Senin, 30 November 2009 | 15:45 WIB
Bandung, Kompas - Persoalan sampah sebetulnya bisa diatasi para desainer lewat pendekatan kreatif. Para desainer harus mengubah pendekatan lama dengan mengedepankan desain yang mampu bertahan lama, bahkan kalau bisa menggunakan bahan daur ulang.
Hal tersebut mengemuka dalam acara bincang-bincang "Upcycle Vs Downcycle" yang digelar dalam rangka acara Youth Waste, Sabtu (28/11) malam di mal Paris van Java (PVJ). Hadir sebagai pembicara, dosen Institut Teknologi Bandung, Dwinita Larasati; arsitek lulusan ITB, Yu Sing dan Ridwan Kamil; serta aktivis lingkungan hidup, M Bijaksana Junerosano.
"Pada tahun 1960-an profesi desainer produk disebut sebagai profesi paling berbahaya setelah teroris. Sebab, mereka menghasilkan sampah demikian besar. Keusangan dari produk yang mereka hasilkan sebetulnya telah direncanakan agar masyarakat terus membeli yang baru," tutur Dwinita Larasati, dosen bidang desain berkelanjutan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Dahulu setiap produk memiliki karakter desain downycle, yang artinya lambat laun produk itu memiliki keusangan dan hanya menjadi sampah. Namun, dengan tekanan yang kian besar akibat kondisi lingkungan hidup dewasa ini, desain harus bisa menyesuaikan diri. "Mahasiswa semakin sadar bahwa yang mereka ciptakan nantinya memiliki konsekuensi terhadap lingkungan hidup di sekitarnya," ucapnya. Menurut Dwinita, desain ramah lingkungan di pasaran umumnya lebih mahal 20-30 persen dibandingkan dengan produk sejenis.
Namun, dalam beberapa tahun ke depan, harganya akan sama karena didesak kebutuhan. "Green product seharusnya bukan lagi tren, melainkan sudah jadi kebiasaan baru kita," tuturnya.
Menurut Ridwan Kamil, desain adalah simbol peradaban. Sampah bisa menjadi barang-barang berharga yang menunjang estetika jika dikemas dalam desain menarik. Hal ini dibuktikannya sendiri dengan menjadikan 30.000 botol bekas kemasan minuman berenergi sebagai salah satu material yang menghiasi rumahnya.
"Orang kreatif bisa melihat sampah sebagai potensi," tutur Ketua Bandung Creative City Forum ini. Dalam kesempatan ini, ia menekankan pentingnya prinsip kolaborasi dalam pengembangan desain ramah lingkungan. Kolaborasi ini, misalnya, antara desainer dan musisi atau desainer bersama arsitek.
Rumah dari sampah
Tindakan konkret menjadikan sampah sebagai benda yang upcycle atau dapat dimanfaatkan juga dilakukan Yu Sing, arsitek lulusan ITB. Ia membuat rumah dengan material bekas. Genteng-genteng sisa atau potongan kayu digunakan sebagai dinding.
"Dinding bisa menjadi seperti mozaik, kumpulan beragam jenis bahan material. Tidak perlu cat karena warna asli di bahan itu sudah cukup baik," kata penulis buku Mimpi Rumah Murah yang kini tengah mendesain model rumah kolaborasi di Jakarta.
Menurut Junerosano, masyarakat tidak lagi bisa menunda kebiasaan hidup berwawasan lingkungan. "Ketika Kota Bandung makin panas, makin macet, dan banyak sampah, itulah saatnya kita bertindak. Mau menunggu apa lagi?" gugatnya.
Acara Youth Waste ini sengaja dilakukan di pusat-pusat perbelanjaan agar bisa menyadarkan generasi muda mengenai pentingnya hidup berdampingan dengan sampah. Dalam acara ini dipamerkan berbagai produk interior berbahan dasar sampah hasil desain mahasiswa ITB. (jon)
oo, ada KOMPAS Jawa Barat tho MBak
ReplyDelete