah siapa penciptanya.
Sejarah komik
Di urut lebih jauh lagi, sesungguhnya sejarah komik sudah ada sejak tahun 1930-an. Mengutip hasil penelitian Marcel Bonneff (asal Perancis) yang kemudian dijadikan buku Komik Indonesia, di Hindia Belanda komik mulai muncul dalam media massa sebelum Perang Dunia II. Komik terbit antara lain di Harian De Java Bode (1938) yang memuat karya Clinge Doreenbos berjudul Flippie Flink dalam rubrik anak-anak. De Orient memuat petualangan Flash Gordon. Surat kabar Sin Po memiliki komik strip karya Kho Wang Gie. Tahun 1931, tokoh Put On yang lucu pertama kalinya muncul.
Akhir tahun 1940-an serbuan komik Amerika masuk ke media masa Indonesia. Sejak awal tahun 1950, banyak keluarga Indonesia yang sudah mengenal Rip Kirby karya Alex Raymond, Phantom karya Wilson Mc Coy, dan Tarzan. Ada juga komik Eropa, seperti Tin Tin.
Untuk mengimbangi pengaruh komik Barat serta memuaskan selera pembaca, kelompok mingguan Keng Po, yakni Star Weekly, sempat menyisipkan komik karya Siauw Tik Kwie, yakni Sie Djin Koei, seorang pendekar dan jenderal yang hidup dalam masa Toay Chung.
Komik itu sempat mengalahkan kepopuleran Flash Gordon.
Perkembangan komik Barat, menurut Bonneff, membuat komikus Indonesia mulai mengindonesiakan tokoh-tokoh Barat dengan munculnya Sri Asih karya RA Kosasih tahun 1954.
Ada pula komikus Johnlo yang melahirkan Puteri Bintang dan Garuda Putih. Tahun 1956, Bandung jadi pusat produksi komik.
Komik Barat serta imitasinya sempat mendapatkan protes dari kaum pendidik dan nasionalis. Namun, beberapa penerbit, seperti Penerbit Melodie, memberikan orientasi baru terhadap komik dengan menggali dari sumber nasional dan hasilnya ialah ramainya penerbitan komik wayang. Wayang kemudian menjadi produksi nasional terbesar. Hingga awal tahun 1960-an banyak pembuat komik mendapatkan ilham dari repertoar klasik seperti wayang purwa.
Sementara itu, di Medan juga sempat marak penerbitan komik melalui penerbit Casso dan Harris. Lantaran wayang tidak mendapat sambutan di kota tersebut, kemudian bermunculan cerita khas melayu, seperti Mirah Tjaga dan Mirah Silu. Lahir tokoh komikus kenamaan, seperti Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn. Masa roman remaja muncul di pertengahan tahun 1960-an hingga 1970-an dengan komikus seperti Jan Mintaraga dan Zaldy.
Komik kisah petualangan pendekar juga semarak. Tokoh komikus pada masa ini, seperti Ganes Th dengan karyanya, Si Buta Dari Goa Hantu; Djair dengan tokoh Djaka Sembung, Hans Jaladara dengan Panji Tengkorak. Tahun 1968 hingga 1982 hadir pula komik Gundala Putera Petir karya Harya Suryaminata alias Hasmi.
Kevakuman
Djair berpandangan, salah satu penyebab kevakuman komik awal tahun 1980-an itu tak lepas dari suasana industri penerbitan yang tidak terlalu mendukung penerbitan komik nasional. Sementara ekspansi dari luar terus terjadi. Man punya pendapat yang berbeda. Perkembangan industri periklanan di era itu menyedot dan banyak memanfaatkan tenaga komikus. Banyak komikus yang kemudian beralih ke bidang periklanan dan mengurangi kegiatan berkomiknya.
Mansyur sendiri sempat terjun ke dunia periklanan dan menjadi ilustrator sebuah majalah anak-anak sampai tahun 1988. Gerdi WK kemudian juga lebih banyak bergerak di dunia periklanan. Sementara Djair tetap berupaya berkomik di tengah surutnya perkomikan.
Untuk bangkit kembali, kata mereka, tidak akan mudah dan banyak tantangan. "Prospek untuk komikus saat ini kurang sehingga sedikit yang ingin belajar membuat komik secara serius, bahkan menjadikannya karier. Mentok-mentoknya nanti menjadi pembuat story broad di dunia iklan," ujarnya.
Proses pembuatan komik saat ini sudah berbeda. Dulu komik menyerupai karya seni karena seluruhnya dikerjakan oleh tangan manusia, semacam keempuan, begitu istilah Djair. Sekarang sudah menjadi industri rakitan. Saat ini membuat komik sama seperti membuat film, jauh lebih kolektif. "Zaman sekarang sudah berubah, semua serba cepat. Dahulu, saingan media visual tidak ada. Sekarang sudah ada cakram DVD, beragam acara televisi, dan macam- macam lagi, dan itu semua bersifat visual sama seperti komik. Orang juga lebih senang menonton," ujar Djair.
Lain lagi pendapat Gerdi WK. Ketakukan penerbit akan tidak lakunya komik Indonesia membuat komik nasional semakin terpuruk. Saat ini persaingan dengan komik luar sangat tinggi, anak-anak terbiasa dengan komik Jepang. Sebaliknya komik Indonesia malah dirasa asing lantaran ada kevakuman dalam dunia komik yang, menurut Gerdi, mulai terjadi sejak pertengahan tahun 1970-an.
"Sampai sekarang masih perdebatan. Ada yang bilang penurunan itu karena masuknya komik Jepang. Akan tetapi, sebagian mengatakan komikus kita kurang menjaga kualitas," ujar Gerdi.
Serbuan komik Jepang memang harus diakui. Namun, menurut Gerdi, semua serba terkait. Faktor yang membuat komik Jepang membanjir karena penerbit lebih memilih komik itu daripada membeli karya komikus lokal. Untuk menerbitkan komik luar, mereka cukup membeli lisence saja daripada membeli master.
"Kenapa komik Jepang banyak? Itu karena penerbitnya mau murah. Kenapa komik luar itu laku? Karena, anak-anak waktu itu lebih senang dan para komikus mungkin juga kurang menjaga mutu. Tidak terjaganya mutu karena semakin lama hasil jerih payahnya kurang mencukupi dan semakin tidak dihargai sehingga pengerjaannya jadi dikebut. Ada teman saya, karena honor satu jilid murah, jadi dia bikin 4-5 jilid dalam satu bulan," ujar Gerdi.
Saat ini Gerdi, RA Kosasih, Djair, dan Mansyur Daman tidak lagi menyimpan satu pun naskah asli karya atau mengoleksi karya pribadi. Alasannya beragam dan kadang menggelitik. Djair mengatakan, sebagian besar naskahnya sudah menjadi milik penerbit lantaran dibeli putus. Waktu itu mesin fotokopi juga masih langka. Sebagian habis dimakan rayap, dipinjam produser di film. "Ada yang dipinjam pacarnya anak saya, terus enggak balik. Saya juga tidak menyimpan komik sendiri. Biar yang baca orang lain saja," ujarnya sambil tersenyum.
Begitu juga Gerdi WK. Dahulu, pembuatan komik biasanya dengan memotret karya asli kemudian dicetak. "Setelah dipotret biasanya dibuang dan dipungutin sama anak-anak yang sedang belajar menggambar," ujarnya.
Barangkali itu sekaligus sebagai pertanda bahwa masa lalu tinggal menjadi sejarah yang dihargai dan dijadikan pelajaran, tetapi saatnya mengisi dengan karya baru. Seperti semangat para empu komik itu.
Artikel mpu komik yang bagus, nambah lagi kalo ada, he he he .Gambar komiknya mana?
ReplyDelete