Saturday, June 24, 2006
Lagi, Kurator Seni Dipanggil Polwiltabes
Belum lama ini saya baca sebuah posting di milis alumni Fakultas Seni Rupa & Desain ITB, (lagi-lagi) mengenai protes terhadap sebuah karya seni yang sedang dipamerkan, kali ini dalam sebuah Festival Seni di Surabaya. Ekspresi protes yg disampaikan melalui dialog (hingga sampai ke "diskusi panas") menurut saya masih wajar. Tapi protes dengan merusak karya seni dan mengancam akan merusakkan galeri, yg menunjukkan habisnya akal untuk berargumen (otak buntu, otot maju), tidak bisa diterima sebagai ekspresi orang beradab. Dalam kasus ini, juga sangat disayangkan bahwa panitia terkesan gamang dan tidak berani bersikap, sementara dalam surat panggilan utk si kurator pun tidak dijelaskan konteks "seni" terhadap karya yang dipermasalahkan.
Saya sendiri belum melihat karya seni yg diprotes itu seperti apa, jadi tidak bisa berpendapat secara spesifik utk karya tsb, dan pemikiran berikut ini sifatnya umum. Di tengah sibuknya mencurahkan konsentrasi utk hal2 lain, terjadinya preseden buruk ini sempat mengusik pikiran saya (makanya bela2in nge-Blog sebentar, supaya lega). Berjejal pertanyaan di benak, tapi intinya kira2: apa iya para seniman Indonesia harus selalu berpedoman pada pendapat "Silakan berekspresi, asal jangan sentuh2 subyek (yang kami anggap) sensitif!"? Kalau karya tidak bermaksud melecehkan, tapi ada juga penonton yg tersinggung dan merasa terhina, apakah ini salah si seniman (dan kurator)? Apakah galeri dan venue lain utk kegiatan/penampilan karya seni perlu warning semacam logo di atas, supaya mereka yg tidak siap membuka pikiran sebaiknya sama sekali tidak usah melihat saja? (Tapi lalu harus diletakkan di mana karya seni yg bertujuan menggugah pemikiran2 kasus2 sosial, budaya, politik, dll yg bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia?)
Anyway. Mudah2an kasus ini bisa diselesaikan dengan baik, tanpa usah berlarut2 meruncing ke masalah agama. Turut mengiringkan all my well wishes dan semangat utk Aminudin "Ucok" Siregar dan rekan2 seniman lain.
Logo diambil dari http://magickdream.com/artistic_expression/freedom.html
Berikut tulisan Aminudin TH.Siregar:
Teman-teman,
Meskipun berita kronologi dari panitia belum saya peroleh (ini menandakan ketidaksiapan panitia Festival Seni surabaya 2006 dan kacaunya koordinasi antara mereka mereka), akan saya ceritakan sedikit mengenai peristiwa tersebut dibawah ini:
1. Karya instalasi Andi Nursamsi berjudul "Tiga Alasan" (2006) terdiri dari peta Timur Tengah berukuran sekitar 1,5x2 meter yang bertuliskan kalimat syahadat dan dilengkapi dengan koordinat kilang minyak, lalu terdapat kolase foto-foto tokoh Islam seperti Osama Bin Laden, Saddam Husein, Ba'asyir dan sebagainya.Di depannya terdapat meja yang diatasnya diletakkan anak panah berikut busurnya (sekitar 2 meter dari dinding). Peta Timur Tengah itu diletakkan pada dinding galeri di Balai Pemuda Surabaya sebagai pameran seni rupa dalam ajang Festival Seni Surabaya 2006. Seniman, Andi Nursamsi, memang bermaksud untuk interaktif, artinya penonton dipersilahkan untuk memanah peta Timur tengah tersebut selama pameran berlangsung.
2. Konsep Andi Nursamsi adalah merepresentasikan bagaimana Amerika (dengan simbol senjata panah) melakukan agresi, imprealisme, ekspansi ke Timur Tengah dengan maksud yang tumpang tindih, yaitu antar kepentingan menguasai ladang minyak, alasan mencari biang kerok terorisme dan juga polirik keagamaan.
3. Sehari setelah pembukaan pameran (tanggal 4 Juni), saya (kurator) kedatangan seseorang yang dengan agresif mempertanyakan karya tersebut. Dia mengatakan bahwa karya itu melecehkan agama Islam. Bahkan dia berburuk sangka dengan (sedikit mengancam) bahwa kalau karya itu dilihat oleh FPI, maka pasti akan bermasalah. Pada malam itu saya terlibat argumentasi untuk membela karya Andi. Sampai-sampai kita berdebat mengutip ayat-ayat dan hadis Nabi Muhammad SAW. Dia keluar dari ruang sekretariat dengan ketidakpuasan karena (bagi saya, terus terang) dia kalah berdebat dalam soal agama. Bagi saya itu menjadi preseden yang kurang baik. Orang yang datang dengan peci ini konon bekas panitia FSS dua tahun silam. Malam itu, tidak ada satupun panitia yang mau terlibat dalam perdebatan tersebut, padahal mereka ada di ruangan sekretariat.
4. Ternyata benar, ketika saya sudah pulang ke Bandung, pada tanggal 6 Juni, saya ditelepon panitia yang mengabarkan bahwa pada tanggal 5 Juni (berarti persis sehari setelah saya berdebat dengan orang itu), karya Andi Nursamsi dikabarkan dirusak (diserbu) oleh sekelompok orang. Disini, situasi jadi simpang siur. Ada yang bilang pelakunya FPI, ada yang bilang Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Mereka menuntut agar karya itu diturunkan kalau tidak mereka akan melakukan pengrusakkan di galeri. Panitia yang panik, minta pertimbangan-pertimbangan dari saya. Saya kontak seniman dan kemudian lahir pertimbangan agar karya itu untuk sementara dikeluarkan selama beberapa jam dari galeri, atau minimal di lokalisir sedemikian rupa dengan tanda-tanda peringatan. Saya pun minta panitia untuk segera memotret kerusakan yang terjadi sebelum karya itu dicabut. Kejadian ini berlangsung pada sekitar pkl. 13.00. Panita juga meminta saya untuk mengirim sebuah tulisan yang berisi penjelasan tentang karya Andi Nursamsi.
Hari itu juga, masih tanggal 6 Juni, saya mengirim tulisan penjelasan sepanjang 3 halaman ke panitia. Sekitar dua jam kemudian, saya kontak ke panitia untuk menanyakan apakah mereka jadi menyerbu galeri. Dijawab oleh mereka "tidak". Maka segera saya minta panitia untuk memasang kembali karya Andi Nursamsi. Dengan naluri saya, pencabutan sementara karya Andi Nursamsi dimaksudkan sebagai taktik belaka bahwa kita pun serius merespon tuntutan mereka sekaligus untuk mencegah pengrusakkan yang lebih parah di galeri, walaupun kalau itu terjadi akan menjadi poin positif bagi kita. Dengan komunikasi via telpon, sesungguhnya saya sulit membayangkan situasi di Surabaya pada waktu itu. Pencabutan dan pemasangan kembali karya Andi Nursamsi hemat saya merupakan langkah untuk tarik ulur dalam konteks emosi.
5. Ternyata, gerombolan yang membawa-bawa agama itu malah mengadu ke POLWILTABES-Surabaya.
6. Hari Selasa, 20 Juni 2006, saya menerima fax dari POLWILTABES-Surabaya berisi panggilan untuk menjadi saksi dalam perkara tindak pidana mengenai pernyataan permusuhan terhadap agama, menyatakan perasaan bermusuhan sesuai dengan pasal 156 jo 157 KUHAP.
Anehnya, tidak disebutkan dengan terang konteks tindak pidana tersebut. Tidak ada istilah 'karya seni', 'pameran apa', 'dimana', 'oleh siapa', dan sebagainya.
teman-teman, demikian penjelasan saya.
Doa'kan urusan ini lancar.
Salam,
Aminudin TH.Siregar
Labels:
klipping
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Iya Ta, mungkin tepat juga pemikiran itu: klo ga siap mending ga liat :D hal itu gw alami waktu pertama kali liat karya Antonio Blanco di Ubud. Karya-karya yang syur itu bisa ditafsirkan macem-macem kecuali kita bisa tetap berpijak pada rel keindahan seni.
ReplyDeleteYeah, bukti laen dari ketidakbecusan Polisi dalam menjaga keamanan. Kenapa gak dituntut balik aja dengan kasus pengrusakan? Urunan sewa pengacara yang bagus gitu?
ReplyDeleteLagi lagi ya 'Ta, dipasung nya karya karya seni seniman kita oleh pola pikir yg sangat picik... bener² ironis deh... Moga² seni endo bisa lebih maju tanpa ada sensor kemunafikan... Hidup seniman endonesia...
ReplyDeletelha wong,nggak tau konsepnya apa kok ngeyel...kepingin bikin rusuh aja orang-orang seperti ini.
ReplyDeleteJadi inget baru baca di Kompas kalo Gus Dur punya ide membubarkan FPI.
kasus2 sebelumnya yg langsung teringat adalah "pinkswingpark" (sampai kurator terpaksa menutup bienalle sebelum berakhir) dan pembakaran karya seni instalasi tisna sanjaya di bandung.
ReplyDeletekadang2 kepikiran juga, apakah karya seni yg mendapat reaksi semacam ini berarti telah sukses menyampaikan pesannya? atau terbukti berhasil mengeluarkan 'asli'nya pihak2 yang terkait dalam tema sebuah karya seni?
Iya itu mungkin maksud Ucok waktu bilang (di point 4) "..sekaligus untuk mencegah pengrusakkan yang lebih parah di galeri, walaupun kalau itu terjadi akan menjadi poin positif bagi kita" yg dapat menegaskan bukti tindak pengrusakan.
ReplyDeleteCoba liat nanti gimana perkembangan kabar ini; minggu depan ini Ucok ke Surabaya ditemani Goro.
hehe.. gue banyak liat karya2 provokatif di museum2 sini. pernah ada pameran temporer di stedelijk museum (museum of modern arts) di amsterdam, yg salah satunya menampilkan lukisan berjudul "jesus f***ing christ!" (tapi tanpa sensor bintang.. hahaha). tau kan, itu exclamation mark yg sering kita denger di film2. karya dgn judul tsb merupakan sebuah lukisan yg secara gamblang memperlihatkan jesus dan christ (gimana coba) sedang melakukan hubungan badan. dari semua karya seni nyeleneh yg pernah gue tonton di sini, itu yg paling sensasional buat gue. yang protes mungkin ada, tapi nggak sampe nuntut, apalagi ngerusak.
ReplyDeleteudah dibilangin padahal, tapi tetep aja ngeyel.
ReplyDeletememang susah kali ya, kalau seseorang hanya bisa mengapresiasi karya seni hanya dari satu sudut pandang saja, bukan berdasarkan berbagai aspek lain. lebih repot lagi kalau si orang itu ngotot merasa paling benar dan mau menang sendiri.
*sigh*
ReplyDeleteNah kejadian lagi.. bukan porno tapi merasa pelecehan agama. RUU-APP belum rampung dan masih bertikai.. sekarang akan muncul tuntutan lain.. SENI-SARA.
ReplyDeleteMasih teringat uraian Bang Ucok saat pertikaian Pinkswingpark.. bahwa kegiatan berkesenian di Indonesia masih sangat bias. Pemerintah masih sangat rendah kepeduliannya akan kegiatan kesenian, terutama kesenian masa kini (bukan tradisional). Akhirnya lenyapkan mata pelajaran kesenian di pendidikan nasional. Kesenian hanya menjadi sempalan "hobby" saja. Kegiatan yang tidak menjadikan apa-apa kepada manusianya. Apa benar seperti itu?
Saya suka galeri, apalagi galeri yang menampilkan karya-karya seniman yang mempunyai gagasan atau konsep yang sangat dahsyat. Tidak sedikit saya menemukan itu di Indonesia, sayangnya yang peduli dan tertarik dengan hal ini ya orangnya itu-itu aja. Padahal ketika saya ingat perkataan Bang Ucok, bahwa sebetulnya galeri adalah sebuah laboratorium "rasa". Di sana seniman bertindak sebagai pihak yang melontarkan stimuli rasa kepada pengunjung, dengan dampak : pengungjung akan mendapatkan "stimuli" dari apa yang dia rasakan (sensasi) baik itu apa yang dilihat (mata) di dengar (suara) dan dipegang (rasa sentuhan). Semua sensasi indera tadi akan masuk ke otak kita lantas berkecamuk dengan segala pengalaman kita. Saat itu lah kita merasakan sesuatu. Sampai dititik itu.. karya tersebut telah berhasil "mencuri" perhatian pengunjung galeri.
Bagaimana jika karya tersebut bisa menimbulkan pertikaian? porno atau SARA misalnya. Nah disinilah letak kebijakan panitia dan kurator. Mereka yang berhak menentukan siapa seniman yang akan tampil dan siapa pengunjung yang boleh datang. Mengingat ini adalah laboratorium, tentunya akan ada aturan-aturan di dalamnya.. aturan yang paling liar adalah.. melepaskan segala aturan kepornoan dan ke sara-an. Dengan asumsi semua pengunjung sudah men-set-up isi pikirannya bahwa ini adalah sebuah objek yang akan menstimuli kita.
Masih spt yg Ucok bilang, laboratorium kedokteran melakukan bedah mayat. Mereka mengeluarkan dan meng-acak-acak isi perut si mayat. Tindakan ini adalah sangat brutal dan diluar norma-norma kemanusiaan dalam menghormati jasad manusia yang sudah mati. Apa iya seperti itu? TIDAK... laboratorium kedokteran melakukan ini demi sebuah gagasan dan konsep dari kedokteran, yang misinya sangatlah baik.. menemukan kesembuhan lewat cara-cara ini. Orang awam yang tiba-tiba masuk ruang bedah.. mungkin akan gamang, lalu panik, muntah, dan lari sambil menghardik. Apa iya lantas dia boleh melakukan pengrusakan terhadap laboratorium tadi? Jelas TIDAK.
Kembali ke GALERI, seniman yang melakukan unjuk karya di sana tentu mempunya ekspektasi respon dari pengunjung yang datang dan melihat. Ketika ada reaksi atau kecaman terhadap apa yang dilihat dari karya Andi, seharusnya dibahas lantas dijelaskan.. bahwa kebencian anda-anda itulah yang menjadi "goal" dari gagasan si seniman. Bahwa si seniman ingin mengangkat "benci" tadi lebih gamblang.. yaitu benci terhadap otoritas Amerika terhadap negara-negara di Timur Tengah. Sayang.. ide dan gagasan tadi nampaknya tidak sampai pesannya kepada beberapa orang pengunjung, yang terjadi malah kesalah pahaman.
Sampai kapan pun, keberadaan seniman dan karya seninya akan terus seperti ini jika pemerintah tidak ambil kepedulian. Seni memang bukan cuma seni rupa, tapi ada juga seni sastra, seni tari dan seni musik. Jangan terkecoh dengan industri.. industri musik berbeda dengan seni musik. Semoga kejadian ini menjadi satu peringatan lagi kepada pemerintah akan perlunya kepedulian kita kepada kesenian
Makanya kita juga harus bisa menyimaki dari ujung ke ujung nih, udah tahu bahwa budaya kita budaya NANGKA (Nanggung Kakak..) dimana semua jadinya bias, satu sama lain bisa saling mencampuri dgn kebenaran2 semu, bukan malah tambah dewasa tapi malah menjadi kekanak-kanakan terus (Otak tumpul, Otot maju) golongan yg ngetrend saat ini, Sebuah bukti kemunduran bangsa, 200 tahun lagi kebelakang, padahal negara kita belum kesebut negara maju diantara tetangga sekalipun.
ReplyDeletebayangkan, mungkin pameran pameran tertentu harus diberikan symbol dalam kuratorialnya, semacem kita nonton film; ada kriteria dan logonya seperti : pop corn, kepalan tangan, bibir pedas, x, xx, xxx, jadi mungkin kita bisa menentukan posisi kita dimana.. karena masyarakat dewasa akan lebih pandai menempatkan diri, tidak memaksakan yang lain, apalagi merusak.
Maaf nih, dengan berat hati memang tidak semua seni bisa sejalan dgn Agama kalo mau di kait-kaitkan, namun jangan menjadi arogan pula Agama memaksakan dirinya untuk pembatasan kebebasan berkesenian, karena pelaku seni punya tanggung jawab sendiri. Kalo Agama peduli tentu dgn dewasa cukup dgn melayangkan surat concern nya atau sebaliknya, yang jelas masing masing bisa berjalan dan melakukan tanggung jawab masing2, sisanya.. kan ada Akhirat! kalo kalian percaya.
Janganlah saling memaksakan, ada seni yg maksa, ada agama yang maksa, ada rakyat yang maksa, ada suami yang maksa, istri yang maksa.. pasti nggak bener hasilnya. Apalagi maksa tanpa rencana, otakudang namanya.
Yang merasa hebat di dunia seni, Yang merasa hebat beriman di jalan agama, walloohu alam.. janganlah menyombongkan diri terhadap satu sama lain, dan itu adalah sebab dari..
"Mengapa Manusia Suka Melampaui Batas!"
kalau dipanggil polisi aku kira gak masalah, kan intinya cuma menjelaskan saja. jadi sesuai kronologi ada acara perusakan. kejadian ini heboh, lalu dilaporkan. polisi bertindak untuk mengusut masalah ini. begitu saja kan ?
ReplyDeletekalau terus pakai acara larang melarang, tidak diijinkan ini itu, dihukum gak jelas, nah itu baru masalah.
sekedar informasi, panggilan dr polisi ini sifatnya hanya mengulang laporan pihak yg mengadu.
ReplyDeletejadi kalo si pelapor tdk menyebut konteks pengaduannya apa (dlm hal ini karya seni X di pameran Y), maka tdk akan tertera dlm panggilan itu. :(
jadi inget siapa tuh seniman amerika yg hobi moto penis. kalo ga salah namanya mapplethorpe. kuratornya dibenci abis2an ama masyarakat kota tmpt pameran. pdhal sebetulnya gampang kan, kalo baca review pamerannya ato liat katalognya kira2 ada yg bakal gak disuka, ga usah dateng. kok pake ngerusak.
menurut saya sih.. bukan dipanggil polisinya yang jadi masalah.. tapi pengunjung galeri yang gak mau ngerti dan melakukan tindakan brutal yang jadi masalahnya :D
ReplyDeleteGak suka dengan karya orang saya kira hal wajar.. begitu pun ketika ada karya yang dirasa "menyinggung" agama atau suku tertentu.. itu pun wajar dilaporkan ke polisi. Yang menjadi gak wajar kan.. tindakan butal sepihaknya :D yang pasti akan bikin resah
Nah.. jadi inget juga sama Spencer Tunick, seorang photographer yang kontroversial bikin foto penduduk bergelimpangan di jalan nude. Jangankan saat pameran, saat cari model sukarelawan, saat pemotretan, dan pameran pun dikecam dan di demo. Banyak orang Barat pun yang tidak bisa menerima konsep berkeseniannya.
ReplyDeleteSatu lagi, Damien Hirst.. seniman muda Inggris yang tampil kontroversi dengan memajang potongan-potongan badan hewan (sapi dan kuda) terpilah-pilah dalam kaca. Di demo karena dianggap menyiksa hewan.
Lepas dari BENAR - SALAH atau BOLEH - TIDAK BOLEH.. semua terjadi di galeri manapun.. yang tidak terjadi adalah : tindakan rusuh, brutal, dan vandal saat keberatan akan karya tersebut.
udah tabiat, tul. apalagi ngeliat banyak org berkelakuan serupa ga ada yg nindak. makanya tambah berasa di atas angin . kalo ada yg ga sesuai ama pendapat dia, hajar langsung wae.
ReplyDeleteudah ngerusak, eh, malah ngelaporin orang ke polisi lagi. kayak tindakan ngerusaknya ini bener dan dilindungi UU. :D
ReplyDeleterumit yah hukum di negara ini hehehehe...
ReplyDeletemas motul...bikin postingan sendiri tentang ini gimana...?
ReplyDeletenanya sama pemilik blog..
ReplyDeletekeberatan ngga kalo post ini dikirim ke mba Una dari Koalisi Perempuan, temen gw ada yang tertarik ma blog ini & bisa dijadiin bahan pertimbangan ke RUU APP nantinya..:D stok persenjataan untuk counter, kalo ternyata yang jadi dasar agama bisa jadi permasalahan..
jadi bahan pertimbangan pansus juga nantinya.
semoga..;p
kalo boleh, japri yah..^^
Aduuuhhhh... kapan sih mereka bisa ngeliat itu "hanya" sbg karya seni... Itu orang2 perlu di cuci bersih kepalanya so bisa ngeliat satu hal from different angle ngga cuma dari angle cara berpikir yg dangkal saja... Aduh aduh...
ReplyDeletemasalah utamanya, otak mereka ngga nyampe kesitu.
ReplyDeletesilakan; entry ini di-post utk "everyone", jadi isinya memang utk bebas diakses siapa pun.
ReplyDeleteditinggal seharian, ternyata banyak tanggapan menarik. trims ya, apalagi yg membahas ttg bahan2 pembanding dengan kasus2 lain dan ttg performa hukum di indonesia. banyak yg bisa dipelajari dari situ.
ReplyDeletemudah2an orang indonesia makin mengerti bahwa Seni itu bukanlah sekedar hiasan, atau alat berdandan utk tampil cantik, atau milik museum. Seni adalah juga penggugah nurani, sumber inspirasi, dan milik semua orang.
Jadi inget juga kasus pembunuhan brutal seorang sineas Belanda, Theo van Gogh, gara2 filmnya yg berjudul "Submission". Sebuah contoh karya seni yg mengakibatkan kematian si seniman, akibat tindakan kelompok yang keberatan akan karya tsb. Makanya jangan hanya nyalahin pihak Belanda kalau jadi makin ketat menyeleksi pendatang :(
ReplyDeletehmm.. jadi kalo panggilan polwiltabes ini di luar konteks festival seni, galeri seni atau karya seni (yg dirusak) itu, berarti si pelapor mengadukan ucok selaku apa ya.. (pendebat agama? saksi kerusuhan? ...?)
ReplyDeleteiya, aku pernah nonton dokumentary about this story di SBS... so things like this can happen anywhere... *sigh*
ReplyDeleteIde bikin film ini kan dari Ayaan Hirsi Ali. Aku rada curiga kalo si Hirsi Ali ini enggak memberitahukan konsekuensi dari aktivitas seni ini pada van gogh. Jadi dia pake tangan ketika untuk menciptakan sebuah tragedi. Sementara posisi si Hirsi Ali sendiri selamat. Terus terang aku rada rada kurang simpatik dengan mbak Hirsi Ali satu ini. Terutama aku pengen tahu motivasi dia dalam sementara aktivitasnya.
ReplyDeleteApalagi setelah ditembang Rita Verdonk, dia masuknya ke tim American Enterprise yg kata orang orang aktipis sebagai tempat yg agak "&*^*&^" .... ya, gitu gitulah ...
Kecuali kondisi dia, emang aslinya rada rada sedih, kayak keluarganya Irshad Manji, yg memang muslim India, yg etnis india ini mendapat persekusi di Uganda sana (sama seperti etnis tionghua di Indonesia). sehingga kudu lari keluar negeri - Kanada.
Sama, Mas, terutama setelah kebohongannya terbongkar (kasus dengan Verdonk itu, lah.. Verdonk sendiri juga nyebelin, tapi ini subyek lain :D). Dia sengaja ngajak Theo sebab tau nggak ada sineas lain yg se-mbalelo Theo. BTW Theo dulu juga sering bikin orang marah: dia nggak sungkan2 membantai orang dengan kata2 dan pendapatnya dalam acara2 ngobrol dan wawancara di TV.
ReplyDeleteTapi apakah ini alasan yg cukup utk menghabisi nyawa seseorang dengan keji? Apakah ini membenarkan tindakan yg main hakim sendiri, merasa jadi tangan tuhan?
Back to topic (may still refer to the case of Van Gogh): seniman berbicara lewat karya seni, lewat stimuli pada indera dan nurani manusia. Apakah setimpal bila reaksinya berupa 'bicara' lewat tindakan brutal terhadap (karya) si seniman?
*sigh* SEBEL bgt denger kayak gini...
ReplyDeletePadahal kita semua tau betapa hebatnya Tuhan itu *semua agama pasti mengakui hal yg sama* dan Tuhan yg hebat itu... TIDAK BUTUH dibela manusia!!
Dan semua agama pasti setuju kalo segala bentuk pengerusakan & kekerasan adalah DOSA!! ~>.<
kalo menurut suratnya si ucok sih ini yah: saksi dalam perkara tindak pidana mengenai pernyataan permusuhan terhadap agama, menyatakan perasaan bermusuhan sesuai dengan pasal 156 jo 157 KUHAP.
ReplyDeletethe legend (of fool) continues
ReplyDeleteno, they're not fools.
ReplyDeletethey're idiots...;p
tentu tidak. dan tindakan kekerasan adalah sesuatu yg tidak disukai. tapi kita belajar dari demografi masyarakat. di eropa toh sudah jamak di ketahui bahwa wilayah yg dihuni muslim kulit hitam sering ada tidnakan kekerasan.
ReplyDeletedari demografi yang sudah tipical ini, dan ada "the other atau liyan" yang mencoba melakukan tindakan yg sifatnya blasphemi pada simbol kepercayaan yg dihormati, ya saya kira lumayan nekad. (perlu diingat tidak sampai 100 tahun yg lalu di eropa masih bisa menimbulkan gejolak berdarah, bahkan di saat yang sama di yugo juga terjadi pembantaian antar etnis, gara gara trigger sepak bola - serbia-kroatia, dan pelanduk - bosnia, jadi korban paling parah).
saya khawatir theo van gogh tidak memahami konsekuensi hal ini, ketika ayaan hirsi ali menawarkan proposalnya. lebih lanjut saya juga mengamati, bagaimana aktivitas mbak hirsi ali berikutnya di amerika sana.
kalau hanya sekedar flaming dan mencari sensasi, ya tentunya agak sumir juga. karena figurnya akan menjadi pukulan negatif untuk kalangan yg ingin melakukan pendekatan moderat. masa untuk maju harus pakai acara berdarah darah dulu sih hueheheheh ...
katanya harus belajar dari kisah kisah penuh darah jaman dark ages dulu ... tapi kok sepertinya, sering sekali orang orang dunia dihadapkan pada tekanan, untuk mengalami pengulangan sejarah berdarah darah ini.
gak ada gunanya dong, belajar sejarah ?
di blog saya, saya pasang lagi tentang satrapi dan masa kecilnya yg dituangkan lewat Persepolis untuk pembelajran kita, supaya tidak perlu mengulang sejarang 20 tahun lalu di Iran.
SENI BERAGAMA
ReplyDeleteseni dan agama, sebenarnya memiliki ruang batin yang sama-sama "sakral".
agama, hadir untuk mengatur ekpresi penghambaan dan cinta anak manusia kepada Tuhan, segingga tercipta iklim sejuk dan damai di bumi. sementara seni hadir sebagai ekspresi murni yang lahir dari naluri manusia, bertingkat dan demikian pancaroba, tanpa ataupun dengan agama.
Dunia dihuni oleh manusia, dan sebagian besar ia perlu, butuh untuk beragama. Maka setiap ekspresi, seperti; marah, muak, sedih, nangis, berteriak, menyanyi, berdendang, menggambar, cinta secara otomatis akan dirawat oleh kesadaran keberaagama itu. sehingga seni menjadi agamis disini.
dan bagi yang "acuh" terhadap agama, barangkali seni yang lahir akan lebih bebas dan merdeka, namun bagaimanapun, bentuk seni apapun yang ekspresif dan inspiratif, sejatinya harus memahami kondisi, masa serta karakter kebanyakan manusia yang hidup didalamnya.
NAH! masalahnya adalah, tidak sedikit yang beragama itu begitu dangkal dalam memahami teks suci yang diturunkan lewat sang Rosul. Membaca dan memahaminya dg tergesa-gesa, ada semangat sih, namun justru emosi yang meletup-letup itu malah menghadirkan ruh agama begitu "menegangkan".
yang lahir kemudian, seni patung haram, pelukis dan para penggambar mahluk hidup, kartonis akan masuk neraka. Mereka mendemokan hadits nabi "al-Mushawwiruuna finnar", padahal al-Mushawwirun disitu bukan berarti para pelukis ataupun kartunis, akan tetapi di maksdkan untuk para penggambar wajah Tuhan, dalam kanvas ataupun bahkan dalam hati saat keheningan khusu' sembahyang.
karena hanya Tuhan, yang tak mampu tedeteksi oleh arsiran pengetahuan apapun.
salam kenal
MOHON MAAF kalau kepanjangan yah :)
Mohammad Soedarji
"bagian noktah seni Tuhan"
I think it's about time to put a stop to this kind of so called "islamic attitude".. a bogus is still a bogus.. mari kampanye anti bangsat sok islam?
ReplyDeleteItu yang saya tangkap dari sejarah, dark ages itu terjadi berulang kali, it's like a vicious circle. Witch trial kan terjadi di abad 12 trus diterusin lagi abad 16 the Spanish Inquisition. Mirip teori tubular cycle di pelajaran seni estetika yang lagi nerangin fashion, makanya selalu terjadi pengulangan gaya dari beberapa dekade ke dekade lain (Retro). Kalo kasus ini tiap 4 abad sekali mungkin ya? :))
ReplyDeleteMemang percuma mencoba berdebat / try to reason with these people. Maap bukan sombong, tapi cuma beda cara menghadapi persoalan aja. These are the eternal human ape, kalo dibilangin ga mempan ato ga ngalah trus akhirnya pake kekerasan fisik. Saya sering mengalaminya, pernah saya curhat di blog saya (bukan promosi ya) Berdebat dengan mereka sama saja dengan mencoba mengajari keledai berbicara bahasa manusia. Burung beo aja masih bisa. I wish the solution will be easy. I wish that we can find a good lawyer & win. Or ask some mafia do the petrus thing on them. Mungkin itu satu-satunya cara menghadapi mereka. Kalo ngajak berdiskusi or berdebat, it's just a waste of time. Bener banget tadi ada yang bilang otaknya ga nyampe. Mereka menggunakan kekerasan, we have to counter attack them with higher authority.
Or just pray for them, wish them peace in their hearts, send them sincere unconditional love and hope for no more attrocities ( yang ini susah banget hahahahaha..... tapi worth a try sometimes when you are really reaaaaaallllllyyyyyy tired of aching)