Kompas Minggu, 27 Mei 2007
http://kompas.com/kompas-cetak/0705/27/Buku/3556454.htm
Sang Buddha Nyentrik
HIKMAT DARMAWAN
Manga di Jepang telah menyejarah selama kurang lebih 1.000 tahun. Buddha (jilid 1-8) yang merupakan karya maha dari Sang Godfather of Manga, Osamu Tezuka, ini bagaikan menggenapkan lingkaran sejarah itu.
Selama abad ke-6 dan ke-7 Masehi, ada kegandrungan besar di istana kekaisaran Jepang terhadap segala yang berbau Tiongkok. Buddhisme diadopsi sebagai agama baru oleh para penguasa, sekaligus marak pula pembangunan candi agama baru itu. Pada saat yang sama, di dua kuil tersuci Buddha saat itu—kuil Tôshôdaiji dan Hôryûji—tampak berbagai karikatur binatang, manusia, dan sejumlah lingga yang besar dan kasar. Diduga, coret-moret humoristik itu dibuat oleh sekelompok buruh yang bosan.
Pada abad ke-12, seorang pendeta Buddha legendaris, Toba, mencipta serangkaian gambar-humor yang sekarang bisa kita sebut sebagai "kartun". Gambar-gambar itu dalam bentuk gulungan (picture scroll), diberi tajuk Chôjûgiga, atau "Gulungan Satwa" adalah contoh tertua narasi seni komik di Jepang. Bentuknya seperti Wayang Beber di Jawa, di mana narasi visual terangkai secara kontinuum, memanjang ke samping bisa sampai 80 kaki. Sifat kartun narasi ini bak komik-komik Disney saja: monyet yang berperan jadi pendeta, dan Sang Buddha dalam sosok kodok.
Memang ada semangat urakan dalam berbagai "manga" pramodern itu. Buddhisme sendiri, khususnya dalam bentuknya yang hidup di Jepang, seakan mendorong keurakan itu. Seperti kata F Schodt dalam Manga! Manga! The World of Japanese Comics (1983), tradisi Buddhisme di Jepang mengandung sekulerisme yang justru mendorong gurau dan seni yang nyeleneh. Bahkan, pada pertengahan abad ke-17, berkembang bentuk kartun religius yang berhumor dengan tujuan serius (menyampaikan poin spiritual). Namanya, Zenga (gambar Zen).
Seperti kata RH Blyth, dalam Oriental Humor yang dikutip Schodt, "Setiap agama ortodoks selalu menentang, dan ditentang oleh, humor. Hanya (agama) Zen, karena sifatnya yang ...tidak ortodoks, atau lebih tepat nonortodoks, yang justru bersifat humoris, dan harus humoris."
Bacaan dewasa
Latar seribu tahun manga (komik Jepang) itu penting, untuk memaknai Buddha karya Osamu Tezuka yang kini diterbitkan oleh Penerbit KPG. Karya ini adalah karya novel grafis atau cerita kompleks kedua dari Tezuka yang terpajan ke Barat (Amerika Serikat, Eropa Barat). Sebelumnya, sebuah cerita kompleks yang unik dari Tezuka sempat bikin heboh: Adolf.
Memang, Barat pertama kali mengenal Tezuka lewat karyanya semasa pasca-Perang Dunia Ke-2, Astro Boy (Tetsuwan Atomu). Akan tetapi, walau menyimpan ironi Perang Dunia yang cukup tajam, sasaran utama karya ini adalah anak-anak. Ada lagi karyanya yang lain, Black Jack, yang juga diterjemah ke Amerika. Black Jack, seperti Astro Boy, lebih merupakan kumpulan cerita pendek dan bukan sebuah cerita panjang yang bulat-utuh.
Sedangkan Adolf dan Buddha, ditulis sang maestro di senja usianya, dimaksudkan sebagai bacaan dewasa. Adolf bertutur tentang, antara lain, permainan nasib. Dan Buddha adalah curahan pikiran dan perasaan Tezuka tentang hakikat hidup, kehidupan sosial, alam, radikalisme, dan spiritualisme.
Tezuka memilih menutur kisah Buddha versi yang kontroversial. Dalam tradisi Kristiani belakangan muncul sebuah upaya menutur "Yesus historis", untuk memisah dengan versi biblikal yang bersifat mistis. Tezuka bukan hendak menghidupkan versi mitis Buddha, walau unsur mitis itu dipertahankan dalam komik ini. Tezuka juga tak hendak menampilkan versi historis Buddha, walau konteks sosial-budaya-politik-ekonomi (khususnya gugatan keras atas sistem sosial kasta dalam Hindu) ditampilkan juga. Tezuka, rupanya, lebih tertarik versi fantastis, bahkan fabulis, dari Buddha.
Soal konteks, sang tokoh utama, Siddharta yang nantinya akan jadi Buddha, baru tampil pertama kali dalam jilid pertama setebal 400 halaman itu pada halaman 267, bab ke-7, itu pun sebagai bayi yang baru lahir.
Lebih dari separuh awal jilid pertama Buddha dihabiskan untuk kisah dua kutub tertinggi dan terendah dalam sistem kasta Hindu, Brahmana, diwakili Naradatta; dan Sudra-Paria, diwakili Chapra, bunda Chapra, dan Tatta. Naradatta diutus sang Guru mencari dan melayani seorang "besar", dan pencariannya membawa hasil tak masuk akal: orang besar itu, dengan kemampuan cenayangnya yang tinggi, ternyata seorang bocah Paria—golongan yang lebih rendah dari kasta terendah Sudra.
Kisah mereka sungguh elok: rangkaian kejadian ekstrem, pilihan-pilihan moral yang sulit, sebuah pikiran revolusioner (bagaimana melawan sistem Kasta yang bukan hanya mengakar, tetapi juga religius), dan sebuah gagasan tentang hidup dan pengorbanan yang tajam. Halaman 206-207 menggambarkan pengorbanan Tatta untuk dimakan ular demi hidup Naradatta dan ibu Chapra. Pada halaman 210, nilai pengorbanan itu seperti sia-sia, sebuah olok-olok atas "kebodohan" Tatta.
Banyak kematian terjadi di jilid pertama. Naradatta pun mengalami kejatuhan, ia hidup bagai hewan. Semua terjalin menjadi jaring plot yang memengaruhi langkah-langkah Siddharta remaja di jilid 2. Pada jilid 2, Tezuka menampilkan bahwa titik balik Siddharta menjadi Buddha tidaklah terjadi begitu saja. Prosesnya panjang dan berliku, bahkan sudah terjadi sejak Siddharta muda, ketika ia bertemu dengan Tatta (yang sudah dewasa). Versi yang terkenal, tentu, adalah Siddharta mendapat pencerahan saat ia telah menikah dan "tiba-tiba" berjumpa segala penderitaan di luar istana. Versi Tezuka, Siddharta adalah pemuda berbakat gelisah, yang tak bisa terima begitu saja segala kenyamanan hidupnya sebagai seorang pangeran.
Karakterisasi dan plot dari epik fantastis ini begitu kuat sehingga berbagai ke-nyentrik-an komik ini (misalnya, cameo Prof Ochanomizu dari Astro Boy pada Buddha jilid 1, hal 307) tak jadi mengganggu, malah menambah daya tarik.
Juru cerita ulung
Sekilas lihat, teknik dan gaya gambar para karakter rekaan Tezuka dalam Buddha agak ketinggalan zaman. Tetapi, sekilas lihat juga, biasanya, terasa ada sesuatu yang "aneh" dalam halaman-halaman komik karya Tezuka ini. Sesuatu yang menarik perhatian. Ketika kita mencoba membaca barang sedikit, maka "jebakan" itu pun bekerja: perhatian kita tersedot oleh cerita, dan tak lama, kita ketagihan.
Yang demikian itu terjadi karena Tezuka adalah seorang juru cerita yang ulung. Perangkat naratifnya yang utama adalah bahasa komik yang sinematis. Memang, sejak awal kariernya, ketika berumur 20 tahun (pada 1947), ia telah memiliki kesadaran penuh akan pengaruh film pada komik—dan memanfaatkan pengaruh itu dengan baik.
Tezuka mengaku, film-film Perancis dan Jerman yang ia saksikan sewaktu masih sekolah jadi modelnya dalam bertutur. Ia bereksperimen dengan teknik close up, angle yang berbeda-beda, dan menggunakan banyak bingkai/ panel untuk menggambar sebuah gerakan atau ekspresi wajah. Hasilnya, komik pertama Tezuka, Shintakarajima ("New Treasure Island"), setebal 200 halaman memberi pengalaman seperti "menonton film" bagi pembacanya. Tanpa promosi apa pun, komik itu terjual hingga 800.000 eksemplar pada masa terbit awalnya.
Secara khusus, Buddha seperti membulatkan sejarah 1.000 tahun manga: bermula dari lingkungan Buddha, digenapkan dengan sebuah epik tentang Buddha.
Hikmat Darmawan Pencinta Komik