Sunday, April 29, 2007

[sambutsutra] Friends, Food, Fun!

As posted in Jalansutra mailing list, msg #67028

Sejak bergabung di milis Jalansutra th 2003, baru kali inilah saya merasakan

"kopdar" dan "samsut" sekaligus! Cerita2 mengenai ketemuan sesama JSers yg

selama ini hanya bisa saya baca lewat milis, akhirnya saya alami sendiri,

dan ternyata memang seru!



Saya dan keluarga 'baru' tiba dari Belanda utk menetap di Indonesia pada

awal Februari 2007 lalu. Karena kami langsung berdiam di Bandung (dan jarang

sekali ke Jakarta, berhubung penuhnya jadual utk mengurus dokumen2 ijin

tinggal, kepegawaian, kependudukan, dll.), baru weekend lalu lah acara

"sambutsutra" kami dapat diadakan. Pilihan tempat jatuh pada saya sebagai

yang disambut. Tanpa berpikir terlalu lama, saya sebut "Sate Khas Senayan"

pada Lidia Tanod, mod JS yg menjadi panitia sambutsutra kali ini (thanks,

LiTa!). Alasannya? Selain lokasinya yg dekat dengan rumah orang tua saya,

juga karena nilai sentimentilnya yg tak tergantikan: kenangan2 masa kecil

saya banyak yg dilatar-belakangi rumah makan ini!



FRIENDS

Ketika saya datang, sekitar pk. 12.00, meja sudah terisi dengan keluarga Pak

Tonny Syariel. Tidak lama kemudian datanglah Jeny dan Hendra 'Sop Jagung',

disusul dengan Santi, Irwan dan Reky. Sambil menunggu yg lain2 datang, Pak

Tonny telah mengeluarkan dua kotak coklat oleh2 dari Austria: yang satu

bertema Mozart (bungkusan setiap butir coklatnya bergambar Mozart!), satu

lagi kemasannya bergambar lukisan tenar berjudul "The Kiss" karya Gustav

Klimt.

Lidia lalu datang, membawa kabar bahwa Pak Bondan berhalangan hadir karena

kondisi kesehatannya (lekas pulih, ya, Pak!), dan Cak Uding juga terpaksa

batal datang karena harus mengantar putranya ke dokter, tepat pada jam 1

siang (semoga cepat sembuh, Cak). Ternyata bukan hanya kabar yg dibawa

Lidia, tapi juga bermacam2 coklat! Kami tumpuk dulu bawaan Lidia utk pencuci

mulut nanti.. sementara coklat dari Pak Tonny sudah lebih dari separuhnya

habis.



Peserta makan siang di meja kami akhirnya lengkap juga dengan kedatangan

Andrew, Iping, Wasis, dan Chica dengan Lunanya yg ginuk2 itu. Chica membawa

roti kreasi terbarunya: roti yg adonannya dicampur dengan pisang, berisi

coklat! Pengicipan roti yg masih hangat ini terpaksa diundur juga hingga

selesai makan siang, sebab kami sudah mulai memesan2 makanan, dan minuman

sudah datang.



Sementara menunggu itu, Capt GP beserta ibu menyempatkan mampir. Juga

Indrawihodo dengan Dito, putranya, yg sengaja makan siang bersama

keluarganya di tempat yg sama, supaya sambil bisa bertemu dengan teman2 JS

juga. Mia, yg terpaksa batal bergabung karena putranya sakit, juga

menyempatkan mampir utk bertemu lagi dengan saya dan memberikan kenang2an,

foto ketika kami bertemu di Amsterdam - sangat mengharukan, terima kasih ya

Mia! Belakangan, ketika kami hampir bubaran, datanglah Yohan untuk 'transit'

di sela2 acaranya yg padat hari itu.



FOOD

Makanan yg dipesan datang, rupanya pun bermacam2. Wajib tentunya memesan

sate, ayam dan kambing, yg disajikan di atas arang panas, sehingga tetap

hangat hingga lahapan tusuk terakhir. Rasa satenya tetap seenak yg saya

ingat dulu; tak lekang waktu. Tahu telornya enak, dengan gerusan kacang yg

menambah kayanya rasa saus kecap dan tekstur hidangan ini. Tahunya terasa

lembut di tengah2 'keriting'nya telur dadar yg menyelubunginya. Cumi isi

telur, gurih dan mantap, bumbunya meresap hingga ke dalam dan dagingnya

kenyal namun tidak alot. Ada juga tongseng kambing(?), tapi tidak saya coba.

Gurame goreng disajikan 'berdiri' dalam keadaan merekah renyah. Rasa dan

keringnya pas! Ada juga appetizer platter yg sayangnya datang belakangan,

sehingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (keburu sudah pada kenyang

dengan hidangan utama!). Isi platter ini adalah kerupuk kulit, risoles,

sosis solo, dan tahu isi. Tidak semuanya sempat saya coba, karena sudah

hampir kekenyangan - sambil masih menyisakan tempat utk mengicipi coklat2 yg

dibawa LiTa dan rotinya Chica..



Saya lupa merk coklatnya, tapi masing2 kemasan bertuliskan "Number 1" dan

masing2 jenis dinamai nama tempat (Java, Madagascar, dsb). Sebagian besar

memuat lebih dari 60% cacao; seingat saya hanya satu yg berasa 'susu lembut'

dengan 33% cacao di dalamnya. Patahan2 coklat tersebar dari ujung meja yg

satu ke yg lain, diiringi komentar2 spt "Wah pahit", "Yg ini enak nih, pakai

bulir2 jeruk di dalamnya!", atau "Ini buat bikin kue aja nih, 85%

cacao-nya!" Seru ya, icip2 rame-rame..



Giliran roti buatan Chica kita bongkar. Menurutnya, kreasi terbarunya ini

atas permintaan 'simbah dukun roti' Cindy Ceretch: campurkan adonannya

dengan hancuran pisang, lalu isi coklat. Ketika kantung kertas yg membungkus

roti kita buka, semerbak pisang langsung tercium, sementara roti masih

terasa hangat. Dengan mudah bagian2 roti dapat kita sobek, dan masing2

mengulum roti dengan sensasi baru ini. Pisangnya tidak terlalu terasa, tapi

aromanya yg tidak terlalu kuat cukup dapat memberi 'warna' pisang pada si

roti. Isi coklatnya, seperti biasa, sangat royal. Coba kita tunggu komentar

Ceretch atas usulnya ini! :D



FUN

Selama makan siang tsb, tentu saja obrolan kita ngalor-ngidul. Awal2, karena

baru pertama bertemu muka, tentu saja kita bicara soal posting perjalanan

atau makan2 yg sama2 telah kita baca. Lalu seperti biasa nyambung ke teman2

yg kita kenal juga, sebelum akhirnya ke hal2 lain seperti.. komik! Dan

ternyata bapak2 yg hadir termasuk penggemar cerita silat, dan kita asyik

mendengarkan Andrew dengan semangat bercerita seputar hal itu. (BTW, makasih

ya Ndru pinjeman Kingdom Come dan Gundala-nya :D)



Sebagai yang di-samsut, saya hanya dapat membawa sedikit sekali oleh2

(karena kami belum juga selesai unpacking, meskipun sudah 3 bulan tinggal di

sini.. hehe). Ada sedikit coklat (berbentuk koin2 Euro) dan marshmallow isi

jelly, dan kantong2 teh (Dilmah rasa rum, Pickwick rasa redbush-honey dan

Lipton green tea yg 'kantong'nya bundar). Mudah2an berkenan ya.



Selesai makan pun, formasi meja tidak 'serapih' awalnya. Kami berpindah

duduk, berganti teman ngobrol, dan ramai lagi membahas hal2 lain. Perkakas

makan siang mulai dibereskan dan disingkirkan sekitar pk 3 sore, ketika

masing2 dari kami juga masih harus beranjak ke tempat lain. Terima kasih,

semuanya, atas siang yg menyenangkan! Friends, food, fun - a perfect

combination to fill your Saturday afternoon!



Salam dari Bandung,



Tita

Tuesday, April 24, 2007

Ngobrol2 di TB Aksara

Start:     Apr 27, '07 7:00p
Location:     TB Aksara, Kemang, Jakarta
Katanya saya diminta ngisi acara di Toko Buku Aksara, Kemang, Jakarta. Mungkin temanya komikus perempuan? Belum ada pengumumannya di milis2, but we'll see... perhaps in due time..

Monday, April 23, 2007

Say "Bye" to My Indigo iMac



Yesterday afternoon, at around 4-5pm, suddenly the sky was full of thunder and lightning. The rain fell fiercely, not dropping water but pouring waterfalls. We, as usual, were busy on our computers. I was about to log out and turn mine down, but it was too late! All of a sudden, a sharp, white lightning came by and *BZZT!* went my iMac. The screen turned black, and it reeked of burnt smell. I quickly turned off the main power and thought, "That's it".

When the rain subdued, we checked everything. Our cable's gone, iMac dead, modem.. who knows. So, for a while, there won't be any browsing or uploading for me :( Just be lucky that our iBook is still functioning, and that we can still use our Speedy Internet. Until next time, people!

Update Wednesday, 25 April 2007

The 'Mac-doctor' came and examined my iMac. He said the power supply is completely down and he suspected that the 'playback' (that reflects to the screen) got it as well. He admitted that he's not able to fix this, due to a difficulty in acquiring components for the iMac. He suggested to bring it to Jakarta. The chance to have it completely fixed? 50-50.
Now I'll just wait until somebody from Jakarta come to Bandung with a car (perhaps my brother, this weekend?) and ask him to bring this iMac along when he goes back - to Ratu Plaza!











'..sama, tolong isiin pulsa saya, ya Bu!'


Ini masih ada hubungannya dengan cerita sebelumnya. Hari Rabu lalu saya menghadirkan saksi2 di pengadilan: ibu dan bapak saya; adik juga ikut tapi tidak diperlukan sebagai saksi sebab jumlahnya sudah cukup (dua orang). Sidang dilaksanakan untuk mendengarkan para saksi, namun hakim belum dapat memutuskan karena ada beberapa dokumen yang harus saya susulkan.

"Bukan maksud negara utk mempersulit kasus ini," ujar Bu Hakim, "Namun bukti2 dan berkas2 asli dan lengkap memang dibutuhkan untuk keperluan pengadilan".

Saya tadinya agak bingung, kurang apa lagi dari dokumen2 (akte2) yang sudah dicap di Kementrian Luar Negeri Belanda dan Konsuler KBRI di Den Haag? Ternyata, meskipun dokumen2 tsb versi internasional (jadi tertera dalam berbagai bahasa - termasuk Inggris), masih harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia (oleh sworn translator), lalu dilegalisir oleh Kedutaan Belanda.

Selesai sidang, saya ke kantor Panitera sebentar, Pak A. Pak A meminta saya membuat ringkasan dari pernyataan2 yg dibuat saksi selama sidang berlangsung. Meskipun beliau, sbg Panitera, sebenarnya bertugas mencatat seluruh jalannya sidang, namun ternyata masih perlu kelengkapan data dari saya (terutama pencatatan detail nama2 anak, dsb.). Oke, saya usahakan secepatnya.
Kamis saya berada di Jakarta seharian, utk mengurus2 di Kantor Imigrasi, Kedutaan Belanda dan jasa penerjemah. Baru kembali ke Bandung menjelang malam hari. Jumat sibuk dengan anak2 yg masih belum masuk sekolah karena sakit. Baru hari Senin ini lah saya sempat ke kantor Pengadilan Negeri.

SMS saya ke Pak A: Pak, ada di kantor kah? Saya mau mengantar summary yg saya buat.
Balasan Pak A: Ya, ke kantor. Saya tunggu.
Saya berangkat dari kampus, setengah jam kemudian tiba di Pengadilan Negeri. Saya langsung naik ke kantor Pak A, menjumpainya sedang merokok sambil baca koran dengan sepiring cemilan di mejanya (kismis dan kacang2an).

T (menyodorkan selembar A4): Pak, ini ringkasan dari saya.
A (membacanya sekilas, lalu memasukannya ke dalam laci meja): Ya. Lalu bagaimana dengan kelengkapan dokumen?
T: Berkas2 masih diselesaikan di Jakarta, sehingga saya harus meminta penundaan sidang. Jelas tidak bisa Rabu ini.
A: Oh tapi tetap tolong datang Rabu ini utk bicara langsung dengan Bu Hakim, memohon penundaan sidang. Paling sebentar saja.
T: Ya sudah kalau begitu, sampai hari Rabu ya Pak.
A: Ya atau bisa juga saya yg bilang, lalu nanti saya pastikan, beritahu ke Ibu bahwa sidang bisa ditunda, dan membuat tanggal baru utk sidang.
T: Nggak apa2, saya datang saja Rabu itu (sebelumnya saya memang sudah bilang ke Pak A bhw Rabu saya nggak bisa lama2 karena sudah banyak janji & keperluan lain).
A: Yaah yg penting utarakan ke Ibu Hakim mengenai kelengkapan dokumen.. (lalu entah bicara apa, sebab makin lirih).. tinggal saya telpon nanti beritahukan ke Ibu.
T: Ya, Pak?
A (sambil senyum2): ..sama, tolong isiin pulsa saya, ya Bu!
T: ...

I gave him a smirk and left.





Friday, April 13, 2007

Rice Bowl

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:BIP Bandung
Resensi ini di-post juga di milis Jalansutra, msg #65886

Sebenarnya sudah sejak beberapa minggu lalu saya tahu tentang tempat makan ini, tapi agak enggan mendatanginya.Kenapa? Bukan karena lokasinya yang ‘mojok’ di lantai dasar Bandung Indah Plaza dan dikelilingi oleh kios2 yang belum buka. Tapi karena – setiap kali turun atau naik eskalator di lantai dasar yg dekat dengan tempat tersebut – selalu ada staf Rice Bowl yg berseru2, “Silakan Rice Bowl-nya!”, “Coba Rice Bowl-nya, Mbak!”, dan sejenisnya. Makin diteriaki, makin saya urung mampir.

Nah kemaren siang ini rupanya saya ‘jodo’ dengan tempat ini. Setelah sedari pagi hanya diisi bubur ayam pinggir jalan, sekitar jam dua siang - ketika akhirnya semua pekerjaan saya selesai - dalam keadaan sangat lapar, saya memutuskan utk mampir ke Rice Bowl. Kebetulan sedang tidak ada staf yg berseru2 di ujung eskalator. Ini cara meluangkan waktu yang baik sebelum berangkat menjemput anak2 di sekolah!

Ice Lemon Tea
Meskipun sudah lewat jam makan siang, beberapa meja di Rice Bowl masih terisi, dan ternyata pelanggan pun masih berdatangan. Saya memilih sebuah meja kecil di pojok ruangan, dan duduk di salah satu dari dua kursi empuk yg berhadapan. Sebelum membaca menu, saya pesan dulu minuman: ice lemon tea. Minuman ini segera datang dalam gelas tinggi, berisi bongkahan2 es batu dan cairan yg warnanya coklat pucat. Kadar manis dan asamnya cukup imbang, tapi kenapa rasanya agak sintetis ya? Minuman ini (pada menu) termasuk chef’s recommendation, jadi semestinya bukan lemon tea pabrikan, bukan?

Orange Chicken Rice Bowl
Berlanjut ke makanan. Saya pesan chef’s recommendation tanpa ‘cap cabe’ di pinggirnya (= tidak pedas): orange chicken rice bowl. Tak lama kemudian semangkuk besar porsi nasi tsb dihidangkan di depan saya. Tidak salah bahwa ini termasuk hidangan yg dijagokan, sebab tekstur dan rasanya pas. Gigitan pada potongan daging ayam bite-size bersalut tepung renyah, disusul dengan lembutnya daging dan asam-manisnya saus jeruk, sangat sesuai dengan harapan rasa yg telah dititipkan pada lidah. Condiments pada porsi tsb berupa irisan ketimun, bawang bombay dan nanas adalah juga teman2 yg cocok bagi si ayam renyah. Hanya saja sayang, nasinya tidak mudah ‘diangkat’ dengan sumpit; sangat mudah tercerai-berai dan jatuh berantakan kembali ke dalam mangkuk. Dan sayang juga daging ayamnya terlalu sedikit, sementara porsinya belum cukup meredakan rasa lapar saya.

Masa pesan lagi? Yah sekalian deh, mumpung sedang di sini dan sambil menghabiskan waktu. Saya ambil buku menu lagi sambil melirik ke meja2 lain. Wah, ada mie juga! Sepertinya yang berkuah2 hangat begitu enak utk sore2 yg dingin spt waktu itu. Mata saya segera menyisir kembali buku menu, terutama ke baris2 dengan icon ‘chef’s recommendation’ di sisinya. Foto beberapa menu yg tertera di situ sangat membantu saya membuat keputusan. Oke, karena tadi menu ayamnya sama sekali tidak pedas, kali ini saya pilih menu yang disertai satu icon cabe (ada nol, satu, dua atau tiga icon cabe pada masing2 menu, sesuai dengan tingkat kepedasannya): black pepper beef noodle (saya pilih yg home made noodle; beda sekitar 6000 IDR dengan pilihan Hong Kong noodle).

Mengamati sekitar, saya lihat para staf Rice Bowl cukup cepat tanggap. Selalu ada yg siap utk dipanggil, dan bahkan berinisiatif membantu ketika seorang pelanggan dengan bayinya menumpahkan sesuatu di meja mereka. Mungkin atribut ‘family restaurant’ memang cocok untuk tempat ini. Juga ketika dengan tidak sengaja saya menyenggol wadah saus/sambal di meja, yg berakibat cipratan2 sambal pada tangan dan permukaan meja. Seorang pelayan segera memberi setumpuk serbet kertas yg ditata di atas sebuah piring kecil.

Black Pepper Beef Noodle
Porsi black pepper beef noodle saya datang dengan kuah terpisah dalam mangkuk yg lebih kecil. Tampilannya menarik! Kalau yang tadi kaya dengan warna kuning cerah, diselingi aksen hijau dari ketimun, kali ini dominan warna coklat gelap baik dari daging sapi maupun taburan gerusan lada hitam di permukaan mangkuk dan coklat pucat dari lembaran2 mie, dengan aksen merah yg berani dari irisan cabe, hijau terang dari paprika dan pakchoy, dan kilapan2 segar dari irisan bawang bombay, daun bawang dan bawang putih. Kuah kaldunya yg sangat panas juga terlihat menarik, dengan taburan irisan tipis daun bawang. Ketika diicip, sangat terasa indikasi sari poultry – mungkin bebek dan ayam sekaligus – yang cukup mild dan dengan baik dapat mengimbangi pedasnya merica pada menu utama.

Bagian mie yang belum tercampur bumbu2 black pepper ternyata sudah terasa cukup enak. Sayur2an yg menyertai irisan daging sapi juga terasa segar, baik rasa maupun teksturnya. Namun sayang, beberapa potong daging terlalu melawan ketika digigit; cenderung alot. Padahal rasanya mantap, terutama dengan cubitan2 asyik dari serpihan2 kasar lada hitam yg bertebaran di sekujur porsi mie.

Red Bean Ice Bowl
Setelah porsi kedua ini, rasa lapar tergantikan dengan menjelang puas. “Menjelang”? Iya, sebab rasanya belum lengkap bila tidak diakhiri dengan sedikit yang manis-manis. Apalagi sebelumnya saya sudah melirik salah satu (lagi-lagi) rekomendasi si jurumasak pada buku menu: red bean ice bowl – yang porsinya saya duga cukup mungil, mengingat keadaan lambung saya yang mestinya sedang cukup sibuk mencerna makanan2 sebelumnya. Jadi dengan yakin saya pesan dessert yang satu ini.

Tak lama kemudian datanglah es krim kacang merah saya: sebuah mangkuk transparan yg pas untuk satu bola es krim vanilla, dengan taburan kacang merah dan salutan sirup kental. Kacang merahnya pas, tidak keras, juga tidak lembek. Sirup kental itu ternyata berasa seperti cairan gula jawa, yang segera mengingatkan saya pada manisnya cendol. Ini adalah penutup yang sangat pas, baik rasa maupun porsinya. Tidak terlalu manis, dan tidak membosankan.

Waktunya telah tiba bagi saya utk meninggalkan tempat ini, namun masih banyak menu yg ingin saya coba di sini. Lain kali, saya berniat mengajak teman makan, supaya makin banyak yang bisa diicipi. Mudah2an saat niat itu hampir terlaksana, sedang tidak ada yang berseru2 ke arah kita di dekat eskalator..

Prices (IDR)
Orange chicken rice bowl 18,900
Black pepper beef noodle (homemade) 23,900
Ice lemon tea 7,900
Red bean ice bowl 6,900
[Tax 10%]

Scale 1 to 5
Service: 4
Food: 3,5
Ambience: 4
Price: 3,5
Total: about 3,75

Rice Bowl Family Restaurant
Bandung Indah Plaza
Telp 022 4223308
Website: http://www.ricebowl.co.id/

P.S. Anyone who'd like to see the complete version of my Rice Bowl drawing can view it at my Back to Bandung, ... album.

Thursday, April 12, 2007

Morning Ritual




This is more or less what happens every morning at our house, from the quiet to the hectic parts of the morning, when the kids are finally transported to school. Oh, there are some additional pages too in Back to Bandung,... (Dhanu's first encounter with roadkills)

Wednesday, April 11, 2007

The court is adjourned


08:00 I arrived at Pengadilan Negeri (PN). Couldn't help being too early because I came directly from our kids' school, which is nearby. I came to Pidana office to look for Mr. NS, who (of course) wasn't there yet. I waited outside, on a bench next to the entrance door.

08:50 I entered the office again and there he was already. He came out, then told me that he'll look for our Panitera, Mr. A. I was to wait inside. He came back after 5 minutes, letting me know that Mr. A hasn't arrived. We spent some minutes talking, among others, about how sorry he was that he couldn't deliver the letter I signed the day before, and how glad he is that I could make time to come to PN and sign it there. I suppose he realized that he's not entitled the 25.000 IDR(?) :)

09:20 Mr. NS checked again and our Panitera was still not present. We talked some more until I was getting restless. I told him I was actually leaving an important seminar at ITB to come to PN, so I expect everything to be on time.

09:30 Mr. NS asked me to join him to check Mr. A's office upstairs. He's still not there. I was asked to sit and wait inside his office. Mr. NS went back to his office. I bought a newspaper to spend the time.

10:15 Mr. A finally came and I was called to his desk. We talked a bit about the case, that I didn't have any witness with me. Mr. NS told me the other day, and again the same thing was mentioned by Mr. A, that commonly original documents (passport, birth certificate, etc.) are already sufficient. So we walked to the judge's office, downstairs at the front of PN building.

10:30 I forgot the name of the judge but it's a lady. She explained that I actually need to bring witnesses. This is due to cases such as, an Indonesian woman legalized her marriage in Indonesia while she actually was already divorced with her foreign husband, whose consequence is at the inheritance. So, she said, I - as the applicant - have to show a good intention by providing the witnesses and bringing my husband along. So, the court is adjourned until Wednesday next week.

Another point to remember when taking care of formailty business with government offices: they always tell you the essential requirements when it's already too late, so you always have to postpone your plan. Thanks for your supports, friends and family, I'll keep you updated with whatever happens..




Monday, April 9, 2007

"Ah, itu nanti saja setelah sidang.."

Kemaren pagi tiba2 ada nomer tak dikenal nelpon ke HP saya ketika saya sedang di kampus (bareng Lindri, karena hari itu dia libur). Ternyata dari seorang Pak NS, staf dari Pengadilan Negeri (PN) yang memberitahu bahwa sidang saya akan diadakan Rabu 11 April pada pk. 09.00. Saya lalu diminta datang ke PN hari itu juga utk menanda-tangani sesuatu.


Jadi siangnya, setelah makan siang dan nge-drop Lindri di rumah (dia sudah ketiduran di angkot! Bakal berabe kalo dibawa2 sampe ke PN), sekitar pk. 13.30 saya telpon Pak NS utk memberitahu bahwa akan tiba di PN sekitar pk. 14.00.


Saya tiba di PN dan bertemu dengan Pak NS tepat sebelum pk. 14.00. Dalam urusan pengesahan surat nikah saya, ternyata Pak NS ini berfungsi sebagai Jurusita. Saya diminta menunggu sementara ybs membuat surat undangannya. Setelah lebih dari setengah jam, Pak NS datang kembali dengan 2 lembar 'relaas' (surat panggilan sidang) yg harus saya tanda-tangani. Terletak di bagian paling bawah, tertera demikian: Perincian biaya: Biaya panggilan dan Ongkos Perjalanan Rp. 25.000, - Jadi tentu saja saya tanya, "Apakah saya bisa lunasi ini sekarang dengan Bapak?". Pak NS bilang, "Oh nggak usah itu mah.. belom juga sidang". "Tapi saya nggak enak kalau ada hutang begini, saya bayar sekarang ya". Masih tersenyum sambil mengarahkan saya utk segera pergi, "Nanti aja, abis sidang".


Kenapa sih saya selalu dibuat heran setiap berkunjung ke kantor2 pemerintah begini? Jelas2 ada biaya surat 'relaas' ini, tapi malah nggak (belum) boleh bayar. Setelah sidang? Bisa2 dia minta lebih dari 25ribu ini. Maaf aja kalo jadi curigaan begini, tapi gimana lagi kalo gelagatnya aneh begini :P 


Lagi pula, ya, kalau saya baca2 'relaas' ini, sebenernya dia lho yg harusnya ke rumah utk nganter surat ini dan minta tanda tangan saya. Karena di surat itu tertulis, 'Panggilan ini saya laksanakan di alamat dari pada ia yang berkepentingan' - padahal kan saya yg dateng ke kantor PN! Jadi mestinya ongkos jalannya ya buat saya aja.. huehehe..


Oke, besok pagi sidang. Tunggu cerita lanjutannya :)       

Tuesday, April 3, 2007

From Hell

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Comics & Graphic Novels
Author:Alan Moore - Eddie Campbell
Peringatan: resensi ini mengandung spoiler

Akhirnya terbaca habis juga buku ini oleh saya. Apa yang tadinya menghambat saya utk membaca buku ini? Format paperback-nya yg cukup tebal (dengan sendirinya ada konsekuensi ke harga) membuat saya mengundur2 membelinya. Ketika akhirnya mendapatkannya sebagai hadiah kelulusan, saya tidak bisa segera membacanya karena buku ini harus segera dipak dan dikarduskan utk dikirim ke Indonesia. Baru setelah sekitar 5 minggu perjalanannya mencapai Bandung, tibalah buku ini kembali ke tangan saya. Setelah itu, saya menghabiskan waktu berhari2 utk selesai membacanya, termasuk membaca ulang utk lebih memahami isinya.

Sebagian besar dari kita tentu pernah mendengar seorang tokoh yg dijuluki Jack the Ripper. Saya sendiri pertama kali mendengar tentangnya (dan melihat rekonstruksi perbuatannya) ketika berkunjung ke Museum Madame Tussaud di London, jauh sebelum membaca From Hell. Ngeri! Bayangan saya ketika itu, Jack the Ripper hanyalah seorang bergangguan jiwa yang menyasarkan kesadisannya pada sembarang pelacur di London pada akhir abad-19. Tidak lebih. Tapi ternyata ada hal2 yg lebih kompleks di balik semua itu: sebuah pembunuhan berseri yang terencana rapih, dilakukan dengan konsep yang rumit, dan dilaksanakan atas kehendak Penguasa Agung saat itu. Pelacur yg terbunuh adalah mereka yg benar2 terpilih; lokasi pembuangan jenazah mereka pun tidak sembarangan, melainkan diperhitungkan dengan cermat. From Hell menyajikan semua ini dengan sangat menarik; sarat detail grafis tanpa menjadi vulgar atau merendahkan nilai2 kemanusiaan.

**********************************************************
Kisah berawal dari perkenalan Albert dengan Anne Crook, seorang penjaga toko permen dan manisan, oleh Walter Sickert, seorang pelukis muda tetangga Anne. Hubungan rekat antara Albert dan Anne membuahkan seorang bayi perempuan (Alice), sehingga kemudian mereka menikah secara diam2 atas kehendak Anne. Namun Anne tidak tahu bahwa Albert sebenarnya adalah seorang pangeran, cucu dari Ratu Victoria dengan gelar Prince of Wales (pewaris kerajaan Inggris!), sehingga tentu saja mereka tidak akan mungkin hidup bersama sebagai keluarga.

Selang beberapa tahun, hal ini diketahui juga oleh Sang Ratu. Atas titahnya, Albert ditarik kembali ke dalam pingitan lingkungan kerajaan, sementara Anne dinyatakan mengalami gangguan jiwa dan dimasukkan ke asylum perempuan di Guy's Hospital. Alice yg ketika itu masih balita dibawa oleh Mary Kelly (seorang teman Anne yg berprofesi sebagai pelacur), ke Walter yang dulu memperkenalkan Albert dengan Anne. Walter kemudian menyerahkan Alice dalam pengasuhan orang tua Anne.

Berpuluh tahun sebelum kejadian ini, seorang laki2 muda bernama William Withey Gull dengan gemilang berhasil menamatkan studinya di bidang medis. Ia mengambil spesialisasi bedah, dan telah membuktikan dirinya unggul di banding rekan2nya. Prestasinya ini telah menarik perhatian sebuah perkumpulan ‘brotherhood’ Freemason yang kemudian mengangkatnya menjadi anggota. Dengan segera karirnya menanjak; ia memperoleh gelar kebangsawanan dan menjadi penasehat medis utama Sang Ratu, sehingga dengan mudah ia dapat menerima perintah2 Ratu secara langsung.

Kembali ke masa terpisahnya Albert, Anne, dan Alice. Mary Kelly, si pelacur yang sempat mengasuh Alice sepeninggalan Anne, diperlihatkan berkumpul bersama rekan2 seprofesinya: 'Big' Liz, Annie Chapman dan Polly, di bar langganan mereka. Ternyata mereka mendapat ancaman dari sebuah gerombolan (‘The Old Nichol Mob’) yg bereputasi telah menyiksa dan membunuh pelacur yang tidak menyetorkan sejumlah uang pada mereka. Dalam desakan keuangan dan ancaman maut, Mary mengusulkan jalan keluar untuk mereka berempat dengan cara memeras keluarga kerajaan melalui Walter Sickert. Ia menuliskan surat yg meminta uang sejumlah 10 Poundsterling; bila tidak dipenuhi, ia akan menyebarkan berita ttg si royal baby pada publik. Surat ini berpindah tangan dari Walter, ke ibunda Albert, dan akhirnya jatuh ke tangan Sri Ratu.

Tentu saja rahasia ttg bayi ini harus dijaga ketat demi nama baik keluarga kerajaan. Ratu Victoria segera memanggil Sir William Gull untuk menyelesaikan masalah ini dengan segera, dan dengan semestinya. Nah, di sini lah konsep pelaksanaan titah Sang Ratu mulai dimatangkan oleh Gull. Menurutnya, pembungkaman para pelacur ini tidaklah cukup dengan pembunuhan biasa, namun harus dilaksanakan sebenar2nya dengan tata cara yg dianut Freemasons. Mulailah terjadi pembunuhan - yang disertai mutilasi - terhadap Mary Kelly dan rekan2nya, satu demi satu.

Seorang inspektur polisi, Fred Abberline, ditugaskan untuk mengusut perkara segera setelah pembunuhan pertama berlangsung. Selanjutnya, pembaca dibimbing untuk mengikuti proses pengusutan Abberline yg sepertinya sia2 saja, karena bila penemuannya berjalan ke arah yg benar, pasti akan ditutup2i atau dialihkan ke hal lain oleh atasannya yg sebenarnya adalah juga anggota Freemasons. Abberline menjadi sangat frustrasi karenanya. Pembunuhan berantai ini tentu menimbulkan sensasi besar di kalangan masyarakat London masa itu. Lebih dari itu, sekelompok pembuat berita yg makin ingin menaikkan penjualannya bahkan mengirimkan surat pada polisi - seolah2 dari sang pembunuh - dengan tanda tangan "Jack the Ripper", yg mempopulerkan julukan tsb. Ternyata tidak hanya si pembuat berita yg mengirimkan surat demikian – setelah julukan tsb dikenal masyarakat luas, polisi menerima banyak lagi surat dari ‘Jack the Ripper’ yg sebenarnya dibuat oleh orang2 iseng yg senang dengan sensasi ini. Bagaimana tanggapan Gull ?
Ia mengirimkan surat juga pada polisi, disertai sepotong organ tubuh dari korban terakhirnya. Dan, karena ia tahu bahwa tidak ada lagi jalan kembali baginya, ia menanda-tangani suratnya dengan keberadaannya sekarang, “From Hell”.

Setelah pembunuhan terakhir terjadi, Robert Lees, penasehat psikis Sang Ratu (yang tidak menyukai Gull) mendatangi Abberline secara diam2 dan mengaku mendapat 'penglihatan' bahwa ia mengetahui siapa si Jack the Ripper sebenarnya. Lees kemudian menunjuk Gull sebagai si Jack sebenarnya, dan ketika Abberline bertanya langsung pada yg bersangkutan, Sir William Gull tidak membantah hal tsb. Dengan segera para Freemasons melancarkan pembungkaman Gull: mereka mendeklarasikan wafatnya Sir William Gull, lengkap dengan sebuah 'upacara penguburan’ bagi masyarakat umum. Sementara Gull sendiri diungsikan ke sebuah rumah sakit jiwa dan akhirnya meninggal di sana. Abberline dan Lees diberi dua pilihan: menutup mulut mengenai hal ini sambil mendapatkan pensiun yg besar, atau mengungkap hal ini pada publik dan mati. Mereka memilih yang pertama. Dengan demikian, hingga kini, misteri Jack the Ripper tak terpecahkan di mata publik.
**********************************************************

Apa hebatnya cerita ini? Segala komplikasi rumit dari kisah ini ditulis dengan sangat baik! Bahkan di akhir cerita terdapat appendix di mana Moore berpanjang-lebar menjelaskan peristiwa2 yg terjadi pada panel2 gambar, dilengkapi referensi faktual yg mendasari adegan2 tsb.
Latar belakang dan detail yg menggambarkan London di akhir abad ke-19 juga divisualkan dengan sangat baik. Keadaan gedung2 dan bangunan, arsitektur dan interior (rumah berbagai kalangan, rumah sakit, bar, dsb), kendaraan, busana yg dikenakan – seluruhnya memberi bayangan yang jelas akan suasana saat itu.

Moore dengan sangat lihai menampilkan keunikan plotnya. Antara lain, fenomena bahwa makin banyak pengabdian Gull menjalankan ritual Freemasonry-nya (melalui pembunuhan2 tsb), makin ia diberi kemampuan penglihatan2 ke masa depan. Ia tiba2 melongok ke dalam sebuah jendela rumah modern ketika hendak membunuh korban ketiganya, atau mendadak menemukan dirinya di tengah2 ruang perkantoran abad ke-20 ketika sedang menggarap korban terakhirnya.

Namun dari seluruh plot ini, skenario terbesar adalah ketika Gull baru mendapatkan amanat Sri Ratu untuk menghabisi para pelacur tsb. Bersama Netley, seorang kusir yg mendampingi aksi2nya, ia mengelilingi kota London dengan tujuan titik2 tertentu berdasarkan sejarah masonry dan tokoh2 yg terlibat, Gull bercerita pada Netley bagaimana kuasa dan nilai2 sakral wanita sejak jaman purba diredam dengan paksa oleh kaum pria, di mana simbol2 dan peristiwa masa lampau yg menandai pertentangan tsb dikukuhkan oleh monumen2 yang masih berdiri hingga sekarang. Di akhir perjalanan ini, Gull meminta Netley menghubungkan titik2 rute perjalanan mereka secara berurutan pada selembar peta London. Sejarah kelam tersebut ternyata membentuk sebuah pentagram yang membujur luas di permukaan London. Dalam komposisi magis inilah Gull bertekad melaksanakan ‘tugas suci’nya.
Masih banyak lagi detail yang diselipkan oleh Moore dan Campbell dalam kisah ini. Bagaimanakah akhir hidup Gull dan kemampuan2 penglihatan di akhir hayatnya? Apa yang terjadi dengan Alice? Apakah hubungan kisah ini dengan teori ‘dimensi keempat’, si ‘manusia gajah’, dan para pujangga kondang Inggris pada abad ke-19? Silakan nikmati sendiri kisah menegangkan yang tak lekang waktu ini; masih banyak kejutan2 lain dalam bukunya. Mungkin, setelah membaca kisah ini, berjalan2 di sela2 kota London tidak akan pernah sama seperti sebelumnya.


PS. Novel grafis ini telah diangkat menjadi sebuah film layar lebar dengan judul yang sama. Johnny Depp sebagai tokoh utamanya memerankan Inspektur Abberline. Info: http://www.fromhellmovie.com/


From Hell
Alan Moore, Eddie Campbell
Publisher: Top Shelf Productions; New Ed edition (February 25, 2004)
Paperback: 560 pages
ISBN-10: 0958578346
ISBN-13: 978-0958578349