Saturday, November 5, 2005
The Past Feeds The Future
10 tahun yang lalu, jurusan Applied Arts (seni terapan) mulai berdiri di Sandberg Instituut, Amsterdam. Malam ini adalah perayaan hari jadi ke-10 jurusan tsb, ditandai dengan pembukaan pameran karya2 para alumninya di Museum Amstelkring, Ons' Lieve Heer op Solder dengan tema "The Past Feeds The Future", berbarengan dengan berlangsungnya Museum Night di Amsterdam.
Museum ini, yg sebenarnya adalah sebuah gereja yg didirikan sekitar 350 th yang lalu, berlokasi di tengah2 daerah red light, berdekatan dengan De Oude Kerk. Kala didirikannya, orang2 pada masa itu tidak dianjurkan utk memperlihatkan kepercayaannya sbg umat Nasrani, sehingga gedung gereja ini terlihat seperti layaknya rumah2 di sekitarnya, dan interiornya pun tidak semegah katedral2 besar abad pertengahan pada umumnya. Hampir tak terlihat ornamen pada elemen interiornya, dan sebagian besar konstruksi dan perabotnya pun terbuat dari kayu dengan desain sederhana. Benda termegah pada gereja ini adalah ornamen yg terdapat di altar: sebuah bingkai dengan lukisan di dalamnya. Hiasan lain adalah lukisan2 yg terpajang di dinding ruang kebaktian dan beberapa patung yg semuanya bertemakan kisah2 dan tokoh2 pada kitab suci.
Seperti umumnya bangunan2 tua di Amsterdam, gereja ini tidak berlantai luas, namun meninggi ke atas dan memanjang ke belakang. Banyak terdapat anak tangga di berbagai sudut ruangan, dari basement hingga ke loteng. Tidak semua pintu terbuka utk publik, dan tidak semua ruangan terbuka. Rasanya seperti berada di dalam labirin bertingkat, bila tidak tahu jalan - hanya berorientasi pada ruang terbuka (ruang kebaktian utama) di pusat gedung.
Di berbagai ruang, terdapat kotak2 display dan kotak2 penyimpanan benda2 yg dipakai pada masa gereja tsb aktif berfungsi sebagai tempat ibadah. Kotak2 kaca terlihat menampilkan jubah pastur, cawan2 persembahan, tempat2 lilin, wadah2 air suci, dll.
Dalam rangka pameran ini, produk2 hasil alumni Applied Arts dari Sandberg Instituut dipamerkan berdampingan dengan produk2 masa lalu tersebut. Jadi misalkan, dalam kotak display yg berisi piring dan cawan kuno yg dipenuhi ornamen cantik, turut bersanding satu set piring dan mangkuk karya seorang mahasiswi yg sepenuhnya terbentuk dari ornamen. Dalam kotak display berisi tempat2 lilin, turut dipasang sebuah kalung bergaya etnik, dan sebuah jubah pastur bersanding dengan karya tekstil.
Sebuah salib kuno bersanding dengan sebuah benda berjudul "Bling Bling", yg dari kejauhan terlihat spt salib emas berornamen meriah, tapi ornamen2 tsb ternyata adalah lambang2 dari penyembahan masa kini (spt halnya logo Coca Cola, McDonald's, Gucci, dll). Pada bilik pengakuan dosa, terlihat seni instalasi deretan hewan2 kecil mengantri di muka, berbaris dengan manis hingga sampai ke bantal tempat berlutut. Di bagian dapur, pada perapian terdapat pampangan susunan ubin (tiles) dengan warna dan ornamen menarik - yg bila diamati ternyata merupakan sebuah pola yg terdiri dari cuplikan foto2, berjudul "Violence is the motif". Masih di dapur, pada wastafel kuno, terdapat tumpukan piring dan cangkir yg sepertinya kotor ternoda tumpahan kopi - tapi noda tsb ternyata terbuat dari lapisan emas.
Benda2 kuno dari ratusan tahun lalu, ternyata masih cocok bersanding dengan produk2 masa kini. Atau bahkan mungkin lebih dari itu: ternyata artefak2 tsb benar2 menjadi inspirasi dan dasar dari pembuatan karya2 modern tsb. Sebuah masa lalu yg memberi makanan, atau energi, bagi kreasi masa kini.
Setiap tamu yg datang malam itu ditawari cap pada punggung tangannya, terdiri dari pilihan sbb: Designer, Artist, Journalist, Non-Important, Groupie, dan Medewerker (= co-worker). Masing2 pengunjung bebas memilih cap, ingin jadi apa malam itu. Ada cerita di balik urusan cap ini, tapi nanti lah ceritanya, utk yg tertarik saja.
Acara pembukaannya sendiri diisi dengan beberapa ucapan penyambutan, yg disusul oleh sebuah prosesi: iring2an sejumlah mhs berkostum spt biarawan, yg masing2 membawa produk2 karya alumni, berjalan mengelilingi ruang utama. Setelah itu para hadirin dipersilakan melihat2 karya2 yg ditampilkan dalam museum, lalu langsung ke basement utk menikmati hidangan.
Ruang bawah tanah tsb dipenuhi pengunjung, yg sedang makan dan minum. Hidangan malam itu, karya Anton van Doremalen, seorang foodstylist/ foodjockey, terdiri dari satu porsi makanan yg ditata apik di atas piring (piring kertas berkualitas tinggi, dengan ornamen bernuansa biru pada pinggirannya). Kecap manis dituangkan pada pinggiran piring, sedemikian rupa sehingga membentuk format bundar yg terdiri dari 2 garis tipis. Garis2 tipis kecap ini lalu 'dikacau' dengan cara disentuh sedikit di sana-sini, sehingga membentuk bundaran2 noda di beberapa titik. Pada 'rel' garis kecap tsb, ditata 2 potong sushi maki (polos) dan 2 tumpuk (semacam) chutney berwarna kuning cerah, masing2 berhadapan satu dengan lainnya, sementara di tengah2 piring terdapat sejumput mie berwarna hitam. Di atas mie ini terdapat sebuah bola (spt baso goreng, tp rasanya manis) yg ditancapkan pada sebuah pipet plastik berisi cairan merah (cairan ini adalah saus utk bola tsb). Hidangan ini dimeriahkan dengan taburan kentang goreng berbentuk balok, yg sekepingnya hanya sebesar paruhan korek api.
Di meja sebelah terdapat wadah2 dalam berbagai bentuk (juga karya seorang alumni), yg berisi berbagai jenis saus utk menemani hidangan yg disajikan. Di meja lain lagi, terdapat 2 macam minuman, dengan pilihan mengandung alkohol atau tanpa alkohol. Minuman2 tsb ternyata dibuat berdasarkan resep campuran minuman pada abad pertengahan, terutama utk anggur merahnya, di mana terdapat unsur2 jahe, cardemom, kayu manis, dan bumbu2 lain (mungkin, bila disajikan hangat, rasanya mirip "bischopwijn"). Minuman versi tanpa alkohol terbuat dari campuran jahe, aloe vera, air mawar, cranberry juice, air mineral bersoda, dan beberapa bumbu lain.
Menyenangkan sekali acara malam itu. Selain menjadi ajang reuni bagi sebagian besar alumni, mahasiswa dan para staf pengajar, acara ini juga dapat dikatakan sebagai tonggak penanda prestasi yg pantas dibanggakan bagi jurusan Applied Arts Sandberg Instituut di usianya yg ke-10. Dan tak ada waktu yg lebih tepat lagi selain malam ini, yg berbarengan dengan Museum Night di Amsterdam, sehingga kemeriahan gabungan artefak2 kuno dengan kreasi modern masih dapat dinikmati banyak orang hingga lewat tengah malam. Pameran ini sendiri akan berlangsung selama satu bulan, sehingga masih ada waktu utk datang lagi ke sana dan menikmatinya dalam suasana yg lebih tenang.
Saya tutup jurnal kali ini dengan kutipan kata2 Lao Tzu yg saya temui di katalog pameran malam tsb, yg dipilih oleh Yu-Chun Chen (seorang alumni Sandberg), sebagai konsep karya2nya:
We join spokes in a wheel
but it is the center hole
that makes the wagon move
We shape clay into pot
but it is the emptiness inside
that holds whatever we want
We hammer wood for a house
but it is the inner space
that makes it livable
We work with being
but not-being is what we use
[Lao Tzu, 'Tao Te Ching', hoofdstuk 11, ca. 500v.Chr]
Foto: Bling Bling karya Frank Tjepkema
Labels:
sandberg
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wah, acaranya asiiiik banget... jadi pingin liat...
ReplyDeleteoh ya soal cap di tangan itu, aku pingin tau dong ceritanya..
kalo aku, mungkin pilih not important... soalnya ngga ada pilihan "manusia biasa" atau "bingung".
Ceritanya gini.. *ahum*..
ReplyDeleteAda dua mahasiswi dari Applied Arts Sandberg Instituut yg pada suatu hari menghadiri sebuah pembukaan pameran. Yang hadir di acara itu adalah para seniman dan desainer terkenal, wartawan kawakan, dan pengunjung2 'penting' lain. Sebagai 'hanya' student, mereka hampir tak mendapat sapaan, tak seorang pun mengajak mereka bicara, hingga mereka terasa agak tersisih.
Dari acara tsb mereka mendapat inspirasi utk menawarkan alternatif stempel tangan tsb pada pengunjung acara2 serupa, kurang lebih supaya setiap orang mempunyai bahan utk membuka percakapan. Siapapun mereka.
Dan ternyata benar, semalam itu kl ada orang yg saling nggak kenal, biasanya nanya dulu, "Kamu jadi apa malam ini?". Yang sudah saling kenal tp lama nggak ketemuan juga intip2an tangan, terus nyeletuk, "Wah kamu jadi groupie! Sama dong!" - lalu dilanjutkan dengan perbincangan yg mengalir lancar.
Oh iya, setelah dikasih stempel itu, kita masing2 menulis di sebuah buku tamu, stempel apa yg kita pilih dan profesi kita sebenarnya. Jadi misalkan saya, milih "groupie" (iseng! hahaha) lalu nulis "designer/ researcher" di sebelahnya. Syb milih "non-important" lalu nulis "medewerker" di sebelahnya.
Belakangan kedua mhs ini akan mendata, biasanya desainer (atau seniman, atau co-worker, dll) memilih utk jadi apa di acara2 semacam ini. Mungkin mereka akan mendapat kesimpulan menarik (terutama ttg attitude orang2 itu.. hihihi).
Hehehe....jadi malem itu ada berapa groupie yang mengelilingi sang medewerker?
ReplyDelete