Tabloid Mom&Kiddie Edisi 23 - Tahun ke II - 30 Juni-13 Juli 2008
Artikel di tabloid itu bisa dibaca langsung di tabloidnya. Yg aku tempel di sini ini cerita aslinya (sebelum diedit utk tabloid), lengkap dengan pertanyaan dari Mom&Kiddie.
1. Apa alasan Anda memilih untuk melakukan persalinan di rumah! Bagaimana dukungan pihak keluarga, terutama suami?
2. Tolong ceritakan proses persalinan yang Anda alami?
3. Menurut opini Anda, apa kelebihan dan kekurangan setelah Anda melahirkan di rumah? Tolong jelaskan!
Kedua anak kami dilahirkan di Amsterdam, Belanda. Di negara tersebut, ibu yang sehat dengan kondisi kehamilan normal umumnya memang melangsungkan persalinan di rumah. Rumah Sakit Bersalin (RSB) menjadi pilihan bila kesehatan ibu kurang baik, atau terdapat masalah selama kehamilan, atau prosesnya diasumsikan akan berisiko.
Ketika tes kehamilan menunjukkan tanda positif, kami memberitahukan dokter keluarga, yang lalu merujuk kami ke klinik bidan terdekat. Klinik bidan inilah yang menangani proses kehamilan hingga persalinan dan sekitar 2 minggu masa pasca persalinan. Setelah bersalin, untuk beberapa hari ke depan seorang asisten akan datang untuk membantu mengurus bayi (seperti memandikan dan ‘melatih’ ibu dan bayi dalam proses menyusui), mengontrol kondisi ibu dan bayi, bahkan juga melayani tamu yang datang dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari (seperti berbelanja, mencuci baju, dan menyiapkan makanan).
Suami tentu saja sangat mendukung, karena adik, saudara-saudara dan teman-teman perempuannya juga melahirkan di rumah. Keluarga di Indonesia, meskipun sempat mengungkapkan keraguan, tetap mendukung pilihan saya. Syukurnya saya tetap sehat dan kandungan pun tidak bermasalah, sehingga saya dapat melaksanakan kedua persalinan di rumah, sesuai rencana.
PERSALINAN PERTAMA
Berminggu-minggu sebelumnya kami sudah mendapat kiriman paket “bersalin di rumah” yang kami dapatkan sebagai layanan dari asuransi yang kami ikuti, berupa alas tempat tidur selama bersalin, popok bayi, pembalut, perban dan kapas, buku catatan persalinan, dsb.
Seminggu sebelum due-date, pada hari Minggu sekitar pk 09.30 pagi, air ketuban pecah menggenangi lantai ketika saya beranjak dari tempat tidur. Suami segera menelpon klinik bidan, untuk memberi tahu. Sekitar pk 10.00 seorang bidan datang untuk memeriksa kondisi saya. Ia berpesan untuk bersantai saja seharian ini, kerjakan aktivitas sehari-hari seperti biasa, dan menelpon mereka lagi kalau kontraksi sudah terasa setiap 5 menit.
Jadi pagi itu kami berjalan-jalan di KerstMarkt (Pasar Natal) yang digelar pada hari itu di sebuah pasar terbuka dekat rumah, sekaligus mampir ke sebuah drugstore untuk membeli thermometer. Di rumah, saya membuat minestrone (meal soup ala Italia) dalam jumlah banyak, sebab saya tahu tidak akan sempat memasak sampai beberapa hari ke depan. Ketika itu bulan Desember, musim dingin, dan langit sudah menjadi gelap sekitar pukul empat sore.
Kami sebisa mungkin mempersiapkan apa pun yang kira-kira akan diperlukan. Satu yang belum siap, adalah meninggikan tempat tidur. Terdapat peraturan bahwa ketinggian tempat tidur harus sekitar 50-60 cm dari permukaan lantai, untuk memudahkan kerja bidan selama masa persalinan. Tempat tidur kami adalah jenis futon yang hanya setinggi 30 cm dari lantai, sedangkan – karena bayi datang seminggu lebih cepat – tidak ada waktu untuk meninggikan tempat tidur tersebut. Si bidan akan terpaksa bekerja di tempat tidur rendah.
Menjelang malam hari perut mulai terasa mulas, yang hanya bisa diduga sebagai kontraksi, sebab ketika itu saya belum pernah merasakan “kontraksi”. Menjelang pukul sembilan malam, kontraksi terasa makin sering dan makin tajam. Saya mulai mempraktikkan posisi-posisi yang dapat meredakan perih, sementara suami mencatat frekuensi kontraksi. Ketika kontraksi sudah terjadi setiap lima menit, suami menelpon bidan, yang berjanji akan datang dalam waktu setengah jam. Saat itu sudah sekitar pk. 21.30. Bidan datang sekitar pk. 22.00 bersama seorang asisten. Bidan memeriksa kondisi saya dan bayi, lalu mempersiapkan ‘tempat tidur bersalin’ dengan asistennya. Sementara itu saya berjalan mondar-mandir, atau sesekali ke WC untuk buang air kecil, sambil meringkuk setiap kali kontraksi terasa.
Sekitar pk. 23.00, sudah mencapai bukaan 10. Pk. 23.30 dorongan pertama dimulai. Tak lama kemudian, ditandai dengan kontraksi hebat, dilakukan dorongan kedua, yang membawa bayi ke posisi crowning. Setelah dorongan kedua ini kami jeda sebentar; bidan bahkan meminta saya menyentuh ubun-ubun bayi yang berambut lebat, yang sudah terpapar udara di luar kandungan. Ketika kontraksi berikut datang, asisten sedang mengambil ganti air hangat. Bidan meminta saya menahan bayi, tapi tidak berhasil, dorongan bayi terlalu kuat. Pk. 23.46, lahirlah putra pertama kami dengan pecahan tangisnya. Suami saya dipersilakan memotong tali ari, dengan bimbingan bidan.
Bidan lalu dengan sigap membersihkan bayi, mengukur beratnya dan memeriksa kondisi lainnya, lalu memakaikan baju dan topi, sebelum meletakannya di dada saya. Ia langsung mencatat Apgar score si bayi. Asistennya mengganti alas seprai dengan yang bersih. Kontraksi berikut, yang terjadi beberapa menit kemudian, mengeluarkan kantung tempat si bayi tinggal selama 39 minggu. Bidan lalu memeriksa kondisi saya pasca persalinan. Saat itu lah ia ragu, apakah perlu menjahit atau tidak.
Ia lalu menelpon RSB terdekat untuk memberitahukan bahwa saya akan diperiksa sejenak di sana, lalu menyiapkan kendaraan di depan apartemen kami. Saya segera memakai baju tebal, untuk menembus cuaca musim dingin di tengah malam, dan berjalan menuruni anak tangga (kami tinggal di apartemen, di lantai tiga) menuju tempat parkir. Bayi kami dibungkus baju hangat dan digendong oleh suami saya, menyusul menuju mobil.
Tiba di RSB pk. 01.30, kami diantar menuju sebuah kamar bersalin. Saya bersiap di tempat tidur, sementara suami duduk di sisi sambil tetap menggendong si bayi yang sedang tidur lelap. Beberapa saat kemudian seorang dokter kandungan datang, memeriksa, dan melaksanakan sekitar tujuh jahitan. Setelah itu saya dibantu untuk membersihkan diri, lalu kami dipersilakan untuk beristirahat sebentar sebelum pulang. Sekitar pk. 03.00 kami telah tiba kembali di rumah.
PERSALINAN KEDUA
Prosedur ketika mengetahui positifnya kehamilan serupa dengan pengalaman pertama: memberi tahu dokter keluarga, dirujuk ke bidan, membuat ultrasound graphic pada 3 bulan pertama, lalu bersiap-siap dengan paket bersalin yang ada, yang dikirimkan oleh pihak asuransi.
Siang hari itu, di awal musim gugur, kontraksi ringan sudah terjadi. Di sore hari, kontraksi terasa makin keras dan sering. Ini terjadi 10 hari sebelum due-date, jadi kami belum juga meninggikan tempat tidur sesuai standar yang berlaku. Suami menelpon bidan sekitar pk. 20.00, ketika kontraksi makin terasa kencang. Bidan datang pada pk. 21.00, memeriksa bukaan (sudah 8), menelpon asisten untuk datang dan langsung sibuk mempersiapkan semuanya. Anak laki-laki kami yang saat itu hampir berusia 3 tahun ingin ikut membantu, ia sibuk juga memindah-mindahkan mainannya dari satu wadah ke wadah lain. Ia pun terkadang mendatangi saya yang sedang menahan sakit sambil menyodorkan irisan apel yang sedang dimakannya, ‘untuk mengobati ibu’, katanya.
Sekitar pk. 22.00, bidan memutuskan untuk memecahkan ketuban, supaya bayi dapat terangsang keluar. Dan benar saja, setelah air tergenang keluar, si bayi dengan keras mendorong dirinya keluar dari rahim. Tangisan bayi pecah pada pk. 22.17. Suami beranjak ke kamar belakang untuk memanggil si kakak – yang sedang bermain sendiri – supaya melihat adik barunya. Sambil menggendong si kakak yang penasaran dan terus bertanya, suami saya sekali lagi memotong tali ari bayinya.
Bayi yang sudah diperiksa, dibersihkan dan dibungkus oleh bidan ditidurkan di dada saya. Saya bertanya, apakah bayi ini perempuan atau laki-laki. Kata bidan, silakan lihat sendiri. Ternyata, ini bayi perempuan! Memang jadi kejutan menyenangkan, apapun jadinya, karena selama proses kehamilan USG hanya dilaksanakan satu kali, ketika kandungan berusia sekitar 3 bulan.
Bidan kembali memeriksa kondisi saya dan memastikan apakah uterus sudah keluar semua dalam keadaan lengkap. Setelah itu ia melaksanakan sendiri jahitan yang diperlukan, sebelum berkemas dan berpamitan, untuk kembali lagi esok harinya untuk memeriksa dan memantau kondisi saya dan putri kami. Kali ini, semuanya berlangsung lancar dan kami tidak perlu lagi mendadak ke RSB di tengah malam.
KELEBIHAN dan KEKURANGAN
Kelebihan:
- Suasana ruang yang sudah sangat akrab, bisa menenangkan dan memberikan mental support
- Kehadiran orang-orang terdekat yang diinginkan (plus 1 bidan dan 1 asisten), dapat membuat pengalaman melahirkan menjadi sangat pribadi dan natural
- Tidak usah berkemas utk menginap di RSB
- Keluarga dan teman tidak usah menyesuaikan jadual menjenguk bayi dengan peraturan RSB
- Jauh lebih murah dibandingkan biaya persalinan dan perawatan di RSB
Kekurangan:
- Bila bidan kurang tangkas/terampil/berpengalaman dalam menangani hal-hal darurat, sehingga tetap harus memakai layanan RSB
- Bila ada peralatan yang terlupakan atau tidak tersedia selama proses persalinan
==================================
p.s. Versi graphic diary-nya bisa dilihat di sini:
Lahiran Dhanu: 9-months diary
Lahiran Lindri: another 9-months diary
Gue seneng deh ada temen yg pernah ngalamin langsung. Thanks infonya yah Ta.
ReplyDeleteBTW, kelebihannya kurang satu tuh.. Bayi pasti gak bakal ketuker, hahahha!
hahaha iya bener jugaaa!
ReplyDeletemakasih jugaaa :">
ibuku juga ngelahirin aku dan adik2ku di rumah kayak tita.
ReplyDeleteWah, beritanyaaaa! kan turut mengikuti setiap berita dari masih 'fresh' ;)
ReplyDeleteTetap aja acung jempol buat keberaniannya..gue tetep aja merasa lebih 'safe' di rumahsakit. Mungkin faktor psikologis dan kenyamanan (ini relatif ;)).
Memang kunci utama di bidan-nya ya. Pendidikan bidan di Eropa emang canggih sih, dari preparation terapi tusuk jarum dll, sampe post natal control semuanya sama bidan.
Acung jempol deh Mbak..semoga jadi inspirasi di Indonesia ya...biar biaya melahirkan jadi turun :-)
ReplyDeleteah iya, pasti ibu punya cerita tersendiri ttg kelahiran masing2 anaknya ya :)
ReplyDeleteLuar biasa Ta :) Bacanya seru :) Apakah ada kemungkinan untuk dibuat komiknya Ta?
ReplyDeleteSemoga kalau gua hamil dan melahirkan nanti, setidaknya bsia melahirkan secara alami
Btw, jadi inget cerita nyokap, pas kelahiran Paula, katanya si Paula kayak nyelonong keluar sendiri (serius gak bisa kebayang, hehehe), sampai gak gitu berasa, malah dia lahir duluan sebelum dokternya dateng, hehehe ...
huaa iyaaa makplon selalu mendampingi baik online maupun offline! ;)
ReplyDeletejustru gue rada jiper kalo harus ke RS.. itu dia yg namanya 'relativitas' faktor psikologis dan kenyamanan ya, jadi tiap orang memang punya jenis "keberanian" yg berbeda.. hihi..
wow...
ReplyDeletememang kalo saya takut kalo ada apa2nya.. spt dulu toby lahir.. ternyata terjadi komplikasi hingga saya butuh transfusi darah setelahnya.Padahal pas hamil saya sehat2 saja. maka itu saya jadi takut ngelahirin lagi sekarang..hehe.
Bersalin di rumah apa memang 'diharuskan' untuk ibu2 sehat atau bisa milih di rumah sakit?
tapi enak ya pake ada yg urus2 setelah anak lahir! ini termasuk paket buat semua orang dibelanda gratis? di new york mah cuma dikasih tas dan video self-help.."good luck" gitu..haha..
jempolnya bisa buat semua ibu!
ReplyDeleteiya nih, malah jadi inget berita2 dari daerah terpencil, yg angka kematian ibu-bayi masih cukup tinggi gara2 langka medical assistance ketika melahirkan. mudah2an bidan di indonesia makin kompeten, dan bisa diperbantukan di daerah2 spt itu...
sakti ya ibu2 kita dulu.. hahaha..
ReplyDeletekomiknya, udah ada sih diary-nya dulu itu (ada link-nya di bawah entry ini), tapi ya ceritanya sekelebat2 aja.
rumah sakit itu opsional. biasanya kalo sehat direkomendasikan di rumah aja, dan kalo tetep mau ke RSB, nggak di-cover asuransi (kalo asuransinya paket standar).
ReplyDelete'bantuan setelah melahirkan' atau kraamzorg itu termasuk paket asuransi. kita bisa milih, mau didatengin berapa jam/hari, dan berapa hari pasca lahiran. kita sih milihnya yg 5 jam/hari aja, selama 5 hari. rikuh juga kelamaan ada 'orang lain' di apartemen :P
waduh sempet komplikasi? kenapa? (hayoo bikin posting cerita lahiran sendiri)
toby-nya udah minta adik, belom? :)
waw mbak.. pas lahirin dhanu, dijahitnya di RS ya? perjalanan dr rumah ke RS sambil sakit dong, kan baru aja lahir?
ReplyDeleteenggak sih, karena udah lega. paling sakit cuma ketika kontraksi aja, tapi pas bayi udah keluar dengan selamat rasanya berani menantang sakit macam apa pun!
ReplyDeleteasik yak bisa ngelahirin di rumah..
ReplyDeletekamu juga berani pisan, kalo aku pasti udah jiper dan bergandengan tangan berdua mbak isti menuju RSB :))
kalo saya setuju melahirkan sama bidan. Karena dokter saya datang ketika saya sudah tinggal jahit sementara yang menunggu sejak kontraksi awal si ibu bidan tanpa ditinggal sedetikpun, dan saya harus membayar full sang dokter siwalan ituh...
ReplyDelete=)) aduh.. ngebayanginnya.. =))
ReplyDeleteaku malah takut mikirin ngelahirin di kamar bersalin, yg penuh berjejer ibu yg sama2 sedang kontraksi.. reaksi orang2 yg macem2 itu kan malah bisa bikin stress sendiri. perlu persiapan kamar private kali ya biar prosesnya bisa tenang...
udah sepaket ama kamarnya kali..
ReplyDeleteWah asyik banget bisa nglahirin di rumah. Kalo saya waaaaa...... nggak berani!! Malah jaman Afya sengaja memilih RS besar, tapi sebenarnya sih karena kekhawatiran kita aja. Kalo di Belanda mungkin kalo ada apa2 di rumah bidannya cepat tanggap ya.... jadi bisa segera ke RS juga
ReplyDeleteiya, ada syarat juga kalo mau lahiran di rumah, terutama di apartemen atau 'rumah kapal'. mereka (bidan dan RSB terdekat) harus tau lebar tangga, lift, dermaga atau apa pun, supaya bisa ngira2 akses utk stretcher atau evakuasi darurat, kalo tau2 diperlukan.
ReplyDeleteSetuju...jangan lupa cari RSB yang sarat penjual makanan di dan sekitarnya ;)
ReplyDeleteaduh ikuuttt.. *klop deh kita
ReplyDeleteheheh.. jadi inget, kita nyariis ngelahirin di rumah (bahkan bed sudah ditinggikan dg krat bir...) tapi kontraksinya gak mulai2 jadi setlh 20-an jam kita disuruh bidan ke RSB naik taksi... Majalah Mom&Kiddie itu gak ada versi online-nya?
ReplyDeleteaku udah browsing, nggak dapet versi online-nya :(
ReplyDeletewah sama, bed kita ditinggiinnya juga dengan krat bir (minjem dari kantor syb, hahaha)! itu pas lahiran pandu ya?
waah, makasih referensinya Ta, hebat ya, lahir di rumah
ReplyDeletewalau aku (semoga) ga niat nambah anak lagi :P
hihi.. udah tiga, untuk jaman sekarang, hebat bangettt..
ReplyDeletepasti kerasa banget fully occupied jadi ibu! saluuut
bacanya nahan napas ta... fiuuhhh
ReplyDeletelepas lagi.. fuuuhhhh
ReplyDeleteIya, si Indi di Singapore... totally different approach...
ReplyDeleteYuk, bertiga menggasak makanan ...(ternyata hanya ini tujuannya ke RSB) :D
ReplyDeleteyang ke 3 lahir di bandung nih kayanya.. :D
ReplyDeleteaku hamil, tapi bayiku tak lahir-lahir... mungkin isinya adalah konro....
ReplyDeletetigaaaa??!
ReplyDeleteberarti bayimu sepertinya kembaran dengan bayinya motulz.
ReplyDelete**oh tidak! kalian saling menyelingkuhi sepeda masing2!
waaa kamu hebat sekali *memandang kagum ke Tita yang dipenuhi cahaya keemasan* ;))
ReplyDeletegua bacanya aja kok da merinding ya :p
rasanya udah pernah baca cerita di komik lo juga ya ta, dan tetep kagum, gue gak kebayang deh..
ReplyDeletewaduw...salut!
ReplyDeleteklipping penting untuk di arsip :D
ReplyDeletemba betul gak ya, saya kok suka perhatiin di Belanda, rata2 pasangan memiliki hanya 2 anak dengan jarak usia yang berdekatan. Apakah ini tradisi, ketidak sengajaan atau memang direncanakan ya?
Mau nambah enaknya lahir di rumah (pengalaman melahirkan anak ke-1 di rumah; anak ke-2 di RS):
ReplyDelete- udah kenal sama bidan selama 6 bulan, jadi kayak dibantu melahirkan oleh teman sendiri (kalau anak ke-2, ya malah lebih afdol, udh kenal setahun ...)
- pendekatan bidan lebih natural dan tanggap dgn kebutuhan kita (kita dilihat sbg manusia), sementara dokter/gynaecologist lebih klinis (kita dilihat sbg barang)
- dokter/gynaecologist super sibuk, jadi dateng 5 menit, salaman, bantu ngelahirin, terus pergi lagi; sedangkan bidan 100% perhatian ke kita, dari kontraksi sampai bantuin kita menyusuin bayi
*selimutin nat sambil nyodorin tipker andir biar makin anget*
ReplyDeleteaduh 'cahaya keemasan', gue skg yg merinding nih ;))
jadi malyu.. it's nothing, really.. :">
iya udah di-multiply-kan juga gambar2 itu.
ReplyDeleteaww :"> gue bersyukur aja dikasih proses yang lumayan lancar...
ooh.. one just has to know the tricks!
ReplyDeletesemuanya bisa benar! haha..
ReplyDeletejaman dulu, mertuaku itu punya 5 anak dalam 7 tahun! mungkin biar 'repotnya sekalian'.
sekarang, iparku emang ngatur seperti itu. teman2 dan beberapa kenalan juga ngatur jaraknya. biasanya dicocok2in sama timing mereka (pindah rumah, ganti pekerjaan, dsb.). kami sendiri nggak ngatur, dikasihnya kebetulan dalam jarak yg nyaman (rada2 matching sama jadual riset doktoralku dulu).
whehehe makasih mbak arum! setuju ttg bidan, tapi saya nggak bisa berpendapat ttg dokter/gynaeologist karena belom pernah pake jasa mereka.
ReplyDeletetambahan lagi: dari klinik bidan itu, kalo ada yang gak cocok ke kita tapi kebetulan sedang piket pas bayi kita mau lahir, kita boleh nolak dibantu sama dia. boleh ganti bidan lain sesuai permintaan.
bangkrut RSB dah ...hahaha...orang indon nggak mandiri kalau disini...
ReplyDeleteWah Taa... hidup elo banyak pengalaman menarik dan menyenangkan yaaah!! Hebat deh ngelahirin di rumah! Btw sempet ngerasa takut ga Ta? trus gmana handle perasaan itu? Beruntung sekali yah dirimu punya suami yang sangat helpful :)
ReplyDeleteTFS ta..wah seru Ta. pengalaman melahirkan dirumah...versi graphic mau dikeluarin ta he..he..
ReplyDeletewah kerenn ya.. perjuangan indah... huhuu... salut!!!
ReplyDeleteperjuangan seorang ibu... aku sangka melahirkan dgn bidan berbahaya...!!
wah jadi ada masukan ..hehe thx...
Sebetulnya nyaman juga ya, melahirkan di rumah...daripada di rumah sakit yang meskipun serba steril tetap aja ruangan asing..
ReplyDeleteHaduh! Untung di Londo! Sepi. Ambulance sering warawiri... Bisa lewat sungai...deket penjual kroket anget yg uenak tenan... Kalo di Jakarta... kalo ada masalah... 2 jam lagi baru nyampe RSB... maceeettnya booo plus nunggu ambulance yg sering dipake buat ngangkut duit!.... Belom lagi kalo ada demo! Bisa besoknya baru nyampe... Jd kalo buat kota dgn tingkat kemacetan dan polusi tinggi, mending langsung di RSB ya??
ReplyDeletewaaa...pengalaman yang seru yaa...ga kebayang ini terjadi di Indonesia...wong di rumah sakit aja masih banyak malpraktik...jd inget temenku yang bayinya meninggal karena malpraktik hiks....orang-orang malah sekarang karena banyak kekhawatiran lebih cenderung pilih rumah sakit ternama yang harganya makin menggila aja.....
ReplyDeleteoh...keren deh ay...
ReplyDeleteselalu terkagum-kagum sama yang melahirkan di rumah
bener juga yg elu bilang Ta, suasana rumah yg sdh akrab..jd lbh rileks. Gua kan stress bgt waktu denger ibu2 yg teriak2 kesakitan, ampe tensi gua naek saking ketakutannya gua.
ReplyDeletekirain lahir di sepeda hihihihi.... kidding. pengalaman mba tita = info berguna buat istri...
ReplyDeleteHi Tita......guess what? Am in Jakarta!! Anyway.......might go to Bandung....if time permits...am in JKT till Tuesday.....my cell: 0122733922
ReplyDeletesenangnya bisa membaca pengalaman Bunda Tita!
ReplyDeletekalo di Indo, wajib di RSIA.
11 sept 08, istri saya baru CS untuk anak ke 2.
salam,
kiminx
pengalaman yg luar biasa. btw, kalo kelak punya anak lagi (di Indonesia), mau melahirkan di rumah juga mbak? :P oya, udah ada curhat baru ya mbak? udah ada di toko buku? mau lagiii....
ReplyDeletewah "punya anak lagi"nya itu yg bikin berpikir panjang.. hehe..
ReplyDeletedi rumah lagi juga mau, asal sudah pasti dapet bidan yg bagus.
curhat baru (back in bandung) udah terbit, kabarnya di gramedia (jkt) udah ada. tapi belom launching...