Tepatnya, tak ada hidung di gambar wajah ”Tita” jika sedang menghadap depan (”frontal face”). Kalau Tita menggambarkan ”Tita” dari samping, ada sih hidung itu—mungil, memberi tanda kecil bahwa ”Tita” adalah karakter tiga dimensi.
Tita Larasati saat ini adalah seorang dosen ITB. Pada tahun 1995, ia mendapat kesempatan magang selama setahun di Jerman. Jauh dari orangtua dan keluarga, Tita memulai kebiasaan membuat graphic diary.
Ia menggambar apa saja yang ia alami, kapan saja ia sempat, dengan kertas A4 dan gelpen (Pilot G-1 warna hitam), lalu mengirimkan graphic diary itu dengan faksimile ke keluarganya di Indonesia. Kebiasaan itu berlanjut, baik ketika ia balik ke Indonesia maupun ketika ia keluar negeri lagi, untuk melanjutkan studi desain industri ke Belanda, pada tahun 1998.
Di Belanda, kegiatan ngomik dan bertutur-grafisnya lebih terasah. Belanda adalah salah satu negeri komik terpenting di Eropa Barat, bahkan dunia. Kita, misalnya, akrab dengan komik-komik Belanda (diimpor tak resmi—tanpa copyright) lewat majalah Eppo yang menghimpun komikus-komikus Belanda, seperti Martin Lodewijk (Agen 327, Johny Goodbye, serta menulis beberapa episode seri Storm yang dilukis Don Lawrence), Hans G Kresse (Vidoq, Alain d’Arcy), dan Peter de Smet (Sang Jenderal). Belakangan, kita juga mengenal Peter van Dongen, yang membuat komik berlatar sejarah Indonesia, Rampokan Java dan Rampokan Celebes.
Tita mengenal Peter secara pribadi di Belanda. Rumah Tita di Belanda dekat dengan toko komik sekaligus museum komik internasional terkemuka, Lambiek. Kedekatan fisik dan batin dengan Lambiek ini membuat Tita juga dekat dengan perkembangan mutakhir seni komik dunia.
Di milis komik alternatif dan blog-multiply-nya, Tita sering cerita pergumulannya dengan novel-novel grafis terbaru atau perjumpaannya dengan komikus alternatif kelas dunia, macam Chris Ware (Jimmy Corrigan). Persinggungan langsung dengan perkembangan mutakhir seni komik dunia membuat komik-komik Tita menjadi warga dunia juga.
Spontan, ”lain”
Gagasan bahwa komik adalah medium untuk mendedahkan sepenuhnya diri pribadi seorang seniman bukanlah hal yang lazim di Indonesia. Graphic diary dan komik otobiografis bukanlah seni yang banyak dilakoni para komikus atau pegrafis kita.
Komik di Indonesia, baik fiksi maupun nonfiksi, lebih banyak jadi medium bercerita yang konvensional: mementingkan narasi verbal dan dialog, mementingkan plot (biasanya plot maju-lurus), penataan panel yang umumnya konservatif (bingkai kotak-kotak tersusun rapi), dan umumnya bertujuan menghibur atau memberikan informasi kepada pembaca. Satu lagi konvensi komik kita yang lazim: komik adalah bacaan hiburan anak. Karenanya, komik-komik Tita terasa ”lain”, bahkan ”asing”.
Komik-komik Tita berangkat dari kebutuhan pribadi mengingat dan berkabar, lalu tumbuh menjadi serangkaian seri komik yang sangat personal. Modus pembuatannya sangat spontan: hanya kertas dan pulpen, tanpa sketsa—dan, memang, gaya gambar Tita seperti sketsa. Tanpa naskah atau story board. Tanpa desain karakter, kecuali komitmen pada gaya kartun Barat yang melakukan penyederhanaan terhadap realitas, tetapi tak pernah beranjak jauh—bahkan ingin selalu mendekati—realitas. Tita mengalami sesuatu, lalu ia mewujudkannya dalam garis di atas kertas setiap kali ia punya waktu (saat menunggu sesuatu atau saat dalam perjalanan). Begitu, setiap hari.
Tita tak mendiskriminasi pengalaman, amatan, atau peristiwa yang terlintas di hadapannya. Hidup sehari-hari orang biasa seperti Tita, Anda, dan saya tak dipenuhi oleh petualangan atau peristiwa dramatis. Kita umumnya akan mengabaikan saja yang sehari-hari dan ”biasa-biasa” saja itu, menganggapnya tak menarik, dan melarikan diri darinya ke (misalnya) dunia sinetron, reality show, infotainment, yang serba berlebihan dan ”ajaib”. Seniman macam Tita merengkuh keseharian itu, menganggapnya menarik, menandainya, mengabadikannya.
Dan Tita sehari-hari adalah seorang pelancong iseng, istri Sybrand (seorang Eropa), ibu Dhanu dan Lindri, mahasiswa program doktoral dan kini telah menjadi dosen pegawai negeri. Sepuluh tahun ia tinggal di Belanda, mengalami Eropa luar-dalam, dan kini kembali jadi warga Bandung, selalu waswas tiap bersepeda ke kantor karena jalanan Bandung tak seramah jalanan Eropa pada pengendara sepeda. Dengan sendirinya, ketika Tita mengomikkan kesehariannya apa adanya, maka komiknya menampik kelaziman ”komik sebagai hiburan anak”.
Topik komik Tita mencakup pengalamannya hamil dan membesarkan anak; juga, kadang, pikiran-pikirannya tentang bangsa. Artinya, komik ini sedewasa pembuatnya. Komik dewasa, yang dicipta secara dewasa, sayangnya, masihlah aneh bagi pasar komik kita. Belakangan, memang mulai terbit komik-komik dewasa dan nyeleneh. Misalnya, novel grafis terjemahan dan terbitan Gramedia dan KPG. Atau beberapa gelintir komik underground dari Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung.
Lebih jarang lagi, komik lokal yang sepersonal ini—yang sepenuhnya, dan kontinu, merekam dengan rinci dunia pribadi sang komikus. Saingan terdekat Tita adalah seri strip Old Skull, karya Athonk di Yogya yang bersemangat punk, khususnya serial pengalamannya di penjara setahun gara-gara bawa ganja. Komik Lagak Jakarta karya Benny & Mice tak sepenuhnya bisa dikategorikan graphic diary karena masih mengandung kehendak menjadi komik fiksi.
Athonk memilih defamiliarisasi cukup ekstrem ketika menggambarkan dirinya di atas kertas: sosok berwajah tengkorak dengan rambut gaya mohawk. Tita memilih gaya kartun yang lebih lunak.
Tentang nir-hidung itu
Gemar berbaju kotak-kotak, santai, berbadan agak gempal, dan wajah bulat tanpa hidung jika sedang menghadap depan—itulah karakter kartun ”Tita”. Sengaja atau tak sengaja, karakter wajah ini mirip dengan karakter Smiley.
Smiley adalah perwujudan yang distilisasi dari wajah tersenyum manusia, biasanya berupa bulatan kuning dengan dua titik sebagai mata dan sebuah kurva setengah lingkaran mewakili mulut tersenyum. Smiley menjadi ikonik, termasuk mendapat ”panggilan sayang” Smiley ketika dengan cepat merasuki medan budaya pop dunia pada 1970- an.
Emotikon, dan Smiley sebagai emotikon, menunjukkan bahwa ada kelenturan luarbiasa dari ikon yang mereduksi wajah manusia menjadi perkakas minimalis dua titik dan garis ini dalam mewujudkan rentang emosi manusia yang kaya. Model minimalis ini telah muncul sejak awal sejarah komik/ kartun modern.
Kelenturan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Tita saat menggambar ”Tita”. Pilihan pada model ikonik Smiley untuk menggambar wajahnya sendiri sedikit banyak menggambarkan pilihan artistik Tita. Ia memilih gaya kartun, yang hakikatnya menyederhanakan obyek atau kenyataan yang digambarkan hingga ke garis-garis esensialnya saja.
Kartun juga kadang berarti melebih-lebihkan unsur tertentu objek dalam gambar. Tapi Tita lebih menekankan penyederhanaan, bukan hanya dalam menggambarkan dirinya sendiri menjadi berwajah mirip Smiley. Dunia yang ditemui Tita, yang ia pahami, yang ia tafsir melalui garis-garis gel pen-nya yang lincah dan spontan, adalah juga sebuah dunia yang disederhanakan, esensial. Apalagi ketika bidang graphic diary-nya adalah kertas A-4.
Dalam selembar kertas, Tita mencatat secara grafis berbagai kejadian yang ia alami dan tempat yang ia kunjungi selama sebulan. Tentu ini tak memberi ruang bagi penyusunan cerita dan penataan panel yang lazim. Sering kali bingkai kotak diabaikan dan kejadian dipilih momen-momen esensialnya saja. Tak ada ruang untuk plot, apalagi dramatisasi. Ruang-ruang kecil dimanfaatkan dengan maksimal sehingga halaman-halaman itu riuh rendah oleh garis.
Sejak tahun 2000, saat Tita pindah ke Amsterdam, ia beralih ke buku sketsa ukuran A-5. Bidang berbentuk buku ini walau lebih kecil dari kertas A-4 (atau, justru karena lebih kecil), sedikit memaksa Tita mengubah strategi visualnya. Satu aspek peristiwa bisa didalami, walau tetap disederhanakan. Jika sebelumnya komik Tita lebih berat sebagai seni grafis, dalam bentuk buku ini unsur kekisahan lebih mencuat. Komik-komik Tita periode inilah yang dipilih sebagian (amat kecil) dan dikumpulkan dalam Curhat Tita ini.
Curhat tanpa neurosis
Istilah ”curhat” (mengungkapkan perasaan dan pikiran—bahasa slang) menyiratkan keintiman.
Dalam buku ini, Tita mencurahkan pikirannya tentang polah lucu para pengguna kolam renang, lagak turis di Belanda, teman duduk di kereta, senam kehamilan, kepulangan ke Indonesia, naik angkot, tingkah lucu kedua anaknya—Dhanu yang menjanjikan akan mengirim kelapa ke semua teman sekelasnya di Belanda kalau sudah sampai di Indonesia, dan Lindri yang punya ”kiat” sendiri membangunkan ibunya (termasuk menyorongkan sandal ke mulut ibu). Tita mencatat juga benda-benda yang dekat dengannya: rincian tas ranselnya, makanan Jepang, sepeda, dan ”kematian” komputer kesayangannya.
Orang bisa bilang, inilah narasi kecil yang begitu diagungkan di zaman postmodern kini. Barangkali itu pula salah satu sebab Tita adalah komikus Indonesia yang kini dikenal di Eropa—ia menawarkan dunia Tita yang partikular dan hidup. Karyanya dipuji oleh seniman komik dunia, Eddie Campbell (From Hell, The Fate of an Artist): Tita’s charming and always engaging cartoons live in a region of the world of the comic strip that has not yet been taken by the neurotics.
Pujian ini bukan hanya jadi komentar terhadap komik Tita, tapi juga komentar terhadap dunia novel grafis atau komik alternatif masa kini. ”Region” yang dimaksud Campbell bukan wilayah fisik, tapi sebidang ranah seni komik yang khas, di Barat, yang saat ini didominasi komik-komik dengan gejala ”neurosis” (sakit jiwa). Model komik biografis dan graphic diary saat ini diisi oleh Robert Crumb, Harvey Pekar, Art Spiegelman, Lewis Torndheim, David Collier, Lat, James Kochalka, Chester Brown, dan banyak lagi jiwa gelisah lain.
Dibandingkan para komikus ”neurosis” kelas dunia itu, dunia Tita tampak lugu dan tanpa beban. Komik-komik Tita, seperti puisi-puisi Sapardi Joko Damono, memberi kita harapan bahwa kita masih bisa bahagia oleh hal-hal kecil.
Sayang sekali, mutu cetak yang kurang baik menurunkan mutu garis Tita di buku ini. Lain kali, semoga komik Tita bisa terbit dalam bentuk art book dengan standar terbitan Taischen yang terkenal ciamik dan penuh hormat pada seni visual itu. (Hikmat Darmawan, Pengamat Komik)
Congrats ya dear! It's a good article, too :d
ReplyDeletembak Tita heibaaatt!! ^_^
ReplyDelete*ikutan bahagia*
selamat ya.........................
ReplyDeletekeep on going on Tita...jangan lupa bikin workshop2 untuk anak2..biar banyak tumbuh bibit komikus yang lebih bervariatif dan segarrr..!
ReplyDelete*langsung ngedaftarin 2 jagoan gw*
ReplyDelete:D
Ta...ulasannya bagus ya..aku ikut seneng bacanya.
ReplyDeletePS...soo..jadi kenapa koq nggak ada hidungnya si Tita itu kalau ngadep depan?...*kekeuh penasaran*
selamat ya sepupu !
ReplyDeletetadi pagi pas baru buka koran langsung keliatan si artikel segede hohah ini
aku ikut senaaaaaang bacanyaaaaaa *hugs*
kayaknya kamu gak sepesek itu, dur !
ReplyDeleteiya keren banget tita, satu halaman besuaarrrr sekali. Selamat yaaaa
ReplyDeleteCongrats ya, Mbak Tita
ReplyDeleteKok tanpa hidung sih? Hahaha.
ReplyDeleteSelamat ya Ta
makasih say! i think so, too, many thanks to hikmat!
ReplyDeleteaww makasiiihhh!
ReplyDeletemakasih bang indra :)
ReplyDeletemakasih mbak! heuuu workshop lagi ya, seneng sih, jadi hayuuuk
ReplyDeletewah, kita tukeran jagoan aja yuk.. krucilsku juga bisa belajar banyak dari kalian! :D
ReplyDeleteeuh.. sebab fungsinya tidak signifikan, jadi digambar pun belum tentu berfaedah :P makasih yaa
ReplyDeletesepupuuu *hugs balik* makasiiihhh
ReplyDelete..nggak semancung sybrand...
ReplyDeletemakasih mbak olin :)
ReplyDeletethank you! :D
ReplyDeletebiar kadar buletnya keliatan =)) makasih ya sisc!
ReplyDeleteAku bangun langsung baca Kompas..en nemu artikel ini..
ReplyDeletepadahal kemaren malem baru baca Gatra juga nemu ulasan Curhat Tita..wah..congratz yah Mbak...
(tapi aku belum punya bukunya nih! hiks..di Gramedia ada yang jual gak yah?? atau udah bisa online order lagi?)
have a great weekend!
huaaaaaa!!! masuk koran teruuuuuuuuuuuuuuuuuussssss!!!!
ReplyDeletego tita gooooooooooooooooo!
yg curhat tita, di gramedia bandung mestinya ada. kalo di jakarta adanya di aksara sama togamas. kalo yg transition nggak ada di toko, cuma bisa pesen online.
ReplyDeletemakasih ya :)
mariiiiiiiii *sambil geret chikaradirghsa*
ReplyDeleteselamat ya..........
ReplyDeleteproficiat... artikelnya tadi udah baca di Kompas.. :)
ReplyDeleteudah baca di kompas tadi :)
ReplyDeletesukses Ta, ke depannya
selamat mbak Tita...ditunggu terus karya2nya...
ReplyDeleteWah... artikelnya bagus. Ini review ato wawancara? Review kayaknya yah? Pokoknya... Selamat yah!
ReplyDeletePS: Judulnya langsung membuat org pengen baca :))
Hebat!
ReplyDeletehttp://chipping-in.blogspot.com/2008/06/persona-tita.html
:) -eva
huaaa how flattering! thank you :)
ReplyDeletebener, ini review. judulnya nose.. eh, eye catchy ya :D
ReplyDeleteterima kasih :)
ReplyDeletehehe makasih mi!
ReplyDeleteterima kasih! :D
ReplyDeletemakasiiih.. sampe ketemu besok pagi yaa :)
ReplyDeleteselamat, ya, Tita. Graphic design lainnya kapan diceritakan di koran?
ReplyDeleteHi, Tita...Congrats ya...Nukilan "Curhat" yg panjang di Kompas Minggu. Sukses selalu ya. salam.
ReplyDeleteFyi, (to Michelle as well) di samping Aksara, sy juga sempat melihat "Curhat" dipajang di toko buku "TGA"- Mal Klp Gading3.
terrenyuh.....:D
ReplyDeletengiring binggah mba Tita
Keren lho ulasannya... Selamat ya! *makin gak sabar nunggu kedatangan Curhat Tita akhir bulan* ;-)
ReplyDeletetulisan bagus banget ta , thx for share
ReplyDeleteCongratulations yaa.. ta, emang patut dibanggakan seorang Tita, terimakasih jg udh share semuanya disini...
ReplyDeleteSemoga bisa dapet buku Curhat Tita di Jakarta..:-)
ReplyDeleteTadi langsung beli di gramedia .... he... he... Kata Afya : "ini kok mamanya lindri!"
ReplyDeletethanks infonya Pak..kebetulan saya tadi ke Gramedia Mal Ciputra..
ReplyDeleteternyata adaaa...udah beli nih bukunya...akhirnyaa.... =)
selamat, udah mantap menamcapkan kaki sbg komikus di indonesia.
ReplyDeleteesduren, pengen tau dong komentar esduren terhadap tulisan ini; terutama perbandingan yg dilakukan penulis dengan komikus lain (baik indonesia ataupun luar-indonesia).
mungkin nggak akan pernah, sebab saya nggak pernah ngedesain grafis dan bukan desainer grafis :)
ReplyDeletetrims yaa
terima kasih :)
ReplyDeletemau sekalian yg "transition" nggak? :D makasih yaa
ReplyDeleteit's my pleasure :D thanks!
ReplyDeletedi Gramedia Citraland Grogol Jakarta juga ada Mbak..udah beli nih tadi siang..hihihi...akhirnya...
ReplyDeletewaah makasih yaaa! makasih juga pak tonny :)
ReplyDeleteterima kasih juga, senang bisa banyak yg ikut menikmati cerita2nya :)
ReplyDeletesemoga berhasil :)
ReplyDeletehaha iya, kemaren asik deh nonton afya presentasi! aktif sekali! :))
ReplyDeleteelu malah ngasih gue kerjaan =))
ReplyDeletebentar ya, abis ini...
tulisan ini kurang lebih menjawab keraguan ketika "curhat" akan diterbitkan: apa ada yg mau baca? sebab referensi yang saya lihat selama ini, 'komik' memoir atau autobio-graphics dan sejenisnya itu selalu memuat kisah-kisah yang hebat, berat, dan penuh titik balik dalam kehidupan seseorang - bahkan tidak jarang menggambarkan masa kesengsaraan yang dialami si penutur cerita.
ReplyDeletesedangkan "curhat" kan isinya ringan2 aja, sehari2 banget. ramenya di mana. malah pernah kepikir, apa saya mesti mengalami hal signifikan dulu dalam hidup, baru layak menerbitkan sebuah 'picture book'? ternyata tidak. sebab ternyata ada banyak referensi lain (terutama karya2 para komikus muda di belanda) yang bobotnya mirip2 "curhat" itu. jadi makin yakinlah gue :D
ttg karya2 komik lokal, sebagai yg absen dari negri ini selama sekitar 10 taun, referensi saya pasti tidak sebanyak teman2 (terutama komunitas pembaca komik) di indonesia. jadi bukan jatah saya utk sok tau :P yang bisa saya bicarakan hanya yg pernah saya lihat via online ketika masih di belanda dan ketika sudah kembali ke tanah air.
teman2 dan kenalan2 saya tidak sedikit yg juga membuat gambar2 kesehariannya. tapi saya belum pernah lihat dalam bentuk yang diterbitkan dan didistribusikan secara komersil (baik di toko buku maupun online).
euh.. ntar kalo ada yg kurang gue tambah2in lagi. sementara segitu dulu :D
terima kasih esduren :)
ReplyDeletesama-sama robymuhamad :)
ReplyDeleteTa, ibu ikut seneng, meski ga disebut-2 lagi bahwa pertama kali yang memperbanyak n dibagikan ke keluarga, juga soal gen talented, hehehe.
ReplyDeleteSlamat ya Ta, semoga kariermu terus meningkat, tapi tetap harus rendah hati (tidak sombong) semua di dunia ini milik Tuhan.
Selamat ya, kmrn pas Pameran Produk Budaya Indonesia di JCC, saya beli komikmu yang "Transition". Really enjoyed reading it :)
ReplyDeleteAh ya mau sekaliii sebenernya, tapi Janti sdh berangkat atau belum ya?
ReplyDeleteiya ih ... kemarin nyesel juga nggak bisa datang. Jangan lupa "transition" + pin-nya yaaa......
ReplyDeletewoww.. cool.. i know a famous person!!!!... lucu juga ya judul liputannya.. padahal kan esduren punya idung? :D..
ReplyDeletehanya kadang-kadang :D
ReplyDeletebeda emang kalau yang nulis reviewnya adalah orang yang berprofesi sebagai da'i komik...:-)
ReplyDeletekritik hikmat yang di alinea terakhir ..:-) hehehe, biar kayak seri drawn quaterly.
Glad you enjoy it! Terima kasih :D Saya sendiri malah nggak kesampean dateng sendiri ke PPBI itu :(
ReplyDeletekata eddie campbell sih .. neurotics, ya dur ?
ReplyDeletetepat!
ReplyDeleteah ya, kritik di masalah fisik. kita masih terus nyoba2 nih.. :D
ya itu dia. padahal itu kan termasuk dia sendiri.. haha..
ReplyDeletehahahaha Tita bener. Maksude : graphic diary.
ReplyDeleteDasar kalo umur udah kepala 3, gampang lupa...
wooow, aku banga punya senior seperti mba tita ini, hu huuuy... :p
ReplyDeleteada sedikit foto2nya nih di MP-nya dhanu dan lindri.
ReplyDeletetitipan, beres, hari selasa yaa! :D
sebagai adik kelas, situ juga membanggakan.. aw awww... :D
ReplyDeleteTapi yang keseharian juga bagus loh, bikin pembaca bisa menghubungkan peristiwa sehari-hari dengan cerita mbak. Serasa sharing pengalaman aja kalo baca kaya gitu, jadi lebih memandang hidup dengan optimis. Tapi ga nutup kemungkinan juga ada yang ga dapet menghubungkan hidupnya dengan adegan2 di curhat ini. Ga masalah menurut saya mah.
ReplyDeleteTapi yang keseharian juga bagus loh, bikin pembaca bisa menghubungkan peristiwa sehari-hari dengan cerita mbak. Serasa sharing pengalaman aja kalo baca kaya gitu, jadi lebih memandang hidup dengan optimis. Tapi ga nutup kemungkinan juga ada yang ga dapet menghubungkan hidupnya dengan adegan2 di curhat ini. Ga masalah menurut saya mah.
ReplyDeleteini memang hal yang paling 'megang' di bacaan jenis apa pun: bahwa pembaca bisa relate to the story, atau pada karakter dalam kisah yang dibacanya.
ReplyDeletebesok kita ketemuan! jadi masih sempet nyelipin "transition" :D
ReplyDeleteselamat buat tita. baca tulisannya hikmat ini juga enak. btw. nanya nih: banyakan mana sih komikus belanda apa belgia?
ReplyDeletenah kalo soal banyak2an nggatau deh.. coba itung lewat hasil search di Comiclopedia.
ReplyDeletethanks za! :D
selamat, dan selamat ya taaaa *hugs* tulisannya hikmat membidik sisi yang tepat. ditunggu rangkaian "rekaman" berikutnya :)
ReplyDeleteUlasan yang sangat bagus! Bangga banget deh sama Tita :)
ReplyDeleteMudah-mudahan komik Tita juga akan membanjiri Malaysia dan mengalahkan Lat :) hehe. Pasti bisa!
Kalau msaalah kualitas cetakan, kan nanti ada cetakan ke-II atau ke-III, dsb.
kalau bisa bikin bahagia berarti "hal-hal" itu engga kecil (lagi) :)
ReplyDeletesoalnya lama di belanda, ik malah engga ngeh banyak komikus di belanda. taunya pada dari belgi meskipun dari daerah yg berbahasa belanda juga sih.
ReplyDeletesetauku sih yang pada nggambar di eppo itu dari belanda semua. kecuali don lawrence (pembuat storm dan trigan), yg aslinya inggris, tp dia menetap di belanda. selain yg terbit di eppo, juga banyak yg lain, yang hingga kini masih berkarya.
ReplyDeletetapi memang sih, karya2 komikus belgia lebih mendunia dengan tintin, asterix obelix, lucky luke, dll. meskipun di beberapa album, script dan gambarnya bekerja sama juga dengan para pekerja komik belanda. abis gimana lagi, deket banget, kayak jakarta-bogor :P
terima kasih G :) *bales huggsss*
ReplyDeletepelan-pelan cari jalur distribusi ke sana nih ;))
ReplyDeletethanks teij!
this is deep :)
ReplyDeletedengan hati gembira kita tunggu karya berikutnya......
ReplyDeletesiaaap, mas GP! :D
ReplyDeletetenik kersa yang 'transition' lho ta :) .... kemarin gak sempat ke pameran di jhcc....
ReplyDeletenang tiyas ono ten, telu. dhek'e kan sing ngedesain sampule :D
ReplyDelete'mahasiswa program doktoral dan kini telah menjadi dosen pegawai negeri' - kok dibilang masih 'mahasiswa program doktoral' sih - lha wong wis doktor jeeeeee.......
ReplyDeletehehe iyo sih.. ora weruh yakke...
ReplyDeleteAku senang baca buku Tita :) Makasih ya udah berbagi cerita di negri Belanda :)
ReplyDeletehehe terima kasih juga :)
ReplyDeletesaya baru baca koran minggu nih..
ReplyDeleteselamat ya...sukses terus..belum sempat cr bukunya nih
terima kasih :) bukunya, mau pesan online?
ReplyDeleteTita, hebat!!!
ReplyDeletejadi terpikir nih, PNS yg ngurus surat-surat dwikenegaraan bagaimana reaksinya yah begitu tahu siapa kamu sebenarnya =D
ini link dari kompas:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/15/01274624/mengapa.tak.ada.hidung.di.wajah.tita
haha, belum tau mungkin dia.. sampai suatu hari graphic diary saya ttg kepengurusan surat2 itu diterbitkan :P
ReplyDelete(thanks link-nya, sudah ada di judul entry ini)
Hai Ibu Doseeeennn... SELAMAT YAAAA ^__^ ditunggu kehadirannya di sekitar gw lagi hihihi *supaya bisa makan bareng lagi*
ReplyDeletesemoga ada kesempatan lagi.. hihihi..
ReplyDeletemakasih yaaa!
boleh Bu..asyik..dapat diskon kan ya?
ReplyDeletepls email ke riris.nurbintari@ika-riris.info ya
www.anakbangsa.info
congrats mbak tita :D
ReplyDeleteditunggu yah buku transition nya :D
omedetou gozaimasu..... (selamat)
ReplyDeletebener, semoga kedepannya cetaknya lebih bagus.. amiiinn.. ;D
ReplyDelete* numpang lewat, liyat-liyat, salam kenal.. :D..
salam kenal juga, terima kasih :)
ReplyDeleteterima kasiiih..
ReplyDeleteok, on the way! thanks!
ReplyDeletehi ibu tita, aku coba ngebahas curhat tita juga loh di mpku (http://mproductions.multiply.com/journal/item/30), mohon masukannya terhadap tulisanku... ^^
ReplyDeleteTita, ( wadaow ) nggak nyangka kamu setenar ini ^o^ . selamat ya Ta. Hati2 bersepeda sehari2.
ReplyDeleteaku baca ulasan ini di blog lain..... sepertinya ini ulasan yang paling aku nikmati.... yang paling berisi dan paling mendekati 'apa adanya'....
ReplyDeletehi hi mbaak, slamat ya.
ReplyDeleteaku juga baca tuh di kompas, kupamerin ke sodara2ku hehehe. mereka pada mau nyari bukunya. sukses ya... bakal ada jilid2 gak?
ehh kangeeen! makasih yaa :)
ReplyDeleteskg baru ada "transition" (28 hlm), sambil menunggu selanjutnya. la, email dong, kita terusin rencananya ;)
ehh blog mana nih...
ReplyDeleteehh enggak lah :">
ReplyDeletetrims yaa